Anda di halaman 1dari 51

PENDAHULUAN

Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu diantaranya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk
dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. Tuberculosis, dengan angka tertinggi di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin. 1
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi
TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV dan
pertumbuhan populasi yang cepat. 1
Dengan meningkatnya kejadian TBC pada orang dewasa, maka jumlah anak
yang terinfeksi TBC akan meningkat dan jumlah anak dengan penyakit TBC juga
meningkat. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak sulit
didapatkan specimen diagnostic yang dapat dipecaya. Seorang anak dapat terkena
infeksi TBC tanpa menjadi sakit TBC dimana terdapat uji tuberkulin positif tanpa ada
kelainan klinis, radiologis dan laboratoris.3
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang
diikuti overtreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya
adalah orag dewasa dengan hasil sputum basil tahan asam positif, sehingga
penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya, penanganan
TB anak kurang diperhatikan. .3
Tuberkulosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat karena
kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup berbahaya oleh karena
dapat timbul TBC ekstra thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian atau
menimbulkan cacat, Misal pada TBC Meningitis.

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS II
Nama Mahasiswa : Riyan Budianor
Pembimbing : dr. Meiharty B.Z, Sp.A
1

NIM
: 030.09.209
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. O
Umur
: 6 Tahun 11 Bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 9-10-2007
Alamat : Jl. Matraman Selatan IX RT 03 RW 01

Tanda tangan :
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama
: Islam
Pendidikan
:-

IDENTITAS ORANGTUA
AYAH
IBU
Nama
: Tn. R
Nama
Pekerjaan
: Buruh swasta
Pekerjaan
Pendidikan
: SD
Pendidikan
Suku bangsa : Sunda
Suku bangsa
Agama
: Islam
Agama
Penghasilan : Rp. 800.000 1.000.000/bulan

: Ny. N
: Ibu rumah tangga
: SMA
: Batak
: Islam

ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. N yang merupakan ibu kandung pasien.
Lokasi
: Bangsal lantai V Timur, kamar 510
Tanggal / pukul
: 12 September 2014 / 14.30 WIB
Tanggal masuk
: 8 September 2014, pukul 16.00, IGD RSUD Budhi Asih
A. KELUHAN UTAMA
Demam sejak 1 bulan SMRS
B. KELUHAN TAMBAHAN
Batuk darah, penurunan berat badan
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien diantar oleh ibunya dengan keluhan demam sejak 1 bulan SMRS, demam
hilang timbul, demam naik turun, dirasakan mulai naik pada malam hari. Demam hanya
di ukur dengan tangan. Tidak terdapat mengigau, tidak ada menggigil. Demam disertai
dengan mual muntah sebanyak 1 kali pada hari pertama demam, kemudian terdapat nyeri
ulu hati. Sudah pernah berobat pada awal mula demam ke puskesmas dikatakan bahwa
karena penyakit tifus. Setelah diberikan obat dirasakan sempat sampai sembuh.
Kemudian demam muncul lagi seminggu kemudian diserta munculnya bercak
kemerahan, yang awalnya mulai dari belakang telinga dan kemudian menyebar ke muka,
leher, badan, tangan dan kaki. Lalu pasien berobat lagi dikatakan bahwa menderita
campak dan diobati sampai sembuh dan demam turun tidak sampai normal.
Keadaan membaik, namun beberapa hari demam muncul lagi namun tidak terlalu
tinggi disertai batuk pilek. Ibu pasien mengira hanya karena flu biasa sehingga tidak
dibawa untuk berobat. Batuk dan pilek, awalnya batuk kering selama seminggu mulai
berdahak dan pada 1 hari SMRS pada batuk darah segar 1x. Sebelumnya dikatakan ada
2

batuk namun jarang. Riwayat trauma atau benturan pada dada disangkal. Tidak ada nyeri
saat menelan, nyeri sendi, mimisan dan gusi berdarah. Ada sariawan di bibir atas dalam
dan sudut kanan mulut. Sesak disangkal oleh pasien dan ibu pasien. Mual muntah tidak
ada. Tidak terdapat BAB mencret. Nyeri telinga, kurang pendengaran ataupun keluar
cairan dari telinga disangkal. BAK sakit ataupun ada gangguan BAK disangkal oleh
pasien dan ibunya.
Lalu menurut ibu os terjadi penurunan berat badan selama 1 bulan ini dari berat
badan awal 23 kg menjadi sekarang 17 kg. Padahal menurut ibu pasien, pasien suka
makan, makan selalu habis dan 3 kali sehari diikutin makan lain seperti snack selain
makan besar. Diakui tidak pernah ada benjolan dileher, ketiak, selangkangan dan
disendi-sendi.
Pada tanggal 8 di IGD pasien di kirim ke lantai 5 timur untuk di rawat inap dengan
diagnosis prolonged fever ec suspek TBC dengan hemoptisis. Dikatakan dari hasil
laboratorium didapatkan hasil hemoglobin 9,9 dan tes widal 1/160. Hasil lain disebutkan
normal, kemudian dilakukan rontgen dada. Dari IGD pasien diberikan pengobatan
berupa infus Kaen 1B, cefotaxim, paracetamol, dan puyer kombinasi amroxol 1mg +
salbutamol 1mg.
Tanggal 9 September, didapatkan keluhan demam (+), batuk (+) berdahak warna
hijau, tidak berdarah. Pilek (+) Sariawan (+) Nyeri uluhati (+) Mual muntah (-) BAB
dan BAK seperti biasa tidak ada mencret. Dilakukan pemeriksaan dikatakan suhu 38,7
0

C, nadi 114x/menit dan napas 30x/menit. Pemeriksaan mata dikatakan pucat, terdapat

sariawan disudut bibir dan bibir dalam. Dari pemeriksaan paru dikatakan ada kelianan
pada parunya. Hasil rontgen dikatakan bahwa terdapat cairan di selaput paru sebelah
kirinya dan juga gambaran tuberkulosis paru. Lalu dilakukan mantoux test. Menurut
dokter penyakitnya adalah curiga TB paru sehingga dilakukan mantoux tes, kemudian
juga terdapat cairan di selaput paru, anemia dan sariawan. Pengobatan yang diberikan
infus KaEn 1B, cefotaxime, kombinasi ambroxol dan salbutamol, paracetamol dan
borax gliserin untuk sariawannya.

Pada tanggal 10 september tidak ada perubahan yang terlihat, gejala dan pengobatan
masih sama seperti sebelumnya. Pada tanggal 11, dikatakan batuk masih ada namun
dahak sudah tidak hijau. Demam, pilek dan nyeri perut masih ada. Pengobatan masih
sama dengan hari sebelumnya.
D. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
4

Penyakit
Alergi
Rhinitis

Umur
(-)

Penyakit
Otitis

Umur
(-)

Penyakit
Kecelakaan

Umur
(-)

(-)

Parotitis

(-)

Penyakit Jantung

(-)

(-)

Difteria

(-)

Radang Paru

(-)

(-)

Diare

(+)
6 tahun

TBC

(-)

(-)

Kejang

(-)

Asma

(-)

(+)
6 tahun

Morbili

(+)
6 tahun

Atopi
Dermatitis
Atopi
Cacingan
Demam
Berdarah
Dengue
Demam
Tifoid

Keluhan

yang

sama sebelumnya

(-)

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: pasien belum pernah mengalami hal yang sama
seperti sekarang. Sebelumnya pernah menderita penyakit demam tifoid, morbili dan diare.
E. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Morbiditas

Hipertensi (-), diabetes melitus (-), anemia

Kehamilan

(-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-),


infeksi pada masa kehamilan (-), keputihan

KEHAMILAN

Perawatan Antenatal

(-)
ANC rutin ke puskesmas, dari awal periksa
umur 2 bulan kehamilan kemudian setiap
buat sampai 5x setelah itu hanya sebelum
lahir ,

Tempat Persalinan
Penolong Persalinan
Cara Persalinan
Masa Gestasi

KELAHIRAN
Keadaan Bayi

pernah melakukan imunisasi

vaksinasi TT 1x
Puskesmas Cikini
Bidan
Spontan pervaginam
Cukup bulan
Berat lahir : 2700 gr
Panjang lahir : 46 cm
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis (+)
Merah (+)
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: tidak ada penyulit kehamilan dan os lahir spontan
dengan kondisi baik.
F. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I
Gangguan perkembangan mental
Psikomotor

: 7 bulan
:-

(Normal: 5-9 bulan)

Tengkurap

: 5 bulan

(Normal : 3-4 bulan)

Duduk

: 7 bulan

(Normal : 6-9 bulan)

Berdiri

: 10 bulan

(Normal : 9-12 bulan)

Berjalan

: 11 bulan

(Normal : 13 bulan)

Bicara

: 11 bulan

(Normal : 9-12 bulan)

Membaca dan menulis : 6 tahun


Perkembangan pubertas
Rambut pubis
:Payudara
:Menarche
:Kesimpulan riwayat perkembangan: Riwayat perkembangan baik secara umum tidak ada
keterlambatan perkembangan
G. RIWAYAT MAKANAN
Umur (bulan)

ASI / PASI

Buah / Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

02

ASI

24

PASI

46

PASI

68

PASI

8 10

PASI

10- 12

PASI

Jenis Makanan

Frekuensi dan Jumlah

Nasi / Pengganti

Nasi 3x/hari, sekali makan 1piring

Sayur

6x/minggu

Daging

1x/2minggu

Telur

4x/minggu
6

Ikan

2x/hari

Tahu

2x/ hari

Tempe

2x/ hari

Susu (merk / takaran)


Lain lain

Susu Bendera 1 gelas/ hari


Biskuit/ wafer/ roti/ buah setiap hari,

Kesimpulan riwayat makanan: Riwayat makanan baik, selama sakit diakui ada penurunan
nafsu makan, namun tidak sampai sama sekali tidak makan.
H. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin
BCG
DPT / PT

Dasar (Umur)
X
-

Polio

0 bulan

X
-

X
-

Campak
Hepatitis B

X
-

Ulangan (Umur)
-

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien tidak pernah mandapatkan imunisasi hanya saat bayi
baru lahir, setelah itu tidak pernah imunisasi. Riwayat imunisasi buruk.

I. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No

Tanggal lahir
(umur)

Jenis
kelamin

Hidup

Lahir
Mati

Abortus

Mati
(sebab)

Keterangan
Kesehatan

12 tahun

Laki-laki

Kakak pasien
(sehat)

10 tahun

Laki-laki

Batuk-batuk

6 tahun 11
bulan

Perempuan

Pasien

5 tahun

Perempuan

Riwayat TB

4 tahun

Laki-laki

Sehat

b. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan Ke Umur Menikah
Pendidikan
Agama
Suku Bangsa
Keadaan Kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit

Ayah
Tn. R.C
3
28 tahun
SD
Islam
Sunda
Sering batuk-batuk
-

Ibu
Ny. R
1
18 tahun
SMP
Islam
Batak
Sehat
-

c. Riwayat Penyakit keluarga


Anggota keluarga dirumah yaitu ayah, ibu, nenek, dua kakak dan dua adik. Di aku ibu
pasien bahwa neneknya memang penderita TBC lama dikatakan pengobatan sudah selesai
namun masih sering batuk dan hanya minum satu obat serta tidak pernah kontrol lagi ke
dokter, kemudian Adik pasien juga pernah menderita TBC namun sudah selesai berobat
dan sudah sembuh. Ayah pasien juga sering batuk namun tidak pernah memeriksakan diri
ke puskesmas atau rumah sakit. Riwayat penyakit asma, alergi, darah tinggi, jantung dan
kencing manis disangkal.
Kesimpulan riwayat keluarga: Terdapat sumber kontak pada keluarga pasien yaitu nenek,
adik dan ayah pasien.
J. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, nenek, dua orang kakak dan satu orang adik. Rumah
kecil ukuran 5x5m yang beri sekat pemisah untuk kamar tidur. Kamar mandi diluar,tempat
masak di dalam rumah. Diakui jika rumah lembab, matahari tidak bisa masuk dan tidak ada
jendela atau ventilasi yang memadai. Sumber air dari sumur menggunakan mesin untuk
bersama. Jarak sumber air dan septi tank 10 meter.
Kesimpulan : lingkungan rumah buruk karena lembab, ventlasi tidak baik dan sinar matahari
tidak masuk membuat bakteri mudah untuk hidup. Karena itu penyebaran penyakit menjadi
lebih mudah.
PEMERIKSAAN FISIK
Lokasi
: Bangsal lantai V Timur, kamar 510
Tanggal / pukul
: 12 September 2014 / 14.30 WIB
8

A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan sakit
Kesadaran
Kesan gizi
Keadaan lain

: Tampak sakit sedang,


: Compos mentis
: Gizi kurang
: Pucat (+), sianosis (-), ikterik (-), dyspnoe (-)

Data Antropometri
Berat badan
Tinggi badan
Lingkar kepala

: 18 kg
: 125 cm
: 48,5 cm

Status Gizi (CDC)


BB / U = 18/23 x 100 % = 78,3% (Gizi kurang)
TB / U = 125/120 x 100 % = 104,2 % (Gizi normal)
BB / TB = 18/24 x 100 % = 75%% (Gizi kurang) Kesan: Gizi kurang
LK = 48,5 cm berdasarkan kurva Neilhaus termasuk diantara (-2 SD) dengan (+2
SD) yang menunjukkan kondisi Normocephali.
Tanda Vital
Nadi
Nafas
Suhu
Tekanan Darah

: 140x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
: 40x/ menit, tipe abdomino-torakal, ?
: 37,0O C, axilla
: 110/70 mmHg

KEPALA

: normocephali, ubun-ubun besar sudah menutup

RAMBUT

: Rambut hitam, lebat, distribusi merata dan tidak mudah dicabut

WAJAH

: Wajah simetris, benjolan (-), tidak tampak efloresensi bermakna

MATA:
Visus
Sklera ikterik
Konjungtiva anemis
Exophthalmus
Endofthalmus
Strabismus
Nistagmus
Refleks cahaya
Alis
Bulu mata
TELINGA :
Bentuk
Nyeri tarik aurikula
Liang telinga
Serumen
Sekret

: tidak dilakukan
Ptosis
: -/: -/Lagofthalmus : -/: +/+
Cekung
: -/: -/Bercak bitot : -/: -/Kornea jernih : +/+
: -/Lensa jernih : +/+
: -/Pupil
: bulat, isokor
: Langsung +/+ , tidak langsung +/+
: Hitam, distribusi merata
: Hitam, distribusi merata, madarosis (-/-), trikiasis (-/-)
: Normotia
: -/: Lapang/lapang
: -/: -/-

Tuli
Nyeri tekan tragus
Membran timpani
Refleks cahaya

: -/: -/: Tidak dilakukan


: Tidak dilakukan

HIDUNG
:
Bentuk
Sekret
Mukosa hiperemis
BIBIR

: Simetris
: +/+
: -/-

Napas cuping hidung : +/+


Deviasi septum
:-

: Simetris saat diam, pucat (-), kering (+), sianosis (-), labioskizis (-) terdapat

luka di ujung bibir kanan


MULUT

: Trismus (-) oral hygiene baik, gigi geligi sudah tumbuh, mukosa gusi dan

pipi berwarna merah muda. Terdapat luka kemerahan pada mulut di belakang bibir
bawah.
LIDAH

: Normoglosia, mukosa merah muda (-), atrofi papil (-), tremor (-), coated

tongue (-)
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah
LEHER

: Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun

KGB, tidak tampak deviasi trakea.


THORAKS

: Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-), retraksi 10plenomegaly

(-), retraksi intercostal (-), retraksi subcostal (-)


JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernapasan yang tertinggal, pernafasan thoraco-abdominal,
Palpasi

retraksi

10plenomegaly (-), retraksi intercostals (-), retraksi subcostal (-)


: Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal

fremitus kiri sedikit melemah.


Perkusi
: Sonor di kedua hemithoraks paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronchi (+/+) keras pada kedua apex paru,
wheezing (-/-)
ABDOMEN :
Inspeksi
: Perut datar, tidak tampak efloresensi bermakna, benjolan (-)
Palpasi
: Datar, supel, defans muscular (-), NT (-), 10plenomegaly (-), 10plenomegaly
(-), turgor baik
Perkusi
: Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi
: Bising usus (+), frekuensi 3x / menit

10

ANOGENITALIA : tidak dilakukan pemeriksaan


KELENJAR GETAH BENING :
Preaurikuler
: tidak teraba membesar
Postaurikuler
: tidak teraba membesar
Submandibula
: tidak teraba membesar
Supraclavicula
: tidak teraba membesar
Axilla
: tidak teraba membesar
Inguinal
: tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas

: Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi

tangan dan kaki, serta sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada
keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time < 2 detik
Tangan
Kanan
Kiri
Tonus otot
normotonus
normotonus
Sendi
aktif
aktif
Refleks fisiologis
Biscep
(+)
(+)
Tricep
(+)
(+)
Refleks patologis
Hoffman-Tromer (-)
(-)
Kaki
Tonus otot
Sendi
Refleks fisiologis
Platella
Achiles
Refleks patologis
Babinski
Schaeffer
Oppenheim
Gordon

Kanan
normotonus
aktif

Kiri
normotonus
aktif

(+)
(+)

(+)
(+)

(-)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)

KULIT : warna kuning langsat merata, pucat (+), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler < 2 detik
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan(-), ruam (-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk
(-)
Brudzinski I
(-)
Brudzinski II
(-)
Laseq
(-)
Kerniq
(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

(-)
(-)
(-)
(-)

a. Mantoux tes
11

Tanggal 12 September 2014 hasil positif : diameter > 15mm


SKORING TB
Parameter

Nilai

Kontak TB

Laporan keluarga

Uji tuberkulin

15mm

Keadaan gizi

BB/TB<90% atau BB/U<80%

Demam yang tidak diketahui Demam sejak 1 bulan namun 1


penyebabnya

dari awal dikatakan tipes,


kemudian terkena morbili 2
minggu SMRS, dan datang ke
RSBA dengan keluhan karena
demam tidak kunjung sembuh.

Batuk kronik

Batuk

dirasa

baru

seminggu
sebelumnya

sering 0-1
terakhir,

diada

batuk

namun jarang
Pembesaran KGB coli, aksila, Tidak ada

inguinal
Pembengkakan tulang/ sendi Tidak ada

panggul, lutut, falang


Foto thorax
Total

Gambaran sugestif TB

1
9-10

RESUME
Pasien diantar oleh ibunya dengan keluhan demam sejak 1 bulan SMRS, demam
hilang timbul, demam naik turun, dirasakan mulai naik pada malam hari. Demam hanya
di ukur dengan tangan. Tidak terdapat mengigau, tidak ada menggigil. Demam disertai
dengan mual muntah sebanyak 1 kali pada hari pertama demam, kemudian terdapat nyeri
ulu hati. Sudah pernah berobat pada awal mula demam ke puskesmas dikatakan bahwa
karena penyakit tifus. Setelah diberikan obat dirasakan sempat sampai sembuh.
Kemudian demam muncul lagi seminggu kemudian diserta munculnya bercak
12

kemerahan, yang awalnya mulai dari belakang telinga dan kemudian menyebar ke muka,
leher, badan, tangan dan kaki. Lalu pasien berobat lagi dikatakan bahwa menderita
campak dan diobati sampai sembuh dan demam turun tidak sampai normal.
Keadaan membaik, namun beberapa hari demam muncul lagi namun tidak terlalu
tinggi disertai batuk pilek. Ibu pasien mengira hanya karena flu biasa sehingga tidak
dibawa untuk berobat. Batuk dan pilek, awalnya batuk kering selama seminggu mulai
berdahak dan pada 1 hari SMRS pada batuk darah segar 1x. Sebelumnya dikatakan ada
batuk namun jarang. Tidak ada nyeri saat menelan, nyeri sendi, mimisan dan gusi
berdarah. Ada sariawan di bibir atas dalam dan sudut kanan mulut. Sesak disangkal oleh
pasien dan ibu pasien. Mual muntah tidak ada. Tidak terdapat BAB mencret. Nyeri
telinga, kurang pendengaran ataupun keluar cairan dari telinga disangkal. BAK sakit
ataupun ada gangguan BAK disangkal oleh pasien dan ibunya.
Lalu menurut ibu os terjadi penurunan berat badan selama 1 bulan ini dari berat
badan awal 23 kg menjadi sekarang 17 kg. Padahal menurut ibu pasien, pasien suka
makan, makan selalu habis dan 3 kali sehari diikutin makan lain seperti snack selain
makan besar. Diakui tidak pernah ada benjolan dileher, ketiak, selangkangan dan
disendi-sendi.
Riwayat imunisasi buruk, hanya 1x saat pertama lahir. Riwayat penyakit keluarga,
tinggal bersama nenek dan adik pasien yang menderita TBC, serta ayah pasien juga
sering batuk-batuk namun tidak mau periksa kesehatan. Lingkungan rumah juga kurang
baik karena lembab, ventilasi tidak baik dan cahaya matahari tidak masuk.
Dari pemeriksaan dan medikasi yang telah dilakukan pasien selam perawatan
dari tanggal 8 september 2014 sampai tanggal 11 september 2014. Didapatkan hasil
pemeriksaan penunjang laboratorium darah berupa Hb yang turun menjadi 9,9 g/dL,Ht
menurun menjadi 30 %, RDW 17,1%, dan hasil widal S.typhi BO dan BH 1/160. Hasil
urinalisis didapatkan eritrosoit 0-2/LPB. Hasil pemeriksaan radiologi toraks didapatkan
kesan TB paru duplex dan efusi pleura.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis dengan kesan gizi kurang dan pasien tampak pucat. Dari perhitungan
status gizi BB/U dan BB/TB didapatkan pasien gizi kurang. Pada pemeriksaan tandatanda vital didapatkan suhu 370C, Nadi 140x/menit, laju nafas 40x/menit dan tekanan
darah 110/70 mmHg. Pada status generalis didapatkan konjungtiva anemis +/+, bibir
kering, luka pada sudut bibir kanan, mulut dibagian belakang bibir bawah, dan nafas
cuping hidung +/+. Pada pemeriksaan thorax dari gerak dada terlihat simetris, vocal
13

fremitus kiri sedikit melemah, perkusi sonor pada kedua hemithoraks, dan auskultasi
terdapat ronki +/+ yang keras pada kedua apeks paru.
Dari pemeriksaan penunjang berupa mantoux test di dapatkan hasil positif,
berupan undurasi sebesar 15mm.
DIAGNOSIS BANDING
a.
b.
c.
d.

TB paru dengan efusi pleura sinistra ec tb


Demam tifoid dengan bronkopneumonia dan efusi pleura sinistra
Bronkiektasis dengan efusi pleura sinistra
Keganasan paru dengan efusi pleura

DIAGNOSIS KERJA
1. TB paru
2. Anemia
3. Gizi kurang
PEMERIKSAAN ANJURAN
a.
b.
c.
d.

Hematologi lengkap ulang


Apusan darah tepi
BTA
Test screening HIV

PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
a. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien.
b. Edukasi agar memakai masker jika batuk dan jangan membuat dahak ataupun ludah
sembarangan
c. Perbaiki gizi pasien dengan asupan nutrisi yang baik
d. Menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada seluruh anggota keluarga yang
tinggal serumah dan yang mempunyai gejala batuk-batuk yang lama, dan jika
ditemukan TBC segera di obati. Untuk nenek dilakukan pemeriksaan ulang, dicurigai
bahwa pengobatan belum selesai, atau terserang lagi namun karena tidak pernah
periksa menjadi tidak terdeteksi.
e. Melakukan imunisasi pada anak yang belum mendapat imunisasi dan jika melahirkan
lahir anak selanjutnya jangan sampai tidak dilakukan imunisasi dasar.
Medikamentosa
Lantai 5 Timur
a.
b.
c.
d.

Venflon
Cefotaxime 3x500mg
Paracetamol 3x500mg
Ambroxol 1mg
Salbutamol 1mg
14

Mfla pulv dtd 3x1


e. Borax gliserin
f. OAT :
INH 1x 180mg (5-15mg/kgBB/hari)
Rifampisin 1x 265mg (10-20mg/kgBB/hari)
Pirazinamid 2 x 200mg (15-30mg/kgBB/hari)
Etambutol 2 x 180mg (15-20 mg/kgBB/hari)
g. Prednison 2-1-1
PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Fungtionam
Ad Sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia

15

Tanggal

13-9-2014

Demam (-)

Pilek (-)
Sariawan (+)
Nyeri ulu hati (+)

sedang/Compos mentis

Pleura

Suhu : 36,6 0C

Stomatitis Aptosa

Napas : 24 x/menit

Chelitis

Nadi : 110 x/menit

Anemia

TD :

Mual muntah (-)


BAB seperti biasa tidak
ada mencret

Gizi kurang

Kepala : Normocepali
Mata : CA +/+ SI -/cekung -/-

BAK merah gelap


Makan dan minum habis
+,

darah

sebanyak kurang lebih 1


sendok teh, 1x.

KU/Kes : Tampak sakit TB paru dengan Efusi

Batuk (+) berkurang

Mimisan

Hidung : NCH +/+, Sekret


+/+
Mulut

Venflon
Injeksi Cefotaxime

3x500mg
Ambroxol 10 mg
Salbutamol 1mg
Mfla Pulv dtd 3x1
Paracetamol

3x200mg
Borax Gliserin
INH 1x180mg
Rifampisin

1x265mg
PZA 2x200
ETB 2x180mg
Prednisom 2-1-1
Pemeriksaan BTA
sputum pagi dan
sewaktu

Kering

-/-,

Sianosis -/- luka di sudut


bibir dan bagian dalam
bibir bawah
16

Thorax

Simetris,

Retraksi
Cor/ BJ I-II reguler, MGPulmo/ SN vesikuler +/+,
Rh +/+, Wh -/Abdomen : Supel, BU (+),
datar, hepar lien tidak
teraba,

timpani,

nyeri

tekan (+) ulu hati


Extremitas : akral hangat
pada ke empat ektremitas,
dan CRT<3 detik
KGB : Tidak terdapat
pembesaran pada KGB
leher, axila, dan ingunal
14-9-2014

Demam (-)
Batuk (+) berkurang

KU/Kes : Tampak sakit TB paru dengan Efusi


sedang/Compos mentis

Pleura

Venflon
Injeksi Cefotaxime
3x500mg
17

Pilek (-)

Suhu : 36,4 0C

Stomatitis Aptosa

Sariawan (+)

Napas : 30 x/menit

Chelitis

Nyeri ulu hati (-)

Nadi : 84 x/menit

Anemia

Mual muntah (-)

TD :

Gizi kurang

BAB dan BAK seperti Kepala : Normocepali


biasa tidak ada mencret

Mata : CA / SI -/-

Makan dan minum habis

cekung -/-

Pasien ingin pulang

Hidung : NCH -/-, Sekret


-/Mulut

Kering

Ambroxol 10 mg
Salbutamol 1mg
Mfla Pulv dtd 3x1
Paracetamol

3x200mg
Borax Gliserin
INH 1x180mg
Rifampisin

1x265mg
PZA 2x200
ETB 2x180mg
Prednisom 2-1-1
Pemeriksaan BTA
pagi

-/-,

Sianosis -/- luka di sudut


bibir dan bagian dalam
bibir bawah
Thorax

Simetris,

Retraksi
Cor/ BJ I-II reguler, MG18

Pulmo/ SN vesikuler +/+,


Rh +/+, Wh -/Abdomen : Supel, BU (+),
datar, hepar lien tidak
teraba,

timpani,

nyeri

tekan (-) ulu hati


Extremitas : akral hangat
pada ke empat ektremitas,
dan CRT<3 detik
KGB : Tidak terdapat
pembesaran pada KGB
leher, axila, dan ingunal
15-9-2014

Demam (-)
Batuk (-)

KU/Kes : Tampak sakit TB paru dengan Efusi


sedang/Compos mentis
0

Pilek (-)
Sariawan (+)
Nyeri ulu hati (+)

Pleura

Suhu : 36,1 C

Stomatitis Aptosa

Napas : 40 x/menit

Chelitis

Nadi : 110 x/menit

Anemia

TD :

Gizi kurang

Venflon
Injeksi Cefotaxime

3x500mg
Ambroxol 10 mg
Salbutamol 1mg
Mfla Pulv dtd 3x1
Paracetamol

3x200mg
Borax Gliserin

19

Mual muntah (-)

Kepala : Normocepali

BAB dan BAK seperti Mata : CA -/- SI -/biasa tidak ada mencret

cekung -/Hidung : NCH -/-, Sekret


-/Mulut

Kering

INH 1x180mg
Rifampisin

1x265mg
PZA 2x200
ETB 2x180mg
Prednisom 2-1-1
Rontgent Ulang
Boleh pulang

-/-,

Sianosis -/- luka di sudut


bibir dan bagian dalam
bibir bawah
Thorax

Simetris,

Retraksi
Cor/ BJ I-II reguler, MGPulmo/ SN vesikuler +/+,
Rh +/+, Wh -/Abdomen : Supel, BU (+),
datar, hepar lien tidak
teraba,

timpani,

nyeri
20

tekan (-) ulu hati


Extremitas : akral hangat
pada ke empat ektremitas,
dan CRT<3 detik
KGB : Tidak terdapat
pembesaran pada KGB
leher, axila, dan ingunal
HASIL PEMERIKSAAN
BTA SPUTUM

3x,

NEGATIF

21

ANALISA KASUS
Analisa Anamnesis
Pasien, perempuan, usia 6 tahun 11 bulan, datang ke IGD RSBA dengan keluhan
demam selama 1 bulan hilang timbul. Berdasarkan peneiltian dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RSCM sejak Januari 2004 hingga Maret 2007 penyebab demam
berkepanjangan pada anak, 5 teratas ialah ISK, Demam tifoid, Bakteriemia, Tubekulosa, dan
Otitis media.

Dari anamnesis kecurigaan akan ISK dan otitis media dapat disingkirkan karena
dikatakan tidak ada keluhan tentang buang air kecil dan pendengaran pasien. Sehingga
diagnosis mengarah ke demam tifoid, tuberculosa dan bakteriemia.

22

Demam dikatakan naik turun, naik pada malam hari terutama dan turun pada pagi hari
namun tidak sampai normal. demam disertai muntah dan nyeri perut pada minggu pertama,
sehingga pasien dibawa oleh ibunya berobat ke puskesmas dan di diagnosa sebagai demam
tifoid. Setalah diobati keadaan membaik. Namun setelah beberapa hari membaik pasien
demam tinggi lagi disertai munculnya ruam kemerahan pada kulit. Ruam mula-mula muncul
pada belakang telinga lalu menyebar ke wajah, leher, badan, tangan dan kaki. Ibu pasien
membawa kembali pasien berobat ke puskesmas didiagnosis sebagai campak dan diberi
pengobatan dan pulang. Setelah diberi pengobatan campak demam berkurang dan ruam-ruam
yang timbul menjadi kehitaman. Keadaan membaik, namun beberapa hari demam muncul
lagi namun tidak terlalu tinggi disertai batuk pilek. Ibu pasien mengira hanya karena flu biasa
sehingga tidak dibawa untuk berobat. Namun 1 hari SMRS katakan batuk berdahak disertai
darah segar sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD Budi asih dengan keluhan demam sejak 1
bulan dan batuk darah. Dari uraian tersebut keluhan demam ini satu bulan ini harus diteliti
apakah memang demam itu terus meneruskan karena penyakit kronis ataukah karena serial
penyakit akut yang muncul berdekatan. Penyakit kronis yang bisa dicurgai muncul ialah
tuberkulosis. Selain itu didapatkan ada batuk darah yang bisa juga disebabkan oleh
tuberkulosis, bronkitis, bronkiektasis ataupun akibat trauma. Meskipun pada anak batuk
berdarah sangat jarang terjadi pada tuberculosis anak.

Untuk riwayat trauma sudah

disangkal, sehingga kecurigaan akan akibat trauma bisa disingkirkan. Batuk disini tidak
terlihat khas seperti pada TBC dewasa dimana gejala utama berupa batuk produktif kronis,
pada anak tidak terjadi batuk yang produktif karena TB primer pada anak biasanya terjadi di
daerah parenkim yang jauh dari bronkus sehingga tidak terjadi atau sedikit produksi sputum.
Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien sejak sakit ini mengalami punurunan berat
badan dari 23kg menjadi 17kg. Padahal makanan cukup baik, meskipun diakui adanya
penurunan nafsu makan semenjak sakit. Hal ini mendukung kepada diagnosis tuberkulosis
karena pada tuberkulosis sistemik sering ditemukan anoreksia, berat badan yang tidak naik
ataupun turun, dan malaise.Tidak ada benjolan-benjolan pada sendi, kelenjar getah bening
bukan berarti tidak menggugurkan infeksi tbc karena tbc fokal bisa saja tidak terjadi pada
orang yang terinfeksi tb.
Selain itu dari anamnesis ditemukan bahwa ternyata dalam keluarga pasien ada yang
menderita sakit tbc yaitu nenek dan adik pasien. Dikatakan sudah selesai pengobatan namun
gejalan batuk masih ada pada nenek pasien, namun tidak pernah diperiksakan lagi dan nenek
pasien hanya meminum obat saja. Dari hal ini dapat kita ambil kesimpulan adanya riwayat
23

kontak dengan penderita tb aktif, meskipun dikatakan sudah selesai pengobatan namun dilihat
dari keluhan nenek pasien tersebut sangat bisa dicurigai bahwa kemungkinan pengobatan
yang sebenarnya belum selesai ataupun tbc relaps. Selain itu dari adik yang terkena tbc
menguatkan bahwa adanya kemungkinan anggota kelurga yang tbc aktif. Ayah pasien juga
menderita batuk-batuk yang lama namun sama sekali tidak pernah berobat ataupun periksa
dengan alasan takut. Hal ini memperkuat kemungkinan ada kontak. Lingkungan rumah yang
buruk juga menjadi faktor resiko mudah berkembangnya bakteri tuberkulosis.
Dari hasil anamnesis ini didapatkan satu point untuk skoring TB yaitu riwayat kontak,
dan pasien nilainya 2. Kemudian adanya demam harus benar-benar didapatkan apakah
demam memang kronis atau akut yang terjadi bergantian dengan sebab yang jelas, juga
mendapat nilai 0 atau 1. Juga ada batuk, namun kronisitasnya diragukan karena dari
anamnesis dikatakan baru muncul 1 minggu SMRS sehingga nilai skoringnya bisa 0 atau 1.
Analisa Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis dengan kesan gizi kurang dan pasien tampak pucat. Dari perhitungan status gizi BB/U
dan BB/TB didapatkan pasien gizi kurang. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan
suhu 370C, Nadi 140x/menit, laju nafas 40x/menit dan tekanan darah 110/70 mmHg. Pada
status generalis didapatkan konjungtiva anemis +/+, bibir kering, luka pada sudut bibir kanan,
mulut dibagian belakang bibir bawah dan nafas cuping hidung. Pada pemeriksaan thorax dari
gerak dada terlihat simetris, vocal fremitus kiri sedikit melemah, perkusi sonor pada kedua
hemithoraks, dan auskultasi terdapat ronki +/+ yang keras pada kedua apeks paru.
Dari status gizi didapatkan gizi kurang, atau berat badan kurang. Seperti dikatakan
pada penjelasan sebelumnya penurunan berat badan, anoreksia dan malaise merupakan
gejalan yang sering muncul pada pasien TBC. Dari hal ini mendukung ke arah TBC. Selain
itu gizi kurang ini juga bisa kita pikirkan penyebab pasien tampak pucat dan konjungtiva
anemis dimana kita bisa curigai anemia. Penyebab anemia pada TBC anak dari penelitian
yang dilakukan di departemen gizi Universits Diponegoro Semarang yang paling banyak
ditemukan adalah anemia penyakit kronis sebanyak 61,5% dan diikuti oleh anemia defisiensi
besi sebanyak 38,5%. Oleh karena itu pada pasien ini untuk lebih memperjelas penyebabnya
bisa kita lakukan pemeriksaan Apusan darah tepi.
Selain itu juga didapatkan nafas cuping hidung yang menandakan adanya gangguan tubuh
dalam memenuhi kebutuhan oksigen melalui saluran nafas meskipun pasien tisak mengeluh
24

sesak. Dari pemeriksaan thorax didapatkan vocal fremitus yang melemah pada hemithoraks
kiri. Hal ini menandakan adanya kelainan pada paru berupa efusi pleura, fibrosis atau pun
atelektasis. Namun gerak nafas masih simetris sehingga kemungkinan kelainan yang tejadi
masih minimal sehingga belum terlalu menimbulkan manifestasi klinis.
Ditemukan ronki, yang menandakan adanya kerusakan pada parenkim paru, keras
pada apeks khas pada TBC paru pada dewasa karena pada dewasa biasanya terdapat fokus
infeksi pada apeks paru. Namun pada anak bukan hal yang khas.
Dari pemeriksaan fisik ini didapatkan status gizi BB/TB < 90% dan BB/U kurang dari
80% yang masuk kedalam skoring TB bernilai 1.
Analisa Pemeriksaan penunjang
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Hb 9,9 g/dL, namun tidak diikuti oleh penurunan
MCV dan MCH sehingga hal ini bisa kita curigai jenis anemianya ialah anemia normositik
normokrom. Namun untuk memastikannya tetap harus dilakukan Apusan darah tepi, karena
pada TBC penyebab anemia selain karena penyakit kronis bisa juga karena defisiensi besi.
Selain itu kita dapatkan pada pasien gizi yang kurang sehingga kita kita juga mesti curigai
asupan yang kurang sebagai penyebab kekurangan zat besi. Selain itu didapatkan hasil widal
berupa S.Typhi BO dan BH 1/160, yang tetap mesti kita curigai apakah ada demam tifoid
pada pasien atau tidak. Jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mendukung bisa di
anjurkan untuk pemeriksaan ulang apakah ada peningkatan atau dilakukan pemeriksaan
kultur gal. Dari hasil yang lain masih dalam batas normal, tidak menunjukkan khas ke arah
infeksi kronis bakteri. Sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang darah
lengkap. Kultur darah bisa dilakukan untuk mengetahui apakah ada bakteriemia.
Pemeriksaan urin normal, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa ISK yang menjadi
penyebab paling banyak prolonged fever pada anak.
Dari pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran yang sugestif mengarah ke arah TB
paru dan efusi pleura sinistra. Hasil mantoux test 15 mm berarti positif mendukung kearah
TB paru. Meski untuk memastikan diagnosa TB paru harus melalui pemeriksaan
mikrobiologis dengan ditemukannya M. Tuberculosis pada sputum atau bilas lambung.
Efusi lebih sering terjadi pada paru kanan, kita ketahui karena jumlah lobus paru
kanan lebih banyak. Sehingga vaskularisasi lebih banyak, karena efusi pleural terjadi akibat
peningkatan permebilitas vaskular oleh karena itu mengapa efusi lebih sering terjadi
disebelah kanan. Namun pada pasien terjadi disebelah kiri.
25

Efusi pleura TB merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB
biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda.
Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan
perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T
yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit akan melepaskan
limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap
protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap
kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan
efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB. Kemungkinan pada
pasien fokus pecah pada paru sebelah kiri.
Dari hasil pemeriksaan penunjang ini didapatkan data skoring berupa gambaran
radiologi yang sugestif TB bernilai 1 dan mantoux tes positif yang bernilai 3.
Kemudian untuk memendukan diagnosis dilakukan pemeriksaan BTA pada sputum
pasien, namun hasil pemeriksaan pada sputum pasien yang diambil 3x, negatif. Hal ini tidak
melemahkan diagnosa tb paru pada anak. Karena sulitnya pengambilan spesimen sputum

26

pada anak dan sedikitnya jumlah kuman sehingga meningkatkan kesalahan hasil pemeriksaan
BTA pada anak.
Selain itu pasien dengan penurnan berat badan dan mudah sakit kita harus curiga HIV,
sehingga seharusnya pada pasien juga dilakukan pemeriksaan screening HIV.
Analisa Diagnosa
Diagnosa pada pasien didapatkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Anamnesis didapatkan gejala-gejala demam yang kronis >2minggu, kemudian
batuk berdarah, dan penurunan berat badan yang merupakan gejala bisa didapatkan pada
tuberkulosis. selain itu juga diperkuat dengan adanya riwayat kontak dengan penderita TB
aktif di rumah pasien, serta lingkungan lembab, ventilasi buruk dan cahaya matahari tidak
masuk memudahkan berkembangnya bakteri tuberkulosis. Meskipun tidak diketahui dengan
pasti apakah nenek dan ayah pasien BTA positif. Oleh karena itu diedukasikan pada keluraga
pasien untuk melakukan pemeriksaan skrining TB pada seluruh anggota keluarga untuk
mencari fokus penyebarannya, juga agar penyakitnya tidak relaps kembali karena infeksi
baru.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien demam, pucat dan gizi kurang. Tidak
menunjukkan gejala yang khas untuk TB selain adanya penurunan berat badan dan demam
yang kronis. Dari pemeriksaan hidung terdapat nafas cuping hidung yang menandakan
adanya gangguan pernapasan, kemudian dari pemeriksaan thoraks didapatkan vocal fremitus
yang melemah di hemithoraks kiri, serta terdapatnya ronki mendukung adanya efusi pleura
dan infeksi pada parenkim paru. Juga didapatkan sudut bibir yang luka dan luka pada bagian
dalam bibir bawah sehingga didiagnosa chelitis dan stomatitis.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran radiologi yang sugestif tb dan
efusi pleura, tes mantoux >15mm. Mendukung ke arah diagnosis TB paru. Selain itu juga
didapatkan hemoglobin yang menurun, sehingga di diagnosa sebagai anemia.
Berdasarkan hal tersebut pasien mengambil diagnosis kerja berupa TB paru dengan
efusi pleura. Meskipun diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis
pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal,
yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen

27

(sputum). Karenanya, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis,
yang keduanya sering kali tidak spesifik. Sehingga dibuat sistem skoring untuk diagnosis TB:

Pada tabel, dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang diagnosis.
Demikian pula adanya kontak dengan orang dewasa BTA positif dapat menjadi sumber
penularan yang berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65 % orang
di sekitarnya. 3
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter. Jika dijumpai skrofuloderma,
pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
28

Berat badan dinilai saat pasien datang.


Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 13).
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT. Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat di bawah
ini.
Pada pasien didapatkan hasil skoring 7-9. Dengan hasil mantoux yang positif dan riwayat
kontak positif sehingga sudah bisa ditatalaksana sebagai TB paru.
Diagnosa banding pada pasien ialah TB paru dengan efusi pleura, demam tifoid
dengan bronkopneumonia serta efusi pleura, bronkiektasi dengan efusi pleura, dan keganasan
paru dengan efusi pleura.
Diagnosa demam tifoid dengan bronkopneumonia dapat disingkirkan karena dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang tidak didapatkan hal-hal yang mendukung
seperti gejala gangguan pada gastointestinal yang berarti, kemudian hasil pemeriksaan
laboratorium darah yang mengarah ke pada infeksi bakteri akut seperi leukositosis.
Bronkopneumonia tidak ditemukan gambaran radiologi yang khas bronkopneumonia.
Keganasan paru dapat disingkirkan dengan tidak ada nya riwayat keganasan pada
keluarga pasien, kemudian dari pemeriksaan penunjang tidak ditemukan kearah hasil yang
menandakan kearah keganasan, dan terakhir di singkirkan dengan radiologi tidak terlihatnya
ada gambaran yang mengarah ada nya keganasan.
Analisa Tatalaksana

Rawat inap ditujukan jika ditemukan adanya gambaran milier, kavitas, atau efusi
pleura pada foto thorax dan atau terdapat tanda-tanda bahaya seperti kejang, kaku

kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas.
Terapi gizi dengan memberikan makanan tinggi kalori, protein, dan cukup vitamin-

mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi yang optimal.


Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral untuk mencegah terjadi

dehidrasi.
Pemberian paracetamol ditujukan untuk mengurangi demam dengan menghambat
sistem hipotalamus dengan dosis 5-10mg/kgBB, dimana pada pasien ini diberikan

29

dosis 200 mg dan hanya bila suhu 38C agar tubuh sudah melakukan mekanisme

pertahanan untuk melawan antigen yang ada melalui demam.


Obat mukolitik yakni ambroxol dipertimbangkan pemberiannya untuk merangsang
sekresi mucus serta diindikasikan pada kondisi inflamasi paru. Lalu, pemberian

salbutamol diberikan sebagai bronkodilator untuk melegakan pernapasan.


Pemberian antibiotik cefotaxime (sefalosporin generasi ketiga) dipertimbangkan
dalam kaitannya mengatasi infeksi pada saluran nafas bagian bawah seperti

pneumonia.
Pemberian kortikosteroid pada efusi pleura TB dapat memperpendek fase demam dan
mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlengketan, walaupun rasio
manfaat dan risiko penggunaannya belum diketahui pasti. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-6 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off
selama 2-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian dosis penuh.
Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa

prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura TB dan
peritonitis TB tipe asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis penuh, dilanjutkan
dengan 2 minggu penurunan dosis bertahap (tappering off). Untuk meningitis TB, prednison
diberikan selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu tappering off. 3

OAT adalah pengobatan kausatif pada pasien ini.


o Isoniazid diberikan dengan dosis 5-15 mg/kgBB/ hari dengan dosis maksimum
300 mg per hari namun dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/ kgBB/ hari bila
dikombinasikan dengan rifampisin,
o Rifampisin diberikan dengan dosis 10-20 mg/ kgBB/ hari dengan dosis
maksimum 600 mg per hari,
o Pirazinamid diberikan dengan dosis 15-30 mg/ kgBB/ hari dengan dosis
maksimum 2000 mg per hari, dan
o Etambutol diberikan dengan dosis 15-20 mg/ kgBB/ hari dengan dosis
maksimum 1250 mg per hari.
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu

relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda dengan orang dewasa,
30

OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum
setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB anak adalah
paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH dan
pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan INH. 3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal (TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan lain-lain) pada fase intensif diberikan minimal 4 macam obat
(rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol atau streptomisin). Sedangkan fase lanjutan
diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. 3
Pada pasien diberikan 4 macam obat yaitu berupa INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol. Pemberian seperti ini menurut penulis overtreatment karena pada pasien tidak
termasuk TB berat seperti yang telah dijelaskan. Menurut penulis pemberian obat harusnya
berupa kombinasi 3 obat (INH, Rifampisin, dan Pirazinamid) saja sudah cukup.

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
31

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah menular
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.2 Tuberkulosis merupakan penyakit
yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada peninggalan Mesir Kuno,
ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan gibbus. Kuman Mycobacterium
tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih
dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah lama
ditemukan obat-obat antituberkulosis yang poten hingga saat ini TB masih merupakan
masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan
masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ketiga
sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia. .3
II.

Morbiditas dan Mortalitas


Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak
per tahun adalah 5 6 % dari total kasus TB. Berdasarakan laporan tahun 1985, dari
1261 kasus TB anak usia < 15 tahun, 63 % di antaranya berusia < 5 tahun. Di negara
berkembang, tuberkulosis pada anak berusia < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh
kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %. Pada tahun
1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB anak
dan 450.000 usia dibawah 15 tahun , meninggal dunia karena TB. Menurut WHO
(1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta
kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10 %
dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia di bawah 15 tahun.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat; (2) pengobatan yang tidak
adekuat ; (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat; (4) infeksi
endemik human immuno-deficiency virus (HIV); (5) migrasi penduduk; (6) mengobati
sendiri (self treatment); (7) meningkatnya kemiskinan; (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai. .3

32

III.

Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Ada 2 macam
mycobacteria yang menyebabkan penyakit tuberculosis yaitu tipe human ( berada
dalam bercak ludah dan droplet ) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi. Agen
tuberculosis, Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium
africanum, merupakan anggota ordo Actinomycetes dan famili Mycobacteriacea. Ciri
ciri kuman berbentuk batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak
bergerak, dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0.3 0.6 m, tidak berspora
sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan sinar matahari dan ultra violet. Mereka
dapat tampak sendiri sendiri atau dalam kelompok pada spesimen klinis yang
diwarnai atau media biakan, tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol
sumber karbon dan garam ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini
tumbuh paling baik pada suhu 37 41C, menghasilkan niasin dan tidak ada
pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid
antibodi dan komplemen.4,5 Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan asamnya,
kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan aril metan seperti
kristal violet, karbol fuschin, auramin dan rodamin. Bila diwarnai mereka melawan,
perubahan warna dengan ethanol dan hidroklorida atau asam lain. Sifatnya aerob
obligat, hal ini menunjukan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigen nya, dan sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak, sehingga membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis
33

dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Selain itu kuman terdiri dari protein yang
menyebabkan nekrosis jaringan.
Kuman dapat tahan hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan udara
kering maupun dalam keadaan dingin, hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Tetapi dalam cairan mati pada suhu 60C dalam waktu 15 20 menit. 4,5 Di
dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenangi karena
banyak mengandung lipid.
IV.

Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tresebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).1
1. Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi daris eorang
ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin
erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei ) yang infeksius. Risiko
timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum postif, infiltrate luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif
dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi
udara yang tidak baik. TB pada anak jarang meularkan kuman pada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman TB pada anak biasanya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lema, jumlah yang
sedikit tersebut sudah menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudia berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum.
34

Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor


batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada
TB anak. 1
2. Risiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB.
a.
Usia : Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum
berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan
berkurang seiring secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada
bayi yang terinfeksi TB, 43 % nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1
5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24 %, pada usia remaja 15 %, dan pada
dewasa 5 10 %. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko tinggi mengalami
TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Risiko tertinggi
terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun
pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi,
rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat
b.

c.

(kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala akut. 1


Infeksi baru : Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberculin (dari negative menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya : Malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan penobatan imunosupresi,

d.

e.

diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik. 1


Faktor virulensi dari M. tuberculosis. Akan tetapi, secara klinis hal ini sulit
untuk dibuktikan. 1
Faktor epidemiologi TB : status sosioekonomi rendah, penghasilan kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. 1

V.

Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
35

sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelanjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar dan saluran limfe yang meradang. 3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lenkap disebut masa inkubasi TB.6 Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yag diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 1000-10.000, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. 3
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersenitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaiu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,
begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Naumn,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
36

fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus


primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahuntahundalam kelenjar ini. 3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau mebentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelectasis, yang disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematoen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman masuk ke sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 3
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,
yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik.
Sebanyak 0,5-3 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempuna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

37

*Catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic
spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB kemudian
38

membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik.


Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari (1) fokus primer; (2) limfangitis; dan (3)
limfadenitis regional.
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pasca primer karena mekanismenya bisa
melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) biasanya pada orang
dewasa, TB dewasa juga dapat, karena infeksi baru.
VI.

Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan
oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan
spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit
daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelanjar
limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim
paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop
bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua,
pengambilan sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak,
biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil
melalui NGT dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Dahak yang
representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan
purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml. 3
Oleh karena berbagai alasan diatas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan
klinis dan radiologis, yang keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB
anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak
ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji
tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru mengarah
pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. 3

39

Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa mendiagnosis TB anak sulit dilakukan


karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak
oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak
secara luas. Sekarang digunakan sistem skoring yaitu pembobotan terhadap gejala
atau tanda klinis yang dijumpai. Penilaian atau skoring dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. 3

Pada tabel, dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang
diagnosis. Demikian pula adanya kontak dengan orang dewasa BTA positif dapat
menjadi sumber penularan yang berbahaya karena berdasarkan penelitian akan
menularkan sekitar 65 % orang di sekitarnya. 3

40

Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter. Jika dijumpai
skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang.
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 13).
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Alur tatalaksana pasien TB anak dapat
dilihat di bawah ini.

VII.

Manifestasi Klinis
41

Oleh karena patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangat


bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB (jumlah dan virulensi), pejamu (usia, kompetensi imun, kerentanan pejamu pada
awal terjadinya infeksi) serta interaksi antara keduanya. Anak kecil seringkali tidak
menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto
toraks. Permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena
penyakit mulai secara perlahan lahan. Kadang kadang tuberkulosa ditemukan pada
anak anak tanpa keluhan atau gejala gejala tuberkulosis primer, salah satu gejala
sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar
anatara 40 80 % kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam
jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lainnya yang sering dijumpai
adalah anoreksia, BB tidak naik (turun, tetap atau naik namun tidak sesuai dengan
grafik tumbuh), malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan
mungkin terkait dengan penyakit penyerta. Pada sebagian besar kasus TB paru pada
anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang menonjol. Gejala batuk kronik pada
anak bukan merupakan gejala utama. Akan tetapi, gejala ini dapat timbul apabila
limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara
kronik. Selain itu, batuk berulang dapat terjadi karena anak dengan TB mengalami
penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah sekali mengalami infeksi respiratorik akut
(IRA) berulang. 1
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang terinfeksi
dengan basil tuberculosis membuat uji tuberkulin sangat dibutuhkan. Pemeriksaan ini
merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji
multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis antigen tuberculin yang
dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di kontrol. Uji tuberkulin lebih penting lagi
artinya pada anak kecil bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak
dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya
masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis. 1
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep,
dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan
menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 6 jarum
42

berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL
yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan (PPD)
yang distabilkan dengan Tween 80.Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap
sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin
yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya. 1
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas :
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibodi
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 72 jam. Setelah penyuntikan diukur diameter
melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang kadang penderita akan mulai
berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif. Faktor
factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi,
immunosupresi karena penyakit atau obat obat, infeksi virus, vaksin virus hidup,
dan tuberculosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi
dengan M.tuberculosis.
Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi terhadap tuberkulin, dengan pengaruh
yang sangat bervariasi.
Interpretasi hasil test Mantoux :
1. Indurasi 10 mm atau lebih reaksi positif . Arti klinis adalah sedang atau pernah
terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis.
2. Indurasi 5 9 mm reaksi meragukan .Arti klinis adalah kesalahan teknik atau
memang ada infeksi dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang
dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti
infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 9 mm berarti cross
reaction atau BCG, kalau tetap 6 9 mm tetapi ada tanda tanda lain dari tubeculosis
yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
3. 3. Indurasi 0 4 mm reaksi negatif. Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberkulin dapat disebabkan oleh sensitisasi silang
terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun dan menghasilkan indurasi kurang dari 10 12
43

mm. Vaksinasi sebelumnya ( BCG ) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit
tuberkulin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak pernah
menimbulkan uji kulit tuberkulin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 3 tahun
kemudian pada penderita yang pada mulanya memiliki uji kulit positif. 1
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis
memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak anak dan
tuberkulosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. 1 Gambaran
radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.


Pembesaran kelenjar paratrakeal.
Penyebaran milier.
Penyebaran bronkogen.
Atelektasis.
Pleuritis dengan efusi.

Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang kadang
meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai (aktif) akan didapatkan sedikit
leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap
Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.

2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
44

yang sudah diberikan, tetapi kadang kadang tidak mudah untuk menemukan
sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak anak. Pada
pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada umumnya sputum
langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas laboratorium berteknologi
yang cukup baik, yang berarti membutuhkan biaya yang banyak.
Adapun bahan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah :

Bilasan lambung
Sekret bronkus
Sputum
Cairan pleura
Liquor cerebrospinalis
Cairan asites

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurang nya ditemukan tiga batang
kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml
sputum. 1
IX.

Penatalaksanaan
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah :
Obat TB diberikasn dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.
Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi dan profilaksis. Terapi TB
diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak
yang kontak TB (profilaksis primer ) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB
(profilaksis sekunder). 3
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3
kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidakteraturan minum obat
yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Saat ini paduan obat
45

yang baku untuk sebagian besar kasus TB anak adalah paduan rifampisin, INH dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH dan pirazinamid, sedangkan
fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan INH. 3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal (TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan lain-lain) pada fase intensif diberikan minimal 4 macam
obat (rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol atau streptomisin). Sedangkan fase
lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. 3

46

Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa
prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura TB
dan peritonitis TB tipe asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis penuh,
dilanjutkan dengan 2 minggu penurunan dosis bertahap (tappering off). Untuk
meningitis TB, prednison diberikan selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu
tappering off. 3
Kombinasi dosis tetap OAT (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum
obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi
obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg dan pirazinamid (PZA)
150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Di
tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang
banyak, dalam program penanggulangan TB anak telah dibuat obat TB dalam bentuk
47

kombinasi dosis tetap (fixed dose combination = FDC). FDC ini dibuat denga
komposisi rifampisin, INH, dan pirazinamid masing-masing 75 mg/50 mg/150 mg
untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan berikutnya terdiri dari
rifampisin dan iNH masing-masing 75 mg dan 50 mg. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut. 3

48

Pemberian OAT dapat mengakibatkan terjadinya ikterus. Bila terjadi ikterus, pasien
harus dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih lengkap, sementara itu OAT dihentikan
dulu.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respons pengobatan dikatakn baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan
meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang dan batuk berkurang. Apabila
respons pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan.
Sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB
tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skor
hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan. Setelah
pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi
baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto rontgen dada. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan. 3

49

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI; 2008.p.162-227.
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Seyiati S, editors. Jakarta : Interna
Publishing; 2009. p. 2230-2.
3. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta:
Depkes-IDAI; 2008.p. 1-23.
4. Husein A,et al. Ilmu Kesehatan Anak. 7th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.p.573 761.
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15 th ed.
Jakarta : EGC ; 2000.p.102842.
6. Donald PR. Childhood tuberculosis. In : Madkour MM. tuberculosis. Berlin :
Springer; 2004.p. 243-64.

50

51

Anda mungkin juga menyukai