Anda di halaman 1dari 7

PROGRAM MAGISTER ARSITEKTUR

AR 6151 ARSITEKTUR, PEMBANGUNAN DAN BUDAYA INDONESIA


Semester I Tahun Akademik 2013/20142
Kuliah Minggu Ke : 5
Pengajar
: Dr.Indah Widiastuti, ST.,MT

PERAN ARSITEKTUR SEBAGAI SARANA BUDAYA


Tujuan
mengenal berbagai posisi dan reposisi dari arsitektur dalam budaya dan
Pembangunan
Luaran
Mahasiswa megenali wacana Posmodernisme, Poskolonialisme dan Postrukturalisme
dalam konteks arsitektur
Mahasiswa megenali diskusi arsitektur dalam konteks Ideologi dan Idealisme
Mahasiswa megenali diskusi arsitektur dalam konteks sistem kompleks dan
implikasinya terhada pemahaman arsitektur komunitas
Mahasiswa megenali ragam diskusi mengenai arsitektur dalam konteks budaya
creative- budaya sebagai komoditi
Mahasiswa megenali fenomenologi dalam konteks arsitektur yang berorientasi pada
jati diri dan kearifan lokal

I. PENDAHULUAN
Di awal sudah duraikan bagaimana budaya mawujud sebagai institusi, bahasa dan bagaimana budaya
dipahami lewat elemen elemen pembentuknya. Namun adapula pandangan alternative terhadap
budaya dalam konteks kritis terhadap perangkat pengetahuan yang mengkonsepkan budaya.
Pandangan alternatif ini
disebut Postrukturalisme karena ia menggugat struktur-struktur
konseptualisasi mengenai budaya. Beberapa mengerjemahkanya menjadi Poskolonialisme karena
menggugat Kolonialisme sebagai akar masalah strukturalisme. Ada yang menyebutnya sebagai
Posmodern karena ia kemudian menjadi antitesa dari Modernisme.
Biasanya mereka dalam kelompok ini selalu mencoba mencari berbagai cara alternatif untuk
memahami budaya:
1. Ada yang bersifat ideologis. Kelompok ini berpijak pada pandangan bahwa sebuah ide dapat
dim direkayasa untuk kepentingan tertentu. Mereka tidak terlalu berambisi mencari struktur
pengetahuan baru yang dapat menggantikan struktur yang dianggap using. Namun
mendesakralisasinya (struktur pengetahuan atau konseptualisasi budaya dan arsitektur) lalu
menggunakanya untuk motivasi yang lain. Salah satu wacana terkini yang mengemuka adalah
pandangan yang melihat budaya bukan lagi sebagai identitas namun sebagai komoditi
suatu tanggapan yang sangat radikal dari pandangan mainstream aslinya yang selalu melihat
budaya secara idealis dan terpisah dari sistem produksi dan ekonomi creative industry.
2. Ada yang bersifat idealis. Kelompok ini masih percaya akan sebuah ide yang murni. Namun
secara progresif mencoba memutakhirkanya dengan kerangka definisi budaya dan arsitektur
dengan cara mengambil referensi intelektual lain di luar tradisi intelktual mainstream.
Referensi ini diperoleh dengan cara
a. menjelajahi referensi intelektual lain seperti filsafat non-Barat, dimensi-dimensi
afektif dari dan personal dari referensi intelktual yang ada Fenomenologi.
b. Memutakhirkan referensi intelektual yang ada dengan pedekatan-pendekatan baru
yang lebih mengindahkan aspek keberagaman, probabilitas, ketaktentuan dan
kesementaraan: Sistem Kompleksitas Sistem Rizomatik

II.

BUDAYA DAN IDEOLOGI

Secara literal Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh
Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Lebih jauh lagi ,
ideologi itu adalah sistem makna dibangun dalam kesadaran manusia, dan diwujudkan dalam
praktek-praktek sosial.
Namun ternyata ideologi memiliki berbagai macam pijakan. Pada masa berikutnya di era Modern
desakralisasi terjadi ketika Dalam model Marx ideologi dipahami "kesadaran palsu", sebuah
kenyataann imajiner hasil rekaan false belief. Pada tahun 1960an penjelajahan ideologi merambah
ke dunia psikologis dan psiko analitis dan akhirnya justru bersifat kritis terhadap Marx. Althusser,
tidak menafikan sikap ilusif dari ideologi ala Marx namun ia menegaskan bahwa sifat ilusif dari
ideologi itulah yang menyebabkan sebuah ide bisa direkayasa untuk menggerakan proses budaya dan
pembangunan, dikendalikan secara psikologis demi kepentingan tertentu dan terutama adalah
kepentingan ekonomi.
Althusser menjabarkan ideologi sebagai sebentuk "realitas" yang memang tak selalu dapat
dicerap secara rasional namun hadir secaya nyata lewat tatanan sistem simbolik praktek sosial
ekonomi, sosial bahkan spiritual. Dalam konotasi "negatif" , ideologi berarti "pembangunan ide-ide
palsu" untuk melandasi praktek sosial-budaya, termasuk pembangunan. Biasanya "ide-ide palsu" ini
diproduksi oleh kelompok dominan untuk mengontrol kondisi kehidupan orang lain.
2.1. POSISI KRITIS DARI SEJARAH, BUDAYA DAN TRADISI
Allsayyad menggambarkan bahwa sejarah, tradisi dan budaya sebagai sebuah konseptualisasi yang
dinamis dan sementara. Alsayyad membagi adanya empat fase sejarah tradisional yaitu: masa
indigeneous, colonial, modern dan global. Contoh diskusi dan kasus yang menandai mengenai
kesementaraan dan dinamika pengertian sejarah, tradisi dan budaya:

Konsep tradisi juga dibawa oleh modernism, karena konsep tradisi tak dapat dibicarakan tanpa
modernitas. Masyarakat tradisional tidak pernah menyadai ketradisionalan mereka. Label kampung
bagi masyarakat kota adalah pada jaman dahulu adalah symbol keterbelakangan, namun kini menjadi
symbol romantika nostalgia.
kritik terhada konsep tradisi yang digaungkan oleh Rudofsky mempopulerkan tradisi masyarakat
Vernakuler yang berbasis karakter egaliter, partispatif dan politik etis.
Secara politis budaya Vernacular dan modernitas adalah cara orang kiri mempertahankan
eksistensinya dihadapan budaya Tradisional dan Klasik.
Konsep-konsep etnis seperti Afro-Amerika, Cina Peranakan adalah bentuk multiplisitas etnis yang
muncul karena dinamika pewacanaan budaya yang spectrum motivasi yang lebar (ekonomi, identitas,
politik, kepentingan).
Konsep ekoturism, ethnospace, transformasi budaya

Berkaitan dengan situasi Neoliberal dan Globalisasi, Allsayad kembali mempertanyakan tentang apa
itu budaya, tradisi dan sejarah dalam. Ia menggaris bawahi situasi bahwa tradisi tidak selalu otentik
dan nyata, sering kali justru bersifat palsu, apalagi di jaman serba digital dan jaman Neo-Liberal.
Dengan mengacu pada Francis Fukuyama Alsayyad melihat bahwa di era Neo-Liberal setelah
berakhirnya ketegangan antara blok kiri dan kanan, dunia menjadi seolah tidak menantang lagi.
Sejarah, tradisi, budaya kehilangan sisi idealisya.
1. Sejarah bukan lagi sekedar kronologi yang berlangsung linier, namun narasi yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.

2. Tradisi bukan lagi semata kebiasaan yang tunggal, namun sebagai obyek ritual yang beragam
dan masing-masingnya dapat dikonversikan menjadi berbagai bentuk ritual yang lain.
3. Budaya tidak selalu dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari sistem ekonomi. Budaya
bahkan bisa menjadi penggerak sistem ekonomi.

2.2. CREATIVE INDUSTRY


Creative Industry adalah sebuah sistem ekonomi global baru yang berkembang yang salah satu
agendanya adalah memasukan budaya ke ranah ekonomi. Praktek ekonomi dan politik dari sistem ini
menyebabkan budaya dan ruang mengalami restrukturisasi pengertian bahkan pengalaman .
1. budaya menjadi alat dalam pelayanan akumulasi modal .
2. fokus kebudayaan kian menjauh dari praktek-praktek sosial dan berubah menjadi metoda
kontrol atas kesadaran.
3. ruang budaya pun bertransformasi dari tradisi menjadi komoditas .
Dalam proses ini , bentuk-bentuk baru tatanan sosial muncul dalam bentuk: Ekonomi Budaya, Kota
Kreatif , Kelas Kreatif , dan New Urbanism .
Tatanan sosial ini muncul dengan dilandasi oleh agenda monopoli modal transnasional dan
kekuasaan korporasi yang datangng dari negara maju, terutama Amerika Serikat, yaitu negara di
mana semua kebutuhan material telah terpenuhi. Yang perlu disikapi secara hati hati adalah bahwa
negara-negara berkembang kemungkinan akan merangkulnya sebagai konsumen, bukan pelaku.

2.3. Latar Belakang Teoritis Creative Industry- Budaya dan Masyarakat.


Pada awalnya Budaya dipandang secara terpisah dari sisitem produksi dan reproduksi ekonomi.
Namun pada awal abad ke-20, banyak teoritikus seperti Georg Simmel dan Walter Benjamin
berwacana dengan budaya modernitas, yang kemudian diikuti oleh George Lukacs, Louis Althusser
dan Antonio Gramsci (Coser 1971), dan seiring itu kestabilan konsep budayapun dipertanyakan.
Budaya urban misalnya, adalah sebuah konsep yang virtual dan sementara. Ia bukan sebuah teori
namun sebuah ideologi (Castells 1977:53).
Gagasan tentang "Industri Budaya" pertama kali digulirkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam
"Dialektika Pencerahan" (1947). Dalam buku itu Adorno menggambarkan bagaimana budaya, baik
adiluhung maupun keseharian terkomodifikasi untuk kepentingan pasar dan bagaimana komodifikasi
ini kemudian membuat si budaya itu hancur di sepanjang prosesnya.
Secara bijak Mitchell menjembatani konsep ideologis dan idealis dari budaya dengan mengatakan
bahwa sekalipun fakta obyektif dari budaya ternyata tidak stabil, sebagai gagasan budaya tetap
signifikan. Yang sesungguhnay terjadi adalah hubungan antara budaya dengan sistem produksi tidak
lagi sama seperti masa lalu. (Featherstone 1993, frow 1997, Miles dan Hall, 2000).
Dahulu budaya menjadi sarana regulator sosial, konsep budaya dapat menelurkan pemahaman
tentang hubungan sosial antara kelompok atau kelas masyarakat dan selanjutnya politik urban.
Namun kini, kesementaraan konsep budaya menyebakan pada akhirnya relasi sosial masyarakat bisa
berbeda dari satu sistem kekuasaan yang berlaku. Pada posisi yang paling radikal hubungan antar
penggolongan komunitas bukan lagi faktor penentu kualitas interaksi antar komunitas. Kekuatan dari
katergori sosial masyarakat tidak terletak pada peran funsgsionalnya, namun pada makna
simbolisnya.

2.4. Tata Ruang sebagai Budaya dan Modal Simbolik


Kreativitas masyarakat urban kreatif menyebabkan Teori perkotaan mulai membutuhkan banyak
terminologi baru untuk menjelaskan berbagai fenomena spasial baru yang muncul. Cuthbert (2004)
mengemas keseluruhan Genre lewat strategi sebagai berikut:
1. Themed environments: branding lingkungan menurut tipologi komoditas - taman hiburan,
budaya dan sains dan cultural centre, distrik media, pusat hiburan, Disneylands, dll.
2. Spectacles: lokasi lokasi pengembangan untuk konsumsi tontotnan dan media hype, seperti motor grand prix, konvensi internasional, olimpiade, seni, kerajinan, musik dan
festival film dll.
3. Commodity Markets: malls dan pusat perbelanjaan, airports dan themeports.
4. Conservation Districts: tempat di mana sejarah ditafsirkan ulang, diubah dan dijual, misalnya
London - The Tate Modern Gallery. Singapura (ruko distrik).
5. Cappucino Environments: tempat untuk melihat dan dilihat - distrik yang dimodernisasikan,
infrastruktur bekas seperti stasiun kereta api, pelabuhan, gudang bekas, rumah kelas pekerja,
ke restoran ke pasar, galeri, kafe, butik dll.
6. Cohort consumption: Ruang komoditas dengan target kelompok usia tertentu.
7. Luxury consumption: outlet spesialis untuk parfum, fashion, perhiasan, jam tangan, pakaian
dll
8. Blue Chip Environments: daerah tempat bangunan penting Sydney Opera House (Jorn
Utzon), The Guggenheim, Bilbao (Gehry), the London gherkin (Foster), the Scottish
Parliament (Enric Miralles), The Pompidou Centre (Paris).
9. New Urbanist enclaves: Sebuah paradigma baru untuk arsitektur dan urbanisme yang
memiliki dampak global yang meluas,
10. Critical Regionalism: promosi estetika daerah terutama dalam masyarakat postkolonial
sebagai media \identitas nasional yang baru.

III.

ARSITEKTUR SEBAGAI SISTEM KOMPLEKS

Kritik postrukturalis terhadap budaya merupakan perkembangan yang tipikal mengiringi gejala
Posmodernisme dan Poskolonial. Gejala Postmodern menandai gejala sosial yang bersifat kritis yang
muncul seiring Modernisme, seperti: pengagunagn pada sains yang berlebihan, sifat mekanistik dan
deterministik dan dogmatis. Tipe masalah arsitektural tipikal di Indonesia yang muncul seiring
Posmodernisme adalah pembentukan-pembentukan asumsi konstruksi sosial yang berbasis pada
Modernisme yang sering tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Postmodernisme menanggapinya
dengan membuka diri pada pandangan alternatif
yang tidak deterministik, menghargai
keberagaman, keberbedaan dan terhadap definisi budaya. Dan karenanya budaya budaya seperti
Emansipasi, Partisipasi, Feminisme muncul. Disiplin Cultural Study
Gejala Postrukturalis menandai gejala kritis terhadap norma-norma struktural dalam memahami
teks. Teks adalah sekuens yang dapat dibaca dan dimaknai oleh manusia sebuah content yang
memiliki makna. Teks dapat dibaca dan dipahami karena adanya kesepakatan gramatikal.
Poststruktalisme bersifat mempertanyakan kesepakatan-kesepakatan gramatikal ini dengan asumsi
bahwa kesepakatan gramatikal ini tidak tercipta secara natural dalam masyarakat kita, namun
ditanamkan. Gramatika ini bisa muncul lewat norma-norma kolektif, pengetahuan, aturan-aturan
sosial, termasuk sistem-sistem persespsi kognitif mengenai nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan
hidup.
Salah satu gramatika pembentuk teks dalam budaya Indonesia adalah Kolonialisme. Kritik
terhadapnya melahirkan konsep Poskolonialisme. Gejala Poskolonial menandai suatu penyadaran
bahwa berbagai pengertian mainstream dalam dunia sosial sangat ditentukan oleh sejarah
Kolonialisme dan para pembaca budaya seolah disadarkan bahwa kacama mata yang mereka

gunakan adalah kaca mata yang secara sadar atau tidak sadar terbentuk oleh sejarah Kolonialisasi.
Keterjajahan adalah sebuah mental yang ditanamkan bukan sebuah karkater alami. Merujuk pada
pemikiran posmodern, kajian Poskolonial menganalisis politik pengetahuan (penciptaan, kontrol,
dan distribusi) dengan menganalisis hubungan fungsional kekuatan sosial dan politik yang tetap
mengalami kolonialisme dan neo-kolonialisme - bagaimana dan mengapa dari representasi sebuah
rezim yang berkuasa (sosial, politik, budaya) terhadap jajagannya.

Permasalahan Toilet Jongkok yang tak pernah terselesaikan di Mall manapun


Konseptualisasi Tradisi dalam Arsitektur Tradisional
Konseptualisasi Arsitektur India, Arsitektur Indonesia, Arsitektur Indocina, Arsitektur Cina
Wacana Green Architecture untuk situasi arsitektur Indonesia yang pernah mengalami
kolonisasi
Scientism dalam arsitektur

Ada dua tradisi intelektual yang dapat disebut tanggap terhadap situasi kritis di atas. Yang pertama
adalah fenomenologi. Fenomenologi adalah pengetahuan mengenai fenomena sebuah upaya
alternatif membangun pengetahuan dengan cara mengenali budaya lewat cara cara yang tidak selalu
mengukuti adat ilmiah yang lazim dan diakui. Cara lain justru melihat dengan menggunakan
pendekatan ilmiah sudah terbaharukan dengan paradigm sains yang lebih baru, yaitu pendekatan
sistem kompleks.
Kedua tradisi intelektual ini sekalipun bergerak dengan cara yang benar-benar sangat berbeda
namun memilik semangat yang sama: mengindahkan keberagaman, kejamakan, kesementaraan dan
keambiguan budaya, termasuk budaya arsitektural. Kedua tradisi pengetahuan ini bersifat kritis
terhdap semua pendekatan yang bersifat simplistic, manipulatif dan tidak asli atau mengakar.

3.1 FENOMENOLOGI DALAM ARSITEKTUR


Prinsip : Fenomenologi adalah studi interpretatif pengalaman manusia .
Fokus utama fenomenologi adalah cara orang ada dalam hubungannya dengan dunia mereka
. Ini mengikuti isu-isu yang dibawakan oleh Heidegger ( 1962) tentang Being and Time, di
mana ia menggugat filsafat dan psikologi konvensional, yang dianggapnya cenderung
mereduksi hubungan antara manusia dan dunia telah direduksi dari yang apa adanya
menjadi bisa jadi terlalu idealis atau terlalu realis .
Tujuan dalam penelitian studi untuk memeriksa dan memperjelas situasi kemanusiaan ,
peristiwa , makna , dan pengalaman " karena mereka secara spontan terjadi dalam
perjalanan kehidupan sehari-hari " ( von Eckartsberg , 1998, hal 3 . ) .
Tujuan dalam studi / penelitian : " gambaran yang lengkap mengenai kehidupan manusia
sebagaimana yang dihayati dan direnungkan secara konkret sebagaimaa orang pertama (
Pollio et al , 1997, hal 5) .
Peneliti lingkungan perilaku menggunakan fenomenologi yang biasanya diambil pada tiga gagasan
utama :
1. Lifeworld : dunia kehidupan mengacu pada konteks tacit , tenor dan kecepatan kehidupan
sehari-hari yang biasanya orang tidak memberikan perhatian yang reflektif . Kehidupan
dunia meliputi rutin dan biasa , hal duniawi dan mengejutkan .
2. Place : Salah satu dimensi penting dari dunia kehidupan adalah pengalaman manusia tempat
Menggunakan wawancara mendalam dengan keluarga sebagai dasar deskriptif , dia
menunjukkan bagaimana tempat sebelum penggusuran dengan hasil bahwa pengalaman ini
dapat dipahami secara metaforis sebagai perjalanan paksa ditandai dengan bertahap.
3. Home: rumah dan di - Homeness adalah cara lain di mana situasi orang-orang tenggelam
dalam dunia sering dinyatakan eksistensial .

LANGIT

ILAHIAH

FANA

BUMI

Fourfold Aspects of Dwelling (Aspek lipat empat dari berhuni)


Beberapa contoh:

Konsep-konsep arsitektur Romo Mangun, pada Sendang Sono Ia tidak bekerja dengan gramatika
professional arsitek yang lazim. Ia mengangkat peran penukang lokal dan pertukangan lokal
setingginya.
Pada kasus Kali Code, dengan megangkat fenomena kegemaran memperindah rumah sebagai
titik tolak pembangunan di Kali Code.
Ketika membentuk konsep perumahan Sangkuriang Hasan Poerbo tidak mengambil titik tolok
pengetahuan normatif mengenai bagaimana mendesain pemukiman, namun pada pertanyaan
mendasar seperti apa gerangan sebuah pemukiman asli orang Indonesia. Pada saat itu gagasan
arsitekturnya datang dari arsitektur Baliaga, Tenganan Bali Timur.
Konsep konunitas pada Masjid Kampus adalah konsep asli Indonesia yang tidak ada di mana
mana, Ketika semua masjid melakukan penyaringan komunitas untuk masuk ke dalam kompleks
masjid, Masjid kampus justru malah mengundang masyarakat dari berbagai kalangan. Satu
bentuk radikalisasi konsep masjid yang bahkan tidak akan ditemukan pada sumber dari
pengetahuan masjid di dunia Muslim sekalipun.
Romo mangun dan Hasan Poerbo memiliki kualitas interpersonal yang juga menjadi dasar
efektifitas dan efisiensi desainya.

3.2 SISTEM KOMUNITAS DAN RHIZOMA


Mencermati budaya sebagai sebuah model rhizomatic berati menolak struktur organisasi terpusat
seperti akar pohon yang landasan kausalitasnya selalu mengidealkan sumber asli dari orisinil.
Sumber asli dan orisinil bagi Deleuze dan Guattari (pencetus teori Rhizome) adalah sebuah konsep
yang mengambang. Dengan menggunakan konsep Rizhome dari D&G Budaya tidak lagi terlalu
penting untuk diketahui asal usulnya. Yang penting diketahui adalah modus-modus operasinya.
Upaya untuk memahami modus-modus operasi budaya dilakukan dengan menjelajahi proses-proses
perkembangan dari budaya dengan cara menelusuri jalinan relasi yang ' tak ada henti-hentinya. Dari
jalinan koneksi dan relasi antar agen dan actor yang berperan dalam budaya akan terbaca rantai
semiotik , organisasi kekuasaan , dan berbagai keadaan relatif terhadap seni, ilmu pengetahuan , dan
perjuangan sosial . '
Dengan demikian daripada menarasikan sejarah dan budaya konsep Rhizoma menyajikan sejarah dan
budaya sebagai perwujudan dari relasi aneka ragam atraksi dan kepentingan tanpa terlalu
menimbang asal atau proses pembentukan sejarah dan budaya tersebut - awal dan akhir tidak terlalu
penting.

Tidak menjadi masalah apakah saya adalah orang Jawa atau Sumatera, yang penting adalah
apakah jalinan perilkau dan hubungan sosial saya mencerminkan budaya Jawa.
Tidak menjadi masalah apakah saya memiliki gelar insinyur, master atau doctor. Jalinan
peran dan interaksi yang merepresentasikan atribut itulah yang akan menentukan apakah
saya layak disebut insinyur, doctor atau magister.
Tidak menjadi masalah apakah Indonesia adalah Negara yang merdeka. Kemerdekaan
Indonesia tidak tergantung dari status merdeka, tapi pada adakah faktor ketidak berdayaan
dan keterbelengguan dalam operasional Indonesia sebagai sebuah Negara.

" Dalam model ini , budaya dipahami bukan sebagai sebuah struktur semiotic. Budaya adalah sebuah
medan praksis yang menyebar seperti permukaan badan air , menyebar hingga ke ruang yang dapat
dijangkaunya, mengikis apa yang ada di jalan . Permukaannya dapat terganggu dan pindah , tapi
gangguan ini meninggalkan ada jejak , seperti air dibebankan dengan tekanan dan potensi untuk
selalu mencari keseimbangannya , dan dengan demikian membangun ruang halus Rhizome/
Rimpang/ Alga.
Implikasi dari sistem Rizomatik sebetulnya banyak dipraktekan dapam kajian-kajian studi
pembangunan/ development study. Arsiktekur Komunitas juga banyak melibatkan pemahaman
rizomatik ini, dengan asumsi bahwa sebuah keberhasilan pembangunan diukur bukan dari norma
norma pelaksanaan dan keterlaksanaannya, namun pada ketercapaian tujuan pembangunan itu
sendiri. Orientasi konsultansi pembangunan untuk bidang pemukiman tidak selalu diawali oleh
pengetahuan mengenai arsitektur, namun pada pengetahuan mengenai komunitas. Dan karenanya
seringkali pada akhirnya arsitek yang terjun ke dalam bidang ini kemudian terjun dalam kajian
mengenai kebijakan, politik ekonomi dan bidang0bidang lain yang bisa jadi sangat jauh dari dunia
arsitektural

Arsitektur Komunitas dan Konsep Konsultan Pembangunan Hasan Poerbo sebagai salah satu
bentuk pengejawantahan sistem arsitektur dalam konteks ini.

Ketika sistem dominasi kemudian menjadi konsiderasi dari sistem Rhizomatic maka diskusi
akan memasuki wilayah arsitektur dan kekuasaan (Kim Dovey)

Metoda-metoda analisis pembangunan yang berakar pada sistem kompleks, seperti yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Studi pembangunan

Analisis kritis Bilbao Efex atas Gugenheim Bilbao oleh Rob Cowherd. Bahwa Bilbao Efect di
Spenyol sebetulnya bukan karena Frank Gehry, namun karena kepiawaian sang walikota

Dengan pendekatan ini pelaku arsitektur yang ingin mewujudkan arsitektur tertentu mungkin justru
akan harus melepaskan dirinya dari konstruk-konstruk arsitektural dan berani mencoba cara varu
untuk melihat fenomena pembangunan dan Budaya. Dan pada titik ini pengetahuan yang paling
bermanfaat bagi dirinya, mungkin bukanlah pengetahuan desain, namun kreativitas, kepekaan rasa
dan keberanian mencoba cara lain.
Referensi
Alexander R. CUTHBERT (2004), THE NEW IMPERIALISM: CULTURE, CLASS AND SPACE
Artepolis
Nezar Alsayyad, The End of History
Louis Althusser 1969 Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an
Investigation)
Tjuk kuswartojo, 1995, Gelar Nalar Hasan Poerbo
Widiastuti, Indah, 2010, Arsitektur dalam Paradigma Kompleksitas

Anda mungkin juga menyukai