Anda di halaman 1dari 5

Sabtu, 23 Juli 2011 Angui Borneo 6

Pada zaman dahulu kala, sekitar abad ke 15 Mandomai dan pada umumnya Kalimantan Tengah masih tergolong
tempat yang masih murni yaitu hutan belantara dan belum tersentuh oleh para pendatang. Penduduk aslinya ialah
Suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang bantaran sungai Kapuas dan kepercayaan yang di
anut pun masih kepercayaan nenek moyang yaitu Kaharingan yang artinya "Kehidupan". Suku Dayak Ngaju pada
zaman dahulu merupakan salah satu suku terkuat yang melakukan budaya "Kayau" atau budaya berburu kepala,
disamping Dayak Iban, Dayak Ot dan Dayak Kenyah.
Rumah tempat tinggal suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Dayak Ngaju
Kapuas di sebut "Huma hai". Rekonstruksi rumah ini seperti rumah panggung pada umumnya, mempunyai tiang
rumah yang tinggi kira-kira 10 meter dan lebar rumah sekitar 50 meter. Maksud orang Dayak pada zaman dahulu
mendirikan rumah tinggi ialah untuk menghindari dari bahaya seperti binatang buas, banjir dan budaya kayau.
Rumah Betang biasanya di huni 20 bahkan sampai 100 kepala keluarga, tergantung dari ukuran rumah Betang
tersebut.
Pada zaman dahulu sebelum kedatangan para pendatang, Mandomai dahulu bernama Desa Tacang Tangguhan,
sebuah desa kecil yang pada kala itu hanya terdapat beberapa rumah Betang. Masyarakatnya pun kala itu masih
tergolong premitif, menggunakan baju dari anyaman rotan, kulit kayu maupun kulit hewan. Kegiatan masyarakatnya
masih tergolong sederhana seperti berburu, nelayan sungai dan bertani. Budaya kayau (berburu kepala) pada saat
itu pun masih dipegang teguh. Selain itu budaya Dayak yang masih dipegang teguh oleh masyarakat kala itu masih
murni seperti kepercayaan Kaharingan, tiwah (upacara kematian suku Dayak Ngaju), tatto, tari - tarian dan banyak
lagi lainnya. Ciri - ciri fisik orang Dayak Ngaju zaman dulu ialah berkulit putih, bermata sipit, tubuh tegap,
menggunakan celana "ewah" yaitu balutan kain dengan khas di julurkan selembar kain di depannya, menggunakan
kalung dari taring binatang buas, menggunakan hiasan kepala baik ikat kepala maupaun dari anyaman rotan yang
dihiasi dengan bulu burung dan senjata tradisionalnya berupa Mandau, Tombak, Sumpit dan perisai (telabang).
Seiring dengan perkembangan zaman dan mulai memudarnya budaya kayau sekitar abad ke 18, para pendatang
mulai berani menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan Tengah. Umumnya para pendatang dari Tanah Banjar (
Banjarmasin ), dari tanah Jawa dan orang2 Belanda yang umumnya sebagai penjajah. Menilik sejarah kampung
Mandomai, Mandomai sejak zaman kolonial Belanda sudah terkenal akan keramaiannya dan pada saat itu
Mandomai di jadikan sebagai pusat penyebaran agama Kristen diseluruh Kalimantan Tengah. Mandomai juga
merupakan tempat awal mula penyebaran agama Islam kepada orang Dayak terutama didaerah aliran sungai
Kapuas. Jadi artinya mandomai sejak dulu sebagai pusat penyebaran 2 agama di Kalimantan Tengah.
Dengan kedatangan para pendatang secara tidak langsung membawa perubahan pola hidup masyarakat suku
Dayak Ngaju mulai dari kepercayaan sampai sosial budaya. Efek nyata dari budaya yang diterima adalah Agama
Islam mulai masuk dan berkembang di Mandomai pada Abad ke-18 dengan berdirinya Mesjid Jami Al-Ikhlas yang
merupakan mesjid tertua di bantaran sungai Kapuas, kemudian didaerah hilir Mandomai terdapat Gereja Immanuel
yang dulu dijadikan zending sebagai pusat penyebaran agama Kristen kepada orang Dayak dan termasuk gereja
tertua di Kalimantan Tengah. Seiring dengan membaurnya dengan para pendatang, suku Dayak pun sudah
kehilangan budaya Betangnya dimana para generasi Dayak sudah mempunya rumah sendiri - sendiri setiap kepala
keluarga. Mandomai banyak melahirkan orang2 yang sangat berpengaruh di Provinsi Kalimantan tengah, bahkan
pejabat-pejabat provinsi Kalimantan Tengah dikota Palangkaraya banyak keturunan dari Mandomai.
Tokoh legenda yang paling terkenal di Mandomai ialah "Raden Inyui Amoi Gilang" dimana ia dipercaya sebagai
pendiri kampung Mandomai. Ia adalah seorang lelaki Dayak yang gagah perkasa, yang mempunyai kesaktian yang
tinggi, sifat dan karakternya menggambarkan khasnya orang Dayak, Sang penakluk rimba. Tempat makam Raden
Inyui terletak di Mandomai Hulu berupa Sandung (makam kepercayaan Kaharingan) dan kini namanya di jadikan
nama sebuah jalan di Mandomai yang di kenal dengan Jl. RIA Gilang. Kemudian di Mandomai hulu masih terdapat
sisa Rumah Betang yang masih berpenghuni yang sekarang dijadikan salah satu cagar Budaya Dayak Kab.Kapuas
yang masih tersisa, Sandung Tahutun Pantar yg mana disandung tersebut bertuliskan tahun 1735 yang menandakan

kampung Mandomai termasuk kampung tua. Dari Mandomai kearah hulu lagi, dahulu ada anak sungai Kapuas yang
dianggap keramat oleh warga setempat yaitu sungai Garantung, tetapi dengan seiring perkembangan zaman sungai
tersebut sudah dianggap hal biasa bagi masyarakat setempat dan tidak begitu dianggap keramat lagi.
Mandomai bukanlah nama asli kampungnya, banyak versi mengenai nama Mandomai, ada yang mengatakan
diberikan oleh orang - orang Banjar sebagai warga pendatang dimana Mandomai di ambil dari kata bahasa Dayak
Ngaju " Mandui Mai " yang artinya " Ibu mandi " akibat orang - orang Banjar sering mendengar percakapan tersebut
dari lisan orang Dayak, atas dasar itulah mereka memberi nama kampung Mandomai. Ada versi lain juga yang
menyebutkan Mandomai diambil dari kata "Man = aman" dan "Domai = Damai" apabila digabung Mandomai berarti
Desa yang Damai. Tapi banyak yang tidak mengetahui bahwa nama asli Mandomai ialah Tacang Tangguhan.
Kini Mandomai manjadi ibukota kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berbatasan
langsung dengan Kabupaten Pulang Pisau. Mandomai membawahi beberapa Desa yaitu Desa Saka Mangkahai,
Anjir Kalampan, Tumbang Umap, Pantai, Penda Katapi, Saka Tamiang dan masih banyak lagi yang lain. Sampai
sekarang Mandomai masih dijadikan sebagai pusat pendidikan bagi warga sekitar Kecamatan Kapuas Barat dan
sepanjang arah bantaran sungai Kapuas. Tapi meski hanya sebuah kecamatan, jauhkan pikiran bahwa Mandomai
adalah daerah terpencil, karena di sana berbagai fasilitas seperti Sekolah, Layanan Kesehatan, jaringan internet,
jaringan handphone, listrik dan lain sebagainya sudah tersedia sejak lama, dan akses jalannya pun sangat mudah,
jadi tak ada kata tertinggal. Mayoritas penduduk kecamatan Kapuas barat (Mandomai) beragama Islam 70%, dan
diikuti agaman Kristen Protestan, Katolik, dan kaharingan (Kepercayaan nenek moyang suku Dayak). Suku
mayoritas di Mandomai adalah Dayak Ngaju ( Kapuas-Kahayan), Dayak Bakumpai, Dayak Ma'anyan, serta Dayak
lainnya, Banjar ( Melayu Kalimantan ), diikuti oleh suku Jawa dan lain-lain.

Foto Dayak Ngaju tahun 1800an

Foto Jembatan Muara Anjir Mandomai sekarang

Foto Sandung Tahutun Pantar 1735 diMandomai Hulu sekarang

Kelurahan Mandomai sekarang dari tepi sungai Kapuas

Warga Mandomai tahun 1890

Foto Mesjid Jami Al Ikhlas tahun 1903

Foto Mandomai Tempo dulu

Mandomai Tempo dulu

Lewu Lanting "Kuburan Kepercayaan Kaharingan" kearah Hilir dari Mandomai Hilir

Anda mungkin juga menyukai