Di beberapa tempat di luar pulau Jawa, perayaan hari Asyura jauh lebih meriah dan menjadi
agenda pariwisata tahunan. Misalnya, di Bengkulu ada upacara tradisional Tabot atau Tabut. Di
wilayah ini perayaan Asyura sudah diperingati lebih dari dua abad yang lalu.
Sedikit berbeda dari tradisi-tradisi di atas, di Iran terdapat tradisi yang disebut Tazkiyah dan
Pardeh Khani. Kedua tradisi ini berkaitan erat dengan peristiwa perjuangan Imam Husein a.s.
Tazkiyah adalah tradisi bangsa Iran untuk mengenang perjuangan Imam Husein a.s., dapat
diartikan sebagai pentas yang menceritakan tokoh-tokoh yang menampilkan kepahlawanan dalam
peristiwa Karbala. Para pementas berdialog dengan lantunan syair yang disesuaikan dengan peran
mereka. Kondisi Asyura dalam tradisi ini digambarkan secara penuh.
Pardeh Khani adalah salah satu tradisi Iran yang sama seperti wayang beber. Disebut Pardeh
Khani karena berupa lembaran yang menceritakan para tokoh Karbala. Pardeh Khani terdiri dari
pendalang dan kain lembaran yang menceritakan alur cerita.
Beliau menjawab: Berakhlak yang baik terhadap manusia adalah adaptasi dengan budaya dan
tradisi di mana kita berdomosili, selama tidak bertentangan dengan syara.
Rasulullah SAW. bersada:
Artinya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Kesimpulannya, tradisi adat diperbolehkan apabila tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Rasulpun hanya diperintah oleh Allah SWT., untuk menyempurnakan akhlak atau bisa dikatakan
menyempurnakan budaya tradisi adat yang ada di sekitar kita. Jadi, seyogyanya umat Islam lebih selektif
dalam melaksanakan tradisi-tradisi yang sudah ada agar tidak masuk ke dalam kekufuran, dan bisa
mengaplikasikan tradisi yang kurang pas menjadi tradisi yang dibenarkan syariat, agar tidak mematikan
tradisi yang sudah ada, dan masih berpegang erat pada syariat Islam.
Dalam kitab beliau, al-Imam Nawawi rahimahumullah. Membawakan dua buah hadits yang
berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari asyura (10 Muharram)
)(
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra.: bahwa Rasullah saw. berpuasa pada hari asyura dan
memerintahkan untuk berpusa padanya. (Mutafaqun alaih)
:
)(
Artinya: Dari Abu Qatadah ra.: bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari asyura.
Beliau menjawab, (puasa tersebut) menghapus dosa satu tahun yang lalu (HR. Bukhori)
(Nawawi, Imam. tt: )
Tidak hanya puasa saja yang disyaratkan pada hari asyura ini, tapi juga dianjurkan untuk banyak
melakukan amal-amal shaleh khususnya bersedekah.
Artinya: Dan dikeluarkan oleh Abu Musa al Madiny dari Abdullah bin Umar: barang siapa
berpuasa asyura maka sesungguhnya itu (berpuasa asyura) seperti berpuasa (selama) satu
tahun, dan barang siapa yang bersedekah di dalamnya (asyura) itu seperti sedekah
( selama) satu tahun.
Terlepas dari itu semua, banyak juga keterangan-keterangan yang menyatakan tentang amalanamalan yang bidah. Karena tidak ada hadits yang shahih tentang amalan tersebut. Dalam kitab Irsyad al
Ibad diterangkan: Sesungguhnya suatu perkara yang dilaksanakan oleh manusia pada hari asyura
mulai dari mandi, memakai pakaian baru, memakai celak, wangi-wangian mewarnai kuku, memasak
makanan dengan beberapa biji, dan sholat beberapa rakaat itu termasuk bidah, maka sunah untuk
meninggalkannya, karena Rasulullah saw. tidak pernah melaksanakan hal tersebut, juga para sahabat
beliau dan tidak seorangpun dari Imam Empat dan lainnya, maka hadits-hadits yang diriwayatkan
tentang hal-hal tersebut adalah bohong atau maudhu. (Aziz, Abdul, Zainudin. tt: 50)
Namun apabila amalan-amalan tersebut dilakukan dengan tidak ada tujuan untuk
mengkhususkan pada hari asyura, terlebih hanya untuk hanya bertaqarrub kepada Allah, maka hal itu
menjadi suatu kesunahan. (Lirboyo, tt: 22)