Anda di halaman 1dari 4

215

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Adaptasi nelayan terhadap lingkungan kawasan perbatasan dalam
mengatasi kesulitan hidup dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber daya
yang tersedia, menerapkan nilai-nilai budaya, dan memelihara hubungan sosial
dan ekonomi. Adaptasi yang mereka lakukan berlandaskan pada nilai nilai
budaya Bugis seperti siri dan reso.
Nelayan harian dalam beradaptasi menerapkan nilai-nilai siri sebagai nilai
utama dan resso dalam memanfaatkan sumber daya laut yang berada di sekitar
pesisir pantai dan melakukan penangkapan hasil laut dengan menggunakan
teknologi yang sederhana serta berorientasi subsisten. Nelayan harian tidak
membutuhkan modal yang besar dalam melakukan kegiatan kenelayanan karena
berorientasi subsisten sehingga dalam menghadapi kesulitan ekonomi, mereka
cukup meminta bantuan kepada kerabat atau meminjam beberapa kebutuhan
pokok ke warung terdekat.
Nelayan musiman dalam beradaptasi menerapkan nilai-nilai siri dan reso.
Hal ini diwujudkan dalam cara pengorganisasian kerja dan aktivitas kenelayanan
dan sistem bagi hasil. Nelayan musiman mulai berorientasi produksi sehingga
membutuhkan modal yang relatif besar dalam aktivitas kenelayanan. Mereka
menjalin hubungan patron klien dengan toke di Tawau sebagai strategi untuk
mengatasi kesulitan hidup. Nelayan menentukan strategi-strategi yang dianggap

216

rasional dan efektif untuk melangsungkan hidupnya yang terjadi secara terus
menerus dalam kehidupan sehari-harinya. Adaptasi nelayan kawasan perbatasan di
Sei Pancang dengan ciri budaya Bugis memperkuat konsep Abdoellah (1993).
Adanya hubungan patron klien yang terjadi antara nelayan Sei Pancang
sebagai klien dan dengan toke di Tawau cenderung menguntungkan klien karena
klien dapat dengan mudah mendapatkan bantuan modal dari patron untuk
kelangsungan aktivitas melaut mereka. Kondisi ini terjadi karena jarak antara
Desa Sei Pancang dan Kota Tawau relatif dekat. Hubungan patron klien yang
terjalin diantara mereka tanpa disadari telah menimbulkan berbagai konsekuensi
mulai dari ketergantungan dan keterikatan nelayan secara terus menerus kepada
toke, rendahnya posisi tawar nelayan, sulitnya mewujudkan kemandirian nelayan
dan tanpa disadari juga kekayaan alam laut Indonesia dapat dengan mudah
berpindah ke tangan toke di Tawau secara langsung melalui nelayan Sei Pancang
tanpa adanya pengawasan dan prosedur resmi dari Pemerintah. Jika hal ini
dibiarkan terus berlangsung yaitu kekayaan laut Indonesia terus-menerus diambil
oleh pihak asing dengan cara yang mudah dari nelayan di Desa Sei Pancang tanpa
adanya pengelolaan, pengawasan, pengaturan dan prosedur resmi dari pemerintah
maka akan menimbulkan kerugian bagi negara. Eksploitasi terhadap kekayaan
laut Indonesia di Desa Sei Pancang berlangsung tanpa disadari oleh pemerintah.
Hal ini menunjukkan peran pemerintah berkaitan dengan pengaturan, pengelolaan,
dan pengawasan terhadap keberadaaan nelayan di perbatasan masih belum
maksimal dan kepedulian pemerintah terhadap keberadaan nelayan di kawasan

217

perbatasan masih kurang sehingga kebijakan yang ada belum berpihak pada
nelayan kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan antarnegara di Desa Sei Pancang dengan Kota Tawau
merupakan

kawasan

perbatasan

yang

memiliki

saling

ketergantungan

(interdependent borderland) dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dan akses


terhadap sumber daya. Kondisi perbatasan yang memiliki jarak relatif dekat dan
memiliki saling ketergantungan merupakan salah satu pendorong bagi nelayan
dalam menjalin hubungan patron klien dengan toke di Tawau sebagai strategi
adaptasi meraka di kawasan perbatasan. Dalam konteks adaptasi nelayan kawasan
perbatasan, temuan baru penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kawasan
perbatasan memiliki peranan dalam adaptasi nelayan di kawasan perbatasan.

5.2

Saran

5.2.1

Saran Akademik
Saran akademik yaitu diperlukan kajian lebih lanjut mengenai adaptasi

nelayan di kawasan perbatasan dengan karakteristik perbatasan yang berbeda


berdasarkan perspektif antropologi. Hal ini betujuan untuk memberikan tambahan
wawasan pengetahuan terhadap perkembangan ilmu antropologi mengenai
adaptasi nelayan di kawasan perbatasan.

5.2.2

Saran Praktis

1. Perlu pengawasan langsung dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


melalui petugas khusus untuk mengatur, mengawasi dan melakukan

218

pendataan setiap proses penjualan hasil tangkapan ikan oleh nelayan baik
di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) maupun di pos-pos perbatasan dalam
rangka mencegah potensi kerugian negara akibat terjadinya pengambilan
kekayaan laut Indonesia oleh pihak asing secara illegal.
2. Perlu penyertaan modal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
lembaga perbankan dalam mendukung kegiatan kenelayanan dengan cara
memberikan bantuan modal atau pinjaman modal secara bergulir dengan
prosedur yang mudah dan disesuaikan dengan budaya lokal, kebutuhan
nelayan, karakteristik nelayan dan karakteristik perbatasan dalam rangka
melepaskan ketergantungan nelayan jeratan hutang.
3. Perlu pembinaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
bentuk pelatihan kepada nelayan kawasan perbatasan tentang sistem
produksi, pemasaran hasil tangkapan dan kemitraan dengan negara
tetangga

untuk

meningkatkan

keahlian

nelayan

dalam

kegiatan

kenelayanan dan memiliki bargaining position (posisi tawar).


4. Perlu membangun fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan kenelayanan
dengan mengaktifkan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), mendirikan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI), mendirikan Pabrik Es Batu, Cold Storage
(tempat

pengawetan

ikan),

membangun

infrastruktur

jalan

dan

infrastruktur telekomunikasi dalam rangka menjadikan desa-desa pesisir di


kawasan perbatasan antarnegara sebagai sentra industri perikanan. Upaya
ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan kawasan
perbatasan.

Anda mungkin juga menyukai