Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kualitas pelayanan pendidikan

di Kabupaten Donggala, khususnya

pendidikan dasar, masih dikeluhkan masyarakat. Di tengah gencarnya


pernyataan pejabat pemerintah Kabupaten Donggala mengenai pendidikan
gratis, ternyata yang dialami oleh masyarakat bertolak belakang dengan
pernyataan itu. Realitasnya, untuk memperoleh pelayanan pendidikan dasar,
masyarakat tetap harus membayar dengan jumlah yang dinilai memberatkan
(mahal). Padahal pemerintah pusat telah mengucurkan dana bantuan langsung
untuk kepentingan pengelolaan pendidikan dasar (terdiri atas SD sederajat dan
SMP sederajat) yang disebut Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Jumlah
bantuan kepada setiap sekolah melalui program BOS tersebut didasarkan atas
jumlah siswa pada setiap sekolah. Kenyataannya, BOS tersebut tidak juga
menyurutkan niat sekolah untuk memungut berbagai iuran kepada siswa.
Pungutan yang dilakukan oleh sekolah tidak lagi disebut sebagai iuran sekolah,
akan tetapi diubah seolah pungutan baru, sehingga tidak berkonotasi sebagai
iuran sekolah. Sungguhpun begitu berbagai pungutan yang telah berubah nama
tersebut tetaplah harus dibayar oleh masyarakat dan masih dirasakan
memberatkan, terutama oleh masyarakat yang berpendapatan rendah.
Keluhan terhadap rendahnya tingkat kualitas pelayanan pendidikan juga
dapat dilihat pada kenyataan, masih banyaknya ruang kelas, terutama pada
satuan pendidikan SD, yang sebetulnya kurang layak disebut sebagai tempat

belajar karena kondisinya yang kurang memungkinkan ditempati sebagai tempat


belajar. Dalam hal ini masih dijumpai kelas yang memiliki bangku dan kursi
rusak, atap bocor, lantai dengan ubin yang pecah-pecah, bahkan masih ada yang
berlantai tanah, dinding yang terkelupas, dan berbagai bentuk kondisi lainnya
yang mengisyaratkan bahwa kelas itu tidak layak ditempati sebagai ruang
belajar. Dengan kondisi kelas seperti itu, sulit diharapkan para siswa dapat
menerima pelajaran dengan baik.
Gambaran lainnya yang memperlihatkan rendahnya tingkat pelayanan
pendidikan dasar, juga dapat dilihat pada masih banyaknya sekolah, terutama di
wilayah perkotaan (Ibu kota Kabupaten Donggala, dan umumnya di Ibu Kota
Kecamatan) yang memiliki jumlah siswa banyak akan tetapi tidak didukung oleh
jumlah kelas yang memadai. Sebagai akibatnya setiap kelas diisi dengan jumlah
siswa melebihi kapasitas yang ideal. Idealnya, setiap kelas diisi sekitar 25
sampai dengan 30 orang siswa. Akan tetapi di wilayah-wilayah yang disebutkan
di atas, dijumpai kelas diisi sekitar 45 hingga 50 orang siswa. Dengan kondisi
jumlah siswa setiap kelas melebihi kapasitas ideal seperti itu, maka sulit
diharapkan siswa dapat menyerap pelajaran secara baik.
Ketimpangan lainnya yang juga memperlihatkan rendahnya tingkat
pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Donggala adalah kenyataan kurang
berimbangnya antara jumlah guru dengan jumlah siswa. Sebagai akibatnya
banyak guru yang harus melayani kelas yang dapat dikatakan melebihi
kemampuan guru dalam mengajar. Artinya sekolah seperti ini mengalami
problem kekurangan guru. Hal ini terjadi baik pada satuan pendidikan SD

sederajat maupun tingkat SMP atau sederajat. Dalam kondisi seperti ini sangat
sulit diharapkan guru secara maksimal mentransfer ilmu kepada siswa. Ujungnya
siswa tidak dapat memperoleh pelayanan maksimal dalam proses belajarmengajar.
Selain perbandingan jumlah antara guru dan siswa yang kurang
berimbang sebagaimana digambarkan di atas, kenyataan lainnya yang juga dapat
diketengahkan sebagai gambaran indikasi rendahnya tingkat pelayanan
pendidikan dasar di Kabupaten Donggala, adalah kenyataan banyaknya guru
yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang ditempuhnya
selama ini. Sebetulnya hal ini terjadi sebagai akibat dari kurangnya guru,
sehingga guru yang ada dimaksimalkan pemanfaatannya sungguhpun ia harus
mengajar mata pelajaran yang bukan menjadi kompetensinya. Dengan kondisi
seperti ini sudah barang tentu guru bersangkutan kurang dapat secara maksimal
memberikan ilmu pengetahuan kepada siswanya mengingat yang bersangkutan
sesungguhnya tidak memiliki kompetensi untuk mengajarkan hal itu. Kondisi
seperti ini terjadi, terutama di wilayah perdesaan, khususnya di wilayah-wilayah
terpencil.
Ironisnya di wilayah perkotaan Kabupaten Donggala, terutama di Ibu
Kota kabupaten Donggala, jumlah guru pada berbagai sekolah, berlebih.
Sehingga terjadi perbandingan jumlah guru dengan jumlah siswa, juga kurang
berimbang, akan tetapi perbandingan jumlah guru kelihatannya lebih banyak.
Hal ini berarti, para guru lebih memilih tinggal dan bekerja di sekolah-sekolah
perkotaan jika dibandingkan bekerja diperdesaan, khususnya di wilayah-wilayah

terpencil. Sebagai akibatnya terjadi disparitas mutu antara sekolah diperkotaan


jika dibandingkan dengan sekolah diperdesaan, khususnya di wilayah-wilayah
terpencil. Hal ini kemudian berdampak nyata, mutu pendidikan diperkotaan jauh
lebih baik jika dibandingkan dengan mutu pendidikan di perdesaan, khususnya
di wilayah terpencil.
Dari sisi infrastruktur pendukung

proses belajar-mengajar, misalnya

ketersediaan Laboratorium IPA, Laboratorium Bahasa, dan Perpustakaan,


tampaknya belum mendapatkan perhatian dan komitmen memadai dari
pemerintah. Infrastruktur sebagaimana dikemukakan di atas, dimiliki oleh
sebagian sekolah yang ada di Ibu Kota Kabupaten, akan tetapi di wilayah
perdesaan dan wilayah terpencil fasilitas seperti itu dapat dikatakan sangat
kurang. Padahal. kualitas pendidikan salah satu penentunya adalah infrastruktur
pendukung tersebut. Berdasarkan kenyataan ini semakin menguatkan terjadinya
disparitas mutu antara pendidikan di wilayah perkotaan dan perdesaan,
khususnya di wilayah terpencil.
Hal lainnya yang juga dapat dijadikan sebagai gambaran mengenai
rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Donggala (dalam
hal ini terdiri atas satuan pendidikan setingkat SD dan setingkat SMP), adalah
tidak semua wilayah memiliki fasilitas sekolah, khususnya satuan pendidikan
setingkat SMP. Untuk fasilitas sekolah setingkat SD dapat dikatakan hampir
semua wilayah telah memilikinya. Sebagai akibatnya untuk penduduk yang
belum memiliki fasilitas sekolah (SMP) harus mengalami nasib bersekolah di
tempat yang jauh. Hal ini, terutama terjadi di wilayah perdesaan, khususnya

wilayah terpencil. Dalam konteks ini negara seolah pilih kasih dalam
memberikan

pelayanan

pendidikan

dasar.

Padahal,

pemerintah

harus

bertanggung jawab terhadap pemberian pelayanan pendidikan, terutama


pendidikan dasar, kepada setiap warga masyarakat, sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, pasal 11, ayat (1) dan (2). Pada ayat 2
secara jelas mengemuka, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Dapat dikatakan bahwa
penanganan urusan pendidikan merupakan pemenuhan kebutuhan yang
menyangkut kepentingan umum dan pemerintah wajib memenuhinya. Peran
pemerintah dalam memenuhi kewajibannya itu diwujudkan dalam bentuk
pembinaan, pengaturan, pelayanan, dan pengawasan sehingga memenuhi
kebutuhan masyarakat secara merata, serasi, dan seimbang. Sejalan dengan
tanggung jawab pemerintah, perkembangan, dan

tuntutan masyarakat akan

pelayanan pendidikan sampai pada tingkat paling bawah, maka diperlukan


pengelolaan pendidikan yang berpihak kepada masyarakat.
Berdasarkan

gambaran

yang

dikemukakan

di

atas,

tidaklah

mengherankan jika banyak Anak Usia Sekolah (AUS) 7-12 thn yang tidak
bersekolah, ataupun tatkala tamat SD mereka tidak melanjutkan ke tingkat SMP.
Artinya Anak Usia Sekolah 13-15 tahun tidak melanjutkan ke tingkat SMP.
Sebagai konsekwensi dari semua itu, tidaklah mengherankan jika Angka
Partisipasi Kasar (APK) baik Anak Usia Sekolah (AUS) 7-12 thn maupun Anak
Usia Sekolah (AUS) 13-15 thn, menurut laporan Pusat Statistik Balitbang

Depdiknas tahun 2008, Kabupaten Donggala terendah jika dibandingkan dengan


9 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Jika dibandingkan
dengan 461 kab/kota se Indonesia, maka Kabupaten Donggala berada diurutan
ke-457, atau urutan ke-5 dari bawah. Suatu prestasi pengelolaan pendidikan yang
sangat memilukan. Sebagai gambaran ditampilkan tabel APK dan APM capaian
Wajib Belajar 9 Tahun Kabupaten/Kota se Sulawesi tengah sebagaimana tabel
berikut.

Tabel 1.1
Angka Partispasi Kasar (APK) Tingkat SMP Provinsi Sulawesi Tengah
No.

Kabupaten/Kota

Penduduk

Jumlah

Jumlah

13-15 thn

siswa

siswa

APK APM
%

13-15 th
Kota Palu

180.061

19.800

15.180

109.63
84.05

Donggala

47.456

26.073

19.810

54.94
41.47

Bangkep

13.022

9.514

7.353

73.06
56.47

Poso

10.283

10.171

10.482

98.91
81.56

Banggai

10.198

17.006

13.300

88.58
69.28

Kabupaten Buol

9.277

9281

6.995

100,04
75.40

Tolitoli

14.293

11.442

9.095

80.05
63.63

Morowali

16.189

12.434

9.393

76.81
58.02

Parimo

22.950

21.268

16.061

92.67
69.98

Touna

6.248

5.721

4.381

91.57
70.12

Sumber Data pusat Statistik Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional RI, tahun 2010.

Selanjutnya, berdasarkan data yang ada pada Dinas Pendidikan Kabupaten


Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, di Kabupaten Donggala masih terdapat
21.383 anak usia sekolah SMP sederajat yang belum bersekolah (45.05 %),

dengan berbagai alasan. Bila dilihat dari target nasional dalam rangka penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah sesuai
dengan Inpres No 5 Tahun 2006 tentang percepatan penuntasan wajar 9 tahun,
serta Peraturan pemerintah nomor 47 tahun 2008 tentang wajib belajar, yang
mengharapkan terwujudnya ketuntasan Wajib Belajar 9 tahun yang bermutu pada
tahun 2009, yang salah satu indicator ketuntasannya adalah bila APK SMP
mencapai minimal 80 s.d. 85 %, maka dapat dipastikan pemerintah Kabupaten
Donggala tidak dapat memenuhinya.
Selain hal yang dikemukakan di atas, pelayanan pendidikan dasar di
Kabupaten Donggala juga sulit dilaksanakan dengan baik disebabkan kurangnya
komitmen pemerintah daerah dalam hal penyediaan anggaran pendidikan. Dari
tahun ke tahun anggaran pendidikan yang dialokasikan tidak pernah mencapai
angka 20 % dari APBD. Padahal UUD 1945 mengamanatkan alokasi anggaran
pendidikan minimal 20 %,

tidak termasuk belanja pegawai.

Anggaran

pendidikan yang kecil itu harus dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan semua
jenjang pendikan, yaitu jenjang pendidikan TK (124 sekolah),

pendidikan SD

(329 sekolah), pendidikan SMP (78 sekolah), dan SMA (22 Sekolah). Dapat
dibayangkan betapa kecilnya anggaran untuk tiap sekolah yang dialokasikan oleh
Pemerintah Kabupaten Donggala.
Selanjutnya, lemahnya kapasitas aparat pemerintah dalam memberikan
pelayanan pendidikan juga dapat dilihat dari kebiasaan aparat untuk dilayani,
padahal mestinya merekalah yang menjadi pelayan masyarakat. Menurut
penuturan pengelola sekolah, seringkali aparat Dinas Pendidikan Kabupaten

Donggala, secara tidak langsung mengharapkan dijamu jika berkunjung ke


sekolah, di tengah kondisi keuangan sekolah yang tidak terlalu baik. Selain itu
kompetensi aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan
tampaknya juga masih lemah, selain komitmen untuk melayani juga lemah.
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Kabupaten Donggala, juga
diwarnai berbagai konflik kepentingan.

Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus

(DAK) bidang pendidikan tahun 2007 dan 2008, tidak terlaksana sebagaimana
mestinya, dimana penanggung-jawab kegiatan dan bendahara kegiatan tersebut
terjerat oleh kasus hukum. Hal ini mengindikasikan penyelenggara administrasi di
wilayah tersebut masih berwatak koruptif. Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya
pengawasan dan kekurang-mampuan pemerintah daerah menciptakan strategi dan
standarisasi kebijakan satuan biaya pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan.
Padahal sesungguhnya sinergitas pemerintah daerah (birokrasi), masyarakat, dan
aktor-aktor lainnya merupakan kekuatan yang mendasar dalam mendukung
optimalisasi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah.
Dalam pada itu pada sisi yang lain, kepemimpinan diyakini sebagai salah
satu faktor kunci dalam kehidupan organisasi, termasuk pada sektor publik. Thoha
(2004: 17) menyatakan, bahwa suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal
sebagian besar ditentukan oleh faktor kepemimpinan. Dalam pandangan Thoha,
begitu pentingnya masalah kepemimpinan ini,

menjadikan pemimpin selalu

menjadi fokus evaluasi mengenai penyebab keberhasilan atau kegagalan


organisasi. Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu
membawa organisasi publik memberikan pelayanan

prima (pelayanan yang

berkualitas). Karena pada hakekatnya dibentuknya organisasi publik adalah untuk


memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan suatu
pelayanan publik yang berkualitas, dalam hal ini kualitas pelayanan pendidikan
dasar di Kabupaten Donggala, dengan mengacu pada pandangan Thoha di atas,
pemimpin Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala (dalam hal ini Kepala Dinas)
dipandang sebagai salah satu pihak yang menentukan dan bertanggung jawab.
Melalui kepemimpinannya diharapkan pengelolaan pendidikan dasar di wilayah
itu mampu mencapai kualitas yang diharapkan oleh masyarakat. Berbagai indikasi
rendahnya tingkat kualitas pelayanan pendidikan dasar sebagaimana diungkap
pada uraian di atas ditengarai dapat diminimalkan jika pemimpin dengan
kepemimpinan yang dimilikinya mampu memaksimalkan semua potensi yang ada
demi terwujudnya kualitas pelayanan pendidikan yang diharapkan.
Selanjutnya perlu dijelaskan, pemilihan kepemimpinan transformasional
sebagai variabel independen penelitian ini didasarkan atas survai pendahuluan
yang dimaksudkan sebagai bahan awal penulisan proposal penelitian ini. Pada
pelaksanaan survai pendahuluan tersebut diajukan kuesioner (pertanyaan) untuk
dijawab oleh 75 orang responden PNS yang dipilih secara acak sederhana dari 156
orang PNS (simple random sampling) yang bekerja pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Donggala. Pertanyaan di dalam kuesioner yang diajukan kepada
responden dimaksudkan untuk menilai kepemimpinan yang diterapkan oleh
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala dengan menggunakan indikatorindikator yang terkandung dalam setiap dimensi kepemimpinan tranformasional.

10

Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan Kepala Dinas Pendidikan


Kabupaten Donggala menerapkan kepemimpinan transformasional.
Sungguhpun

pemimpin

Dinas

Pendidikan

Kabupaten

Donggala

menerapkan kepemimpinan transformasional dalam mengelola lembaga ini, akan


tetapi hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian pendahuluan
menunjukkan, kepemimpinan transformasional yang diterapkan oleh pemimpin
tersebut belum sepenuhnya mampu mengubah, khususnya perilaku aparat, dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Bass dan Riggio
(2006: 44), pada intinya mengemukakan, salah satu ciri khas dari kepemimpinan
transformasional adalah komitmennya untuk memberdayakan pengikutnya,
sehingga setiap aparat mampu bekerja secara otonom, mandiri, dan kreatif untuk
mencapai hasil pekerjaan yang lebih efisien. Berdasarkan hasil observasi tersebut
dapat dikemukakan, aparat Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala belum
sepenuhnya mampu bekerja secara otonom, mandiri, dan kreatif. Pada umumnya
aparat masih menunggu perintah dan arahan dari pemimpin setiap kali hendak
melakukan kegiatan, terutama yang berkaitan dengan pelayanan kepada
masyarakat. Pada situasi seperti ini dapat dikemukakan masih sulit ditemukan
aparat yang bekerja secara mandiri dan kreatif.
Ciri lainnya yang belum terlihat pada Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten
Donggala sungguhpun pemimpinnya telah berupaya memberikan berbagai contoh
kepada bawahan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencapai kualitas
pelayanan pendidikan dasar dengan harapan aparat yang menjadi bawahan dapat
meniru dan mengilhami bawahan, ternyata upaya itu belum sepenuhnya dapat

11

dimaknai oleh para aparat untuk dijadikan sebagai pengetahuan dan pemahaman
untuk selanjutnya ditunaikan dalam melakukan tugas pelayanan pendidikan dasar.
Hasil observasi yang dilakukan selama penelitian pendahuluan menunjukkan,
pemimpin dengan memberikan perintah secara persuasif dan aparat diharapkan
mau menerima tantangan, khususnya dalam upaya mencapai pelayanan
pendidikan dasar yang berkualitas, belum sepenuhnya mampu menggerakkan para
aparat bekerja sesuai harapan pemimpin.
Fakta yang menyertai penerapan kepemimpinan transformasional yang
dikemukakan di atas dapat dipandang sebagai fenomena yang menarik diketahui
dalam hubungannya dengan upaya lembaga ini mewujudkan pelayanan
pendidikan dasar yang berkualitas.
Berdasarkan rangkaian uraian sebagaimana dikemukakan di atas
menunjukkan, masih banyak masalah menyangkut pelayanan pendidikan dasar
di Kabupaten Donggala. Hal itu memberi

inspirasi kepada penulis untuk

melakukan

mengetahui

penelitian,

terutama

untuk

hubungan

antara

kepemimpinan pada instansi pengelola pendidikan di wilayah itu, yakni Dinas


Pendidikan dengan kualitas pelayanan pendidikan

dasar yang berhasil

diwujudkan.

1.2. Rumusan Masalah


Atas dasar itu dikemukakan fenomena penelitian ini yang menjadi dasar
rumusan masalah, sebagai berikut :
1) Masih banyak anak usia sekolah baik SD (7-12 tahun) dan SMP (13-15

12

tahun) yang belum mengecap pendidikan dasar di Kabupaten Donggala,


Provinsi Sulawesi Tengah. Hal itu dapat dilihat dari Angka Partisipasi
Kasar (APK) pendidikan dasar Kabupaten Donggala yang terendah dari
10 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Bahkan secara
nasional kabupaten ini menempati rangking ke-5 terbawah dari seluruh
kabupaten/kota se Indonesia.
2) Masih rendahnya komitmen pemerintah Kabupaten Donggala dalam
penyediaan anggaran pendidikan dasar. Hal itu dapat dilihat dari
pemberian anggaran pendidikan dalam APBD dari tahun ke tahun yang
jauh dari harapan sebagaimana termaktub dalam UU. No. 20 Thn. 2003
tentang pendidikan nasional mengenai kewajiban pemerintah dearah
mengalokasikan minimal 20 % dari keseluruhan APBD pada tiap tahun
anggaran.
3) Lemahnya komitmen aparat birokrasi, dalam memberikan pelayanan
pendidikan dasar. Hal itu dapat dilihat dari rendahnya kualitas pelayanan
pendidikan dasar yang diberikan.
4) Infrastruktur pendidikan, yakni: jumlah sekolah, ruang kelas, dan
berbagai sarana lainnya, ketersediaannya masih jauh dari memadai. Hal
ini tentu saja sangat berpengaruh pada kualitas pelayanan pendidikan
dasar.
5) Ketersediaan guru, baik dari segi jumlah dan kualitas antar wilayah di
Kabupaten Donggala masih sangat timpang. Karena itu kualitas
pelayanan pendidikan pasti akan berbeda antar wilayah, khususnya antara

13

perkotaan, perdesaan, dan wilayah terpencil.


6) Terhadap indikasi masih rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar
di Kabupaten Donggala tersebut mestinya dapat diatasi jika pemimpin
dengan kepemimpinan transformasional yang diterapkannya

dapat

diadopsi untuk kemudian mengilhami setiap aparat sebagai bawahan


dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan pendidikan dasar
yang berkualitas kepada masyarakat. Jika hal ini terwujud maka itu
berarti pemimpin berhasil memaksimalkan semua potensi aparat untuk
mencapai salah satu tujuan lembaga ini, yaitu terwujudnya kualitas
pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Donggala. Hal ini berarti
pencapaian kualitas pelayanan pendidikan salah satu faktor yang
mempengaruhinya adalah kepemimpinan.
Berdasarkan fenomena di atas,

dirumuskan pernyataan masalah

(problem statement) penelitian ini, sebagai berikut :


Tingkat kualitas pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Donggala
dipengaruhi oleh kepemipinan transformasional yang diterapkan oleh Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten Donggala.
Selanjutnya atas dasar problem statement itu dijabarkan rumusan masalah
penelitian ini, sebagai berikut :
Seberapa besar pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap
kualitas pelayanan pendidikan dasar pada Kantor Dinas Pendidikan
Kabupaten Donggala ?

14

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian


1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk menelusuri, menganalisis, dan
mengkaji secara empirik pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap
kualitas pelayanan pendidikan dasar pada Kantor Dinas Pendidikan
Kabupaten Dongggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

1.3.2. Tujuan Penelitian


Untuk menemukan

konsep baru mengenai

kepemimpinan

yang

diharapkan akan memperkaya khasanah ilmu administrasi publik.

1.4. Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara
teoritis maupun praktis.

1.4.1. Aspek Teoritis


Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
administrasi publik terutama dalam hal, hubungan antara kepemimpinan
transformasional dengan kualitas pelayanan, khususnya pelayanan pendidikan
dasar yang kini menjadi tuntutan dalam penyelengaraan pemerintah daerah yang
responsif dan akuntabel.

15

1.4.2. Aspek Praktis


Secara praktis hasil penelitian ini selain dapat menjadi referensi dalam
bidang pelayanan publik juga bisa menjadi :
1) Masukan bagi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah daerah
Kabupaten Donggala dalam mengelola kepemimpinan terutama kaitannya
dengan pelayanan pendidikan dasar.
2) Masukan bagi para pelaksana, khususnya para pimpinan lembaga dalam
melakukan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat
3) Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna bagi peneliti lainnya, terutama
untuk

mengkaji

lebih

jauh

tentang

kepemimpinan,

kepemimpinan transformasional dan hubungannya dengan

khususnya
kualitas

pelayanan pendidikan dasar dengan menganalisis lebih jauh variabelveriabel lain, ataupun fokus dan lokus penelitian yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai