Kadar alkohol
Fungsi hepar
Skrining toksikologi
8.
Pemeriksaan
CT
Scan
kepala
tanpa
kontras
9. Pasien dengan kesadaran yang sangat menurun (stupor/koma) ataupun dengan gagal nafas
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan intubasi sebelum CT Scan.
Hal yang harus selalu diingat adalah komplikasi tersering yang dapat menyebabkan kematian.
Herniasi transtentorial dapat terjadi pada infark yang luas ataupun perdarahan luas dengan
perluasan ke ventrikel atau perdarahan subarakhnoid. Pneumonia aspirasi juga penyebab
kematian yang cukup sering pada stroke akut. Semua pasien stroke akut harus diperlakukan
sebagai pasien dengan disfagia sampai terbukti tidak. Komplikasi lainnya adalah infark
miokard akut, sekitar 3% penderita stroke iskemik mengalami komplikasi ini.
Tabel 1. Penyebab stroke
1. Infark (80%)
a. Emboli
a) Emboli kardiogenik
b)
Emboli
c)
b.
a) Ekstrakranial
paradoksal
Emboli
(foramen
arkus
ovale
paten)
aorta
Aterotrombotik
Karotis interna
Arteri vertebralis
b) Intrakranial
Arteri basilaris
intraserebral
Malformasi
(15%)
Hipertensi
artei-vena
3.
Perdarahan
subarakhnoid
(5%)
4.
Penyebab
lain
(dapat
menimbulkan
infark
atau
perdarahan)
a.
Trombosis
sinus
dura
b.
Diseksi
arteri
karotis
atau
vertebralis
c.
Vaskulitis
sistim
saraf
pusat
d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
e.
Migren
f.
Kondisi
hiperkoagulasi
g.
Penyalahgunaan
obat
(kokain
atau
amfetamin)
h. Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
i. Miksoma atrium
darah yang terlalu tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema
serebri.
Monitoring tekanan darah
1. Pengukuran TD dilakukan pada kedua lengan
2. Pastikan perbedaan TD antara kedua lengan tidak lebih dari 10 mmHg, jika terdapat
perbedaan > 10 mmHg maka TD yang dipakai adalah yang lebih tinggi
3. Gunakan lengan yang paresis
4. Lengan harus setinggi jantung
5. Manset yang digunakan harus sesuai dengan besar lengan
6. Frekuensi pengukuran TD:
Atau
Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam
setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.
4. Sistolik 180-230 atau diastolik 105-120 Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial lalu
lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit.
Selain terapi seperti diatas, obat anti hipertensi oral yang dapat digunakan adalah captopril
atau nicardipin. Pemakaian nifedipin sublingual sebaiknya dihindari karena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis.
Hiperglikemia
Broderick et al, Weir CJ et al, Kawai N et al membuktikan bahwa hiperglikemi reaktif
maupun non reaktif selama iskemia otak akut menimbulkan efek yang berbahaya dan
keluaran klinis yang lebih buruk terutama pada stroke non lakuner.
Konsentrasi glukosa yang meningkat di area iskemik akan meningkatkan konsentasi laktat
dan menyebabkan asidosis. Hal ini akan meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen
yang akan merusak neuron-neuron. Hiperglikemia juga memperparah edema, meningkatkan
pelepasan neurotransmiter excitatory amino acid dan melemahnya pembuluh darah di area
iskemik.
Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non lakunar
adalah 100-200 mg% (Hack W, et al, 1997).
Indikasi dan syarat pemberian insulin
1. Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM
2. Bukan lakunar stroke dengan diabetes melitus.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke
Insulin reguler diberikan subkutan setiap 6 jam dengan cara skala luncur atau infus intravena
terus menerus.
Insulin reguler dengan skala luncur
Gula darah (mg/dL) Insulin tiap 6 jam SC/ sebelum makan
< 80 Tidak diberikan insulin
80-150 Tidak diberikan insulin
150-200 2 unit
201-250 4 unit
251-300 6 unit
301-350 8 unit
351-400 10 unit
>400 12 unit
Bila kadar gula darah sulit dikendalikan dengan skala luncur, diperlukan infus kontinyu
dengan dosis dimulai 1 unit/jam dan dapat dinaikkan sampai 10 unit/jam. Kadar gula darah
harus dimonitor dengan ketat setiap 1-2 jam sehingga kecepatan infus dapat disesuaikan.
Hiperglikemia yang hebat >500 mg/dL, diberikan bolus pertama 5-10 unit insulin reguler tiap
jam. Setelah kadar gula darah stabil dengan infus kontinyu atau skala luncur dilanjutkan
dengan pemberian insulin reguler subkutan (fixdosed).
Demam
Peningkatan suhu tubuh pada stroke iskemik akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologik. Hal ini diduga karena peningkatan kebutuhan metabolik, meningkatnya
pelepasan neurotransmiter dan radikal bebas. Antipeiretik dan selimut dingin dapat digunakan
untuk mengatasi demam. Pada pasien stroke peningkatan suhu dapat disebabkan oleh efek
sentral akan tetapi hal ini lebih sering disebabkan karena infeksi sekunder. Oleh karenya,
mencari penyebab demam adalah hal yang penting dan antibiotik harus segera diberikan jika
memang diperlukan.
II. Terapi stroke iskemik akut
Trombolisis rt-PA intravena
Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke iskemik akut satu-satunya yang
disetujui oleh FDA sejak tahun 1996 karena terbukti efektif membatasi kerusakan otak akibat
stroke iskemik. Terapi ini meningkatkan keluaran stroke pada kelompok penderita yang telah
diseleksi ketat dan terapi diberikan dalam waktu 3 jam sejak onset stroke. Komplikasi terapi
ini adalah perdarahan intraserebral (hanya ditemukan pada 6,4% pasien bila menggunakan
protokol NINDS secara ketat).
Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan trombolisis rt-PA intravena.
Kriteria inklusi:
1. Stroke iskemik akut dengan onset tidak lebih dari 3 jam.
2. Usia >18 tahun
3. Defisit neurologik yang jelas
4. Pemeriksaan CT Scan, tidak ditemukan perdarahan intrakranial
5. Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut dan mengerti resiko dan
keuntungannya
Kriteria eksklusi:
1. Defisit neurologis yang cepat membaik
2. defisit neurologik ringan dan tunggal seperti ataksia atau gangguan sensorik saja, disartria
saja atau kelemahan minimal
3. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial
4. Gambaran hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri pada CT Scan
5. Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan subarakhnoid
6. Kejang pada saat onset stroke
7. Riwayat stroke sebelumnya atau trauma kapitis dalam waktu 3 bulan sebelumnya
8. Operasi besar dalam waktu 14 hari
9. Pungsi lumbal dalam 1 minggu
10. Perdarahan saluran cerna atau urin dalam 21 hari
11. Infark miokard akut dalam 3 bulan
12. TD sistolik sebelum terapi > 185 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg
13. Gula darah < 50 mg/dL atau > 400 mg/dL
14. Penggunaan obat antikoagulan oral atau waktu protrombin > 15 detik, INR > 1,7
15. Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial
memanjang
16. Trombosit < 100.000/mm
Pemberian trombolisi rt-PA intravena:
1. Infus 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan bolus pada menit
pertama) karena bukti-bukti menunjukkan terapi ini tidak efektif dan meningkatkan resiko
perdarahan. LMWH/ heparinoid dosis tinggi juga tidak direkomendasikan.
5. IV unfractionated heparin, LMWH/heparinoid dosis tinggi tidak direkomendasikan pada
pasien stroke iskemik akut dengan kardioemboli, aterosklerotik pembuluh darah besar,
vertebrobasiler ataupun progresing stroke karena data-data yang mendukung dianggap masih
kurang.
Neuroprotektan
Sampai saat ini penggunaan neuroprotektan masih kontroversial.
III. Perawatan rumah sakit dan terapi komplikasi neurologik
Sekitar 25% pasien stroke fase akut akan mengalami perburukan dalam 24-24 jam setelah
onset. Meskipun demikian sulit untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami
perburukan. Oleh karena itu pasien stroke pada fase akut dianjurkan untuk dirawat di rumah
sakit.
Tujuan perawatan rumah sakit adalah:
1. Pemantauan pasien untuk persiapan tindakan/terapi selanjutnya
2. Pemberian terapi medikamentosa maupun pembedahan untuk meningkatkan keluaran
3. Mencegah komplikasi subakut
4. Pengobatan terhadap penyakit sebelumnya atau faktor resiko yang ada
5. Merencanakan terapi jangka panjang untuk mencegah stroke berulang
6. Memulai program neuro-restorasi
Perawatan umum
Pemantauan tanda vital dan status neurologik harus sering dilakukan dalam 24 jam setelah
pasien masuk rumah sakit. Umumnya pasien yang dirawat dianjurkan untuk tirah baring,
akan tetapi mobilisasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin jika kondisi pasien sudah
dianggap stabil. Mobilisasi yang segera dapat mencegah komplikasi pneumonia, DVT,
emboli paru dan dekubitus. Latihan gerakan pasif dan full range of motion pada sisi yang
paresis dapat dimulai dalam 24 jam pertama. Miring kanan-miring kiri, pemakaian pressure
mattresses serta perawatan kulit dapat mencegah timbulnya dekubitus.
Nutrisi
Nutrisi yang adekuat diperlukan selama perawatan stroke, karena kondisi malnutrisi dapat
menghambat proses penyembuhan.
Kebutuhan kalori dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict:
BEE (pria)= 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 X TB 6,76 x umur [kcal/hari]
BEE (wanita)= 655,1 + 9,56 x BB +1,85 X TB 4,68 x umur [kcal/hari]
Faktor stress (dikalikan dengan BEE untuk memperkirakan kebutuhan kalori)
Sakit berat F= 1,25
Pneumonia F= 1,5
Infark luas F= 1,75
Demam F= 1,13/1oC
*BEE = Basal Energy Expenditure, Umur dalam tahun
Kebutuhan protein lebih tinggi dari orang normal (1,2-1,5 g/kgBB), normal 0,8 g/ kgBB.
Disfagia cukup sering dijumpai pada pasien stroke oleh karenanya semua pasien stroke harus
diperlakukan sebagai pasien dengan gangguan menelan sampai terbukti tidak. Skrining test
yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan disfagia adalah dengan tes menelan. Test ini
dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran. Pasien diminta untuk menelan satu sendok
teh air putih dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi ke dapan sampai dagu
menyentuh dada. Perhatikan apakah pasien tersedak, batuk atau muncul perubahan suara. Jika
tidak ada tanda-tanda aspirasi dapat dicoba untuk minum air dalam jumlah yang lebih besar
langsung dari gelas. Pasien dengan kesadaran meurun atau tes menelan negatif sebaiknya
dipasang pipa nasogastrik.
Infeksi
Pneumonia merupakan penyebab kematian yang cukup sering pada pasien stroke. Biasanya
terjadi pada pasien dengan imobilisasi atau dengan kemampuan batuk yang menurun.
Pneumonia harus dipikirkan jika timbul demam setelah serangan stroke dan antibiotik yang
sesuai harus diberikan.
Infeksi saluran kemih juga cukup sering terjadi pada pasien stroke dan dapat menyebabkan
sepsis pada sekitar 5% pasien. Kateter urin menetap sebaiknya hanya dipakai dengan
pertimbangan khusus (kesadaran menurun, demensia, afasia global). Pada pasien yang sadar
dengan gangguan berkemih, kateterisasi intermiten secara steril setiap 6 jam lebih disukai
untuk mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu dan gangguan sfingter vesika.
Latihan vesika harus dilakukan sedini mungkin bila pasien sudah sadar.
Trombosis vena
Faktor resiko terjadinya DVT antara lain:
1. Usia tua
2. Imobilisasi
3. Paresis ekstremitas bawah
4. Paresis yang berat
5. Fibrilasi atrium
Antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah DVT dan emboli paru pada pasien stroke.
Beberapa penelitian menunjukkan efektifitas unfractinated heparin, enoxaprine dan danaparin
dalam menurunkan kejadian emboli paru.
Pasien dengan imobilisasi lama yang tidak dalam pengobatan heparin IV dapat diberikan
heparin 5000 unit setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan trombus.
Pilihan lain LMWH (enoxaparine atau nadroparine) 2 kali 30 mg subkutan.
IV. Terapi komplikasi neurologik akut
Komplikasi penting neurologik akut pada pasien stroke adalah:
1. Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi atau
kompresi batang otak.
2. Kejang
3. Transformasi hemoragik.
Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan penatalaksanaan edema serebri:
1. Menurunkan tekanan intrakranial
2. Mempertahankan perfusi serebral yang adekuat untuk mencegah bertambahnya lesi
iskemik
3. Mencegah kerusakan otak akibat proses herniasi
Terapi peningkatan tekanan intrakranial terdiri atas:
Terapi medikamentosa/konservatif
Terapi pembedahan
Terapi konservatif
1. Hiperventilasi
Penurunan pCO2 5-10 mmHg akan menurunan tekanan intrakranial 25-30%. Hiperventilasi
menyebabkan kadar CO2 menurun sehingga terjadi vasokonstriksi dan menurunkan volume
darah otak dan tekanan intrakranial. PCO2 sebaiknya dipertahankan 25-30 mmHg. Efek
hiperventilasi tidak bertahan lama maka diperlukan intervensi tambahan lain untuk
mengontrol peningkatan tekanan intrakranial.
2. Osmoterapi
Diuretik osmotik menurunkan tekanan intrakranial dengan menaikkan osmolalitas serum
sehingga cairan akan ditarik keluar dari sel otak.
Manitol dapat digunakan dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB IV selama 20 menit, tiap 6 jam.
Tidak dianjurkan menggunakan manitol untuk jangka panjang. Manitol diberikan bila
osmolalitas serum tidak lebih dari 310 mOsm/ l. Furosemid 40 mg IV/hari dapat
memperpanjang efek osmotik serum manitol.
Beberapa studi menunjukkan kortikosteroid tidak bermanfaat dalam menurunkan tekanan
intrakranial pada pasien stroke.
3. Barbiturat intravena
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan CMRO2 (cerebral
metabolism rate of oxygen), menyebabkan vasokonstriksi dan menghambat radikal bebas/
Dosis yang digunakan, inisial 10 mg/kgBB pentobarbital selama 30 menit, rumatan 3-5
mg/kgBB/jam. Pemakaian barbiturat sangat terbatas mengingat efek sampingnya berupa
hipotensi, depresi cardiac, hepatotoksik dan predisposisi infeksi. Schwab, 1997, melaporkan
barbiturat tidak memperbaiki keluaran peningkatan tekanan intrakranial.
Terapi pembedahan
Jika terapi medikamentosa gagal menurunkan tekanan intrakranial tindakan dekompresi dapat
dipertimbangkan.
Ventrikulostomi dapat dilakukan pada pasien dengan hidrosefalus obstruksi yang disertai
dengan penurunan kesadaran.
Kejang
Kejang biasanya muncul dalam 24 jam pertama pasca stroke dan biasanya parsial dengan
atau tanpa berkembang menjadi umum. Kejang berulang terjadi pada 20-80% kasus.
Penggunaan antikonvulsan sebagai profilaksis kejang pada pasien stroke tidak terbukti
bermanfaat. Terapi kejang pada pasien stroke sama dengan penanganan kejang pada
umumnya.
Transformasi perdarahan
Beberapa penelitian menduga pada hampir semua kejadian infark selalu disertai komponen
perdarahan berupa petekie. Dengan menggunakan CT Scan 5% dari kejadian infark dapat
berkembang menjadi transformasi perdarahan. Lokasi, ukuran dan etiologi stroke dapat
mempengaruhi terjadinya komplikasi ini. Penggunaan antitrombotik, terutama antikoagulan
dan trombolitik meningkatkan kejadian transformasi perdarahan. Terapi pasien dengan infark
berdarah tergantung pada volume perdarahan dan gejala yang ditimbulkannya.
V. Pencegahan stroke dan pengelolaan faktor resiko
Stroke, penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat merupakan penyakit yang
menyebabkan kecacatan neurologis dan merupakan penyakit neurologis yang paling banyak
memerlukan perawatan rumah sakit. Meskipun penatalaksanaan stroke akut dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan akan tetapi tindakan pencegahan ternyata lebih
efektif dalam menurunkan angka tsb.
Tindakan pencegahan dibedakan atas pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer
bertujuan untuk mencegah stroke pada mereka yang belum pernah terkena stroke.
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mereka yang pernah terkena stroke termasuk TIA.
Faktor resiko stroke dibedakan atas:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:
Umur
Jenis kelamin
Ras/etnis
Riwayat keluarga
Hipertensi
Merokok
Diabetes melitus
Hiperlipidemia
Obesitas
Inaktivitas fisik
Alkoholisme
Hiperhomosisteinemia
Penyalahgunaan obat
Hiperkoagulabiliti
Kontrasepsi oral
Proses peradangan
Gagal jantung
Pasca MCI
Diabetes
Diet rendah garam: Mengurangi intake garam < 100 mmol/hari (2,4 gr Na atau 6 g
NaCl)
Aktifitas fisik: Aktivitas fisik rutin seperti jalan santai min 30 menit/hari.
Merokok
Merokok telah lama diketahui sebagai faktor resiko stroke. patofisiologi efek rokok bersifat
multifaktorial baik pada pembuluh darah sistemik maupun reologi darah. Rokok
menyebabkan kekakuan pembuluh darah. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya
kadar fibrinogen, agregari trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit.
Dengan berhenti merokok resiko stroke menurun 50%.
Diabetes
Insulin-dependent diabetics meningkatkan resiko stroke: 1) meningkatkan prevalensi
aterosklerosis dan 2) meningkatkan prevalensi faktor resiko lain seperti hipertensi, obesitas
dan hiperlipidemia. Beberapa penelitian menunjukkan pengontrolan tekanan darah pada
penderita diabetes lebih efektif menurunkan resiko stroke dibandingkan pengontrolan ketat
kadar gula darah. Dianjurkan target TD pada penderita diabetes <130/80 mmHg. Sedangkan
pengontrolan gula darah direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi mikrovaskular.
Pasien dengan PJK dan LDL yang meningkat perlu dipertimbangkan untuk mendapat terapi
statin.
Obesitas
Obesitas (body mass index [BMI] > 30 kg/m2) merupakan faktor predisposisi penyakit
kardiovaskular dan stroke. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan usia selain
itu obesitas juga berhubungan dengan meningkatnya tekanan darar, gula darah dan lemak.
Pengendalian berat badan pada mereka dengan berat badan berlebih direkomendasikan untuk
mencegah timbulnya komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke.
Inaktivitas fisik
Aktifitas fisik rutin telah terbukti dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular dan juga
stroke. Centers for Disease Control and Prevention and the National Institutes of Health
merekomendasikan latihan fisik rutin (> 30 menit /hari latihan fisik moderat) sebagai bagian
dari gaya hidup sehat untuk mengurangi komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke.
Pola makan/nutrisi
Data tentang hubungan antara status gizi dengan resiko stroke masih sangat terbatas.
Suplemen vitamin E dan C juga tidak terbukti menurunkan resiko stroke. Diduga buahbuahan dan sayur-sayuran lebih bermanfaat dalam mencegah stroke. Makanan sehat yang
mengandung 5 porsi buah-buahan dan sayuran dapat menurunkan resiko stroke.
Alkohol
Efek alkohol sebagai faktor resiko stroke iskemik masih kontroversial dan diduga tergantung
pada dosis yang dikonsumsi. Sedangkan pada stroke hemoragik alkohol memiliki efek
langsung yang juga tergantung pada dosis. Mengurangi konsumsi alkohol terbukti dapat
menurunkan resiko stroke.
Hiperhomosisteinemia
Hosistein dikatakan normal bila kadar dalam plasma (puasa) antara 5 dan 15umol/L. Kadar
>16 umol/L diklasifikasikan sebagai hiperhomosisteinemia. Banyak studi kasus kontrol yang
menunjukkan hubungan antara hiperhomosisteinemia dengan kejadian stroke. Asam folat,
vitamin B6 dan B12 ternyata efektif dalam mencegah hiperhomosisteinemia akan tetapi
belum ada RCT yang menunjukkan keefektifan penegendalian hiperhomosisteinemia dengan
menurunnya resiko stroke. Dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan folat (400 ug/hari),
vitamin B6 (1,7 mg/hari) dan vitamin B12 (2,4 ug/hari) dengan mengkonsumsi sayursayuran, buah-buahan, daging, ikan, sereal. Pada pasien dengan peningkatan kadar
homosistein dapat dipertimbangkan pemberian suplemen asam folat dan vitamin B.
Penyalahgunaan Obat
Termasuk di dalamnya pemakaian amfetamin, kokain dan heroin. Beberapa studi
menunjukkan resiko stroke meningkat 7 kali pada para penyalah guna obat-obatan tsb.
Meskipun demikian ada pula studi lain yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna
antara pemakaian obat-obat tsb dengan stroke. Patogenesis stroke karena penyalahgunaan
obat bersifat multifaktorial, kemungkinan karena perubahan tekanan darah yang tiba-tiba,
vaskulitis dan abnormalitas hemostasis dan hematologi yang dapat menyebabkan peningkatan
viskositas darah agregasi trombosit.
Pencegahan sekunder
Ditujukan pada pasien yang pernah mengalami stroke dan TIA.
hal ini menjadi suatu hal yang menjadi perhatian dalam tatalaksanya, karena disatu sisi
penambahan volume darah akan terjadi jika tidak dilakukan penanganan hipertensi sedangkan
terjadinya iskemik pada daerah perihematom juga menjadi perhatian dalam menurunkan
tekanan darah. Hal tersebut dapat diatasi jika penurunan tekanan darah sekitar 20% dari
MABP. Perfusi serebral dipengaruhi oleh tekanan intrakranial, semakin tinggi tekanan
intrakranial semakin rendah perfusi sehingga disarankan tekanan intrakranial >70mmHg.
a. Penatalaksanaan tekanan darah pada stroke hemoragik
Hipertensi
Labetalol : 5-100 mg/jam secara bolus berkala 10-40 mg atau 2-8 mg/min
perdrip
Esmolol : Loading : 500 g/kg; Maintenance : 50-200 g/kg/min
Nitroprusside : 0,5 10 g/kg/min
Hidralazine : 10-20 mg tiap 4-6 jam
Enalapril : 0,625-1,2 mg tiap 6 jam
Algoritme penatalaksanaan hipertensi pada perdarahan intraserebral:
Hipotensi
Pada keaadaan awal penanganan penurunan tekanan darah sistolik <90mmHg dapat
dilakukan loading cairan koloid atau salin isotonik. Jika tekanan darah tetap rendah dapat
digunakan phenylephrine 2-10 g/kg/min atau dopamine 2-20 g/kg/min atau
Norepinephrine yang dititrasi dari 0,05-0,2 g/kg/min.
b. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat adanya volume perdarahan dan terjadinya
edema serebri diatasi dengan osmoterapi yang menggunakan manitol (0,25-0,5 g/kg tiap 4
jam) dan furosemid (10 mg tiap 2-8jam). Pemantauan osmolaritas serum dan kadar natrium
dilakukan tiap 2 kali sehari dengan target osmolaritas <310mOsm/L.
Penggunaan sedatif seperti propofol,benzodiazepine atau morfin dengan paralisis
neuromuskular dapat menurunan tekanan intrakranial tetapi diperlukan pemantauana yang
intensif.
B. Operatif
Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi efak massa serta mengurangi efek neurtoksik
dari bekuan darah. Dengan kemajuan teknik operatif, angka kematian semakin rendah
dibandingkan dengan menggunakan modalitas medikamentosa. Mortalitas pada suatu
penelitian pada perdarahan intraserebral yang dilakukan operatif pada 12 jam setelah onset
sekitar 18%.
Pemilihan pasien dengan perdarahan intraserebral yang memerlukan tindakan operatiff
tergantung dari ukuran dan lokasi perdrahan dan defisit yang diakibatkan. Tindakan operatif
dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan serebelar dengan volume > 3cm3 dengan
penurunanan nerulogis atau adanya penekanan batrang otak atau adanya hidrosefalus atau
pada dewasa muda dengan perdarahan lobar yang sedang atau besar. Perdarahan pada daerah
pons,medula oblongata dan mesensefalon tidak dilakukan tindakan operatif.
2. Perdarahan subarakhnoid
A. Perawatan umum:
Tekanan darah
Hipertensi setelah onset perdarahan subarakhnoid merupakan fenomena kompensasi guna
mempertahankan perfusi serebral dan sebaiknya tidak dilakukan penurunan tekanan darah
yang agresif. Pada beberapa penelitian yang berusaha menurunkan tekanan darah, didapatkan
kejadian re-bleeding yang menurun tetapi kejadian serebral infark yang tinggi. Hal inilah
yang menyebabkan penanganan hipertensi pada perdarahan subarakhnoid menjadi sulit.
Pemberian antihipertensi sebaiknya digunakan pada pasien dengan hipertensi berat yang
disertai kerusakan target organ lainnya seperti gangguan ginjal dan jantung atau dengan rerata
tekanan arteri >130. Preparat yang disarankan:
Diaxozide 50-150 mg IV bolus, diulang tiap 5-10 menit atau 15-30 mg/menit perdrip. Dosis
maksimal 600mg
Labetalol hidroklorida 20-80mg IV bolus tiap 10 menit atau 2mg/menit perdrip. Dosis
maksimal 300mg
Nitroprusid dianjurkan penggunaannya pada krisis hipertensi tetapi bukan merupakan
pengobatan lini pertama karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Cairan dan elektrolit
Terapi cairan pada perdarahan subarakhnoid untuk mencegah penurunan volume plasma yang
dapat menyebabkan terjadinya serebral iskemia. Sekitar 30% kasus perdarahan subarakhnoid
terjadi penurunan volume plasma sekitar 10% antara hari kedua dan kesepuluh onset. Hal ini
terkait dengan balans negatif natrium. Fludrokortisone asetat 0,02mg dalam 200ml
D5%/12jam digunakan pada pasien dengan hiponatremi. Penggunaan cairan yang dianjurkan
adalah normal salin 0,9% 3 liter perhari. Pada pemberian makanan enteral, jumlah tesebut
harus dikurangi karena kebanyakan makanan enteral mengandung 1-2 kalori/ml. Pemantauan
kebutuhan cairan dengan melihat tekanan vena sentral (central venous pressure) yang
dipertahankan diatas 8mmHg tetapi biasanya penghitungan balans carian yang dilakukan 4
kali sehari selama 10 hari dapat memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan.
Nutrisi
Pemberian nutrisi secara oral dapat diberikan pada pasien dengan refleks menelan yang baik.
Usahakan pemberian makanan yang dapat menjaga konsistensi feses tetap lunak, pemberian
cairan yang adekuat dan pengurangan makanan yang mengandung susu dan pemberian
laxative dapat dilakukan. Pada pasien yang menggunakan selang nasogastrik, pemberian
makanan enteral dilakukan pada hari kedua perawatan dengan menghindari asparasi dengan
cara pemberian makanan pada posisi duduk dan mengecek kembali residu gaster tiap jam.
Peningkatan tekanan intrakranial
Nyeri dan manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen seperti batuk, mengedan dan
bersin dapat memicu peningkatan tekanan intrakranial sehingga hal tersebut harus dihindari
agar tidak menambah buruk keadaan pasien terutama kemungkinan terjadinya re-bleeding.
Pasien perdarahan subarachnoid yang diterapi secara medikamentosa sebaiknnya dirawat
dalam ruangan perawatan yang tenang dengan lampu penerangan yang minimal sehingga
pasien dapat tirah baring secara maksimal. Pemantauan derajat kesadaran dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale dapat digunakan untuk menduga adanya serebral iskemi,
re-bleeding, hidrosefalus akut atau komplikasi lainnya. Nyeri kepala kadang dapat diatasi
dengan analgetik ringan seperti parasetamol 500 mg tiap 3-4 jam dengan atau tanpa
dextropropoxiphene, pada nyeri kepala hebat penggunaan kodein 20mg peroral atau morfin
1-2 mg IV atau tramadol 50-100mg tiap 4 jam dapat ditambahkan. Penggunaan pelunak feses
pada kejadian konstipasi lebih dianjurkan dibandingkan enema karena dapat meningkatkan
tekanan abdominal dan memicu peningkatan tekanan kranial.
B. Pencegahan perdarahan berulang (re-bleeding)
Perdarahan berulang terjadi pada 15% kasus perdarahan subarakhnoid yang ditandai dengan
penurunan kesadaran. Pada suatu penelitian dikatakan 20% re-bleeding terjadi pada hari
pertama onset dan pada beberapa kasus terjadi pada 6 jam setelah onset. Hijdra dkk
mengatakan bahwa pada kasus yang telah melewati hari pertama onset, 40% rebleeding
masih dapat terjadi dalam 4 minggu berikutnya dengan puncaknya pada minggu ketiga.
Perdarahan berulang diyakini sebagai akibat dari lisis bekuan darah didaerah aneurisma yang
pecah. Penaganganan aneurisma secara surgical masih merupakan sesuatu yang kontroversial
karena belum didukung oleh data yang cukup. Penggunaan antifibrinolitik seperti asam
traneksamat (1g IV atau 1,5g peroral tiap 4-6 jam) atau asam epsilon-aminokaproat (3-4g tiap
3 jam IV atau peroral) dapat menurunkan kejadian rebleeding, tetapi efek kerja sebagai
antifibrinolitik baru tercapai setelah 36 jam. Seperti halnya tindakan surgical, pemberian
antifibrinolitik juga sesuatu yang controversial. Pada beberapa penelitian dikatakan, kejadian
serebral iskemi meningkat (OR 2,03; 95% IK 1,40-2,94) dengan pemberian antifibrinolitik,
sehingga penggunaanya ditinggalkan.
C. Pencegahan iskemik serebral
Berbeda dengan kejadian stroke lainnya dimana berasal dari gangguan pada arteri intracranial
atau ektrakranial, pada perdarahan subarakhnoid iskemik tidak berdasarkan teritori dari salah
satu arteri serebri atau percabangannya tetapi bersifat menyeluruh. Delayed cerebral ischemic
atau vasospasm terjadi dengan puncak kejadiannya dihari ke 5 hingga hari ke 14. Pencegahan
dilakukan dengan menghindari pemberian antihipertensi sehingga tekanan darah sedikit
hipertensi, pemberian cairan dan natrium yang adekuat serta pemberian kalsium antagonis
dan setelah oklusi aneurisma diberikan preparat antitrombotik seperti aspirin. Kalsium
antagonis seperti nimodipine bekerja dengan menghambat kontraksi otot polos pada arteri
serebral serta sebagai neuroprotektor dengan mencegah kerusakan sel lebih lanjut setelah
kejadian iskemik. Nimodipine digunakan peroral dengan dosis 60mg tiap 4 jam yang
diberikan selama 3 minggu. Pada pasien yang menggunakan selang nasogaster, preparat
dibuat puyer dan diberikan melalui selang dengan menggunakan cairan normal salin 0,9%.
Pada kasus hipotensi pemberiannya dapat dikurangi hingga setengahnya.
D. Penanganan perdarahan berulang (re-bleeding)
Penurunan kesadaran merupakan manifestasi utama dari terjadinya re-bleeding. Sekitar 30%
kasus disertai adanya sefalgia. Penurunan kesadaran dapat disertai henti nafas, sehingga
resusitasi dan ventilator assisted diperlukan hingga nafas spontan. Pemeriksaan pencitraan
ulang perlu dilakukan untuk pemantauan volume perdarahan. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan tindakan operatif pada penanganan perdarahan berulang.
E. Penanganan iskemik serebral
a. Tanpa gejala klinis
Pasang kateter vena sentral
Pemeriksaan angiografi
Pemasangan kateter arteri pulmoner
peningkatan index stroke volume <10% tiap 2mmHg peningkatan tekanan kapiler pulmoner
Angioplasti dan infus papaverin merupakan modalitas yang dipakai jika hal diatas
tidak memperbaiki vasospasm yang terjadi.
F.
Penanganan
hidrosefalus
akut
Hidrosefalus akut terjadi pada 20% kasus dan hanya 10-28% tanpa disertai penurunan
kesadaran. Pemeriksaan pencitraan CT scan kepala dengan melihat index bikaudatus.
Perbaikan spontan dapat terjadi pada 50% kasus dalam 24 jam pertama. Tindakan operatif
dilakukan jika terdapat penurunan klinis atau dalam 24 jam tidak terjadi perbaikan klinis.
Lumbal pungsi relatif aman pada kasus hidrosefalus akut yang tidak disertai pergeseran garis
tengah dan diyakini tanpa adanya obstruksi intraventrikular. Drainase ekternal efektif dalam
memperbaiki derajat kesadaran tetapi beresiko dalam terjadinya re-bleeding dan infeksi pada
penggunaan drain jangka lama.
G. Penanganan unruptured aneurisma
Terapi definitif aneurisma direkomendasikan untuk dilakukan sedini mungkin, terutama pada
derajat I-III dari WFNS. Pilihan terapi yang dilakukan saat ini adalah kraniotomi dengan
clipping atau transvaskular koiling.
Sistim grading klasifikasi perdarahan subarakhnoid dari World Federation of
Neurological Surgeons (WFNS)
Grading GCS Defisit motorik
I 15 Tidak ada
II 14-13 Tidak ada
III 14-13 Ada