Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN bilangan asam

Pada percobaan ini, akan ditentukan bilangan asam dari suatu minyak. Dimana pada percobaan ini,
sampel minyak yang digunakan adalah minyak minyak jelantah (minyak bekas pakai).
Penentuan bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat
dalam lemak. Semakin besar angka ini berarti kandungan asam lemak bebas semakin tinggi,
sementara asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel dapat berasal dari proses hidrolisis
ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Karena proses hidrolisis dapat berlangsung
dengan penambahan asam dan dibantu oleh panas. Mula-mula sampel minyak ditambahkan pelarut
campuran 70 ml alkohol+30 ml benzena. Alkohol mampu menarik air yang melingkupi molekulmolekul minyak sehingga terjadi pemisahan fase minyak dengan air (Frazier dan Westhoff, 1978).
Sehingga setelah penambahan etanol pada minyak, akan terbentuk 2 lapisan yaitu minyak dibawah
dan etanol di bagian atas. Kemudian setelah dikocok kuat, larutan bercampur menjadi 1 lapisan.
Tujuan dari pemanasan ini adalah untuk mempermudah pelarutan sampel minyak pada
alcohol/etanol. Untuk sampel minyak jelantah, terbentuk larutan berwarna kuning keruh. Larutan
kemudian didinginkan dan ditambahkan dengan indikator phenolftalein dan dititrasi dengan asam
oksalat 0,1N hingga berubah warna menjadi merah muda (titik akhir titrasi). Penambahan indikator
bertujuan untuk menandai kapan titik akhir atau titik ekivalen titrasi terjadi. Indikator phenolftalein
pada larutan yang asam akan berwarna bening atau tidak berwarna dan jika larutan sudah basa atau
mendekati basa, larutan akan menjadi merah muda.Untuk titrasi yang pertama, volume NaOH yang
diperlukan yaitu 8,2 ml,
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh bilangan asam dari minyak sebesar 54,72 mg NaOH/gram
minyak .Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak bebas dari minyak jelantah jauh lebih
banyak. Lebih tingginya bilangan asam pada minyak jelantah ini disebabkan oleh karena minyak
jelantah merupakan minyak bekas pakai dan sering melalui pemanasan berulang. Selama
pemanasan minyak goreng mengalami perubahan fisik dan kimia dikarenakan terjadinya reaksi
oksidasi minyak dan degradasi asam lemak.
Nilai angka asam yang diperbolehkan menurut SNI-04-7182-2006, yaitu 0,8 mg KOH/gram minyak.
Apabila bilangan asam melebihi batas yang ditetapkan oleh SNI, maka minyak tersebut sudah tidak
layak pakai. Jadi berdasarkan data yang diperoleh, untuk sampel minyak tersebut masih memiliki
bilangan asam yang bisa ditolerir sesuai dengan standar SNI.
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan, hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Hidrolisis lemak dengan asam akan menghasilkan asam lemak dan gliserol
2. Kualitas minyak dapat ditunjukkan oleh nilai bilangan asam. Semakin tinggi
nilai bilangan asam maka semakin rendah kualitasnya.
3. Bilangan asam besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar yang berasal
dari hidrolisis minyak atupun karena proses pengolahan yang kurang baik.

4. Pada percobaan ini, bilangan asam minyak bimoli adalah 0,459 mg


KOH/gram minyak
6. Batas tertinggi untuk bilangan asam sesuai standar SNI-04-7182-2006 adalah
0,8 mg KOH/gram minyak.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto. 2008. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Lampung. Universitas
Lampung Press.
Hartono, Andry.2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Julianty, Riza. 2008.Pengendalian Mutu Argoindustri. Bandung. Vedca Press.
Poedjiadi, Anna. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI-Press.

PEMBAHASAN bilangan peroksida


Pada praktikum kali ini dilakukan analisa bilangan peroksida pada minyak goreng, yang bertujuan
sebagai parameter kerusakan minyak goreng tersebut. Bilangan peroksida didefinisikan sebagai
jumlah meq peroksida dalam setiap 1000 g (1 kg) minyak atau lemak. Bilangan peroksida
menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida dan selanjutnya terbentuk aldehid hal inilah
yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak serta ketengikan minyak. Semakinbesar nilai bilangan
peroksida berarti semakin banyak peroksida yang terdapat pada sampel. Percobaan ini
menggunakan metode titrasi iodometri yaitu titrasi tidak langsung dimana mula-mula iodium
direaksikan dengan iodida berlebih, kemudian iodium yang terjadi dititrasi dengan natrium
thiosulfat.Larutan baku yang digunakan untuk standarisasi thiosulfat sendiri adalah K2CR2O7 dan
terjadi reaksi. Larutan thiosulfat sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses iodometri
ini harus distandarkan terlebih dahulu oleh kalium dikromat yang merupakan standar primer.
Larutan kalium iodat ini ditambahkan dengan asam sulfat pekat, warna larutan menjadi bening. Dan
setelah ditambahkan dengan kalium dikromat, larutan berubah menjadi coklat kehitaman. Fungsi
penambahan asam sulfat pekat dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam,hal ini
untuk mencegah terjadinya reaksi iodium dengan hidroksida dalam pH lebih dari 8 menghasilkan
hypoiodite (IO-) yang dapat mengganggu reaksi Berdasarkan data pengamatan setelah titrasi
pembakuan Natrium Tiosulfat didapatkan rata-rata volume natrium tiosulfat yang digunakan 11,35
ml dan normalitasnya adalah 0,057 N dan secara perhitungan teori adalah 0,1 N. Hal ini dapat terjadi
karena adanya kualitas dari bahan yang digunakan kurang baik dan jumlah/konsentrasi KI yang
digunakan, karena setelah direaksikan KI ini melepaskan Iodine yang berlebih dan memerlukan
Natrium Tiosulfat yang lebih banyak untuk mengikat Iodine yang dilepaskan. Indikator yang
digunakan dalam proses standarisasi ini adalah indikator amilum 1%.
Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan agar amilum
tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa
semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin, hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah
menuap. Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada
saat titik akhir titrasi. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan.[10] Setelah
dilakukan pembakuan Natrium Tiosulfat, dilanjutkan penentuan bilangan peroksida pada sampel
minyak yang telah mengalami pemanasan atau yang biasa disebut minyak jelantah. Sampel yang
dipakai adalah minyak telah digunakan untuk beberapa kali penggorengan. Umumnya, minyak yang
telah mengalami pemanasan akan mengalami perubahan warna dari kuning jernih menjadi kuning
keruh, perubahan bau dan viskositas lebih tinggi. Keadaan sampel yang digunakan : warna kuning
keruh, berbau dan lebih kental. Pada penentuan bilangan peroksida ini sampel minyak jelantah
dilarutkan dalam pelarut yaitu campuran 20 ml CH3COOH, 20 ml etanol, dan 55 ml CHCl3. Hal ini
dilakukan agar lemak dapat bereaksi dengan KI jenuh yang akan ditambahkan. Sampel yang sudah
ditambah dengan KI jenuh menghasilkan iod berlebih yang nantinya akan dititrasi dengan natrium
tiosulfat dan menggunakan indikator larutan kanji. Hasil konsentrasi iod yang dititrasi setara dengan
nilai peroksida pada sampel minyak yang diuji. Dari hasil praktikum didapatkan nilai bilangan

peroksida pada minyak yang diuji sebesar 0,054 mg/100 gram .Hal ini menunjukkan bahwa angka
peroksida minyak yang diuji memenuhi standar ketentuan dari SNI, yaitu 1 mg/100 gram (1% mg/gr)
Kesimpulan

pada minyak atau lemak dapat ditentukan dengan bilangan


peroksidanya, yaitu indeks jumlah lemak atau minyak yang telah mengalami oksidasi.

bau tengik.

berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan oksigen
pada peroksida, iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan larutan
natrium thisulfat (Na2S2O3).

bilangan peroksida pada minyak yang diuji sebesar


0,054 mg/100 gram Hal ini menunjukkan bahwa angka peroksida
minyak yang diuji memenui standar ketentuan dari SNI, yaitu 1 mg/100 gram (1% mg/gr).

DAFTAR PUSTAKA
ASA 2000. Feed Quality Management Workshop . Penentuan Bilangan Peroksida. Ciawi. Badan
Standarisasi Nasional. 2002. SNI 01-3741-2002: Standart Mutu Minyak Goreng. Jakarta.
Basset. J etc. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Eunok Choe, David B. Min. 2006. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety:
Mechanisms and Factors for Edible Oil Oxidation. Vol 5: 169-184. Institute of Food
Technologists. Gunawan, Dkk. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak
Bebas
pada Minyak Kedelai dengan Variasi Menggoreng. JSKA: Vol.VI No.3.

Anda mungkin juga menyukai