L. BAB II - POPPY
L. BAB II - POPPY
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Adaptasi
Adaptasi secara definisi dapat diartikan sebagai proses hubungan timbal-
19
individu
untuk
mengelola
dan
bertahan
dalam
kondisi
20
21
22
adaptasi. Adaptasi aktif menyangkut strategi, pola dan model yang digunakan
masyarakat dalam mengelola lingkungan dan mendayagunakan sumber daya alam
yang ada di dalamnya. Strategi adaptasi adalah proses interaksi dinamis antara
manusia dengan dengan lingkungannya, dan cakupan upaya atau siasat yang
digunakan oleh manusia dalam kehidupannya untuk merespon perubahan sosial
dan lingkungan (Alland, 1975; Alland dan McCay, 1973: Harris, 1968; Rappaport,
l971 dalam oleh Abdoelah, 1993:7). Strategi adaptasi erat kaitannya dengan
karakteristik kebudayaan yang berhubungan dengan cara manusia beradaptasi atas
lingkungannya, meliputi pengetahuan mengenai sumber daya serta teknik
produksi dan reproduksi sumber daya (Orlove 1980:236 dikutip oleh Gunawan,
Thamrin, Suhendar, 1998:77). Strategi adaptasi dapat diartikan sebagai pilihan
tindakan yang bersifat rasional dan efektif yang dilakukan oleh manusia sesuai
dengan konteks lingkungan sosial-politik-ekonomi-ekologi untuk mengalokasikan
sumber daya yang tersedia di lingkungannya serta mengatasi tekanan sosialekonomi dan perubahan lingkungannya (Marzali, 1993:48).
Respon adaptif manusia terhadap lingkungan dalam bentuk tingkah-laku
individu dan proses sosial disebut dengan kebudayaan (Bennet, 1979; Haviland,
1981: dikutip oleh Gunawan, Thamrin, dan Suhendar, 1998:77). Kebudayaan
(budaya)
diartikan
sebagai
ekspresi adaptasi
manusia
terhadap
setting
23
24
25
lain,
kebudayaan
adalah
suatu
pedoman
bagi
manusia
dalam
2.2
Nelayan
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung
langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi
daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan
pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, dalam Subri, 2005:7).
Secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat
dan laut (Kusnadi, 2009:27). Ekosistem laut menjadi sumber bagi penduduk untuk
mencari ikan untuk bahan pangan.
Pada umumnya, penduduk menangkap ikan masih dengan menggunakan
cara-cara tradisional, misalnya memancing dan memasang jaring. Selain itu,
masyarakat nelayan di Indonesia sering mempergunakan metode-metode ilmu
gaib untuk menambah metode-metode teknologi yang nyata. Masyarakat nelayan
pun memiliki sistem kepercayaan lokal yang tercermin pada mitos-mitos yang
hidup dalam masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1981:121; Kusnadi, 2000:12).
Mitos-mitos yang hidup diantaranya adalah mitos Ratu Laut Selatan (Nyi Roro
26
Kidul) pada masyarakat pesisir selatan Pulau Jawa dan mitos Nabi Khidir yang
menguasai pantai utara Madura.
Masyarakat nelayan sebagai suatu sistem terdiri atas kategori-kategori
sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan
simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor
kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan
kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung
maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola
potensi sumberdaya kelautan (Solihin, 2004).
Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai terdiri atas kelompok
masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya secara langsung atau
tidak langsung dari sumber daya pantai atau laut dan kelompok masyarakat yang
sama sekali tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut atau pantai. Pada
kelompok yang menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya
laut/pantai, berdasarkan lokasi kegiatannya, dapat dibedakan dua kelompok yaitu
kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di laut lepas (off-shore) dan di laut
dengan jarak relatif dekat dari pantai (in-shore) atau di kawasan pantai itu sendiri
(daratan). Berdasarkan kegiatannya, dapat dibedakan antara kelompok yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan (fish capture) dan yang melakukan usaha
budi daya (marine/fish culture). Kelompok nelayan yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut lepas, dapat melakukannya secara berpindah-pindah
pada berbagai lokasi tergantung dari musim dan keberadaan/migrasi ikan.
Kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di sekitar pantai, biasanya tidak
27
melakukan migrasi yang intensif seperti nelayan laut lepas. Sumberdaya yang ada
di sekitar pantai menjadi sumber penghidupan yang utama. Migrasi yang di
lakukan biasanya dengan berpindah tempat tinggal dari suatu pantai ke pantai lain
dengan tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pantai. Kegiatankegiatan yang dilakukan kelompok nelayan atau masyarakat seperti ini, misalnya
adalah penangkapan ikan di sekitar pantai dengan menggunakan perahu dan alat
tangkap yang tidak terlalu canggih seperti jaring dengan ukuran kecil atau
kail, atau menggunakan jaring yang ditarik dari tepi pantai.
Definisi nelayan menurut Direktorat Jenderal Perikanan Departemen
Pertanian (1995) adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Sementara
itu, nelayan menurut Satria (2009:121) merupakan kelompok sosial yang selama
ini terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Hal ini merupakan
kecenderungan di berbagai negara.
Di India, nelayan identik dengan kasta rendahan. Di Kanada, nelayan first
nation juga termarjinalkan secara ekonomi dan politik. Di Jepang, profesi nelayan
identik dengan kitanai, kitsui, kiken yang artinya kotor, keras dan membahayakan,
meskipun nelayan di Jepang ini rendah secara sosial, namun tidak secara ekonomi
dan politik. Mereka tetap diperhitungkan secara politik oleh Pemerintah sehingga
kebijakan pembangunan banyak yang berpihak pada kepentingan nelayan.
Kondisi berbeda dengan di Indonesia dimana nelayan masih belum berdaya secara
ekonomi dan politik. Organisasi ekonomi nelayan masih belum kuat dan mereka
masih terkungkung pada ikatan-ikatan tradisional dengan para toke dan tengkulak.
28
Belum ada institusi yang mampu menjamin kehidupan nelayan selain institusi
patron-klien tersebut.
Nelayan dibedakan dalam beberapa jenis, seperti Pollnac (1998, dalam
Satria 2002) membedakan nelayan ke dalam dua kelompok yaitu nelayan besar
(large scale fisherman) dan nelayan kecil (small scale fisherman). Namun,
menurut Satria, tipologi nelayan menurut Pollnac kurang memadai untuk tipe
negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, Satria (2009:384) mencoba
mengelompokkan nelayan menurut karakteristik usaha menjadi empat tingkatan
yang dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi
pasar dan karakteristik hubungan produksi.
adalah (1) peasant fisher; (2) post peasant fisher; (3) commercial fisher; dan (4)
industrial fisher.
Pertama, peasant fisher merupakan nelayan tradisional yang biasanya
lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sendiri (subsistensi). Nelayan
jenis ini hasil tangkapan dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari;
menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan
masih menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja dalam membantu
kegiatan melaut. Kedua, post peasant fisher. Nelayan jenis ini muncul setelah
berkembangnya motorisasi perikanan sehingga nelayan jenis peasant fisher
berkembang menjadi post peasant fisher. Nelayan ini dicirikan dengan
penggunaan teknologi alat tangkap yang lebih maju seperti motor tempel atau
kapal motor; mempunyai peluang untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih
banyak; jangkauan daerah tangkapan lebih jauh; beroperasi di wilayah pesisir;
29
mulai berorientasi pasar; memiliki tenaga kerja atau anak buah kapal (ABK); tidak
tergantung pada keluarga sebagai tenaga kerja. Ketiga, commercial fisher
merupakan nelayan yang sudah berorientasi pada keuntungan. Nelayan jenis ini
dicirikan dengan skala usaha besar, tenaga kerja memiliki status mulai dari buruh
sampai manajer; teknologi kapal dan alat tangkap yang digunakan sudah modern
dan membutuhkan keahlian untuk mengoperasikannya. Keempat, industrial fisher
atau nelayan industrial, mengacu pada ciri nelayan industrial menurut Pollnac
(1988; dalam Satria 2009 : 385) bahwa nelayan jenis ini diorganisir dengan caracara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju; lebih
padat modal; memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada pemilik dan awak
perahu; menghasilkan produksi ikan kaleng dan ikan beku untuk eksport.
Penjelasan itu dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1
Penggolongan Nelayan berdasarkan Karakteristik Usaha
Jenis Usaha
Usaha
Tradisional
Usaha PostTradisional
Usaha
komersial
Usaha
Industria
Orientasi
Ekonomi dan
Pasar
Subsistensi, rumah
tangga
Tingkat Teknologi
Hubungan Produksi
Rendah
Subsistensi,
surplus, rumah
tangga, pasar
domestik
Surplus besar,
domestik, eksport
Rendah
Surplus, eksport
Menengah
Tinggi
30
Berdasarkan penjelasan beberapa tipe nelayan maka dalam penelitian ini nelayan
mengacu pada kategori nelayan menurut Satria (2009: 386) yaitu peasant fisher
dan post peasant fisher. Kriteria nelayan di desa Sei Pancang diasumsikan
memiliki ciri-ciri yang sama dengan peasent fisher dan post peasant fisher yang
termasuk ke dalam kategori nelayan tradisional. Pemilihan nelayan tradisional ini
bertujuan untuk melihat dan mengkaji bagaimana mereka dengan segala
keterbatasannya beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial dalam mempertahankan hidupnya.
Posisi nelayan dalam masyarakat sangat menarik untuk dicermati. Hal ini
karena di masyarakat status nelayan dianggap memiliki status yang relatif rendah
(Satria, 2009:337). Rendahnya posisi nelayan ini adalah karena keterasingan
nelayan. Keterasingan tersebut menyebabkan masyarakat yang bukan nelayan
tidak mengetahui lebih jauh bagaimana dunia nelayan. Keterasingan pada
komunitas nelayan terjadi karena waktu yang tersedia untuk berinteraksi atau
bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya relatif sedikit. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya alokasi waktu yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan
dari pada untuk bersosialisasi dengan masyarakat uang bukan nelayan yang
memang secara geografis relatif jauh dari pantai.
Lebih lanjut, untuk mengetahui karakteristik nelayan, menurut Satria
(2009:338) dapat dilihat dengan mengetahui posisi sosial nelayan secara makro
dan mikro. Posisi nelayan secara mikro dijelaskan melalui struktur sosial nelayan
dalam masyarakat. Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan
kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat
31
kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi
nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah penting untuk
menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien ini merupakan
institusi jaminan sosial-ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan
belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial
ekonomi mereka.
Menurut Legg (1983 dalam Satria, 2009:338), pola hubungan patron-klien
ini berkaitan dengan hubungan: (1) di antara pelaku yang menguasai sumber daya
berbeda; (2) bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi; dan (3) yang
didasarkan atas asas saling menguntungkan. Berdasarkan penjelasan tentang
hubungan patronklien tersebut maka jelaslah bahwa hubungan antara nelayan
dan patronnya menguasai sumber daya yang berbeda. Dalam hal ini, patron
menguasai sumber daya modal jauh lebih besar daripada nelayan .
Perbedaan penguasaan sumber daya ini menyebabkan terjadinya hubungan
patron klien. Hubungan ini terus terjalin dalam komunitas nelayan karena
belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagai mana patron (Satria,
2009:340). Nelayan belum mampu membangun institusi baru secara mandiri
meskipun diakui bahwa karakter nelayan memiliki solidaritas sesama yang kuat,
etos kerja dan mobilitas tinggi. Disamping memiliki karakter yang kuat, namun
nelayan mempunyai kelemahan, khususnya kemampuan dalam mengorganisasi
diri baik untuk kepentingan ekonomi maupun profesi karena sebagai nelayan
menganggap status nelayan merupakan way of life sehingga etika subsistensi
masih menjadi pegangan bagi mereka. Ikatan-ikatan komunal yang ada (seperti
32
33
34
35
karena pembagian tugas itu, unit analisis yang sangat penting dalam mengkaji
masyarakat nelayan adalah keluarga (Kusnadi, 2000).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada uraian itu berfokus pada
masyarakat nelayan dipulau Jawa. Penelitian yang mengkaji nelayan di luar Pulau
jawa masih jarang dilakukan, terutama di wilayah perbatasan negara. Pada
penelitian ini peneliti mengkaji bagaimana adaptasi nelayan yang berada di
kawasan perbatasan negara terhadap lingkungan perbatasan dalam meningkatkan
perekonomian keluarga, terutama yang berada di perbatasan laut, seperti nelayan
di Desa Sei Pancang yang terletak di Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Intensitas interaksi dan siklus musim di
desa pesisir akan mendorong penduduk setempat melakukan diversifikasi dan
konversi pekerjaan. Diversifikasi dan konversi pekerjaan ini secara rasional
dipandang mampu meningkatkan pendapatan keluarga dan sangat diperlukan
untuk mengurangi tekanan-tekanan penduduk terhadap sumber daya laut
(Kusnadi, 2002:64; Graburn, 1995; dalam Ahmed dan Shore, 1995:172).
Karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat petani.
Perbedaan ini dilihat berdasarkan sumber daya yang dihadapi. Masyarakat petani
menghadapi sumber daya yang terkontrol yaitu dalam hal pengelolaan lahan untuk
produksi suatu komoditas hasil yang akan diperoleh relatif bisa diprediksi. Dalam
hal ini, petani ikan (budi daya) tergolong ke dalam masyarakat petani karena
memiliki sumber daya yang relatif sama dengan petani. Lain halnya dengan
nelayan, nelayan memiliki sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open
access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan harus
36
terbuka.
Karakteristik nelayan lainnya yaitu : (1). Memiliki sistem pengetahuan
lokal (indigineous knowledge) dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal
ini merupakan kekayaan intelektual yang harus dipertahankan. Seperti apa yang
dikatakan Juwono (1998, dalam Solihin 2010 :66) bahwa nelayan mengenal rasi
bintang untuk penunjuk arah yaitu rasi bintang Lintang Lumbung, Lintang Wuluh,
Lintang Gubug, dan Lintang Lanjar. (2). Ikatan patron-klien yang kuat; struktur
sosial masyarakat nelayan umumnya bercirikan adanya hubungan patron-klien
sebagai akibat kegiatan penangkapan ikan yang bersifat penuh resiko (high risk)
dan ketidakpastian sehingga perlu pemahaman khusus untuk menuntaskan
persoalan sosial-ekonomi mereka dalam perangkap hubungan patron-klien.
Seperti ditunjukkan studi Najib (1999 dalam Satria, 2000), mekanisme hubungan
patron-klien sering bersifat eksploitatf dan sengaja dipelihara patron, inilah sisi
negatif pola patron-klien. Sisi positifnya, patron-klien mampu mendorong
terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Sisi positif ini muncul karena secara nyata
hubungan patron-klien mampu menjadi cambuk bagi nelayan untuk keluar dari
perangkap keterbelakangan. Hal ini disebabkan hubungan patron-klien dalam
masyarakat nelayan berfungsi sebagai jaminan sosial ekonomi dalam menjaga
kelangsungan hidup masyarakat nelayan. Artinya, bahwa patron-klien merupakan
hubungan asimetris yang tidak dapat digeneralisasikan dalam konteks penyebab
37
2.3
2.3.1
Hubungan Sosial
Hubungan sosial terwujud melalui interaksi sosial yang dilakukan
berulang-ulang dengan pola yang sama dan bertahan dalam waktu yang lama
(Wulansari, 2009 : 39). Hubungan sosial selalu terjadi dalam masyarakat dan
telah banyak para ahli, khususnya sosiolog yang mendefinisikan hubungan sosial.
Pada sub bab ini, konsep hubungan sosial mengacu pada definisi hubungan sosial
Giddens (1984). Menurut Giddens (1984: 22), salah satu hal yang seharusnya
menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial adalah memandang hubungan pelaku
(tindakan) dan struktur sebagai hubungan dualitas dan bukannya dualisme.
Dualitas ini menurut Giddens selanjutnya selalu terjadi pada praktik sosial yang
berulang dalam lintasan ruang dan waktu.
Objek utama ilmu sosial bagi Giddens (1984:22) bukanlah peran sosial,
melainkan praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan
waktu. Hal tersebut menunjuk pada proses ruang-waktu sebagai unsur konstitutif
gejala sosial. Hubungan sosial teori strukturasi Giddens memiliki dimensi dan
38
ekspektasi.
Perangkat
ekspektasi
orang-orang
lainlah
yang
membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai kekuatan sosial dan
struktur sosial. Hal ini berarti, terdapat struktur sosial seperti, tradisi, institusi,
aturan moralserta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga
berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan,
menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.
Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami
secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat,
namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained)
oleh masyarakat. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui
tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk
yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur
kausalitas
ini
berlangsung
ke
dua
arah
timbal-balik,
sehingga
tidak
memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur
dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka
kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. (Giddens, 1984:22)
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
(1) Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu apa yang mampu
dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi
39
40
Kajian tentang gejala patronase telah banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu
sosial di luar Indonesia, namun demikan, bukan berarti gejala patronase tersebut
tidak ada di Indonesia. Sebaliknya, gejala tersebut dapat dilihat terutama pada
daerah-daerah pedesaan (Putra, 20078:3). Patron klien mengacu pada pendapat
Scott (1972: dalam Putra, 2007:4) adalah:
suatu kasus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan
persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan
sosial ekonomuinya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya
yang dimilikinya untuk member perlindungan atau keuntungan atau
kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien),
yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan
dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada
patron.
Putra (2007:4) menyatakan agar hubungan ini dapat berjalan dengan mulus,
diperlukan adanya unsur-unsur tertentu di dalamnya. Unsur pertama adalah bahwa
yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain.
Unsur kedua. dengan pemberian ini pihak penerima merasa mempunyai
kewajiban untuk membalasnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik. Unsur
timbal balik tersebut merupakan pembeda dengan hubungan yang bersifat
pemaksaan atau karena adanya wewenang formal. Selain itu, hubungan patronklien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang
memungkinkan pihak klien melakukan penawaran. Hal ini memiliki makna, jika
salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti apa yang
diharapkannya, pihak tersebut dapat menarik diri dari hubungan patron-klien
tanpa terkena sanksi sama sekali.
41
Dari sisi kedudukan, patron berada dalam posisi pemberi (barang atau
jasa) yang dibutuhkan oleh klien beserta keluarganya (Putra, 2007:5). Dalam
hubungan patron klien, selalu terjadi hubungan tatap muka langsung antara patron
dengan klien. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang bersifat pribadi
terjadi di dalam hubungan patron-klien, menimbulkan rasa simpati antar kedua
belah pihak, dan selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya dan intim.
Kedekatan tersebut dapat dicirikan dengan penggunaan panggilan dari satu pihak
ke pihak lain dan sebaliknya. Walaupun bersifat dekat, di sisi lain, kedua belah
pihak, baik patron maupun klien memperhitungkan untung dan rugi dalam
hubungan tersebut. Dengan demikian hubungan ini bersifat instrumental, namun
bukan berarti hubungannya bersifat netral sama sekali. Unsur rasa masih
memainkan peran penting di dalam hubungan patron klien.
Keseimbangan menjadi kata penting dalam hubungan patron klien. Putra
(2007:6-8) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara ketimpangan dan
ketidakseimbangan. Dalam hubungan patron klien, terjadinya hubungan tersebut
ditandai dengan adanya keseimbangan dari pihak patron dengan pihak klien.
Hubungan timbal baliknya, sangat mungkin tidak dapat diukur secara materi yang
diberikan dianggap seimbang atau setara, tetapi lebih pada nilai rasa, yang
diberikan tidak dapat diberikan label harga yang sama, tetapi lebih pada
pandangan kepuasan pihak pemberi. Sebagai contoh, seorang patron menganggap
seimbang saat ia memberikan modal kepada nelayan jika nelayan tersebut mau
menjual ikannya dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga pasaran.
42
Penelitian dari Putra (2007) dianggap relevan dalam penelitian ini karena
berfokus sistem patron klien pada etnik Bugis di Sulawesi Selatan. Berkaitan
dengan kesamaan etnis di Desa Sei Pancang., sistem patron klien menjadi dasar
hubungan bagi etnis Bugis sejak dahulu kala (Putra, 2007:13). Sistem patron
klien yang telah mengarah pada kesetiaan telah mendarah daging di kalangan etnis
Bugis, sehingga di mana pun mereka berada, sistem patron klien akan selalu
dilaksanakan. Dengan demikian, patron klien sudah sedemikian membudaya pada
etnik Bugis. Wertheim (1969, dalam Putra, 2007:29) menyatakan adanya
stratifikasi yang nyata dalam masyarakat dan hal tersebut adalah kondisi
pendorong tumbuhnya hubungan patron klien. Stratifikasi tersebut diterjemahkan
sebagai stratifikasi dalam penguasaan sumber-sumber daya. Pihak yang
menguasai sumber-sumber daya memiliki strata yang lebih atas daripada pihak
yang tidak menguasai sumber-sumber daya. Wertheim (1969, dalam Putra,
2007:29) berpendapat bahwa dalam hubungan teresbut sangat mungkin terdapat
bentuk eksploitasi yang nyata. Namun karena hubungan patro klien bersifat
pribadi, informal, serta sedikit banyak paternalistis, maka terdapat kecenderungan
untuk kemudian memanusiawikannya. Hubungan patron klien bersifat sukarela,
tidak perlu dipaksa untuk menjadi patron ataupun klien dan bersifat luwes,
terutama jika salah satu pihak dianggap tidak memberikan hal yang memuaskan
oleh pihak lain, sehingga ia dapat menghentikan hubungan tersebut.
Dalam konteks budaya Bugis, Putra (2007) menyatakan bahwa ciri utama
budaya Bugis adalah sifatnya yang sangat hierarkis. Selain ciri khas budaya yang
hierarkis, Putra (2007) memaparkan latar budaya Bugis dari aspek kesejarahan
43
2.4
Kawasan Perbatasan
Konsep perbatasan pada awalnya mengacu pada konsep geografis-spasial.
Konsep ini baru dikatakan mengacu pada konsep sosial jika membahas tentang
masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan. Dalam hal ini,
perbatasan memiliki makna baru yaitu sebagai konstruksi sosial dan budaya yang
tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial. Perbatasan sebuah
negara, atau states border, dikenal bersamaan dengan lahirnya konsep negara.
Negara, dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa.
Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula
44
45
46
47
serta pulau yang memiliki potensi sumber daya kelautan baik sebagai
sumber daya perikanan, wilayah konservasi dan kawasan wisata bahari.
3. Penyebaran penduduk tidak merata. Umumnya mata pencaharian
penduduk di sekaitar kawasan perbatasan adalah bertani, berkebun dan
nelayan.
4. Tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan pada umumnya rendah. Dengan
kondisi seperti ini maka masyarakat di kawasan perbatasan lebih
berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi di wilayah negara tetangga yang
lebih mapan.
Wilayah
perbatasan
sesungguhnya
telah
menjadi
perhatian
para
48
Hasil penelitian yang diangkat oleh para antropolog atas penelitian mereka
diperbatasan
menunjukkan
menyatakan
bahwa
keberagaman
perbatasan
pendapat.
internasional
Beberapa
mempengaruhi
pendapat
kehidupan
49
50
51
52
baik legal maupun illegal. Keempat, karakteristik sumber daya alam yang
menunjukkan bahwa pengelolaan Sumber Daya Alam kurang terkendali, terutama
ekspoitasi sumber daya laut secara illegal. Kelima, karakteristik pertahanan
dimana penduduk mudah terprovokasi isu pemisahan NKRI, rawan ancaman
langsung dari luar, sistem informasi dan komunikasi yang lemah, serta lemahnya
pengawasan karena pos-pos TNI dan pos lintas batas kurang memadai.
Wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia dilihat dari aspek sosial
budaya berkaitan erat dengan gambaran kehidupan masyarakatnya yang penuh
dengan dinamika. Keadaan masyarakat di kawasan perbatasan saat ini tidak
memiliki aksesibilitas yang baik dan masih dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi negara tetangga. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat umumnya
berkiblat ke wilayah negara tetangga, seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan,
khususnya di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan adanya kondisi yang lebih baik
atau pengaruh sosial dan ekonomi yang lebih kuat dari negara tetangga (Waluyo,
2011: 42). Selain itu, wilayah perbatasan mempunyai potensi sumber daya alam
yang cukup besar, sedangkan sumber daya manusia di wilayah tersebut masih
jarang serta masih rendah kualitasnya. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat
lebih mudah mendapatkan kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. Selain itu,
untuk memasarkan hasil produksi, mereka lebih memilih untuk memasarkannya
ke negara tetangga. Proses ini berlangsung terus sehingga secara tidak langsung
telah membuat masyarakat setempat menggunakan dan menyimpan mata uang
asing atau mata uang negara tetangga untuk memudahkan proses produksi dan
untuk kegiatan tukar-menukar dalam memenuhi kebutuhan hidup.
53
54
2.5
2.5.1
Kerangka Pemikiran
Dalam menghadapi lingkungan baik lingkungan fisik (alam) maupun
di
lautan.
Strategi
yang
dipandang
adaptif
adalah
dengan
55
56
57
Merujuk pada Abdoellah (1993), proses adaptasi nelayan Desa Sei Pancang
terhadap lingkungan kawasan perbatasan, selain dipengaruhi oleh lingkungan
sosial dan ekonomi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya mereka. Konsep
budaya tersebut digunakan untuk mengkaji adaptasi nelayan di wilayah perbatasan
melalui strategi adaptasi yang mereka lakukan karena diasumsikan mereka
melakukan adaptasi dalam mengantisipasi perubahan lingkungan fisik maupun
sosial, untuk dapat bertahan dengan melakukan tindakan yang dianggap efisien,
efektif, dan strategis dalam mendayagunakan sumber daya yang ada. Mereka
mampu bertahan melalui adaptasi dengan lingkungan sekitarnya melalui
penerapan nilai-nilai budaya Bugis dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
kegiatan kenelayanan yakni melalui penelrapan nilai siri dan juga menjalani
hubungan patron-klien. Proses adaptasi manusia bergantung pada kemampuan
dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian,
proses adaptasi yang terjadi pada setiap masyarakat akan berbeda. Lebih lanjut,
untuk mengantisipasi perubahan lingkungan fisik dan sosial maka diperlukan
suatu strategi untuk dapat bertahan. Di dalam penelitian ini, strategi adaptasi
merupakan hal terpenting untuk dapat mengetahui dan menganalisis bagaimana
adaptasi
nelayan
di
wilayah
perbatasan
dalam
melangsungkan
dan
mempertahankan hidupnya.
Nelayan Sei Pancang melakukan adaptasi terhadap lingkungan wilayah
perbatasan agar dapat bertahan hidup. Secara georgrafis, wilayah ini mempunyai
potensi sumber daya alam yang cukup besar, namun jumlah penduduk di wilayah
tersebut masih jarang, sehingga potensi tersebut belum bisa dimanfaatkan secara
58
59
dilatarbelakangi oleh budaya mereka serta memiliki ikatan patron-klien yang kuat.
Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat nelayan umumnya bercirikan adanya
hubungan patron-klien sebagai akibat kegiatan penangkapan ikan yang bersifat
penuh resiko dan ketidakpastian. Demikian halnya dengan nelayan Desa Sei
Pancang, mereka memiliki ikatan dengan para toke dalam kegiatan melaut. Ikatan
ini dapat diasumsikan sebagai hubungan patron-klien yang sering bersifat
eksploitatif dan sengaja dipelihara patron, namun demikian, merujuk pada Satria
(2000), patron-klien yang tercipta antara nelayan Desa Sei Pancang dengan toke
mampu mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan menjadi lebih sejahtera.
Dalam hal ini, nelayan Desa Sei Pancang cenderung merasakan sisi positif
dibandingkan dengan sisi negatif. Nelayan merasa terbantu dengan keberadaan
toke sebagai pemberi pinjaman modal dalam kegiatan melaut. Dalam hal ini,
nelayan Sei Pancang memiliki posisi yang lemah dibandingkan dengan toke
sebagai pemilik modal karena nelayan tidak memiliki posisi tawar dalam
menentukan harga ikan. Namun demikian, nelayan tetap mempertahankan
hubungan mereka dengan toke demi kelangsungan hidup kawasan perbatasan
yang memiliki berbagai keterbatasan.
Nelayan Desa Sei Pancang
budaya
60
2.5.2
Proposisi
Adaptasi nelayan kawasan perbatasan terhadap lingkungannya dilakukan