Anda di halaman 1dari 3

Oleh Drh. Andrijanto Hauferson Angi, M.

Si*

SE dan NTT sebagai Propinsi Ternak


Kamis, 24 September 2009 11:35 WITA
Penyakit SE, juga dikenal dengan penyakit ngorok, septicaemia hemorrhagica, atau berbone
adalah penyakit menular akut, terutama menyerang sapi dan kerbau, yang disebabkan oleh
dua serotype spesifik dari Pasteurella Multocida. Penyakit SE biasanya berjalan akut dengan
angka kematian yang tinggi, terutama pada hewan penderita yang telah memperlihatkan
gejala klinis jelas. Pada stadium akhir, ternak biasanya memperlihatkan gejala mendengkur
atau ngorok, dan di daerah leher bawah serta submandibula terlihat kebengkakan.
Penyakit ini hampir tersebar di seluruh Indonesia. Angka kesakitan (morbiditas) dan angka
kematian (mortalitas) dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya. Morbiditas dan
mortalitas
pada
kerbau
jauh
lebih
tinggi
dibanding
pada
sapi.
Penyebab penyakit SE adalah pasteurella multocida tipe B:2 atau tipe E:2 (menurut
klasifikasi Carter-Heddleston) dan tipe 6:B atau E (menurut klasifikasi Namioka-Carter).
Kuman pasteurella multocida berbentuk coccobacillus, berukuran sangat halus, bersifat
biporel dan gram negatif. Organisme ini tidak membentuk spora, non motil dan menghasilkan
gas. Bentuk koloni tidak selalu sama, tergantung pada media, umur kuman dan sebagainya.
Pasteurella multocida penyebab SE sering ditemukan hidup secara komensal di daerah
mukosa nasofaring dan tonsil. Jika hewan mengalami stres, organisme komensal tersebut
dapat menjadi aktif dan dapat ditemukan dalam sekresi hidung. Morbiditas dan mortalitas
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya, antara lain umur hewan, endemisitas suatu
daerah, status kekebalan individu hewan dan tingkat kekebalan suatu kelompok hewan. Pola
morbiditas berbeda pada daerah endemik dan daerah non endemik. Jika terjadi wabah
penyakit, kerbau lebih peka daripada sapi, sehingga jumlah kematian dapat mencapai tiga kali
lebih banyak daripada sapi. Tenggorokan diduga sebagai pintu gerbang infeksi kuman ke
dalam tubuh penderita. Hewan sehat tertular oleh hewan sakit melalui kontak atau melalui
makanan, minuman dan alat-alat tercemar. Ekskreta hewan penderita dapat mengandung
organisme
penyebab
penyakit
SE.
Suatu wabah dikatakan mulai terjadi jika hewan carrier menjadi aktif dan organisme
penyebab SE yang ganas menulari dan menginfeksi hewan yang peka. Jika terjadi gejala
klinis, penyebaran penyakit akan dimulai dan besarnya wabah tergantung pada proporsi
hewan imun dan non imun di dalam kelompok hewan tersebut. Jika hewan carrier aktif
dimasukkan ke dalam suatu kelompok hewan yang belum pernah terdapat penyakit SE, maka
ledakan penyakit akan terjadi. Sedangkan di daerah endemik SE, hewan yang terserang
penyakit kemungkinan hanya hewan yang lahir sesudah terjadinya wabah terakhir di daerah
tersebut. Jadi pada wabah tahunan di daerah endemik, mungkin lebih sedikit hewan yang
mati. Di daerah ini, infeksi yang ringan akan membentuk suatu kekebalan pada hewan.
Demikian pula hewan yang sembuh dari penyakit SE. Penyakit SE biasanya dihubungkan
dengan iklim yang basah, lembab atau musim hujan. Kejadian penyakit cenderung meningkat
pada musim penghujan, walaupun kasus dapat saja terjadi sepanjang tahun. Selain itu dalam
keadaan lembab, organisme penyebab lebih lama bertahan hidup. Faktor predisposisi lainnya

adalah kelelahan, kedinginan, pengangkutan (transportasi), anemia, dan sebagainya.


Masa inkubasi penyakit adalah 2 sampai 5 hari. Hewan mengalami demam, oedema di daerah
submandibula yang kadang-kadang menyebar ke daerah dada yang diikuti oleh gangguan
pernapasan dengan keluarnya eksudat dari hidung. Pada kebanyakan kasus, hewan menjadi
lesu, lemah dan mati. Lama penyakit pada kerbau lebih pendek dibanding pada sapi, yaitu
kurang dari 24 jam sampai 2-5 hari. Gejala klinis umumnya dibagi menjadi 3 tahap, yaitu
kenaikan suhu tubuh, gangguan pernapasan, fase terakhir berupa kelesuan dan kelemahan
hewan. Septicaemia merupakan fase terakhir dan berbagai gejala penyakit yang bervariasi
dapat terjadi di antara fase-fase di atas tergantung lamanya penyakit.
Pada pemeriksaan pasca mati terlihat oedema subkutan dengan cairan serogelatin terutama di
daerah submandibula, tenggorokan dan leher bawah atau dada. Pada jaringan subkutan
terlihat titik-titik perdarahan dan lymfoglandula yang membengkak. Di rongga dada, paruparu mengalami pembendungan dan penebalan septa interlobular. Hepatitis paru-paru dapat
dijumpai secara seragam yaitu hepatitis merah pada stadium akut dan hepatitis kelabu atau
kuning pada stadium lebih lanjut. Pada pleura terlihat peradangan dan pericarditis. Cairan
dapat dijumpai di dalam ruang pleura dan kantung pericardium. Petechia yang bervariasi
dapat terlihat pada jantung. Saluran pencernaan memperlihatkan hyperemia dengan titik-titik
perdarahan pada abomasum. Kelainan-kelainan yang tampak biasanya tergantung dari lama
perjalanan penyakit. Diagnosa klinis di lapangan berdasarkan sejarah penyakit, gejala
penyakit dan kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan pasca mati. Isolasi kuman
penyebab penyakit SE dilakukan dari daerah karkas yang masih segar dan tulang panjang
karkas yang sudah lama. Sumsum tulang dianggap paling baik, karena jaringan ini
mengalami proses pasca mati paling akhir disamping organisme penyebab dapat tumbuh pada
tempat tersebut beberapa saat setelah mati. Sehubungan septicaemia umumnya terjadi pada
tahap akhir maka darah yang diambil pada kasus klinis sebelum hewam mati belum tentu
menunjukkan organisme penyebab. Inokulasi pada mencit adalah saringan biologis yang baik
untuk mendapatkan kultur murni. Terhadap kultur murni dilakukan identifikasi lebih lanjut
seperti uji biokimia dan seterusnya. Spesimen dapat dikirim ke laboratorium dalam keadaan
segar tanpa pengawet, di dalam keadaan dingin. Dapat juga digunakan media transport
khusus atau larutan gliserin 50 %. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan penentuan
serotype agen penyebab. Beberapa teknik diagnosis dapat dilakukan, antara lain uji slide
aglutinasi cepat, uji haemagglutinasi tidak langsung dan uji agar gel presipitasi.
Tindakan yang dilakukan apabila terjadi kasus dapat berupa 1) tindakan administrasi antara
lain dengan melapor kepada kepala pemerintahan setempat, mengenai kejadian timbulnya SE,
termasuk tindakan-tindakan sementara yang telah diambil, dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Peternakan, bila perlu menyarankan kepada bupati/walikota setempat untuk
mengeluarkan surat keputusan tentang penutupan daerah dan pembatasan lalu lintas di
wilayahnya.
2) Tindakan pencegahan yang dilakukan antara lain untuk daerah bebas SE, tindakan
pencegahan berdasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukkan hewan ke daerah
tersebut, untuk daerah-daerah tertular, hewan sehat divaksin dimana untuk keefektifannya
dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit. Pada hewan yang diduga tertular SE dapat
dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut antara lain penyuntikan antibiotika,
penyuntikan kemoterapeutik, dan dua minggu setelah tindakan tidak ditemukan atau timbul
penyakit maka dapat disusul dengan 'vaksinasi'. Kemudian dilakukan tindakan pengendalian
dan
pemberantasan.

Pola pemberantasan penyakit SE antara lain a) dalam keadaan sporadis, tindakan


pemberantasan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan penyuntikan hewan yang
tersangka sakit, b) dalam keadaan enzootic/epizootik, tindakan pemberantasan ditekankan
pada penentuan batas-batas daerah tertular dari daerah yang belum tertular yang segera
diikuti dengan tindakan-tindakan sebagai berikut di sekeliling batas daerah tertular dilakukan
imunisasi aktif dengan vaksin SE, dan di dalam daerah tertular, i) hewan sakit dan tersangka
sakit disuntik antibiotik/kemoterapeutik, ii) hewan yang tidak sakit dan tersangka sakit
divaksin dengan vaksin SE, iii) kemudian tindakan pengendalian dan pemberantasan
mengikuti
peraturan
kesehatan
hewan
yang
berlaku.
4) Tindakan pengobatan terhadap penyakit SE dapat dilakukan dengan memberikan preparat
antibiotik seperti streptomycine, chloromycetine, terramycine atau aureomycine,
sulphadimidine (sulphamezathine) sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Untuk perlakuan
pemotongan hewan dan daging; dengan pertimbangan bahwa SE tidak berbahaya untuk
konsumsi manusia maka hewan berpenyakit SE tidak dilarang untuk dipotong sesuai dengan
peraturan
yang
berlaku.
Saat ini di Indonesia beredar vaksin SE dengan merk dagang SEPTIVAK yang dipasarkan
oleh PT. Vaksindo Satwa Nusantara dan SEPTIVET yang dipasarkan oleh Pusat Veterinaria
Farma (PUSVETMA) (Indeks Obat Hewan Indonesia). Untuk vaksin SEPTIVAK merupakan
vaksin dengan bentuk sediaan emulsi minyak, komposisinya mengandung kuman pasteurella
multocida in aktif, strain katha yang dikembangbiakkan dalam media cair. Indikasinya untuk
memberikan kekebalan terhadap penyakit SE pada sapi, kerbau dan babi. Dosis dan cara
pemakaian lewat penyuntikan intramuscular (di otot). Dosis untuk sapi, kerbau dan babi
masing-masing
3
ml.
Di NTT yang beredar luas saat ini adalah vaksin yang dipasarkan oleh PUSVETMA yaitu
SEPTIVET. Vaksin ini merupakan bentuk sediaan cair, dengan komposisi setiap dosis (3 ml)
mengandung tidak kurang dari 2 mg berat kering kuman. Vaksin merupakan bentuk emulsi
air dalam minyak dengan susunan sebagai berikut : suspensi kuman pasteurella multocida
tipe B (Katha) 50% parafin cair dan lanolin 50%. Indikasinya pengebalan aktif terhadap
penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia) pada sapi, kerbau, babi 3 ml subkutan. Saran yang
diberikan dalam aplikasi yaitu menggunakan kanul yang besar dan tabung suntik (syringe)
yang kuat. Vaksinasi ulangan jangan dilakukan pada tempat penyuntikan yang sama.
Sebaiknya pada vaksinasi massal disediakan antidota shock anafilaksis seperti adrenalin,
antihistamin atau kortison. Untuk jadwal program vaksinasi terhadap penyakit SE, hewan
divaksin umur setelah lepas sapih, dan vaksin ulangannya harus tiap tahun.
Dari informasi di atas dengan program Pemerintah Propinsi NTT untuk mengembalikan NTT
sebagai propinsi ternak, diharapkan ada kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi
serta pemahaman mengenai penyakit SE sehingga tidak ada lagi informasi yang kita baca
atau dengar bahwa ternak khususnya sapi belum divaksin atau bahkan sudah pernah divaksin
namun 22 tahun lalu (halaman 1, Pos Kupang 16 September 2009). Mudah-mudahan dapat
terwujud
NTT
sebagai
propinsi
ternak.*
* Dosen Program Studi Kesehatan Hewan Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri
Kupang

Anda mungkin juga menyukai