Anda di halaman 1dari 43

18

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Adaptasi
Adaptasi secara definisi dapat diartikan sebagai proses hubungan timbal-

balik (interrelasi) manusia terhadap perubahan-perubahan (dinamika) yang terjadi


dalam lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial (Alland 1975, Harris
1968, Moran 1982). Sementara itu, menurut Cohen (1986:46):
the concept of adaptation is the key mechanism in the evolutionary
process, was originally developed in the study of biological evolution. The
relationship of organism to their habitats, the term of adaptation refers to
success, measured by the ability of population to survive and reproduce.
Odum (1988:10) mengemukakan bahwa adaptasi merupakan suatu proses
dimana individu mencoba mengelola hidup mampu bertahan dalam menghadapi
tantangan lingkungan fisik. Sementara itu, menurut Soekanto (1984: 10) adaptasi
adalah:
(1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, (2) proses
perubahan untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, (3)
penyesuaian dari kelompok terhadap lingkungannya, (4) penyesuaian
pribadi terhadap lingkungannya, dan (5) penyesuaian biologis atau budaya
sebagai hasil seleksi alamiah.
Adaptasi menjadi sebuah proses perubahan dalam menyesuaikan diri sesuai
dengan situasi yang terjadi pada lingkungan yang berubah. Perubahan tersebut
sebagai hasil dari seleksi alam. Poerwanto (2005:61) menyatakan bahwa adaptasi
mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan suatu
organisme pada suatu lingkungan, dan perubahan yang ditimbulkan oleh
lingkungan dari organisme tersebut. Berkaitan dengan pendapat tersebut,

19

Adimiharja (1993:11) menyatakan bahwa adaptasi merupakan usaha manusia atau


makhluk hidup lainnya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan tertentu
dalam mendayagunakan sumber daya untuk menanggulangi atau menghadapi
masalah yang mendesak. Dalam hal ini, adaptasi bukan hanya bertahannya suatu
spesies dalam lingkungannya, tetapi bagaimana kebudayaan tetap lestari dan
mampu bertahan melalui proses penyesuaian terhadap lingkungan. Adaptasi
menuntut pengembangan pola-pola perilaku, yang akhirnya membantu suatu
organisme agar mampu memanfaatkan suatu lingkungan tertentu demi
kepentingannya, baik untuk memperoleh bahan pangan maupun menghindari diri
dari bahaya.
Mc. Elroy dan Townsend (1989:12) menyatakan bahwa adaptasi merupakan
kemampuan

individu

untuk

mengelola

dan

bertahan

dalam

kondisi

lingkungannya. Kapasitas individu untuk dapat bertahan dalam kondisi


lingkungan dan kemampuan adaptasi individu tersebut memiliki nilai penting bagi
kelangsungan hidupnya. Penjelasan mengenai adaptasi dari beberapa ahli tersebut
pada dasarnya menyatakan bahwa adaptasi merupakan hubungan antara manusia
dan lingkungannya dalam mempertahankan hidup dengan mengembangkan
berbagai strategi atau tindakan dalam menghadapi dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya.
Menurut Boedhisantoso (2009 : 299) adaptasi manusia terhadap lingkungan
dilakukan secara aktif. Dalam hal ini, manusia berusaha untuk memanfaatkan
lingkungannya dan membina hubungan secara aktif dalam memenuhi kebutuhan
hidup yang dihadapinya. Selain itu, manusia dalam hidupnya dituntut untuk dapat

20

memenuhi kebutuhannya. Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus


dilakukan dengan beradaptasi dengan lingkungannya, seperti yang dikatakan
Hardesty (dalam Abdoellah, 1993:6) Adaptation is the process through which
beneficial relationship are established and maintained between an organism and
its environment. Dalam proses adaptasi tersebut manusia tidak sekedar
melakukan penyesuaian secara fisik, melainkan berbuat lebih dari itu. Oleh
karena itu, manusia dilengkapi dengan suatu sistem adaptasi yang dinamakan
kebudayaan. Kebudayaan akan selalu berkembang dan berubah sejalan dengan
lingkungan yang dihadapi oleh manusia.
Menurut Pearson (dalam Wallace dan Wolf, 1980: 42-43) bahwa
kebudayaan manusia berkembang dan mengalami perubahan karena adanya
peningkatan kemampuan beradaptasi. Menurut Haviland (1993: 3) manusia
beradaptasi melalui medium kebudayaan pada waktu mereka mengembangkan
cara-cara (strategi) untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan sumber daya yang
mereka temukan dan juga dalam batas-batas lingkungan tempat mereka hidup.
Dalam hal ini budaya merupakan respon adaptif manusia terhadap perubahan
lingkungannya. Demikian halnya dengan, Kaplan dan manners (2002 : 104)
menjelaskan bahwa adaptasi manusia dilakukan secara aktif dengan memodifikasi
dan mengadaptasikan lingkungan terhadap diri manusia sendiri. Dalam hal ini,
manusia beradaptasi melalui sarana budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Abdoellah (1993) dalam menjelaskan mengenai proses adaptasi
para transmigran di Barambai bahwa budaya dan organisasi yang diciptakan
manusia mampu untuk melangsungkan kehidupan masyarakat dengan adanya

21

tekanan perubahan lingkungan yang sesuai dengan strategi yang diciptakan


masyarakat dalam merespon perubahan lingkungan. Konsekuensi dari adanya
perubahan lingkungan diperlukan adanya adaptasi dengan lingkungan baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial agar manusia dapat bertahan hidup.
Kemampuan individu atau kelompok untuk dapat beradaptai dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan budaya. Dalam hal ini, Abdoellah
menyatakan bahwa adaptasi manusia dipengaruhi oleh latar belakang budaya.
Kaplan dan Manner (2002: 112) menjelaskan adaptasi sebagai proses yang
menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Pemahaman mengenai
hubungan manusia dengan lingkungannya tidak dapat dipisahkan karena manusia
dituntut untuk mampu mengatasi masalah serta dapat mengendalikan tantangan
terhadap lingkungan sekitarnya. Secara umum, manusia sebagai makhluk hidup
harus menjaga hubungan dengan lingkungannya sebagai bentuk adaptasi agar
dapat bertahan hidup.

Menurut Cohen (1986:46) every culture can be

conceptualized as a strategy of adaptation, and each represents a unique social


design for extracting energy from the habitat. Adaptasi sering diartikan sebagai
proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Budaya dan
lingkungan berinteraksi dalam suatu sistem tunggal dimana budaya berpengaruh
terhadap lingkungan dan sebaliknya lingkungan berpengaruh terhadap budaya.
Adaptasi tidak dapat terjadi tanpa mengacu pada suatu lingkungan tertentu.
Geertz (1973:10) menyatakan bahwa sifat adaptasi suatu komunitas
tergantung pada perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan
lingkungan alam, dalam arti kebudayaan mempengaruhi proses dan strategi

22

adaptasi. Adaptasi aktif menyangkut strategi, pola dan model yang digunakan
masyarakat dalam mengelola lingkungan dan mendayagunakan sumber daya alam
yang ada di dalamnya. Strategi adaptasi adalah proses interaksi dinamis antara
manusia dengan dengan lingkungannya, dan cakupan upaya atau siasat yang
digunakan oleh manusia dalam kehidupannya untuk merespon perubahan sosial
dan lingkungan (Alland, 1975; Alland dan McCay, 1973: Harris, 1968; Rappaport,
l971 dalam oleh Abdoelah, 1993:7). Strategi adaptasi erat kaitannya dengan
karakteristik kebudayaan yang berhubungan dengan cara manusia beradaptasi atas
lingkungannya, meliputi pengetahuan mengenai sumber daya serta teknik
produksi dan reproduksi sumber daya (Orlove 1980:236 dikutip oleh Gunawan,
Thamrin, Suhendar, 1998:77). Strategi adaptasi dapat diartikan sebagai pilihan
tindakan yang bersifat rasional dan efektif yang dilakukan oleh manusia sesuai
dengan konteks lingkungan sosial-politik-ekonomi-ekologi untuk mengalokasikan
sumber daya yang tersedia di lingkungannya serta mengatasi tekanan sosialekonomi dan perubahan lingkungannya (Marzali, 1993:48).
Respon adaptif manusia terhadap lingkungan dalam bentuk tingkah-laku
individu dan proses sosial disebut dengan kebudayaan (Bennet, 1979; Haviland,
1981: dikutip oleh Gunawan, Thamrin, dan Suhendar, 1998:77). Kebudayaan
(budaya)

diartikan

sebagai

ekspresi adaptasi

manusia

terhadap

setting

lingkungannya (Gunawan, 2001). Lebih lanjut, Iskandar (2009:69) menjelaskan


bahwa adaptasi kebudayaan didefinisikan sebagai suatu strategi penanggulangan
yang diupayakan manusia dalam kehidupannya untuk merespon perubahan
lingkungan maupun perubahan sosial.

23

Dalam penelitian ini, untuk menganalisis masalah penelitian digunakan


konsep adaptasi yang dikemukakan oleh Abdoellah (1993). Konsep tersebut
digunakan untuk menganalisis masalah penelitian karena dianggap relevan dengan
fenomena yang terjadi di lapangan. Konsep-konsep lainnya yang berkaitan dengan
adapatasi dan kebudayaan dalam tulisan ini dijadikan sebagai konsep pendukung
dalam menganalisis masalah penelitian.
Kebudayaan pada dasarnya memiliki eksistensinya dalam ruang dan
waktu, yang mempunyai wujud baik dalam bentuk ide, proses sosial dan hasil dari
proses sosial dalam wujud karya manusia. Dalam sistem adaptasi dan budaya,
Keesing (1976: 74-76) menjelaskan bahwa:
(a)Kebudayaan adalah sistem (dari pola perilaku yang disalurkan secara
sosial) yang berguna untuk menghubungkan masyarakat manusia dengan
lingkungan mereka. Cara hidup masyarakat ini meliputi teknologi dan cara
organisasi ekonomis, pola-pola pemukiman, cara-cara pengelompokkan
sosial dan organisasi politik serta penerapan kepercayaan dan religius; (b)
sebagai sistem adaptif, kebudayaan merupakan mekanisme umpan balik
pada sistem budaya, yaitu terjadi perubahan kebudayaan kearah
equilibrium di dalam ekosistem. Namun bila keseimbangan diganggu oleh
lingkungan, demografis, teknologis atau perubahan sistem lainnya, maka
perubahan adjustive selanjutnya bercabang melalui sistem kultural; (c)
teknologi ekonomi mencari nafkah dan unsur-unsur organisasi sosial yang
langsung terikat dengan produksi merupakan bidang kebudayaan sentral
yang paling adaptif; dan (d) komponen-komponen ideasional dari sistem
kultural dapat mempunyai akibat-akibat adaptif di dalam mengawasi
populasi, membantu mencari nafkah, memelihara ekosistem, dan
sejenisnya.
Proses adaptasi berhubungan dengan kemampuan yang melekat pada
konstruksi fisik manusia seperti pemakaian alat dan bahasa. Kebudayaan
merupakan keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki
manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat. Dalam

24

hubungan ini, Steward (dalam Moran, 1982:43) mengatakan bahwa strategi


adaptasi dapat dilihat dari segi:
(1) Hubungan antara kegiatan ekonomi dengan lingkungan sekitarnya.
(2) Hubungan antara pola tingkah laku manusia dengan teknologi produksi
(3) Seberapa besar pengaruh tingkah laku terhadap perubahan
kebudayaannya.
Konsepsi antar hubungan strategi adaptasi merupakan tujuan untuk mewujudkan
keberhasilan karya manusia. Keterkaitan pola bersikap maupun pola berprilaku,
atau pola bertindak sebagai eksistensi kebudayaan menjadi kesatuan integral
dalam mewujudkan proses adaptasi. Pada aktivitas tersebut terdapat pola
penyesuaian manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Dalam hal ini
pola penyesuaian yang dimaksud mengandung arti bahwa dalam melakukan
adaptasi terdapat suatu perubahan perilaku manusia dalam mengantisipasi
lingkungannya.
Proses adaptasi berhubungan dengan kemampuan yang melekat pada
konstitusi fisik manusia dan kehidupan sosial suatu komunitas yang direfleksikan
pada pola-pola kebudayaan. Hasil dari proses adaptasi menunjukkan perilaku ke
arah perubahan yang lebih baik untuk terwujudnya integrasi kehidupan sosial.
Perilaku yang terlembagakan kemudian menghasilkan suatu sistem adaptasi yang
terpola dan merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu
kebudayaan. Aspek kebudayaan memiliki keterkaitan secara langsung dengan
aktivitas manusia yang dapat menjelaskan strategi mereka dalam beradaptasi
dengan lingkungannya. Secara umum, kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Pengetahuan ini berisi seperangkat model-model pengetahuan yang secara selektif

25

dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang


dihadapi dan untuk mendorong tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dengan
kata

lain,

kebudayaan

adalah

suatu

pedoman

bagi

manusia

dalam

mengadaptasikan dirinya dengan lingkungannya sehingga manusia dapat


melangsungkan kehidupannya dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya agar dapat hidup lebih baik.

2.2

Nelayan
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung

langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi
daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan
pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, dalam Subri, 2005:7).
Secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat
dan laut (Kusnadi, 2009:27). Ekosistem laut menjadi sumber bagi penduduk untuk
mencari ikan untuk bahan pangan.
Pada umumnya, penduduk menangkap ikan masih dengan menggunakan
cara-cara tradisional, misalnya memancing dan memasang jaring. Selain itu,
masyarakat nelayan di Indonesia sering mempergunakan metode-metode ilmu
gaib untuk menambah metode-metode teknologi yang nyata. Masyarakat nelayan
pun memiliki sistem kepercayaan lokal yang tercermin pada mitos-mitos yang
hidup dalam masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1981:121; Kusnadi, 2000:12).
Mitos-mitos yang hidup diantaranya adalah mitos Ratu Laut Selatan (Nyi Roro

26

Kidul) pada masyarakat pesisir selatan Pulau Jawa dan mitos Nabi Khidir yang
menguasai pantai utara Madura.
Masyarakat nelayan sebagai suatu sistem terdiri atas kategori-kategori
sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan
simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor
kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan
kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung
maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola
potensi sumberdaya kelautan (Solihin, 2004).
Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai terdiri atas kelompok
masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya secara langsung atau
tidak langsung dari sumber daya pantai atau laut dan kelompok masyarakat yang
sama sekali tidak tergantung dari sumber daya yang ada di laut atau pantai. Pada
kelompok yang menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya
laut/pantai, berdasarkan lokasi kegiatannya, dapat dibedakan dua kelompok yaitu
kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di laut lepas (off-shore) dan di laut
dengan jarak relatif dekat dari pantai (in-shore) atau di kawasan pantai itu sendiri
(daratan). Berdasarkan kegiatannya, dapat dibedakan antara kelompok yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan (fish capture) dan yang melakukan usaha
budi daya (marine/fish culture). Kelompok nelayan yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut lepas, dapat melakukannya secara berpindah-pindah
pada berbagai lokasi tergantung dari musim dan keberadaan/migrasi ikan.
Kelompok nelayan yang melakukan kegiatan di sekitar pantai, biasanya tidak

27

melakukan migrasi yang intensif seperti nelayan laut lepas. Sumberdaya yang ada
di sekitar pantai menjadi sumber penghidupan yang utama. Migrasi yang di
lakukan biasanya dengan berpindah tempat tinggal dari suatu pantai ke pantai lain
dengan tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pantai. Kegiatankegiatan yang dilakukan kelompok nelayan atau masyarakat seperti ini, misalnya
adalah penangkapan ikan di sekitar pantai dengan menggunakan perahu dan alat
tangkap yang tidak terlalu canggih seperti jaring dengan ukuran kecil atau
kail, atau menggunakan jaring yang ditarik dari tepi pantai.
Definisi nelayan menurut Direktorat Jenderal Perikanan Departemen
Pertanian (1995) adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Sementara
itu, nelayan menurut Satria (2009:121) merupakan kelompok sosial yang selama
ini terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Hal ini merupakan
kecenderungan di berbagai negara.
Di India, nelayan identik dengan kasta rendahan. Di Kanada, nelayan first
nation juga termarjinalkan secara ekonomi dan politik. Di Jepang, profesi nelayan
identik dengan kitanai, kitsui, kiken yang artinya kotor, keras dan membahayakan,
meskipun nelayan di Jepang ini rendah secara sosial, namun tidak secara ekonomi
dan politik. Mereka tetap diperhitungkan secara politik oleh Pemerintah sehingga
kebijakan pembangunan banyak yang berpihak pada kepentingan nelayan.
Kondisi berbeda dengan di Indonesia dimana nelayan masih belum berdaya secara
ekonomi dan politik. Organisasi ekonomi nelayan masih belum kuat dan mereka
masih terkungkung pada ikatan-ikatan tradisional dengan para toke dan tengkulak.

28

Belum ada institusi yang mampu menjamin kehidupan nelayan selain institusi
patron-klien tersebut.
Nelayan dibedakan dalam beberapa jenis, seperti Pollnac (1998, dalam
Satria 2002) membedakan nelayan ke dalam dua kelompok yaitu nelayan besar
(large scale fisherman) dan nelayan kecil (small scale fisherman). Namun,
menurut Satria, tipologi nelayan menurut Pollnac kurang memadai untuk tipe
negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, Satria (2009:384) mencoba
mengelompokkan nelayan menurut karakteristik usaha menjadi empat tingkatan
yang dilihat berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi
pasar dan karakteristik hubungan produksi.

Keempat jenis nelayan tersebut

adalah (1) peasant fisher; (2) post peasant fisher; (3) commercial fisher; dan (4)
industrial fisher.
Pertama, peasant fisher merupakan nelayan tradisional yang biasanya
lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sendiri (subsistensi). Nelayan
jenis ini hasil tangkapan dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari;
menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan
masih menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja dalam membantu
kegiatan melaut. Kedua, post peasant fisher. Nelayan jenis ini muncul setelah
berkembangnya motorisasi perikanan sehingga nelayan jenis peasant fisher
berkembang menjadi post peasant fisher. Nelayan ini dicirikan dengan
penggunaan teknologi alat tangkap yang lebih maju seperti motor tempel atau
kapal motor; mempunyai peluang untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih
banyak; jangkauan daerah tangkapan lebih jauh; beroperasi di wilayah pesisir;

29

mulai berorientasi pasar; memiliki tenaga kerja atau anak buah kapal (ABK); tidak
tergantung pada keluarga sebagai tenaga kerja. Ketiga, commercial fisher
merupakan nelayan yang sudah berorientasi pada keuntungan. Nelayan jenis ini
dicirikan dengan skala usaha besar, tenaga kerja memiliki status mulai dari buruh
sampai manajer; teknologi kapal dan alat tangkap yang digunakan sudah modern
dan membutuhkan keahlian untuk mengoperasikannya. Keempat, industrial fisher
atau nelayan industrial, mengacu pada ciri nelayan industrial menurut Pollnac
(1988; dalam Satria 2009 : 385) bahwa nelayan jenis ini diorganisir dengan caracara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju; lebih
padat modal; memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada pemilik dan awak
perahu; menghasilkan produksi ikan kaleng dan ikan beku untuk eksport.
Penjelasan itu dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1
Penggolongan Nelayan berdasarkan Karakteristik Usaha
Jenis Usaha
Usaha
Tradisional
Usaha PostTradisional
Usaha
komersial
Usaha
Industria

Orientasi
Ekonomi dan
Pasar
Subsistensi, rumah
tangga

Tingkat Teknologi

Hubungan Produksi

Rendah

Subsistensi,
surplus, rumah
tangga, pasar
domestik
Surplus besar,
domestik, eksport

Rendah

Tidak hirarkis, status


terdiri dari pemilik dan
ABK yang homogen
Tidak hirarkis, status
terdiri dari ABK yang
homogen

Surplus, eksport

Sumber : Satria (2009:386)

Menengah
Tinggi

Hirarkis, status terdiri


dari pemilik, manajemen,
ABK yang heterogen
Hirarkis, status terdiri
dari pemilik, manajemen,
ABK yang heterogen

30

Berdasarkan penjelasan beberapa tipe nelayan maka dalam penelitian ini nelayan
mengacu pada kategori nelayan menurut Satria (2009: 386) yaitu peasant fisher
dan post peasant fisher. Kriteria nelayan di desa Sei Pancang diasumsikan
memiliki ciri-ciri yang sama dengan peasent fisher dan post peasant fisher yang
termasuk ke dalam kategori nelayan tradisional. Pemilihan nelayan tradisional ini
bertujuan untuk melihat dan mengkaji bagaimana mereka dengan segala
keterbatasannya beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial dalam mempertahankan hidupnya.
Posisi nelayan dalam masyarakat sangat menarik untuk dicermati. Hal ini
karena di masyarakat status nelayan dianggap memiliki status yang relatif rendah
(Satria, 2009:337). Rendahnya posisi nelayan ini adalah karena keterasingan
nelayan. Keterasingan tersebut menyebabkan masyarakat yang bukan nelayan
tidak mengetahui lebih jauh bagaimana dunia nelayan. Keterasingan pada
komunitas nelayan terjadi karena waktu yang tersedia untuk berinteraksi atau
bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya relatif sedikit. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya alokasi waktu yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan
dari pada untuk bersosialisasi dengan masyarakat uang bukan nelayan yang
memang secara geografis relatif jauh dari pantai.
Lebih lanjut, untuk mengetahui karakteristik nelayan, menurut Satria
(2009:338) dapat dilihat dengan mengetahui posisi sosial nelayan secara makro
dan mikro. Posisi nelayan secara mikro dijelaskan melalui struktur sosial nelayan
dalam masyarakat. Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan
kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat

31

kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi
nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah penting untuk
menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien ini merupakan
institusi jaminan sosial-ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan
belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial
ekonomi mereka.
Menurut Legg (1983 dalam Satria, 2009:338), pola hubungan patron-klien
ini berkaitan dengan hubungan: (1) di antara pelaku yang menguasai sumber daya
berbeda; (2) bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi; dan (3) yang
didasarkan atas asas saling menguntungkan. Berdasarkan penjelasan tentang
hubungan patronklien tersebut maka jelaslah bahwa hubungan antara nelayan
dan patronnya menguasai sumber daya yang berbeda. Dalam hal ini, patron
menguasai sumber daya modal jauh lebih besar daripada nelayan .
Perbedaan penguasaan sumber daya ini menyebabkan terjadinya hubungan
patron klien. Hubungan ini terus terjalin dalam komunitas nelayan karena
belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagai mana patron (Satria,
2009:340). Nelayan belum mampu membangun institusi baru secara mandiri
meskipun diakui bahwa karakter nelayan memiliki solidaritas sesama yang kuat,
etos kerja dan mobilitas tinggi. Disamping memiliki karakter yang kuat, namun
nelayan mempunyai kelemahan, khususnya kemampuan dalam mengorganisasi
diri baik untuk kepentingan ekonomi maupun profesi karena sebagai nelayan
menganggap status nelayan merupakan way of life sehingga etika subsistensi
masih menjadi pegangan bagi mereka. Ikatan-ikatan komunal yang ada (seperti

32

ikatan patronklien) umumnya masih dipertahankan untuk menjaga kepentingan


subsistensi mereka. Oleh karena itu, jelaslah mengapa ikatan patron-klien sulit
dilepaskan dalam komunitas nelayan.
Posisi nelayan secara makro yaitu nelayan dilihat secara politik. Berkaitan
dengan hal ini, Goodwin (1990; dalam Satria, 2009:340) menyatakan bahwa salah
satu ciri nelayan kecil (small scale fisher) adalah tidak adanya kemampuan
nelayan untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga nelayan terus berada
pada posisi termarjinalkan. Dalam hal ini, faktor modal menjadi sangat dominan
dalam menentukan posisi nelayan. Semakin besar penguasaan modal maka
semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik. Kekuatan
ekonomi atau modal mempunyai peran penting dan menentukan kehidupan
politik, hukum, sosial dan budaya nelayan.
Nelayan tidak dapat melakukan diversifikasi penangkapan ikan karena
membutuhkan keahlian tertentu dan membutuhkan waktu yang relatif panjang dan
modal yang cukup besar (Kusnadi, 2002:43). Nelayan sampan pancingan akan
mengalami kesulitan bila ia harus beralih menjadi nelayan tambak saat tidak
musim ikan tongkol atau cakalang. Tiap-tiap kristalisasi keahlian membutuhkan
proses belajar yang lama dan karenanya diversifikasi pekerjaan kenelayanan
sangat sulit dilakukan dan mengandung resiko yang besar.
Nelayan sulit melakukan diversifikasi karena secara sosio-kultural sangat
terikat dengan pekerjaannya sebagai penangkap ikan dan menganggap laut
sebagai halaman rumah yang setiap hari harus dilihat dan dilewati. Konversi
pekerjaan dapat dilakukan bila kegiatan menangkap ikan benar-benar tidak dapat

33

mencukupi kebutuhan subsistensi. Penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi


menunjukkan bahwa konversi pekerjaan yang dapat dimasuki oleh nelayan adalah
sektor-sektor informal seperti buruh bangunan atau tukang becak. Jika keadaan
potensi ikan di perairan cukup baik, para nelayan akan kembali melaut hingga
masa paceklik. Konversi pekerjaan ini merupakan pilihan rasional untuk
menguntungkan kepentingan rumahtangganya dalam menjamin kelangsungan
hidup (Kusnadi, 2002).
Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, desa-desa pesisir dengan
penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan merupakan kantong-kantong
kemiskinan struktural (Mubyarto, et al, 1984; Kusnadi, 2000; Kusnadi 2002).
Kebijakan pembangunan nasional masih belum berpihak kepada masyarakat
nelayan melainkan berorientasi pada masyarakat yang berada daratan. Kebijakan
ini dihasilkan dari terdapatnya anggapan bahwa masyarakat pesisir jumlahnya
jauh lebih sedikit dibandingkan masyarakat yang berada di daratan.
Kemiskinan yang melanda masyarakat nelayan mempersulit pembentukan
generasi berikutnya yang lebih baik (Kusnadi, 2002:6). Anak-anak sulit
mendapatkan pendidikan yang tinggi dan dituntut mencari nafkah untuk
mengurangi beban keluarganya. Bekerja sebagai nelayan buruh adalah pilihan
yang paling mudah dijalani oleh anak-anak nelayan. Dalam hal ini, orang tua
harus menerima kenyataan tersebut karena kesesuaian dengan kapasitas dan
kualitas sumber daya anak-anak mereka.
Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat, setiap hari para
nelayan berhadapan dengan kerasnya alam secara langsung. Mereka yang menjadi

34

anggota keluarga nelayan mungkin tidak dapat membayangkan pekerjaan lain


yang lebih mudah, sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Aktivitas
inilah yang dipelajari anak-anak dari orangtua mereka.
Rahardjo (2002:23) dengan mengutip Fernando et al. (1985:89)
menyatakan bahwa rekrutmen tenaga kerja dalam penangkapan ikan tidak diambil
dari luar masyarakatnya. Kusnadi (2000:14) menyatakan peran unit sosial
ekonomi keluarga nampak terlihat dengan adanya pembagian tugas di antara
anggotanya. Laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga bertanggungjawab atas
kebutuhan utama keluarga sehari-hari. Dalam setiap aktivitas di dalam
masyarakat, keterlibatan suami dianggap mewakili keluarganya. Tugas pokok
perempuan (isteri) di sektor domestik yaitu mengelola urusan rumah tangga.
Anak-anak memiliki kewajiban untuk membantu pekerjaan orang tuanya. Hal ini
memungkinkan bagi nelayan untuk membawa serta anak mereka (anak laki-laki)
dalam kegiatan penangkapan ikan sementara itu anak perempuan membantu
ibunya mengurusi urusan domestik.
Anak laki-laki lebih intensif terlibat dalam mencari nafkah keluarga. Pada
umumnya pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut adalah menjadi
nelayan buruh mengikuti orangtuanya (Rama, 1988; dalam Kusnadi 2000:14).
Mereka lebih menekankan pentingnya mencari nafkah untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari daripada bersekolah. Anak-anak yang melakukan
kegiatan tersebut merupakan cerminan strategi adaptasi mereka dalam menjaga
kelangsungan hidupnya (Kusnadi, 1996:32-33, dalam Kusnadi 2000:197). Oleh

35

karena pembagian tugas itu, unit analisis yang sangat penting dalam mengkaji
masyarakat nelayan adalah keluarga (Kusnadi, 2000).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada uraian itu berfokus pada
masyarakat nelayan dipulau Jawa. Penelitian yang mengkaji nelayan di luar Pulau
jawa masih jarang dilakukan, terutama di wilayah perbatasan negara. Pada
penelitian ini peneliti mengkaji bagaimana adaptasi nelayan yang berada di
kawasan perbatasan negara terhadap lingkungan perbatasan dalam meningkatkan
perekonomian keluarga, terutama yang berada di perbatasan laut, seperti nelayan
di Desa Sei Pancang yang terletak di Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Intensitas interaksi dan siklus musim di
desa pesisir akan mendorong penduduk setempat melakukan diversifikasi dan
konversi pekerjaan. Diversifikasi dan konversi pekerjaan ini secara rasional
dipandang mampu meningkatkan pendapatan keluarga dan sangat diperlukan
untuk mengurangi tekanan-tekanan penduduk terhadap sumber daya laut
(Kusnadi, 2002:64; Graburn, 1995; dalam Ahmed dan Shore, 1995:172).
Karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat petani.
Perbedaan ini dilihat berdasarkan sumber daya yang dihadapi. Masyarakat petani
menghadapi sumber daya yang terkontrol yaitu dalam hal pengelolaan lahan untuk
produksi suatu komoditas hasil yang akan diperoleh relatif bisa diprediksi. Dalam
hal ini, petani ikan (budi daya) tergolong ke dalam masyarakat petani karena
memiliki sumber daya yang relatif sama dengan petani. Lain halnya dengan
nelayan, nelayan memiliki sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open
access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan harus

36

berpindah-pindah untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Dengan


demikian, resiko yang harus dihadapi menjadi sangat tinggi. Kondisi sumber daya
yang

beresiko ini menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan

terbuka.
Karakteristik nelayan lainnya yaitu : (1). Memiliki sistem pengetahuan
lokal (indigineous knowledge) dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal
ini merupakan kekayaan intelektual yang harus dipertahankan. Seperti apa yang
dikatakan Juwono (1998, dalam Solihin 2010 :66) bahwa nelayan mengenal rasi
bintang untuk penunjuk arah yaitu rasi bintang Lintang Lumbung, Lintang Wuluh,
Lintang Gubug, dan Lintang Lanjar. (2). Ikatan patron-klien yang kuat; struktur
sosial masyarakat nelayan umumnya bercirikan adanya hubungan patron-klien
sebagai akibat kegiatan penangkapan ikan yang bersifat penuh resiko (high risk)
dan ketidakpastian sehingga perlu pemahaman khusus untuk menuntaskan
persoalan sosial-ekonomi mereka dalam perangkap hubungan patron-klien.
Seperti ditunjukkan studi Najib (1999 dalam Satria, 2000), mekanisme hubungan
patron-klien sering bersifat eksploitatf dan sengaja dipelihara patron, inilah sisi
negatif pola patron-klien. Sisi positifnya, patron-klien mampu mendorong
terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Sisi positif ini muncul karena secara nyata
hubungan patron-klien mampu menjadi cambuk bagi nelayan untuk keluar dari
perangkap keterbelakangan. Hal ini disebabkan hubungan patron-klien dalam
masyarakat nelayan berfungsi sebagai jaminan sosial ekonomi dalam menjaga
kelangsungan hidup masyarakat nelayan. Artinya, bahwa patron-klien merupakan
hubungan asimetris yang tidak dapat digeneralisasikan dalam konteks penyebab

37

kemiskinan nelayan. Sementara itu, munculnya pola patron-klien di masyarakat


nelayan disebabkan belum ada institusi formal yang mampu berperan
sebagaimana patron dalam menjamin kepentingan ekonomi mereka. Selain itu,
nelayan belum mampu membangun institusi baru secara mandiri, khususnya
kemampuan dalam mengorganisasikan diri untuk kepentingan ekonomi maupun
profesi.

2.3

Hubungan Sosial dan Patron Klien

2.3.1

Hubungan Sosial
Hubungan sosial terwujud melalui interaksi sosial yang dilakukan

berulang-ulang dengan pola yang sama dan bertahan dalam waktu yang lama
(Wulansari, 2009 : 39). Hubungan sosial selalu terjadi dalam masyarakat dan
telah banyak para ahli, khususnya sosiolog yang mendefinisikan hubungan sosial.
Pada sub bab ini, konsep hubungan sosial mengacu pada definisi hubungan sosial
Giddens (1984). Menurut Giddens (1984: 22), salah satu hal yang seharusnya
menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial adalah memandang hubungan pelaku
(tindakan) dan struktur sebagai hubungan dualitas dan bukannya dualisme.
Dualitas ini menurut Giddens selanjutnya selalu terjadi pada praktik sosial yang
berulang dalam lintasan ruang dan waktu.
Objek utama ilmu sosial bagi Giddens (1984:22) bukanlah peran sosial,
melainkan praktik sosial yang berulang serta terpola dalam lintas ruang dan
waktu. Hal tersebut menunjuk pada proses ruang-waktu sebagai unsur konstitutif
gejala sosial. Hubungan sosial teori strukturasi Giddens memiliki dimensi dan

38

kategori ruang-waktu. Dinyatakan pula oleh Giddens (1984:22), human agency


dan struktur sosial berhubungan satu sama lain. Tindakan-tindakan yang berulangulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah yang mereproduksi struktur
tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat dan mereproduksi
seperangkat

ekspektasi.

Perangkat

ekspektasi

orang-orang

lainlah

yang

membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai kekuatan sosial dan
struktur sosial. Hal ini berarti, terdapat struktur sosial seperti, tradisi, institusi,
aturan moralserta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga
berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan,
menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.
Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami
secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat,
namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained)
oleh masyarakat. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui
tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk
yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur
kausalitas

ini

berlangsung

ke

dua

arah

timbal-balik,

sehingga

tidak

memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur
dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka
kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. (Giddens, 1984:22)
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran:
(1) Kesadaran diskursif (discursive consciousness), yaitu apa yang mampu
dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi

39

sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri; (2.) Kesadaran


praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang
kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri.
Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif; (3) Motif atau
kognisi tak sadar. Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara
(mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung
dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas.
Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung
dilandaskan pada motivasi tertentu. Turunan dan bentuk dari hubungan sosial
sangat beragam, meliputi proses yang asosiatif maupun disosiatif, termasuk juga
di dalamnya kesadaran-kesadaran pengalaman yang membentuk perilaku dan
struktur keseharian sebagai upaya memaksimalkan hubungan sosial untuk
mendapatkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat.
Dalam konteks nelayan Desa Sei Pancang, tiga tingkat kesadaran tersebut
memunculkan mode hubungan sosial yang bersifat lintas negara, yaitu dengan
berhubungan dengan penduduk di Negara Malaysia agar kepentingan-kepentingan
nelayan Desa Sei Pancang dapat terakomodir. Hubungan tersebut meliputi
hubungan yang bersifat formal maupun informal, termasuk di dalamnya hubungan
sosial patron-klien antara toke Malaysia (patron) dan nelayan Desa Sebatik
(klien).

2.3.2. Patron Klien

40

Kajian tentang gejala patronase telah banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu
sosial di luar Indonesia, namun demikan, bukan berarti gejala patronase tersebut
tidak ada di Indonesia. Sebaliknya, gejala tersebut dapat dilihat terutama pada
daerah-daerah pedesaan (Putra, 20078:3). Patron klien mengacu pada pendapat
Scott (1972: dalam Putra, 2007:4) adalah:
suatu kasus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan
persahabatan instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan
sosial ekonomuinya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya
yang dimilikinya untuk member perlindungan atau keuntungan atau
kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien),
yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan
dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada
patron.
Putra (2007:4) menyatakan agar hubungan ini dapat berjalan dengan mulus,
diperlukan adanya unsur-unsur tertentu di dalamnya. Unsur pertama adalah bahwa
yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain.
Unsur kedua. dengan pemberian ini pihak penerima merasa mempunyai
kewajiban untuk membalasnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik. Unsur
timbal balik tersebut merupakan pembeda dengan hubungan yang bersifat
pemaksaan atau karena adanya wewenang formal. Selain itu, hubungan patronklien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang
memungkinkan pihak klien melakukan penawaran. Hal ini memiliki makna, jika
salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti apa yang
diharapkannya, pihak tersebut dapat menarik diri dari hubungan patron-klien
tanpa terkena sanksi sama sekali.

41

Dari sisi kedudukan, patron berada dalam posisi pemberi (barang atau
jasa) yang dibutuhkan oleh klien beserta keluarganya (Putra, 2007:5). Dalam
hubungan patron klien, selalu terjadi hubungan tatap muka langsung antara patron
dengan klien. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang bersifat pribadi
terjadi di dalam hubungan patron-klien, menimbulkan rasa simpati antar kedua
belah pihak, dan selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya dan intim.
Kedekatan tersebut dapat dicirikan dengan penggunaan panggilan dari satu pihak
ke pihak lain dan sebaliknya. Walaupun bersifat dekat, di sisi lain, kedua belah
pihak, baik patron maupun klien memperhitungkan untung dan rugi dalam
hubungan tersebut. Dengan demikian hubungan ini bersifat instrumental, namun
bukan berarti hubungannya bersifat netral sama sekali. Unsur rasa masih
memainkan peran penting di dalam hubungan patron klien.
Keseimbangan menjadi kata penting dalam hubungan patron klien. Putra
(2007:6-8) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara ketimpangan dan
ketidakseimbangan. Dalam hubungan patron klien, terjadinya hubungan tersebut
ditandai dengan adanya keseimbangan dari pihak patron dengan pihak klien.
Hubungan timbal baliknya, sangat mungkin tidak dapat diukur secara materi yang
diberikan dianggap seimbang atau setara, tetapi lebih pada nilai rasa, yang
diberikan tidak dapat diberikan label harga yang sama, tetapi lebih pada
pandangan kepuasan pihak pemberi. Sebagai contoh, seorang patron menganggap
seimbang saat ia memberikan modal kepada nelayan jika nelayan tersebut mau
menjual ikannya dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga pasaran.

42

Penelitian dari Putra (2007) dianggap relevan dalam penelitian ini karena
berfokus sistem patron klien pada etnik Bugis di Sulawesi Selatan. Berkaitan
dengan kesamaan etnis di Desa Sei Pancang., sistem patron klien menjadi dasar
hubungan bagi etnis Bugis sejak dahulu kala (Putra, 2007:13). Sistem patron
klien yang telah mengarah pada kesetiaan telah mendarah daging di kalangan etnis
Bugis, sehingga di mana pun mereka berada, sistem patron klien akan selalu
dilaksanakan. Dengan demikian, patron klien sudah sedemikian membudaya pada
etnik Bugis. Wertheim (1969, dalam Putra, 2007:29) menyatakan adanya
stratifikasi yang nyata dalam masyarakat dan hal tersebut adalah kondisi
pendorong tumbuhnya hubungan patron klien. Stratifikasi tersebut diterjemahkan
sebagai stratifikasi dalam penguasaan sumber-sumber daya. Pihak yang
menguasai sumber-sumber daya memiliki strata yang lebih atas daripada pihak
yang tidak menguasai sumber-sumber daya. Wertheim (1969, dalam Putra,
2007:29) berpendapat bahwa dalam hubungan teresbut sangat mungkin terdapat
bentuk eksploitasi yang nyata. Namun karena hubungan patro klien bersifat
pribadi, informal, serta sedikit banyak paternalistis, maka terdapat kecenderungan
untuk kemudian memanusiawikannya. Hubungan patron klien bersifat sukarela,
tidak perlu dipaksa untuk menjadi patron ataupun klien dan bersifat luwes,
terutama jika salah satu pihak dianggap tidak memberikan hal yang memuaskan
oleh pihak lain, sehingga ia dapat menghentikan hubungan tersebut.
Dalam konteks budaya Bugis, Putra (2007) menyatakan bahwa ciri utama
budaya Bugis adalah sifatnya yang sangat hierarkis. Selain ciri khas budaya yang
hierarkis, Putra (2007) memaparkan latar budaya Bugis dari aspek kesejarahan

43

yang meliputi 1) hierarki berupa pelapisan status sosial; 2) hierarki berupa


pelapisan kekuasan; 3) hierarki berupa pelapisan kekayaan; 4) ketidakamanan
sosial; 5) unit kekerabatan dan jaminan sosial. Dari ke lima aspek tersebut,
kesemuanya memberikan kemungkinan untuk berkembangnya hubungan patronklien pada budaya Bugis. Perbedaan status, kekuasaan, dan kekayaan sangat jelas
kehadirannya dalam masyarakat, berkaitan dengan kemampuan penguasaan atas
sumber-sumber daya. Berikutnya ditunjang dengan nilai-nilai kesetiaan yang
ditunjukkan oleh golongan lapisan bawah pada masyarakat Bugis terhadap
golongan lapisan di atasnya. Kesetiaan dari golongan lapisan bawah terhadap
lapisan atas merupakan bentuk pencarian perlindungan untuk mencapai rasa
aman. Untuk unit kekerabatan, menyangkut banyaknya kerabat yang dapat
dihubungi untuk diminta bantuannya dalam menyelesaikan masalah. (Putra, 2007:
143-146)

2.4

Kawasan Perbatasan
Konsep perbatasan pada awalnya mengacu pada konsep geografis-spasial.

Konsep ini baru dikatakan mengacu pada konsep sosial jika membahas tentang
masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan. Dalam hal ini,
perbatasan memiliki makna baru yaitu sebagai konstruksi sosial dan budaya yang
tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial. Perbatasan sebuah
negara, atau states border, dikenal bersamaan dengan lahirnya konsep negara.
Negara, dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa.
Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula

44

merupakan wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, terutama dapat dimaknai


oleh adanya peristiwa pertarungan untuk memperluas batas-batas antarnegara.
Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah perbatasan tidak
mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara
(Tirtosudarmo, 2002).
Kawasan perbatasan (border areas) selalu dikaitkan dengan sebuah atau
lebih wilayah yang secara geografis berhadapan langsung dengan wilayah
(territory) negara asing atau negara tetangga. Batas wilayah antara Indonesia dan
Malaysia, menurut Ricklefs (1981:138) "By about 1910, the boundaries of the
present state of Indonesia had been roughly drown by colonial armed forces, at a
great cost of lives, money, devastation, sosial cohesion, and human dignity and
freedom". Akibatnya batas-batas negara Asia Tenggara dewasa ini tidak pernah
dapat berpotongan dengan batas kultural secara tepat. Anthony D. Smith dalam
bukunya Ethnic Origin of Nations (1986, dalam Tirtosudarmo, 2002 : iv)
menggambarkan identitas nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang
mengandung berbagai elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimensentimen, dan simbolisme yang merekatkan sebuah komuniti yang mendiami
suatu teritori tertentu.
Starke (1972) mengungkapkan perbatasan merupakan salah satu
manifestasi penting dalam suatu negara dan bukan hanya suatu garis imajiner
diatas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah
dengan daerah lainnya. Dalam terminologi tentang masalah perbatasan ada suatu
perbedaan yang ditetapkan secara tegas antara perbatasan alamiah dan buatan.

45

Perbatasan alamiah terdiri atas gunung-gunung, sungai-sungai, pesisir pantai,


hutan-hutan, danau-danau dan gurun, dimana hal tersebut membagi wilayah dua
negara atau lebih.
Berdasarkan Undang-undang (No. 43 Tahun 2008) tentang Wilayah
Negara menyatakan bahwa kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara
yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara
lain. Menurut Peraturan Presiden (No. 5 Tahun 2010) tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJM) Tahun 2010-2014 kawasan perbatasan
negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis
berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas.
Dalam tulisan ini, pembahasan tentang perbatasan merujuk pada kawasann
perbatasan. Secara definisi terdapat perbedaan antara wilayah dan kawasan.
Merujuk pada UU No. 43 Tahun 2008, dengan jelas dibedakan definisi wilayah
(Negara) dengan kawasan (perbatasan). Wilayah negara adalah salah satu unsur
negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan, pedalaman,
perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya,
serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung
di dalamnya (Pasal 1 angka 1). Kawasan perbatasan adalah bagian daei Wilayah
Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan
negara lain (Pasal 1 angka 6). Dengan demikian, makna wilayah leboh luas ruang
lingkupnya dibandingkan dengan kawasan yang lebih spesifik dan merupakan
bagian dari wilayah. Oleh karena itu, penulis menganggap lebih tepat
menggunakan istilah kawasan perbatasan dalam penelitian ini.

46

Secara geografis, Indonesia memiliki dua dimensi perbatasan yaitu


wilayah perbatasan daratan dan wilayah perbatasan laut. Indonesia secara
langsung berbatasan di wilayah perbatasan daratan dengan tiga negara, yaitu :
Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Di wilayah perbatasan laut, Indonesia
berbatasan langsung dengan sepuluh negara, yaitu: Malaysia, Singapura, Filipina,
Indian Thailand, Vietnam, Perublik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua
Nugini (Waluyo dalam Yasni, 2010: 44).
Kawasan perbatasan darat di Indonesia terletak di empat provinsi, yaitu :
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan, pada kawasan perbatasan laut, ada enam provinsi yang memiliki
perbatasan langsung dengan negara lain, yaitu : Riau, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah
perbatasan mempunyai potensi sumber daya alam yang cukup besar, namun
jumlah penduduk di wilayah tersebut masih jarang, sehingga potensi tersebut
belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan data Kementrian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal tahun 2006, total jumlah penduduk yang ada di
kawasan perbatasan adalah 4,4 juta orang atau rata-rata tiap kabupaten 178.018
orang dengan persebaran penduduk adalah 51 orang/km.
Secara umum daerah perbatasan mempunyai karakteristik tertentu, (Canny
dalam Yasni, 2010 : 81), yaitu :
1. Lokasi yang relatif terpencil dan terisolir dengan aksesibilitas yang rendah.
2. Potensi sumber daya alam cukup besar. Potensi sumber daya alam di
kawasan perbatasan memiliki nilai ekonomi yang belum dikembangkan.
Potensi tersebut berupa hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka, daerah
yang memiliki kandungan mineral, tembaga, emas dan logam lainnya,

47

serta pulau yang memiliki potensi sumber daya kelautan baik sebagai
sumber daya perikanan, wilayah konservasi dan kawasan wisata bahari.
3. Penyebaran penduduk tidak merata. Umumnya mata pencaharian
penduduk di sekaitar kawasan perbatasan adalah bertani, berkebun dan
nelayan.
4. Tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan pada umumnya rendah. Dengan
kondisi seperti ini maka masyarakat di kawasan perbatasan lebih
berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi di wilayah negara tetangga yang
lebih mapan.
Wilayah

perbatasan

sesungguhnya

telah

menjadi

perhatian

para

antropolog. Meski demikian, perhatian dan kajian terhadap wilayah perbatasan


tersebut belum dilakukan secara mendalam, seperti yang diungkapkan oleh
Wilson dan Donnan (1998:3)
The anthropology of borders has a long but not very deep history, which
began in many ways with Barth's (1969) paradigmatic ideas on ethnic
boundaries, but which owes just as much to work that, although not
specifically focused on culture, nation and state at international borders,
nevertheless showed the value of localised studies for the understanding
of how cultural landscapes are superimposed across social and political
divides (see, for example, Cohen 1965 and Franken- berg 1989 [1957]).
Historical and ethnological studies (as collected, for example, in
Bohannan and Plog 1967) also helped to develop this interest, though it
was only in the 1970s as anthropologists began to address issues of
nationalism, political economy, class, migration and the political
disintegration of nations and states that a distinctive body of
anthropological work on international borders emerged.
Para antropolog mulai melakukan penelitian lapangan di wilayah
perbatasan negara atau di daerah terdepan suatu negara, seperti yang dilakukan
oleh Cole dan Wolf (1974; dalam Wilson dan Donnan, 1998: 3). Hal tersebut
dimaksudkan untuk memperlebar spektrum antropologi, khususnya antropologi
politik untuk mengarahkan pada hubungan formal dan nonformal yang terjadi
pada suatu masyarakat di wilayah perbatasan, dan mengkaji interrelasi mereka
dengan suatu kekuatan politik yang lebih besar.

48

Hasil penelitian yang diangkat oleh para antropolog atas penelitian mereka
diperbatasan

menunjukkan

menyatakan

bahwa

keberagaman

perbatasan

pendapat.

internasional

Beberapa

mempengaruhi

pendapat
kehidupan

kebudayaan setempat (Douglass 1977, Heyman 1991, Kavanagh 1994; dalam


Wilson dan Donnan, 1998: 3) atau menciptakan kondisi kehidupan komunitas
rural dan urban baru (Alvarez 1991, Price 1973 and 1974; dalam Wilson dan
Donnan, 1998:6). Pendapat lainnya menegaskan keberadaan pembangunan bangsa
dan negara (Aronoff 1974, Kopytoff 1987, Pettigrew 1994 dalam Wilson dan
Donnan, 1998:6); dan pendapat terakhir memfokuskan pada terjadinya mobilitas
manusia melintasi perbatasan antara dua negara (Alvarez 1994, Alvarez and
Collier 1994, Hann and Hann 1992, Hansen 1994, Malkki 1992; dalam Wilson
dan Donnan, 1998:4). Studi terkini memfokuskan pada simbol dan pemaknaannya
mengacu pada kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan (Lask 1994, Lavie
1990, Shanks 1994, Stokes 1994; dalam Wilson dan Donnan, 1998:4). Hampir
semua penelitian tersebut mengacu pada orientasi teoritis atau kehidupan
masyarakat lokal, namun fokusnya adalah pada hubungan sosial yang dibatasi
oleh negara, keterbatasan sarana fisik negara, dan transformasi struktur pada
masyarakat suatu negara dalam hubungannya dengan negara tetangga (Wilson dan
Donnan, 1998:4).
Wilson dan Donnan (1998) menyatakan bahwa penelitian terkini atas
perbatasan negara menyangkut aspek ekonomi dan politik yang terjadi pada
masyarakat di wilayah perbatasan. Hal tersebut tergambar dalam analisis
mengenai perbatasan antara Amerika Serikat dengan Meksiko di mana isu

49

mengenai ketertinggalan pembangunan, transnasionalisme, dan globalisasi atas


kekuatan dan modal, berada di antara aspek-aspek kebudayaan (Alvarez, 1995;
dalam Wilson dan Donnan, 1998:5). Karya-karya terkini memiliki kecenderungan
untuk bergerak ke arah yang lebih umum, dengan mengelaborasi skema klasifikasi
untuk beberapa jenis sifat perbatasan negara (Martinez 1994:5-10) atau dengan
merujuk pada pendapat bahwa wilayah perbatasan dilihat sebagai bagian dari
politik lokal yang berkaitan dengan kondisi ekologi (Heyman 1994: 51-9).
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia berada dalam posisi
periferal yang jauh dari pusat negara. Kondisi ini menimbulkan kenyataan bahwa
kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan terkadang masih
terasa asing dan sulit dibayangkan oleh publik. Pemahaman tentang wilayah
perbatasan hanya diperoleh secara parsial berdasarkan perspektif teritorial
Indonesia. Pemahaman mengenai wilayah perbatasan menciptakan proses adaptasi
di masyarakat. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan
secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan atau hanya
kondisi yang ekstrim. Adaptasi dilihat sebagai respon kultural atau proses yang
terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk
kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya
Kawasan perbatasan memiliki nilai strategis terutama sumber daya alam
yang dimiliki dan potensi investasi dari negara luar yang dapat memacu
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian pada wilayah tersebut. Healey
(2006) berpendapat bahwa terminologi identitas memiliki pengertian rasa
kepemilikan bersama yang bersumber dari kesamaan asal budaya maupun

50

geografis. Hubungan yang sifatnya penyesuaian tanpa menghilangkan identitas,


jati diri individu tersebut, sebagai bentuk dari adaptasi. Dalam melakukan
penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya, masyarakat tidak sampai merubah inti
budaya mereka. Hal ini menurut Fredrik Barth (1969) bahwa hubungan yang
terjadi antar budaya tidak selalu merubah identitas budaya tersebut meskipun
dalam melakukan hubungan tersebut terjadi interaksi, pembauran, kontak dan
pertukaran informasi, antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Seperti
yang diutarakan oleh Martinez (1994:19)
They are pulled in (at least) two directionslinguistically, culturally,
economically, and politicallygiving rise to a lack of strong identity with
the state. Borderlanders with the weakest loyalty to the state are often
those with the strongest ties to people across the border
Martinez memandang daerah perbatasan dari sejarah (Martinez, 1994
dalam Haba, 2005:1) yang dikategorikan dalam empat (4) bagian. Pertama;
aliniated borderland, dalam kategori ini lintas batas menjadi tempat terjadinya
pertukaran informasi yang kurang eksis terhadap pengaruh dari wilayah yang
berbatasan. Kerentanan ini antara lain disebakan karena perbedaan tingkat
kesejahteraan antara penduduk yang tinggal di wilayah yang saling berbatasan
politik, nasionalisme, perbedaan budaya, maupun persaingan etnis. Kedua;
coexistent borderland, yaitu suatu kondisi di mana konflik yang terjadi di
kawaasan lintas batas tetapi tetap meninggalkan pertanyaan yang belum
terpecahkan terutama dalam kaitannya dengan kepemilikan sumber daya yang
strategis di kawasan perbatasan. Ketiga; interdependent borderland merupakan
jenis kawasan perbatasan dimana wilayah kedua sisi yang saling berbatasan
merupakan gambaran stabilitas hubungan internasional antara kedua negara atau

51

lebih yang saling berbatasan. Masyarakat di sepanjang kedua kawasan perbatasan


terjalin hubungan yang saling menguntungkan secara ekonomi, seperti dalam
penyediaan fasilitas produksi dan penyediaan tenaga kerja. Keempat; integrated
borderland yaitu di mana kehidupan perekonomian di kawasan perbatasan
menyatu dengan negara tetangga dan terjalin hubungan yang sangat erat dalam
berbagai aspek kehidupan baik dengan masyarakatnya maupun dengan
pemerintah negara tang berbatasan. Hal ini tampak di kawasan perbatasan antara
Amerika dan Kanada. Berdasarkan pada penjelasan tentang kategori kawasan
perbatasan dari Martinez maka kawasan perbatasan antara Indonesia dengan
Malaysia yang terletak di Desa Sei Pancang, yang menjadi lokasi penelitian ini
termasuk ke dalam kategori ketiga yakni interdependent borderland.
Umumnya wilayah perbatasan merupakan daerah miskin dan tertinggal
dengan taraf sosial ekonomi yang rendah akibat keterisoliran, terbatasnya
infrastruktur dan fasilitas umum, serta rendahnya akses masyarakat dalam
mendapatkan informasi (Sunaryono, 2012: 178). Secara garis besar, kawasan
perbatasan menurut Lutfi (2011, 3) memiliki karakteristik sebagai berikut:
pertama, karakteristikfisik dan infrastruktur yang sangat terbatas seperti, masalah
garis batas, terisolir, sarana dan prasarana terbatas, pos pengawas lintas batas dan
costum, immigration, quarantine, security (CIQS) yang belum lengkap. Kedua,
karakteristik permukiman penduduk yang jarang dan tidak merata, kulitas sumber
daya manusia relatif rendah, angka kematian tinggi, secara etnis memiliki
hubungan kekeluargaan dengan saudara di negara tetangga. Ketiga, karakteristik
ekonomi terdapat kesenjangan sehingga memberi peluang arus barang dan jasa

52

baik legal maupun illegal. Keempat, karakteristik sumber daya alam yang
menunjukkan bahwa pengelolaan Sumber Daya Alam kurang terkendali, terutama
ekspoitasi sumber daya laut secara illegal. Kelima, karakteristik pertahanan
dimana penduduk mudah terprovokasi isu pemisahan NKRI, rawan ancaman
langsung dari luar, sistem informasi dan komunikasi yang lemah, serta lemahnya
pengawasan karena pos-pos TNI dan pos lintas batas kurang memadai.
Wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia dilihat dari aspek sosial
budaya berkaitan erat dengan gambaran kehidupan masyarakatnya yang penuh
dengan dinamika. Keadaan masyarakat di kawasan perbatasan saat ini tidak
memiliki aksesibilitas yang baik dan masih dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi negara tetangga. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat umumnya
berkiblat ke wilayah negara tetangga, seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan,
khususnya di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan adanya kondisi yang lebih baik
atau pengaruh sosial dan ekonomi yang lebih kuat dari negara tetangga (Waluyo,
2011: 42). Selain itu, wilayah perbatasan mempunyai potensi sumber daya alam
yang cukup besar, sedangkan sumber daya manusia di wilayah tersebut masih
jarang serta masih rendah kualitasnya. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat
lebih mudah mendapatkan kebutuhan sehari-hari dari negara tetangga. Selain itu,
untuk memasarkan hasil produksi, mereka lebih memilih untuk memasarkannya
ke negara tetangga. Proses ini berlangsung terus sehingga secara tidak langsung
telah membuat masyarakat setempat menggunakan dan menyimpan mata uang
asing atau mata uang negara tetangga untuk memudahkan proses produksi dan
untuk kegiatan tukar-menukar dalam memenuhi kebutuhan hidup.

53

Batas wilayah kedaulatan negara (boundary) menurut Hadiwidjoyo ( 2011:


67 - 69) memiliki arti penting di dalam dinamika hubungan antar negara. Hal ini
karena batas antarnegara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka.
Penentuan batas antarnegara telah diatur dalam berbagai konvensi internasional.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa boundary tidak selamanya ditaati
oleh penduduk perbatasan, teutama di daerah terpencil atau terisolir, yang dapat
dengan mudah melakukan lintas batas untuk tujuan tertentu, baik untuk
mengunjungi kerabat di negara tetangga, untuk melakukan kegiatan perekonomian
yaitu melakukan perdagangan bebas atau untuk tujuan lainnya. Interaksi dinamis
antar penduduk dua negara dapat membentuk suatu batas semu (frontier) yang
berbeda letaknya secara geografis dengan boundary aslinya .
Terbentuknya frontier dapat menyebabkan terbentuknya daerah asimilasi
yaitu daerah sepanjang kawasan perbatasan di mana penduduknya cenderung
untuk mendapatkan akses pelayanan ke negara tetangga yang berbatasan
dibandingkan mendapatkan akses ke pemerintah daerah atau pusatnya sendiri. Hal
ini disebabkan oleh dua hal, yaitu : pertama, kurangnya perhatian pemerintah
pusat maupun daerah terhadap masyarakat yang tinggal di sepanjang kawasan
perbatasan atau yang lazim disebut sebagai daerah asimilasi; kedua, masih
terbatasnya sarana dan prasarana sosial maupun ekonomi di sepanjang kawasan
perbatasan dengan negara tetangga yang mengakibatkan rentannya kawasan
tersebut terhadap penetrasi budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.

54

2.5

Kerangka Pemikiran Dan Proposisi

2.5.1

Kerangka Pemikiran
Dalam menghadapi lingkungan baik lingkungan fisik (alam) maupun

lingkungan sosial, manusia beradaptasi dengan lingkungannya dalam memperoleh


sumber-sumber daya yang terdapat di sekitarnya. Berkaitan dengan sumber daya
lingkungan alam berupa lautan, masyarakat setempat melakukan tindakantindakan atau strategi yang adaptif guna mendapatkan sumber-sumber daya yang
terdapat

di

lautan.

Strategi

yang

dipandang

adaptif

adalah

dengan

mengembangkan bentuk mata pencaharian sebagai nelayan.


Nelayan merupakan mata pencaharian sekumpulan manusia yang berada
di kawasan pesisir. Mereka menggantungkan hidupnya pada sumber daya yang
terkandung pada lingkungan perairan yang di sekitarnya. Merujuk pada Satria
(2009: 384), nelayan dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan kepemilikan
alat tangkap yaitu nelayan tradisional yang menggunakan perahu tanpa mesin
(peasant fisher) dan nelayan yang menggunakan mesin sederhana dalam kegiatan
manangkap ikan (post peasant fisher). Kategori ini diasumsikan sesuai dengan
karakter nelayan di Desa Sei Pancang yang terdiri dari

nelayan harian dan

nelayan musiman. Nelayan harian merupakan nelayan yang melakukan aktivitas


kenelayanan setiap hari dan tidak tergantung pada musim, menggunakan kapal
tanpa mesin dalam melakukan kegiatan melaut, serta berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan hidup sendiri (subsisten). Nelayan musiman yaitu nelayan
yang menyesuaikan dengan musim, menggunakan perlatan tangkap berupa mesin
tempel atau kapal motor dalam melakukan kegiatan melaut dan berorientasi pasar.

55

Di Desa Sei Pancang, mayoritas nelayan merupakan nelayan musiman. Oleh


karena itu, dalam penelitian ini, nelayan musiman menjadi subyek penelitian
utama yang melakukan adaptasi terhadap lingkungan, baik berupa lingkungan
fisik maupun lingkungan sosial di kawasan perbatasan.
Nelayan Desa Sei Pancang dalam melangsungkan kehidupannya
melakukan interaksi dengan lingkungannya baik terhadap lingkungan sosial
(masyarakat) maupun terhadap lingkungan fisik (laut). Adanya interaksi antara
manusia (nelayan) dengan lingkungannya (laut) menunjukkan adanya adaptasi.
Adaptasi merupakan konsep penting dalam menjelaskan hubungan antara manusia
dengan lingkungan karena melalui proses hubungan inilah terjadi hubungan yang
saling menguntungkan antara manusia dan lingkungan dalam mempertahankan
hidupnya. Mengacu pada pendapat Hardesty (1975), Abdoellah (1993), dan Allan
(1975), konsep adaptasi yang digunakan untuk mengkaji adaptasi nelayan di
kawasan perbatasan merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungannya. Konsep adaptasi ini menekankan adanya hubungan timbal
balik antara manusia dan lingkungan karena dalam kehidupan nelayan di wilayah
perbatasan diasumsikan adanya interaksi antara nelayan dengan lingkungan
perbatasan termasuk di dalamnya lingkungan sosial, untuk mengalokasikan dan
memanfaatkan sumber daya yang dipandang strategis, sehingga nelayan di
kawasan perbatasan yang identik dengan keterbatasan dapat melangsungkan
hidupnya.
Adaptasi sebagai respon budaya, erat kaitannya dengan upaya untuk
mempertahankan hidup dan meningkatkan kehidupannya. Nelayan Desa Sei

56

Pancang merespon lingkungan sekitarnya sebagai perwujudan adaptasi mereka


terhadap lingkungan. Pada saat kelompok manusia mulai melakukan proses
adaptasi dengan lingkungannya, maka terbentuk hubungan yang saling
mempengaruhi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam konteks interaksi
dengan lingkungan, perspektif yang tampaknya sesuai untuk dipakai dalam
mengartikan kebudayaan adalah perspektif yang melihat kebudayaan sebagai
sistem adaptif (culture as adaptive system). Dalam perspektif ini, kebudayaan
(budaya) didefinisikan sebagai ekspresi adaptasi manusia terhadap setting
lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha penyesuaian terhadap kondisi
sekitar untuk memelihara kondisi kehidupan termasuk dalam menghadapi
perubahan. Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada
pencapaian tujuan, kepuasan, kebutuhan, keinginan, dan konsekuensi dari perilaku
untuk individu, masyarakat, dan lingkungan.
Proses adaptasi yang dilakukan nelayan Desa Sei Pancang diwarnai oleh
kebiasaan yang sering dilakukan secara turun temurun yang didasari oleh nilainilai budaya Bugis, seperti siri sebagai nilai utama. Selain itu, pada kehidupan
sehari-hari hubungan patron-klien yang telah melembaga pada etnik Bugis
terutama pada nelayan Desa Sei Pancang. Merujuk pada Putra (2007), dalam
kehidupan sehari-hari etnik Bugis, hubungan patron-klien telah melembaga sejak
dahulu hingga sekarang, dan secara terus menerus dilanggengkan. Nelayan Sei
Pancang sebagian besar merupakan etnik Bugis sehingga kehidupan sehari-hari
mereka diwarnai oleh nilai-nilai budaya Bugis. Budaya merupakan unsur utama
dalam proses adaptasi nelayan Desa Sei Pancang terhadap lingkungannya.

57

Merujuk pada Abdoellah (1993), proses adaptasi nelayan Desa Sei Pancang
terhadap lingkungan kawasan perbatasan, selain dipengaruhi oleh lingkungan
sosial dan ekonomi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya mereka. Konsep
budaya tersebut digunakan untuk mengkaji adaptasi nelayan di wilayah perbatasan
melalui strategi adaptasi yang mereka lakukan karena diasumsikan mereka
melakukan adaptasi dalam mengantisipasi perubahan lingkungan fisik maupun
sosial, untuk dapat bertahan dengan melakukan tindakan yang dianggap efisien,
efektif, dan strategis dalam mendayagunakan sumber daya yang ada. Mereka
mampu bertahan melalui adaptasi dengan lingkungan sekitarnya melalui
penerapan nilai-nilai budaya Bugis dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
kegiatan kenelayanan yakni melalui penelrapan nilai siri dan juga menjalani
hubungan patron-klien. Proses adaptasi manusia bergantung pada kemampuan
dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian,
proses adaptasi yang terjadi pada setiap masyarakat akan berbeda. Lebih lanjut,
untuk mengantisipasi perubahan lingkungan fisik dan sosial maka diperlukan
suatu strategi untuk dapat bertahan. Di dalam penelitian ini, strategi adaptasi
merupakan hal terpenting untuk dapat mengetahui dan menganalisis bagaimana
adaptasi

nelayan

di

wilayah

perbatasan

dalam

melangsungkan

dan

mempertahankan hidupnya.
Nelayan Sei Pancang melakukan adaptasi terhadap lingkungan wilayah
perbatasan agar dapat bertahan hidup. Secara georgrafis, wilayah ini mempunyai
potensi sumber daya alam yang cukup besar, namun jumlah penduduk di wilayah
tersebut masih jarang, sehingga potensi tersebut belum bisa dimanfaatkan secara

58

maksimal. Nelayan Sei Pancang menggantungkan kebutuhan hidupnya pada


negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Malaysia.
Nelayan menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan sekitar melalui cara-cara
yang spesifik. Pada saat masyarakat mulai melakukan proses adaptasi terhadap
lingkungan yang berbatasan dengan negara tetangga maka proses penyesuaian
terhadap budaya negara tetangga terjadi tanpa mereka sadari. Hal ini dilakukan
dengan maksud mendapatkan akses sumber daya dan keuntungan dari negara
tetangga tersebut. Wilayah perbatasan yang terdapat antara Desa Sei Pancang
dengan Kota Tawau, merujuk pada pengkategorian yang dilakukan oleh Martinez,
terkategorikan sebagai interdependent borderland. Jenis daerah perbatasan ini
merupakan daerah perbatasan yang saling menguntungkan secara ekonomi, seperti
dalam penyediaan fasilitas produksi dan tenaga kerja. Masyarakat di kedua
kawasan perbatasan ini saling bergantung dalam hal sumber daya dalam
menunjang kegiatan perekonomian di kedua kawasan tersebut. Di kawasan
perbatasan antara Desa Sei Pancang dan Kota Tawau, hal ini terjadi dimana kedua
belah pihak memmiliki ketergantungan dalam kegiatan perekonomian mereka.
Nelayan di dalam melakukan aktivitasnya menghadapi sumber daya yang
hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik seperti ini menyebabkan
nelayan harus berjuang untuk menghadapi ketidakpastian penghasilan mereka
karena ketergantungan mereka terhadap laut sangat tinggi. Kondisi ini cenderung
lebih bersifat spekulatif sehingga menyebabkan masyarakat nelayan memiliki
karakter tegas, keras dan terbuka. Karakteristik nelayan lainnya yaitu : memiliki
sistem pengetahuan lokal dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan yang

59

dilatarbelakangi oleh budaya mereka serta memiliki ikatan patron-klien yang kuat.
Dalam hal ini, struktur sosial masyarakat nelayan umumnya bercirikan adanya
hubungan patron-klien sebagai akibat kegiatan penangkapan ikan yang bersifat
penuh resiko dan ketidakpastian. Demikian halnya dengan nelayan Desa Sei
Pancang, mereka memiliki ikatan dengan para toke dalam kegiatan melaut. Ikatan
ini dapat diasumsikan sebagai hubungan patron-klien yang sering bersifat
eksploitatif dan sengaja dipelihara patron, namun demikian, merujuk pada Satria
(2000), patron-klien yang tercipta antara nelayan Desa Sei Pancang dengan toke
mampu mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan menjadi lebih sejahtera.
Dalam hal ini, nelayan Desa Sei Pancang cenderung merasakan sisi positif
dibandingkan dengan sisi negatif. Nelayan merasa terbantu dengan keberadaan
toke sebagai pemberi pinjaman modal dalam kegiatan melaut. Dalam hal ini,
nelayan Sei Pancang memiliki posisi yang lemah dibandingkan dengan toke
sebagai pemilik modal karena nelayan tidak memiliki posisi tawar dalam
menentukan harga ikan. Namun demikian, nelayan tetap mempertahankan
hubungan mereka dengan toke demi kelangsungan hidup kawasan perbatasan
yang memiliki berbagai keterbatasan.
Nelayan Desa Sei Pancang

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan


sosialnya dengan cara memanfaatkan sumber-sumber daya yang tersedia di
kawasan perbatasan melalui perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
sebagai way of life

budaya

mereka agar dapat mempertahankan hidup. Karakteristik

kawasan perbatasan Sei Pancang yang terkategorikan sebagai interdependent

60

borderland tersebut memungkinkan nelayan Sei Pancang untuk memelihara


hubungan sosial lintas negara yang berupa hubungan patron klien.

2.5.2

Proposisi
Adaptasi nelayan kawasan perbatasan terhadap lingkungannya dilakukan

dengan cara memanfaatkan sumber daya yang tersedia, menerapkan nilai-nilai


budaya, dan memelihara hubungan sosial dan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai