Anda di halaman 1dari 4

Asyura: Antara Adat dan Agama

Tradisi Adat dalam Asyura


Umat Islam punya tradisi khas di setiap tanggal 10 Muharram. Tradisi ini mengacu pada sejarah
umat Islam di masa silam. Beberapa tradisi itu di antaranya sebagai berikut,
Di Iran, setiap tanggal 10 Muharram diperingati sebagai hari berkabung nasional untuk
mengenang terbunuhnya Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW, dalam
pertempuran di Karbala dengan tentara Yazid bin Muawiyah. 70-an orang di bawah pimpinan Imam
Husain melawan 30.000 tentara musuh. peristiwa itu sangat menyakitkan bagi umat Syiah.
10 Muharram ternyata bukan milik Syiah saja. Di Indonesia, yang mayoritas Sunni, 10
Muharram atau hari Asyura pun diperingati masyarakat, misalnya di beberapa daerah mengadakan
acara syukuran. Di sebuah kampung di Tasikmalaya, umat Islam memasak bubur merah dan putih. Bubur
itu kemudian dikenal dengan sebutan Bubur Suro.
Bubur tersebut dibawa ke masjid bersama dengan hahampengan (makanan ringan). Di sana,
orang yang dituakan atau imam masjid memimpin acara. Imam membacakan shalawat dilanjutkan
dengan pembacaan pujian kepada Rasulullah SAW dari kitab Barzanji karangan Syekh Jafar al-Barzanji
Husein bin Abdul Karim yang lahir di Madinah tahun 1690 M.
Sedangkan di sebuah tempat di Limbangan, Garut, warga biasanya berkumpul di masjid pada
sore hari menjelang Maghrib. Di sana pun ada jamuan yang disebut Bubur Suro.
Terkadang, sejumlah orang menjadikan hari Asyura untuk menguatkan nama anaknya yang baru
lahir. Biasanya, mereka membawa bayi ke masjid, kemudian memperkenalkan nama anaknya kepada
jamaah. (Gufron, Uup. 2010: 154)
Di daerah pesisir laut selatan, terdapat tradisi melepaskan sesajian atau tumbal ke lautan.
Sejumlah orang berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini, maka amarah penunggu laut dapat tercegah
serta nantinya dapat mendatangkan keberkahan laut berupa ikan yang banyak. Tradisi ini hampir sama
dengan tradisi yang terdapat di daerah Telaga Ngebel, Ponorogo.
Terdapat juga tradisi ngalap berkah yang ditunjukkan masyarakat dengan mengunjungi daerah
keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet
muda), melakukan Kirab Kerban Bule (Kyai Slamet) di Keraton Kasunan Solo, Kirab Pusaka di Pendopo
Agung Ponorogo yang didahului dengan memandikan benda-benda pusaka, dan juga dengan begadang
semalam suntuk.

Di beberapa tempat di luar pulau Jawa, perayaan hari Asyura jauh lebih meriah dan menjadi
agenda pariwisata tahunan. Misalnya, di Bengkulu ada upacara tradisional Tabot atau Tabut. Di
wilayah ini perayaan Asyura sudah diperingati lebih dari dua abad yang lalu.
Sedikit berbeda dari tradisi-tradisi di atas, di Iran terdapat tradisi yang disebut Tazkiyah dan
Pardeh Khani. Kedua tradisi ini berkaitan erat dengan peristiwa perjuangan Imam Husein a.s.
Tazkiyah adalah tradisi bangsa Iran untuk mengenang perjuangan Imam Husein a.s., dapat
diartikan sebagai pentas yang menceritakan tokoh-tokoh yang menampilkan kepahlawanan dalam
peristiwa Karbala. Para pementas berdialog dengan lantunan syair yang disesuaikan dengan peran
mereka. Kondisi Asyura dalam tradisi ini digambarkan secara penuh.
Pardeh Khani adalah salah satu tradisi Iran yang sama seperti wayang beber. Disebut Pardeh
Khani karena berupa lembaran yang menceritakan para tokoh Karbala. Pardeh Khani terdiri dari
pendalang dan kain lembaran yang menceritakan alur cerita.

Pandangan Syariat Islam Terhadap Tradisi Adat Asyura


Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram), meski merupakan hari bersejarah dan diagungkan,
namun orang tidak boleh berbuat bidah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan pada hari itu adalah
puasa dan tawasuah ala al-iyal (memberikan keistimewaan kepada keluarga) dan selain amalan
tersebut dalam bulan Syura dinyatakan tidak layak digunakan sebagai pijakan hukum (dhaif atau bahkan
mandhu). (Lirboyo, tt: 22)
Namun pada saat ini terdapat banyak tradisi adat yang dilaksanakan pada hari Asyura, hal ini
tidak lepas dari hukum adat yang biasa diartikan menjadi adat kebiasaan perseorangan yang dianggap
baik dan ditiru oleh umum, sehingga menjadi kebiasaan umum setiap anggota masyarakat, dan barang
siapa yang menyalahi kebiasaan itu dianggap tidak sopan dan dikucilkan dari pergaulan umum. (Shaleh,
Rachman, Abd, tt: 183)
Maka dari itu, kebanyakan orang hanya patuh saja melaksanakan tradisi-tradisi adat yang sudah
ada dari pendahulu-pendahulu mereka dengan alasan tidak mau dikucilkan. Padahal tradisi-tradisi ini
ada yang dibenarkan oleh syariat, dan ada yang bertentangan dengan syariat.
Dari baginda Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat Nabi ditanya tentang pengertian yang terdapat
pada hadits Nabi yang artinya:
Takutlah kepada Allah di mana saja kamu berada, susullah perbuatan yang jelek dengan
perbuatan yang baik, maka akan menghapusnya. Dan berakhlaklah terhadap manusia dengan akhlak
yang baik.
13

Beliau menjawab: Berakhlak yang baik terhadap manusia adalah adaptasi dengan budaya dan
tradisi di mana kita berdomosili, selama tidak bertentangan dengan syara.
Rasulullah SAW. bersada:

Artinya: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Kesimpulannya, tradisi adat diperbolehkan apabila tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Rasulpun hanya diperintah oleh Allah SWT., untuk menyempurnakan akhlak atau bisa dikatakan
menyempurnakan budaya tradisi adat yang ada di sekitar kita. Jadi, seyogyanya umat Islam lebih selektif
dalam melaksanakan tradisi-tradisi yang sudah ada agar tidak masuk ke dalam kekufuran, dan bisa
mengaplikasikan tradisi yang kurang pas menjadi tradisi yang dibenarkan syariat, agar tidak mematikan
tradisi yang sudah ada, dan masih berpegang erat pada syariat Islam.

Keutamaan dari Memperingati Asyura


Setiap amalan dan ibadah yang dilakukan umat Islam, Allah janjikan akan dibalas dengan pahala.
Terlebih, jika ibadah dan amalan itu dikerjakan di bulan atau waktu-waktu tertentu yang memang
diagungkan Allah dan disunnahkan Rasulullah, tentu hal itu menambah nilai ibadah di sisi Allah.
Dan bulan Muharram adalah momennya. Satu bulan yang memang dimuliakan Allah.


Artinya: Dikeluarkan oleh An-Nasaai dari Ali r.a: Apabila kamu berpuasa setelah bulan
ramadhan, maka berpuasalah pada (bulan) muharrram, sesungguhnya itu (muharram)
adalah bulannya Allah, hari dimana Allah menerima taubatnya kaum (umat Islam) dan
kaum yang lain. (Aziz, Abdul, Zainudin. tt, 48)

Dalam kitab beliau, al-Imam Nawawi rahimahumullah. Membawakan dua buah hadits yang
berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari asyura (10 Muharram)
)(

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra.: bahwa Rasullah saw. berpuasa pada hari asyura dan
memerintahkan untuk berpusa padanya. (Mutafaqun alaih)
:
)(
Artinya: Dari Abu Qatadah ra.: bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang puasa hari asyura.
Beliau menjawab, (puasa tersebut) menghapus dosa satu tahun yang lalu (HR. Bukhori)
(Nawawi, Imam. tt: )

Tidak hanya puasa saja yang disyaratkan pada hari asyura ini, tapi juga dianjurkan untuk banyak
melakukan amal-amal shaleh khususnya bersedekah.

Artinya: Dan dikeluarkan oleh Abu Musa al Madiny dari Abdullah bin Umar: barang siapa
berpuasa asyura maka sesungguhnya itu (berpuasa asyura) seperti berpuasa (selama) satu
tahun, dan barang siapa yang bersedekah di dalamnya (asyura) itu seperti sedekah
( selama) satu tahun.

Terlepas dari itu semua, banyak juga keterangan-keterangan yang menyatakan tentang amalanamalan yang bidah. Karena tidak ada hadits yang shahih tentang amalan tersebut. Dalam kitab Irsyad al
Ibad diterangkan: Sesungguhnya suatu perkara yang dilaksanakan oleh manusia pada hari asyura
mulai dari mandi, memakai pakaian baru, memakai celak, wangi-wangian mewarnai kuku, memasak
makanan dengan beberapa biji, dan sholat beberapa rakaat itu termasuk bidah, maka sunah untuk
meninggalkannya, karena Rasulullah saw. tidak pernah melaksanakan hal tersebut, juga para sahabat
beliau dan tidak seorangpun dari Imam Empat dan lainnya, maka hadits-hadits yang diriwayatkan
tentang hal-hal tersebut adalah bohong atau maudhu. (Aziz, Abdul, Zainudin. tt: 50)
Namun apabila amalan-amalan tersebut dilakukan dengan tidak ada tujuan untuk
mengkhususkan pada hari asyura, terlebih hanya untuk hanya bertaqarrub kepada Allah, maka hal itu
menjadi suatu kesunahan. (Lirboyo, tt: 22)

Anda mungkin juga menyukai