Anda di halaman 1dari 57

Bab I

Pengertian dan Batasan Pengertian Konsumen


Pendahuluan
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pengertian konsumen, yang dalam kehidupan
sehari-hari konsumen senantiasa terkait dengan hampir semua kegiatan usaha, oleh
karena itulah dalam bab ini pula akan dijelaskan tentang Hukum konsumen dan Hukum
perlindungan konsumen. Setelah mahasiswa membaca dan mempelajari diharapkan
mahasiswa mampu untuk menjelaskan dan membedakan antara pengertian hukum
konsumen dengan hukum perlindungan konsumen, menjelaskan pengertian konsumen,
dan pelaku usaha

Penyajian
a. Pengertian tentang Konsumen
Dalam ilmu perlindungan konsumen, terdapat setidak-tidaknya tiga pengertian
tentang kmonsumen. Perundang-undangan umum yang ada tidak menggunakan arti yang
sama dengan konsumen yang dimaksudkan, karena perlindungan konsumen ini
menyesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan jaman.
Perkembangan sosial ekonomi dan tehnologi pun telah berubah jauh dari saat-saat
perundang-undangan umum tersebut disusun, karena itulah perlindungan konsumen
memang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat
perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.
Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara
harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang
membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang
yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan "
setiap orang yang menggunakan barang atau jasa".
Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai
orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum
pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan

barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi
lagi).
Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam
perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang membeli barang
yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak
termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial (Consumer protection Act No. 68 of 1986 Pasal 7 huruf C).
Perancis mendefinisikan konsumen sebagai; "A privat person using goods and services
for privat ends". Sementara Spanyol menganut definisi konsumen sebagai berikut:
"Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real
property , products , services, or activities, regardless of wheter the seller,
supplier or producer is a public or private entity, acting alone or collectively".
Selain itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim
Peneliti UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1, dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai
dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Tim Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya
barang, yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala
keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, maka
anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan kategori
konsumen.
Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang mulai berlaku satu bulan sejak pengundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir
2 mendefinisikan konsumen sebagai "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user / pengguna
terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barannng dan/atau jasatersebut.
BPHN: Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang

lain dan tidak diperjual belikan. Yang dimaksud dengan konsumen adalah end user atau
pengguna terakhir. Siapa yang dimaksud dengan konsumen akhir ada beberapa batasan.

Batasan Konsumen Akhir menurut Perundang-Undangan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen India:

Konsumen adalah setiap orang pembeli barang yang disepakati, menyangkut


harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan
barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial

Perundang-undangan Australia:

setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga yang telah
ditetapkan (setinggi-tingginya A $. 15,000, atau kalau harganya lebih , maka
kegunaan barang tersebut umumnya untuk keperluan pribadi, domestik, atau
rumah tangga (normally used for personal, family or household purposes)

Undang-Undang Jaminan Produk (Amerika Serikat):

Setiap pembeli produk konsumen yang tidak untuk dijual kembali, dan pada
umumnyadigunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga
(personal, family or household )
v Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia: Pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau
orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali
v Fakultas Hukum Universitas Indonesia Setiap orang atau keluarga yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan
v Hornby:
Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu Sesuatu atau Seseorang yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang Setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa

v Blacks Law Dictionary:


One who consumers, individuals who purchase, use, maintain and dispose of
product and services artinya:
seseorang yang mengkonsumsi, individu yang membeli, menggunakan,
memelihara dan menggunakan/ menghabis dari produk dan jasa

Bab II
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana,
hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai
cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen
terletak dalam cabang hukum yang mana.. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum
konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana,
administrasi, dan konvensi internasional.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, memberikan batasan hukum konsumen yaitu:
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan
masalah anatara berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa
konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan
menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah
konsumen dalam peraturan perundan-undangangan tersebut walaupun ditemukan
sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen.

Dalam ilmu perlindungan konsumen, terdapat setidak-tidaknya 3 (tiga) pengertian


tentang konsumen. Perundang-undangan umum yang ada tidak menggunakan arti yang
sama dengan konsumen yang dimaksudkan.
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang/jasa untuk tujuan tertentu.
2

konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang


dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau
untuk memperdagangkannya ( distributor), dengan tujuan komersiil.
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan

1. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang


dan/atau jasa konsumen untuk memnuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga,
atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan.
Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UU
Perlindungan Konsumen tersebut, yaitu UU No. 8 tahun 1999. Selanjutnya apabila
digunakan istilah konsumen dalam UU tersebut adalah konsumen akhir.
UU ini mendefinisikan konsumen (pasal 1 angka 2) sebagai berikut:
Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
Orang dimaksudakan dalam UU ini wajiblah merupakan orang alami dan bukan
badan hukum. Sebab yang dapat memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang
dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lian maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami, atau manusia.
Bandingkan dengan kerajaan Belanda yang juga memberikan pengertian pada istilah
(consument). Pengertian konsumen dalam perundang-undangan Belanda menegaskan
een natuurlijk persoon die niet handelt in de uitoefening van zijn beroep of bedriif (orang
alami yang bertindak tidak dalam profesi atau usahanya.
Jenis Konsumen
n Konsumen yang menggunakan barang/ jasa untuk keperluan komersial
(intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, consumer of
industrial market)
n Konsumen yang menggunakan barang/ jasa untuk keperluan diri sendiri/
keluarga/ non komersial ( Ultimate consumer, Ultimate buyer, end user, final
consumer, consumer of the consumer market)

b. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undang-undang yang pada
umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan sarjana ekonomi pada (ISEI)
menyebutkan kelompok besar kalangan pelaku ekonomi; tiga diantaranya termasuk

kelompok pengusaha, (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok
pelaku usaha tersebut terdiri dari;
1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan. Seperti Perbankan, usaha keasing, dan penyedia
dana lainnya.
2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/atau badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/atau badan yang
memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan
perumahan, jasa angkutan, perasuransian, perbankan, kesehatan, obatobatan dsb.
3. distributor

yaitu

pelaku

usaha

yang

mendistribusikan

atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat.

2. Perlindungan Konsumen
Apakah yang dimaksud dengan perlindungan konsumen?
Undamg-undang tentang perlindungan konsumen, UU No. 8 tahun 1999
menegaskan sebagai;
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen (pasal 1 butir 1).

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut


antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka
akses informasi tentang baran dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap
pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU). Tujuan yang
ingin dicapai perlindungan konsumen (pasal 3) umumnya dapat dibagi dalam 3 (tiga)
bagian utama yaitu:
a.

memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan


/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.

b.

Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsusr-unsur


kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk mendapatkan
informasi tersebut (pasal 3 huruf d).

c.

Menumbuhkan

kesadaran

pelaku

usaha

mengenai

pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung


jawab (pasal 3 huruf e).
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya
kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari
benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan
diantara keduanya. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang
dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Pemberdayaan

konsumen

ini

adalah

dengan

meningkatkan

kesadaran,

kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu meningkatkan


harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negaif pemakaian,
penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kenutuhannya. Disamping itu juga
kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian
harta bendanya, keselamatan dan kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan
produk konsumen.

Istilah-istilah Pemakai, Pengguna atau Pemanfaat


UU perlindungan Konsumen menggunakan istilah yang hampir bersamaan
artinya. Pemakai, Pengguna atau Pemanfaat sering diartikan bersamaan dengan kaitan
apapun. UU tidak menjelaskan arti masing-masing istilah tersebut. Dalam pembahasan
penggunaan istilah-istilah ini pakar hukum perlindungan konsumen menyepakati
penggunaan istilah-istilah untuk kegiatan secara tertentu.
1

istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang tidak


mengandung listrik atau elektronik. (pemakaian bahan sandang, bahan
pangan, perumahan dsb)

istilah pengguna ditujukan untuk penggunaan produk konsumen yang


menggunakan arus listrik atau elektronik

istilah pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen


berbentuk jasa. (dokter, asuransi, transportasi dsb)

c. Produk konsumen
Apakah yang dimaksud dengan produk konsumen. UU perlindungan konsumen tidak
menegasklan pengertian tentang istilah produk konsumen. Dalam UU konsumen
hanya disebut tentang barang dan/atau jasa ( lihat pasal 1 angka 4 dan 5 ). Untuk
istilah ini AZ. Nasution berpendapat bahwa produk konsumen adalah barang dan/atau
jasa yang umumnya digunakan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan
tidak untuk diperdagangkan.
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam kehidupan sehari-hari, hampir semua kegiatan usaha bersentuhan dengan
konsumen. Karena itulah AZ. Nasution membedakan antra [engertian hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen.
Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan
barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.
Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa segala kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup manusia sehari-hari, yang diatur dalam suatu UU disebut hukum
konsumen, dengan demikian maka hukum konsumen terdiri dari beberapa peraturan
peruindang-undangan yang bersentuhan dengan kebutuhan konsumen.
Berikut ini adalah beberapa hukum konsumen yang juga merupakan sumeber hukum bagi
hukum perlindungan konsumen
3. UU NO.8/99 Ttg Perlindungan Konsumen
4. UU NO.2/81 Ttg Metrologi Legal
5. UU NO.2/66 Ttg Hygiene
6. UU NO.23/92 Ttg Kesehatan
7. UU NO.5/84 Ttg. Perindustrian

8. UU NO.7/96 Ttg. Pangan


9. UU NO.3/82 Ttg Wajab Daftar Perusahaan
10. UU NO.9/95 Ttg. Usaha Kecil
11. UU NO.69/99 Ttg. Label dan Iklan Pangan
n Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen.
n Hukum perlindungan konsumen memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen
Sehingga hukum perlindungan konsumen lebih spesifik dan khusus untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Arti penting perlindungan Konsumen
Menurut A.Z Nasution yang dikutip oleh Lobby Loqman yang dikutip juga oleh Parulian
Siagian bahwa mengapa konsumen perlu dilindungi, hal ini menyangkut dua kepentingan
yaitu kepentingann fisik konsumen dan kepentingan sosial ekonomi.

Penutup
Dengan membaca penyajian tersebut diharapkan mahasiswa dapat menjwab soal-soal
dibawah ini
1. sebut dan jelaskan pengertian konsumen, dimana ada 3 (tiga) pengertian.
Sebutkan.
2. apa perbedaan antara hukum konsumen dan hukum konsumen
3. sebut dan jelaskan pelaku usaha.

Bab III
Sejarah Perlindungan Konsumen
Pendahuluan
Dalam bab II ini akan dijelaskan mengapa konsumen harus dilindungi? Untuk menjawab
hal ini akan dijelaskan tentang sejarah Hukum perlindungan konsumen, dan
perkembangan perlindungan konsumen. Setelah mempelajari materi ini diharapakan
mahasiswa mampu untuk menjeaskan mengapa konsumen perlu dilindungi?

Penyajian
Sebelum terjawab pertanyaan diatas mengapa konsumen perlu dilindungi? Kita akan
mempelajari dulu sejarah perlindungan konsumen.
Perkembangan pentingnya konsumen dilindungi, ini karena adanya perkembangan dunia
perdagangan dan transaksi yang pesat hal ini dapat dilihat dari sejarah,
- adanya revolusi industri, dimana pada masa ini banyak muncul industri-industri yang
dikhwatirkan dalam menjalankan usahanya guna mendapatkan keuntungan para
pengusaha ini akan menggunakan berbagai cara karena adanya persaingan antara
pelaku usaha, meningat dunia industri dan perdagangan maju pesat.
- adanya globalisasai atau dunia tanpa batas, dimana dunia perdagangan lebih mudah
untuk memasuki negara tetangga atau suatu pruduk sangat mudah untuk memasuki dan
dipasarkan diu negara lain diluar negara penghasil produk tersebut.
- bergaining position konsumen lemah atau posisi tawar konsumen rendah.
- karakteristik konsumen yang sangat kompleks, berbeda satu sama lain
- status pendidikan dan statis ekonomi yang sangat beragam, hal ini oleh Hans W.
Micklitz membedakan antara konsumen yang terinformasi dan konsumen yang tidak
terinformasi. Adapun konsumen yang terinformasi adalah konsumen dengan karak
teristik mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, status ekonomi

Lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen


Dari masa pembahasan RUU Perlindungan Konsumen di DPR terlihat seakanakan waktu yang digunakan untuk pengesahan RUU menjadi UU berkisar 3-4 bulan saja

(desember 1998-30 maret 1999). Padahal sesungguhnya berbagai usaha dengan memakan
waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang berkaitan
dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan
pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, YKLI, bersama-sama dengan
perguruan-perguruan tinggi, yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan
ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskag penelitian, pengkajian dan
naskah akademik RUU (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara
historis, beberapa diantara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
a.

Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas


Indonesia tentang

masalah

Perlindungan

Konsumen (15-16

Desember 1975)
b.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI,


Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek
tahun 1979-1980).

c.

Yayasan Lembaga Konsummen Indonesia, perlindungan kosumen


indonesia suatu sunbangan pemikiran tentang rancangan Undangundang Perlindungan konsumen (1981).

d.

Departemen perdagangan RI bekerjasama dengan fakultas hukum


UI, RUU tentnang perlindungan konsumen (1997)

e.

DPR RI, usul inisiatif DPR tentang UU perlindungan Konsumen


Desember 1998.

Selain pembahasan-oembahasan diatas masih banyak lagi lokakarya-lokakarya,


seminar-seminar, berkenaan dengan perlindungan konsumen atau tentang produk
konsumen, dari berbagai aspeknya.
Untuk hadirnya suatu UU tentang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15
bab dan 65 pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan
awal tentang UU ini dikumandangkan (1975-2000), meskipun masih ada kekurangan
disana sini (selanjutnya menjadi tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional-BPKN).
Sekalipun demikian ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat indonesia yang
kesemuanay adalah konsumen pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan atau jasa

konsumen. Apalagi globalisasi sudah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan
kedudukan konsumen yang lemah dibandingkan pelaku usaha maka kebutuhan akan
perlindungan konsumen tersebur merupakan suau conditio sine quanon.
Prospek Gerakan Konsumen
Perhatian terhadap gerakan perlindungan hak-hak konsumen mendapat dukungan
dan pengakuan dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dengan resolusinnya No. 2111
tahun 1978, kemudian pada 16 april 1985 dengan resolusimnya No. A/RES/39/248 juga
disuarakan seruan penghormatan terhadap hak-hak konsumen. Gerakan konsumen
international mempunyai wadah International Organization Consumers Unions (IOCU).
Kemudian sejak 1995 berubah menjadi Consumers International (CI). Anggota CI
mencapai 203 anggota yang terdiri dari 90 negara. Indonesia mempunyai 2 (dua)
organisasi konsumen, YLKI (jakarta) dan LP2K (semarang)
Konsumen Indonesia merupakan bagian konsumen global sehingga gerakan
konsumen di dunia international mau tidak mau menembus batas-batas negara, dan
mempengaruhi kesadaran konsumen, untuk berbuat hal yang sana, perjuangan akan hakhak konsumen, seiring dengan perkembangan pasar, globalisasi dunia tanpa batasperdagangan bebas.

Penutup
Dengan mempelajari sejarah ini mahasiswa diharapkan dapat menjawab,
1. Mengapa atau apa yang menjadi alasan konsumen perlu
di;lindungi.
2. menyebutkan sumber-sumber hukum perlindungan konsumen
3. menyebutkan

sejarah

perkembangan

konsumen (konsumerisme)

gerakan

perlindungan

Bab IV
Hak-hak Konsumen
Pendahuluan
Dalam bab ini hendak dijelaskan apa yang dilindungi dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, atau bilamana konsumen tersebut dilindungi. Dengan mempelajari bab ini
mahasiswa diharapkan dapat nenjelaskan apa yang menjadi hak-hak konsumen, hak-hak
pelaku usaha, kewajiban konsumen dan apa kewajiban pelaku usaha.
Penyajian
Perlindungan konsumen dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan yang
diberikan oleh hukum. Oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan tidak saja hanya fisik, namun juga hakhak yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen ssesungguhnya
identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen (berdasarkan Consuners
bill of, 1962. President Kennedys) yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety).
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
3. Hak untuk memilih (the right to choose)
4. Hak untuk di dengar (the right to be heard)
Empat hak dasar ini diakui secara international. Dalam perkembangannya
organisasi konsumen yang tergabung dalam IOCU yang berubah menjadi CI,
menambahkan lagi beberapa hak , YLKI misalnya menambahkan satu hak lagi yaitu han
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang kemudian dikenal
dengan panca hak konsumen (Jakarta, YLKI, 1985)
Dalam Undang-Undang Perlindungan Koinsumen UU No. 8 tahun 1999, tidak
mengatur tentang

hak kekayaan intelektual dan di bidang pengelolaan linngkungan

hidup.
Adapun hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam pasal 4 UU Perlindungan
Konsumen ini, sementara satu hak terakhit dirumuskan secara terbuka.

1.

hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa.

2.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang


dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.

3.

Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.

4.

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.

5.

Hak

untuk

mendapatkan

advokasi,

perlindungan,

dan

upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut


6.

Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.

8.

Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian


jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.

9.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan peruindang-undangan


yang lain.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang


dirumuskan dalam pasal 7, yang menhatur tentang kewajiban pelaku usaha. kewajiban
dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan
hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa
kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi persaingan curang. Di Indonesia persaingan
curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini
terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha
dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga

diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya
(bab IX, X, dan XI).

Penutup
Dari pembahasan tersebut diharapkan mahasiswa mampu menjawab pertanyaan.
1. apa yang dilindungi dalam UU Perlindungan Konsumen
2. apa saja yang menjadi hak konsumen yang diatur dalam UU Nasional maupun
International.
3. menyebutkan kewajiban pelaku usaha, dan juga lembaga perlindungan konsumen.

Bab V
Pronsip-prinsip Perlindungan Konsumen
Berbicara tentang prinsip-prinsip perlindungan konsumen ini, mahasiswa diharpakan
setelah mempelajati prinsip perlindungan konsumen ini mampu untuk menyelesaikan dan
menganalisa suautu sengketa konsumen. prinsip-prinsip ini meliputi, kedudukan
konsumen, proses beracara, prinsip tanggung jawab dan product liability.

Penyajian
a. Pengantar
Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis
besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama kebijakan yang bersifat
komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi
yang memadai kepada konsumen. (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris
yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen
(hak atas kesehatan dan keamanan)
Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan
konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsipprinsip pengaturan di bidang perlondungan konsumen. Dalam UUPK ada lima prinsip
yang dikaitkan dengan asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum.
b. Kedudukan Konsumen
prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan
dengan pelaku ysaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan
sejarah hukum perlindungan konsumen:
1.

Let the buyer beware. Prinsip kehati-hatian ada pada konsumen. Hal ini
dengan adanya asumsi bahwa kedudukan kinsumen dan pelaku usaha
adalah seimbang, sehingga konsumen tiudak perlu ada proteksi. Prinsip
ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen
tidak mendapat informasi yang memadai yang selanjutnuya mampu

untuk

menentukan pilihan terhadap produk konsumen baik barang

dan/atau jasa.
2.

The due care theory, prinsip ini menyatkan bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan
produk. Selkama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat
dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan
maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian
pada hokum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat,
pasal 1865 KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa
yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan
haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu
peristiwa, maka is diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.

3.

The privity of contract, prinsip ini menyatakan pelaku usaha


mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru
dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan
kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang
dperjanjikan.

Artinya

konsumen

dapat

menggugat

berdasarkan

wanprestasi.

C. Proses Beracara
Sengketa konsumen akan terjadi apabila terjadinya pelanggaran hak-hak
konsumen dan tidak terpenuhinya kewajiban pelaku usaha. Banyak cara dalam
penyelesaian sengketa konsumen ini. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari sengketa
konsumen akan melibatkan pihak konsumen yang melibatkan banyak orang, karena
sengketa ini muncul biasanya karena ketidaksesuaian produk baik barang maupun jasa,
dimana produk ini akan dikonsumsi lebih dari satu orang, meski demikian tidak menutup
kemungkinan sengketa ini hanya melibatkan perseorangan. Dalam bab ini akan dibahas
cara yang dapat ditempuh dalam beracara sengketa konsumen.

1. Small Claim, adalah jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen,
sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alas
an mengapa small claim diijinkan dalam enyelesaoian sengketa konsumen, a.
kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang
kerugiannya, b. keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja, c.
untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
2. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu
orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatann
kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002
dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok. Dalam UU Perlindungan
Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b). pertanyaan
muncul apakah NGOs dapat menjadi wakil dari para konsumen, dapat asalkan
saja NGOs tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai
korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class Action
wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of
Civil Procedure
a. Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak
b. Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak
yang diwakili dan pihak yang mewakili
c. Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar
pembelaan yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang
mewakili
d. Adequacy of Representation, adanya kemampuan klas yang mewakili
dalam mewakili pihak yang diwakili

3. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen


dengan menunjuk pihak NGOs atau LSM yang dalam kegiatannya
berkonsentrasi pada kegiatan konsumen

untuk mewakili kepentingan

konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah
berbadan hukum atau yayasan.

D. Prinsip Tanggung Jawab


Prinsip tentang tanggung jwab ini penting mengingat bahwa beberapa sumber
hokum formal dan perjanjian standar di lapangan hokum keperdataan kerap memberikan
batasan tanggung jawab pada pelaju pelanggaran hak konsumen.
Untuk menentukan seberapa besar tanggungjawabnya, dan siapa yang wajib
bertanggungjawab, berukut akan dijelaskan beberapa prinsip tanggung jawab.
1.

Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Fault Liability


atau Liability Based on Fault). Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang
baru bias dimintakan pertanggungjawabannya secara hokum jika ada
unsure kesalahan yang dilakukan. Dalam KUHPerdata pasal 1365,
yang dikenal sebagai perbuatan melawan hokum, mensyaratkan
terpenuhinya unsure pokok yaitu: (1) adanya perbuatan (2) adanya
unsure kesalahan (3) adanya kerugian yan diderita (4) adanya hubungan
sebab akibat antara kesalahan dan kerugian.

2.

Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung jawab. Bahwa tergugat


selalu dianggap bertanggung jawab, (presumption of liability), sampai
dia dapat membuktikan sebaliknya. Jadi beban pembuktian ada pada
tergugat. (omkering van bewijslast). Prinsip pembuktian ini dalam
Hukun Pidana baru diterapkan pada Tindak Pidana Korupsi. Dan
UUPK juga mengadopsi pembuktian terbalik ini hal ini dapat dilihat
dalam pasal 19, 22, 23 UUPK. (lihat ketentuan pasal 28 UUPK)

3.

Prinsip Praduga Untuk Selalu Tidak Bertanggung Jawab. Prinsip ini


hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas,
missal hokum pengangkutan.

4.

Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability). Istilah strict liability


ini sering diidentikan dengan tanggung jawab mutlak. Ada pakar yang
membedakan antara srict liability dengan absolute liability. Pada strict
liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan
tidak sebagai factor yang menentukan, namun ada pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, missal force
majeur. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab

tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Disamping itu


pembedaan tanggung jawab tersebut juga dapat dilihat dari ada
tidaknya hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggungjawab
dengan kesalahan.
5.

Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan.

Prinsip ini sangat

menguntungkan pelaku usaha karena dalam klausul perjanjian selalu


mencantumkan pembatasan tanggung jawab yang dikenal dengan
klausul eksonerasi atau lepas dari tanggung jawab, misalnya tiket
penitipan kendaraan.

Bab VI
Product Liability/ Tanggung Jawab Produk
Pendahuluan
Setelah mempelajari tanggung jawab produk ini mahasiswa diharapkan dapat
menganalisa sengketa konsumen yang muncul di masyarakat. Mahasiswa mampu
menjelaskan apa tanggung jawab produk tersebut, mengapa perlu diatur tentang
tanggung jawab produk.

Penyajian
Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan: Konsumen dimanapun mereka berad,
dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang dimaksud hak-hak
dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur;
Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak unutk mendapatkan kebutuhan dasar manusia
(cukup pangan dan papan); Hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih
serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan
dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak
konsumen tersebut di negaranya masing-masing.
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami
konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada
penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri
tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka
harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang
berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga
yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperlukan Undang-Undang
serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang

dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas unutk mengawasi
berjalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik.
Konsumen harus sadar akan hak-hak yang mereka punyai sebagai seorang
konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku
pengusaha dan pemerintah.
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang
selama ini dianggap kurang diperhatikan, bisa menjadi lebih diperhatikan.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen
dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan;
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
Informasi, serta menjamin kepastian hukum.
- Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
Pelaku usaha;
- Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
- Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan;
- Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

Product Liability (Tanggung Jawab Produk)


Menurut Natalie OConnor; Product Liability, These were designed to
protect the consumer from faulty or defective goods by imposing strict liability upon
manufacturers.
Dari pedapat yang di kemukakan oleh Natalie diatas dapat kita lihat secara
umum bahwa Tanggung Jawab Produk adalah suatu konsepsi hukum yang intinya
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang

sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan
beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk
(produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara
ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau
membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan
tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam
pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat
produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya
kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan
sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya.
Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda
dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan
1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen untuk
memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan
akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan
ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada
konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum
dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang
atau instansi lain.
Apakah yang dimaksud dengan cacat produk? Di Indonesia cacat produk atau
produk yang cacat di definisikan sebagai berikut:
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena
kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi
dalam peredaranya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia
atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang
Dari batasan ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku

usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini dipicu oleh tujuan yang ingin
dicapai doktrin ini yaitu:
a.

Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut.

b.

Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak
dapat di hindari.

Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya)
karena:
1.

Cacat produk atau manufaktur;

2.

Cacat Desain;

3.

Cacat Peringatan atau cacat industri.

Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada di
bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga
dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat
seperti tersebut diatas termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi
sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi
dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk
yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu sebagaimana yang di utarakan
diatas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada
produsen dari produk tersebut. Tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat
tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha
lainnya, seperi importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.
Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha
produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab
cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedang tanggung
jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas
rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan
melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability),
tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam konsdisi

demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah
ditinggalkan, dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab)
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha
yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen diatur
dalam Pasal 4,5,7-17, 19-21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Definisi
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun
yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan
dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen
(Prducer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (Product Liability)
produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat
intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis
binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).
Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu
produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku
cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat
(defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal
tiga macam defect: Production/manufacturing defects, design defects dan warning or
instruction defects.
Production/Manufacturing Defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai
dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
Desaign Defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada

manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain
produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
Warning/Instruction

Defect

yaitu

apabila

buku

pedoman, buku

panduan,

pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang
bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang
penggunaannya yang aman.
Tentang pengertian product liability dapat dikemukakan definisi sebagai berikut:
Menurut Hursh: product liability is the liability of manufacturer, processor or nonmanufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party,
caused by product which has been sold.
Perkins Coie menyatakan: Product Liability:The liability of the manufacturer or
others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of
product.
Sedangkan dalam convention on the Law Applicable to Products Liability (The
Hague Convention), article 3 menyatakan:
This convention shall applay to the liability of the following persons:
1.

manufacturers of a finished product or of a component part;

2.

producers of a natural product;

3.

suppliers of a product;

4.

other persons, including repairers, and warehousemen, in the commercial


chain of preparation or distribution of a product. It shall also apply to the
liability oh the agents or employees of the persons specified above.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu tanggung
jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk
(producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang
product Liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap
orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau
penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.
Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas.

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga


menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik
kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Strict Liability Principle
Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, nampak
bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product Liability telah diatur pula dalam
KUHPerdata kita.
Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen
menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir,
distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa
kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut
adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh
pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen,
maka gugatan konsumen akan gagal.
Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka
sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab
mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang
yang

cacat

atau

tidak

aman

dapat

menuntut

kompensasi

tanpa

harus

mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.


Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtictliability)
diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:
a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban
kerugian

(resiko)

seharusnya

ditanggung

oleh

pihak

ynag

memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;


b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan,
dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen
yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan
beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir,

grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.
Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang
ini.
Pertimbangan-pertimbangan

Turidis

yang Menyebabkan Urgenitas Penerapan

Instrumen Hukum Product Liability


1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana
perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.
2. Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang telah
diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang
saling menguntungkan antara produsen dan konsumen.
3. Tata Hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini,
tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen.
Tata hokum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian
kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kereugian yaitu

instrummen hokum Wanprestasi pasal 1243 KUHPerdta

instrument hokum perbutan melawa hokum pasal 1365 KUHPerdta

4. tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung
jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kotraktuil antara
produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh
pelaku usaha.
5. seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan
instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum
haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscou Pound hukum
adalah o tool of social engineering
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuatpenerapan prinsip
strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory
1.

Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik
untuk

menanggung

beban

kerugian,

dan

pada

setiap

kasus

yang

mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut


dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang
preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya.

Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.


2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu
proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri)
bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.

Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan


menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal:
pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;
kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugian/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum
bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya
kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu
diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi).
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict
liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung
jawab produsen tersebut adalah:
a. Jika produsen tidak mendengarkan produknya (put into circulation);
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau
diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka
bisnis;
d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or
art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh
desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen
tersebut;

g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan
industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produkproduk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen jug
akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhatihati dalam meproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen,
baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum tentang
product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak
produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis
dia tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang
menganut

prinsip

tanggung

mutlak(stict

liability)

dalam

mengantisipasi

kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan
konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan
karena sistem hukum yang beralaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan
pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.

Penutup
Perlindungan Konsumen pada dasranya adalah perlindungan pada konsumen oleh
hokum terhadap produk konsumen atau barang dan/atau jasa pelaku usaha atau
produsen. Produsen atau pelaku usaha wajib bertanggung jawab terhadap produk
yang dipasarkan di masyarakat. Dengan mempelajari tanggungjawab produk ini
mahasiswa dapat menjelaskan
1. apa yang dimaksud dengan tanggung jawab produk
2. sebutkan macam-macam tanggung jawab
3. mengapa tanggung jawab produk ini penting untuk diatur dalam suatu aturan
perundang-undangan,

Bab VII
Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Pendahuluan
Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang memberikan perlindungan kepada
konsumen terhadap barang kenutuhan yang dibutuhkan sehari-hari baik itu barang
dan/atau jasa. Hampir semua aspek kehidupan bersentuhan dengan konsumen. karena
itulah hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. sebelum
lahirnya UU Perlindungan Konsumen banyak peraturan perundang-undangan yang
mengatur didalamnya tentang konsumen, misal kesehatan, keselamatan, dsb.
Terlepas dari Undang-undang yang mengatur tentang konsumen tersebut,
pengaturan tentang perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yaitu :
1. Aspek hukum publik
2. Aspek hukum privat/perdata
Ad.1. Aspek Hukum Publik
Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum
konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional
terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktek bisnis, maupun
Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia
sebagai salah satu anggota.
Diantara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan
dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalah
hukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum
publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah
dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa.
Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku
oleh aparat pemerintah yang diberikan wewenang untuk itu, sangat perlu bagi

perlindungan konsumen. Berbagai instansi berdasarkan peraturan perundang-undangan


tertentu diberikan kewenangan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili
setiap perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur dari norma-norma hukum yang
berkaitan.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHPidana
atau diluar KUHPidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara
yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. KUHP No. 8 Tahun 1981 (LN
1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang
untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi
wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan. Penerapan KUHPidana dan
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badanbadan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh
karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab
pemerintah.
Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat
terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau
kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat
memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan
konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian
peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana.
Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagai tindak pidana yang sangat
berkaitan dengan kepentingan konsumen termuat dalam KUHPidana maupun yang
terdapat diluar KUHPidana adalah :
1. Termuat dalam KUHPidana adalah :
a. Pasal 204 dan 205 KUHPidana.
Pasal 204 ayat (1) menyatakan : Barangsiapa menjual, menawarkan,
menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa
barang itu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang

berbahaya itu didiamkannya dihukum pernjara selama-lamanya lima belas


tahun.
Ayat (2) dalam pasal ini menentukan : Kalau ada orang mati lantaran
perbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara
selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 205 ayat (1) KUHPidana menyatakan : Barangsiapa karena
salahnya menyebabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan
orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan , sedang si pembeli atau
yang memperolehnya tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu,
dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat
ribu lima ratus rupiah).
Ayat (2) dari pasal ini menyatakan : Kalau ada orang mati lantaran itu,
maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Ayat (3) menyatakan : Barang-barang itu dapat dirampas.
b. Pasal 382 bis dan 383, 386, 387, 390 KUHPidana
Pasal 382 bis menyatakan : Barangsiapa melakukan perbuatan menipu
untuk mengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan
maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil perdagangannya atau
perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum, karena
bersaing curang, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.13.500,- (tiga belas ribu
lima ratus rupiah) jika hal itu dapat menimbulkan sesuatu kerugian bagi
saingannya sendiri atau saingan orang lain.
Pasal 383 menyatakan : Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli yaitu yang
sengaja menyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh
pembeli dan tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang
diserahkan itu dengan memakai alat dan tipu muslihat.

Pasal 386 ayat (1) menyatakan : Barangsiapa menjual, menawarkan atau


menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang
diketahuinya

bahwa

barang

itu

dipalsukan

dan

kepalsuan

itu

disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.


Dan ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : Barang makanan atau minuman
atau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi
kurang sebab sudah dicampuri dengan zat-zat lain.
Pasal 387 ayat (1) menyatakan : Dengan hukuman penjara selamalamanya tujuh tahun dihukum seorang pemborong atau ahli bangunan dari
suatu pekerjaan atau penjual bahan-bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan-bahan bangunan itu melakukan suatu alat tipu, yang
dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara pada waktu ada
perang.
Kemudian ayat (2) dari pasal ini mengatur dengan hukuman itu juga
dihukum : Barangsiapa diwajibkan mengawas-ngawasi pekerjaan atau
penyerahan bahan-bahan bangunan itu dengan sengaja membiarkan akal
tipu
Pasal 390

tadi
menyatakan

: Barangsiapa

dengan

maksud hendak

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak,


menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat
berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu
mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa
atau kesehatan si pemakai barang dimana pihak pelaku usaha (produsen)
tidak mengatakan atau menjelaskan tentang sifat bahaya dari barangbarang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan menjual barang yang
berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang kepada
konsumen tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen hal ini tercantum dalam

pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205
KUHPidana tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak,
cat rambut, cat bibir dan sebagainya.
Sedangkan dalam pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam
pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha
melakukan suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri
dari publik atau seorang yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk
menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi pelaku usaha lainnya.
Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja
kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah
lama/tua kepada pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang
tersebut adalah barang baru.
Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual
barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual.
Misalnya penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan
cara membuat barang lain yang hampir serupa, atau menyampurinya
dengan

bahan-bahan

lain

sehingga

harga,

kekuatan, guna

atau

kemanjurannya dapat berkurang.


Pasal 387 adanya perbuatan penipuan yang dilakukan pihak pemborong
atau ahli bangunan yang dapat membahayakan jiwa orang lain, misalnya
suatu gedung yang baru dibangun, roboh karena tidak kuatnya pondasi
dari bangunan, hal ini bisa terjadi karena bahan-bahan yang digunakan
tidak memadai hal tersebut terjadi karena adanya perbuatan penipuan dari
seorang pemborong atau ahli bangunan, sehingga merugikan masyarakat.
Pasal 390 adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu
menyiarkan kabar bohong yaitu dengan cara mempromosikan atau
mengiklankan harga atau tarif suatu barang/jasa, tanggung atau jaminan,
hak ganti rugi atau suatu barang dan jasa, adanya penawaran potongan
harga atau hadiah menarik. Penggunaan barang dan/atau jasa dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen, hal ini termuat dalam pasal 9

UUPK. Instrumen Hukum Pidana ini dapat dimanfaatkan dengan sangat


berharga

untuk

melindungi

kepentingan

konsumen.

2. Termuat di luar KUHPidana antara lain :


a. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang lingkungan hidup pada Pasal 82
ayat (3) menyatakan tindakan-tindakan tertentu tindak pidana kejahatan
dan pelanggaran.
b. Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang perindustrian diatur pada Pasal
28 dari undang-undang ini.
c. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan diatur pada
Pasal 80 dan Pasal 86 undang-undang ini.
d. Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas jalan dan angkutan
jalan.

Ad.2. Aspek Hukum Privat/Perdata


Dalam hukum perdata yang lebih banyak digunakan atau berkaitan dengan azasazas hukum mengenai hubungan/masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan
dan buku keempat mengenai pembuktian dan daluarsa. Buku ketiga memuat berbagai
hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi berdasarkan perjanjian
saja maupun yang lahir berdasarkan Undang-undang.
Hubungan hukum konsumen adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
Hubungan konsumen ini juga dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1313 sampai
Pasal 1351 KUHPerdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara sukarela diantara
konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Hubungan
hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.
Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan menimbulkan hak
dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak (ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata).
Selanjutnya diantara perikatan yang lahir karena Undang-undang yang terpenting adalah
ikatan yang terjadi karena akibat sesuatu perbuatan yang disebut juga dengan perbuatan
melawan hukum (ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata). Sedangkan pertanggung jawaban

perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang
termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUHPerdata.
Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada aspek hukum privat/perdata dalam
usaha perlindungan hukum terhadap konsumen. Perbuatan melawan hukum (on
rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUHPerdata,
dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam
hal ini adalah terjadi hubungan hukum antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual
beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam
hubungan hukumnya.
Dalam bahasan lebih lanjut tulisan ini dibatasi pada hubungan hukum pada
perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli adalah satu perjanjian yang mengikat antara pihak
penjual berjanji menyerahkan suatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai
pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga (ketentuan pada Pasal 1457
KUHPerdata). Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1457 KUHPerdata ini,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang akan dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang akan dibeli kepada
penjual.

Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1472


KUHPerdata. Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikat diri dalam
persetujuan jual beli. Kemudian lebih lanjut pasal tersebut memberikan suatu
interpretasi : segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli, atau yang
mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang merugikan bagi
pihak penjual. Pada dasarnya kewajiban penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474
KUHPerdata terdiri dari dua :
a. kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
b. kewajiban penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa
barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa
tuntutan maupun pembebanan.

Pasal 1365 KUHPerdata merumuskan bahwa setiap orang bertanggung jawab


tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tapi juga disebabkan
oleh kelalaiannya.
Hal ini dilihat dari kejadian yang dialami konsumen dimana produsen tidak
memenuhi ketentuan atau standarisasi suatu produk yang akhirnya merugikan konsumen
bahkan sampai mengancam jiwa konsumen. Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan
bahwa pembuktian terhadap kesalahan yang dilakukan oleh produsen dibebankan
kepada konsumen. Ketentuan ini sangat memberatkan pada konsumen oleh karena
pengetahuan konsumen terhadap barang yang dikonsumsi kurang. Ketentuan ini juga
sering membuat konsumen enggan untuk menuntut apa yang merupakan haknya.
Salah satu kasus yang menjadi pengalaman bagi YLKI dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen yaitu : kasus perumahan Taman Naragong
Indah Jakarta dimana 34 (tiga puluh empat) penghuni atau konsumen mengajukan
gugatan ingkat janji terhadap PT. Kentanix Supra Internasional (developer) di PN Jakarta
Timur. Konsumen mengajukan gugatan tersebut karena developer dianggap tidak
memenuhi janjinya sebagaimana dimuat dalam brosur pemasaran perumahan tersebut
yakni menyediakan fasilitas rekreasi pemancingan di dalam kompleks perumahan. Diatas
lokasi yang ada kolamnya, ternyata kemudian developer membangun rumah lagi.
Konsumen menggugat agar developer tetap menyediakan fasilitas yang dijanjikan dalam
brosur developer bersangkutan. Developer menolak dan menggugat konsumen dengan
membayar ganti rugi padanya karena konsumen dianggap mencemarkan nama baik
perusahaan dengan menyiarkan berita-berita tentang sengketa konsumen dengan
developer di media massa. PN menolak gugatan konsumen atas dasar konsumen tidak
dapat membuktikan developer telah melakukan ingkar janji dan menghukum konsumen
mengganti rugi pada developer karena telah terbukti telah menyiarkan berita yang
mencemarkan nama baik developer.
Sekalipun putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tetapi
menjadi perhatian dan hal terpenting di dalam bahasan pokok perlindungan konsumen
antara lain :
a. tentang beban pembuktiann

b. kedudukan brosur pemasaran


c. penerapan 1372 KUHPerdata

Buku keempat KUHPerdata tentang pembuktian dan kadaluarsa, terdapat


ketentuan-ketentuan beban pembuktian alat-alat bukti (Pasal 1865-1866 KUHPerdata).
Dari

ketentuan

hukum

ini

terlihat

bahwa

KUHPerdata

mengandung

lebih banyak kemiskinan hukum daripada mengakomodasi perlindungan konsumen di


bidang keperdataan. Oleh karena itu perkembangan ilmu hukum harus lebih
memperhatikan masalah perlindungan konsumen ini dalam satu Undang-undang yang
memberikan jaminan atau kepastian hukum bagi konsumen.
A. KERUGIAN AKIBAT BARANG YANG CACAT DAN BERBAHAYA

Kerugian yang dialami oleh konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam
ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata. Menurut pandangan para sarjana pertanggung
jawaban untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda didasarkan pada ajaran resiko
sedangkan yurisprudensi Belanda berpendapat bahwa tanggung jawab timbul apabila
kerugian yang terjadi merupakan akibat dari kelalaian dalam mengawasi benda yang
berada pada pengawasannya. Pada ayat (3) ini menunjukkan pada kerusakan akan sesuatu
benda atau lukanya seseorang yang ditimbulkan dengan perantaraan sesuatu benda.
Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan melawan
hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka
pertanggung jawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut serta
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
Dalam transaksi yang dilakukan konsumen, konsumen menghadapi permasalahan
yang sulit diatasi oleh konsumen dengan sendiri. Perangkat peraturan perundangundangan yang pelaksanaan wewenang administratif aparat pemerintah masih belum
mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup konsumen.
Dalam kenyataan konsumen Indonesia masih sering mengalami kasus-kasus yang
sangat merugikan dirinya baik secara materiel maupun immateriel. Seperti halnya yang
dikemukakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Indonesia, dimana kekecewaan yang
dinyatakan oleh konsumen karena kualitas produk yang tidak memenuhi standar.

Kecenderungan meningkatnya korban yang terjadi pada konsumen digambarkan


oleh Biro Statistik Pusat Jakarta yaitu : tahun 1986 terjadi kasus 321 penderita akibat
makanan yang beracun, tahun 1995 adanya kasus penipuan terhadap 123 orang konsumen
perumahan di Riau.
Selama 1997 peristiwa yang menempatkan konsumen sebagai korban dari ketidak
adilan pihak produsen atau pemerintah silih berganti dari kecelakaan jasa transportasi
(kereta api, pesawat udara dan bus).
Kasus keracunan makanan, penjualan rumah fiktif, likuidasi 16 bank bermasalah,
pemungutan dana stiker Sea Games, sampai pemadaman aliran listrik yang disuplay PT.
PLN.
Kesan yang ditangkap dari semua kejadian diatas adalah bahwa posisi konsumen
di Indonesia lemah. Dari aspek hukum, lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya
dari aspek materi (substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya
hukum.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih detail, tentang perlindungan konsumen,
khususnya dari aspek hukum, akan dibahas satu kasus yang dimensi perlindungan
konsumennya sangat lemah yaitu peristiwa pemadaman listrik total Jawa Bali Minggu
13

April

1997

ada

tiga

bagian

dalam

tulisan

ini

Pertama, menguraikan soal pemadaman berikut akibat yang timbul dan diderita oleh
konsumen jasa kelistrikan. Juga alasan yang dikemukakan PT. PLN selaku produsen
yang menjelaskan mengapa terjadi pemadaman tersebut.
Kedua, upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam memberdayakan konsumen jasa
kelistrikan. Hambatan yang ditemui YLKI di lapangan termasuk antara lain kondisi
hukum positif yang mengatur hak-hak konsumen jasa kelistrikan.
Ketiga, agenda kedepan yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat posisi tawar
konsumen jasa kelistrikan.
Pada hari Minggu 13 Paril 1997 telah terjadi pemadaman aliran listrik disebagian
besar wilayah Jawa dan Bali. Bagi kepentingan konsumen jasa kelistrikan, pemadaman
tersebut mempunyai dua arti istimewa. Pertama, dari segi cakupan wilayah, pemadaman
kali ini cukup luas dan berada dalam wilayah strategis pelayanan PT. PLN, yaitu Jawa

dan Bali. Kedua, dari segi waktu, lamanya pemadaman rata-rata 8 jam juga terbilang
cukup lama untuk ukuran PT. PLN.
Kerugian yang diderita konsumen akibat pemadaman tersebut cukup beragam.
Tidak hanya konsumen langsung (pelanggan PT. PLN) yang dirugikan, masyarakat yang
secara langsung tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT. PLN pun juga dirugikan
akibat tidak berfungsinya berbagai fasilitas umum yang powernya disuplay PT. PLN,
seperti KRL Jabotabek, lampu pengatur lalu lintas, dan stasiun pompa bensin umum
(SPBU).
Nilai nominal yang diderita konsumen juga beragam, beragam apakah konsumen
sebagai pelanggan rumah tangga atau pelanggan bisnis. Untuk pelanggan rumah tangga,
bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi karena pompa air tidak berfungsi, tidak bisa
nonton TV sampai harus beli lilin sebagai ganti lampu penerangan.
Alasan yang dikemukakan oleh PT. PLN atas peristiwa pemadaman tersebut
adalah dikarenakan adanya gangguan teknik yang timbul diluar dugaan pada sistem relay
pengaman tegangan (proteksi) 500 kv yang berbentuk kartu elektronik dengan sistem
modul komputer di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Gandul SawanganBogor. Kejadian dimaksudkan muncul secara mendadak dan tiba-tiba dimana peralatan
proteksi tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang terprogram secara komputer.
Selanjutnya terhadap gangguan tersebut secepatnya diupayakan pemulihan suplay tenaga
listrik dengan penanganan teknik secara optimal, sehingga suplay dengan sistem
interkoneksi 500 kv Jawa Bali kembali normal. (Jawaban Tergugat PT. PLN dalam
perkara perdata No.134/Pdt.G/1997/PN.Jaksel)
Upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam merespon terjadinya pemadaman
listrik total Jawa Bali, 13 April 1997 adalah melalui kuasa hukumnya LBH Jakarta
yaitu dengan menempuh jalur hukum mengajukan gugatan ganti rugi kepada PT. PLN.
Hal baru yang dilakukan YLKI dalam gugatan perdata ini adalah selain mewakili diriya
sendiri selaku pelanggan PT. PLN, YLKI juga mewakili masyarakat konsumen PT. PLN.
Angka-angka yang mengejutkan ini semakin bertambah tiap tahun akan tetapi
sepertinya kurang nyata dalam masyarakat oleh karena banyak konsumen yang tidak
menyuarakan

hak

dan

kepentingannya.

Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak
sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya
untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam
mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut :
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati
dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang
dihasilkan produsen.
2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya
atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan keamanan dan
keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT untuk pemberantasan
malaria melalui Depkes RI.
3.

Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan


bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau
oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan
berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan
pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.

B. KRITERIA/UKURAN TERHADAP BARANG YANG DIKATAKAN CACAT


DAN BERBAHAYA.

Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak
memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana yang diharapkan orang dengan
mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang :
a. penampilan produk
b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk
c. saat produk tersebut diedarkan

Produk tidak cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan
pula produk (bersamaan) yang lebih baik. Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI merumuskan pengertian produk
yang cacat sebagai berikut :
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena
kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain
yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi
manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan
orang.
Pengertian cacat dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang sungguhsungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat
digunakan dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh
benda itu, atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari
tujuan yang semestinya.
Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk
mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah
barang yang diproduksi.

C. TANGGUNG JAWAB PRODUSEN TERHADAP KERUGIAN YANG


DIALAMI OLEH PRODUSEN

Tanggung jawab produk adalah istilah yang dialih bahasakan dari product
liability, berbeda dengan ajaran pertanggung jawaban hukum pada umumnya dimana
tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau
membahayakan orang lain) adalah tanggung jawab mutlak produsen yang disebut dengan
strict liability).
Kerugian yang dialami oleh seseorang pemakai produk cacat atau berbahaya,
bahkan pemakainya menjadi korban merupakan tanggung jawab mutlak produsen atau
dipersamakan dengannya. Dalam hal ini produsen berarti :
1. Pembuat produk.
2. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk.

3. Setiap orang yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus untuk
pembeda produknya dengan orang lain.
4. Tanpa mengurangi tanggung jawab pembuat produk, setiap pengimpor produk
untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan.
5. Setiap pemasuk produk, apabila produk tidak diketahui atau pembuat produk
diketahui tetapi pengimpornya tidak diketahui.

Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak ini, produsen telah dianggap


bersalah atas terjadinya kerugian kepada konsumen akibat produk cacat bersangkutan,
kecuali apabila ia (produsen) dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan
disebabkan oleh produsen.
Pada umumnya ganti rugi karena adanya cacat barang itu sendiri adalah tanggung
jawab penjual.
Dengan adanya product liability maka terhadap kerugian pada barang yang dibeli,
konsumen dapat mengajukan tuntutan berdasarkan adanya kewajiban produsen untuk
menjamin kualitas suatu produk.
Tuntutan ini dapat berupa pengembalian barang sambil menuntut kembali harga
pembelian, atau penukaran barang yang baik mutunya.
Tuntutan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen dan juga kepada penjual
sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk dari produsen
kepada pihak penjual (penyalur) berkewajiban menjamin kualitas produk yang mereka
pasarkan. Yang dimaksud dengan jaminan atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan
atau garansi bahwa barang-barang yang dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk
tertentu. Jika standar ini tidak terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat memperoleh
ganti rugi dari pihak produsen/penjual.
Pasal 1504 KUPerdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat yang
tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Cacat itu mesti cacat yang
sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat
dipergunakan dengan sempurna, sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh
benda sendiri. Atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari
tujuan pemakaian yang semestinya.

Mengenai masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat
tersebut tidak menjadi persoalan (Pasal 1506 KUHPerdata) baik dia mengetahui atau
tidak penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang
dijualnya.
Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan
kegunaan barang tidak serasi lagi dengan tujuan yang semestinya.
Menurut Prof. Subekti dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata : perkataan
tersembunyi ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah
dilihat oleh seseorang pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa
orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut.
Terhadap cacat yang mudah dilihat dan sepatutnya pembeli dapat melihat tanpa
susah payah, maka terhadap cacat yang sedemikian penjual tidak bertanggung jawab.
Karena terhadap cacat yang demikian harus menjadi tanggung jawab konsumen
(pembeli).
Disinilah berlaku prinsip bahwa pembeli bertanggung jawab sendiri atas cacat
yang secara normal patut diketahui dan mudah dilihat. Dengan demikian suatu cacat yang
objektif mudah dilihat secara normal tanpa memerlukan pemeriksaan yang seksama dari
ahli, adalah cacat yang tersembunyi.
Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, pembeli
(konsumen) dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan
tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan
Pasal 1508 KUHPerdata :
1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual wajib
mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran
ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;
2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya
berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang
dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang);
3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang
tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada
pembeli.

Terkecuali apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung sesuatu


apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya (Pasal 1506),
maka hal itu berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi
resiko pembeli sendiri.
Misalnya pada penjualan barang-barang yang menurut sifatnya mudah rusak,
seperti penjualan barang pecah belah (gelas, piring dan sebagainya), apabila penjualan
tersebut dalam jumlah yang besar, maka apabila penjual telah meminta diperjanjikan
tidak menanggung suatu apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang
dijualnya, dan pihak pembeli telah menyanggupinya, maka hal ini berarti bahwa adanya
cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi resiko pembeli sendiri.
Klausula itu memang diperbolehkan oleh ketentuan dalam Pasal 1493
KUHPerdata yang menyatakan :
Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa,
memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undangundang ini; bahwa mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan/perjanjian
bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuai apapun.
Dalam hal adanya jaminan kecocokan atau kelayakan, maka biasanya dituntut
agar barang itu :
a. Sama dengan barang yang pada umumnya disebut sebagai barang itu (sama dengan
barang-barang sejenisnya);
b. Mempunyai kualitas biasa kecuali dinyatakan tidak;
c. Layak dipakai untuk keperluan biasa; dan
d. Harus dibungkus dan diberi lebel yang memadai. Barang itu harus sesuai dengan
keterangan yang terdapat pada pembungkus atau lebelnya.

Namun seringkali konsumen terbentur pada adanya pembatasan atau pembebasan


tanggung jawab pengusaha (produsen dan penjual) atas kerugian yang dideritanya, seperti
termuat dalam clause yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian baku yang dibuat oleh
pengusaha.

Dalam praktek jual beli barang sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada bon
pembayaran yang dibawahnya bertuliskan :
Barang-barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau diturunkan
Hal ini berarti apabila terdapat cacat tersembunyi pada barang yang dibeli, hal itu
menjadi resiko pembeli sendiri.
Barang-barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar, kecuali
bila ada perjanjian sebelumnya.
Hal ini berarti apabila ada cacat tersembunyi pada barang itu menjadi resiko
pembeli sendiri, kecuali bila ada diperjanjikan sebelumnya.
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah adanya clause seperti yang tertera
pada bon pembayaran tersebut baru diketahui setelah barang diterima pembeli, oleh
karena itu menurut Prof. Mariam Darus adanya clause (seperti yang terdapat pada bon
pembayaran tersebut) tidak mencerminkan aspirasi kepentingan konsumen, tetapi hanya
kepentingan pengusaha.
Lebih lanjut beliau menekankan perlunya dibuat pembatasan-pembatasan
mengenai hal ini, baik melalui yurisprudensi, maupun peraturan perundang-undangan
lainnya dalam upaya melindungi kepentingan konsumen.
Pertanggung jawaban yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1) ini mewajibkan
produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk untuk menanggung segala kerugian
yang mungkin akan disebabkan oleh keadaan barang yang dihasilkan.
Produsen menurut hukum bertanggung jawab dan berkewajiban mengadakan
pengawasan terhadap produk yang dihasilkannya. Pengawasan ini harus selalu dilakukan
secara teliti dan menurut keahlian. Kalau tidak selaku pihak yang menghasilkan produk
dapat dianggap lalai, dan kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit, cidera atau
mati/meninggalnya konsumen pemakai produk yang dihasilkannya, maka produsen harus
mempertanggung jawabkannya.
Sekiranya inilah yang dimaksud oleh Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan, bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kerugian yang
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Oleh karena itu, konsumen selaku Penggugat harus dapat membuktikan bahwa
produsen telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan itu atas dasar kesalahan
produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk tersebut.
Dalam hal ini ditekankan adalah kesalahan produsen. Bahwa Pasal 1365 BW
tidak membedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati melainkan hanya
mengatakan, bahwa harus ada kesalahan dipihak pembuat perbuatan melanggar hukum
agar sipembuat itu dapat diwajibkan menanggung/membayar ganti kerugian. Menurut
Prof. Wirjono dalam hukum Perdata BW tidak perlu dihiraukan apa ada kesengajaan atau
kurang berhati-hati.
Dalam hukum pembuktian dikenal suatu prinsip yang disebut prinsip bewijsleer
atau ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan itu
kewajiban untuk membuktikan dalil dan peristiwa dimaksud.
Terutama dalam kasus tentang barang yang diproduksi secara massal, maka
konsumen selaku penggugat membuktikan bahwa produk yang dimaksud dibeli produsen
tersebut, siapa yang bertanggung gugat atas tindakan yang lalai tersebut, serta tindakan
itu merupakan tindakan yang melanggar hukum dan ada unsur kesalahan serta adanya
hubungan sebab akibat yang menimbulkan kerugian dimaksud. Jadi terhadap kasus
tanggung gugat produsen atas produk yang menyebabkan sakit, cidera atau
mati/meninggalnya konsumen pemakai produk tersebut memerlukan adanya pembuktian
yang dimaksud.
Pekerjaan pembuktian ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apalagi bagi
seorang konsumen yang awam hukum. Membuktikan bahwa meninggalnya atau menjadi
sakitnya

seseorang

karena

suatu

makanan

misalnya,

memerlukan

pemeriksaan laboratorium. Ini tentunya memakan biaya, waktu dan tenaga yang tidak
sedikit, oleh karena itu pembuktian ini sama sekali tidak mudah atau sederhana.
Makin meningkatnya teknologi masa kini, menyebabkan konsumen tidak mampu
menentukan pilihan barang, barang-barang yang makin canggih, menyebabkan konsumen
tidak mengenalnya. Beberapa diantara para konsumen yang misalnya radio, televisi,
atau bahkan komputer. Oleh karena keadaan demikian, maka konsumen meletakkan
kepercayaan sepenuhnya kepada penjual atau produsen.

Meletakkan kepercayaan seharusnya diimbangi dengan memikul tanggung jawab.


Tanggung jawab itu tidak saja tanggung jawab teknis mengenai produk yang mereka
hasilkan, juga seharusnya diimbangi tanggung jawab dalam proses hukum. Dengan itu
maka beban pembuktian tentang tidak terdapatnya kesalahan pada pihaknya (produsen)
seharusnya dialah yang memikul pembuktian dimaksud (pembuktian terbalik).
Ketentuan tentang pembuktian terbalik ini juga diatur dalam KUHPerdata seperti
yang terdapat pada Pasal 1244 BW. Dengan menerapkan dasar pemikiran praduga
adanya kesalahan (persumption of fault) maka beban pembuktian adanya kesalahan
menjadi terbalik. Tergugat/produsen diwajibkan untuk membuktikan tidak adanya
kesalahan padanya.
Jadi berdasarkan teori ini diterapkan beban pembuktian terbalik kepada produsen
selaku tergugat, dalam pembuktian tidak adanya kesalahan padanya dan bilamana dia
gagal, harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari produknya.
Namun demikian, penggugat/konsumen dalam hal adanya perbuatan melanggar
hukum ini tetap diwajibkan untuk membuktikan adanya :
1. Sifat melanggar hukum
2. Kerugian yang dideritanya
3. Kausalitas antara pengguna barang yang dikonsumsi itu dengan kerugian yang
dideritanya.
Dan tentunya pertangung jawaban produsen atas produk dimaksud dapat
dilenyapkan atau dikurangi apabila penderitaan kerugian tersebut sama sekali atau
sebagian disebabkan oleh faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun hal tersebut timbul akibat
cacat pada produk yaitu antara lain :
1. Produk tersebut sebenarnya tidak untuk diedarkan.
2. Kerugian disebabkan oleh kesalahan si penderita/konsumen.
3. Hal/cacat yang menimbulkan kerugian dimaksud timbul di kemudian hari.
4. Cacat timbul setelah produk diluar kontrol produsen.
5. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan industri.
6. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dari uraian tersebut diatas pada umumnya kita mengenal pertanggung jawaban
seseorang atas segala perbuatan, akibat-akibat dari perbuatannya, tidak berbuat, kelalaian
atau kekurang hati-hatiannya pada orang atau pihak lain. Tanggung jawab itu tergantung
pada apakah peristiwa itu (yang menimbulkan kerugian pada orang lain itu) terdapat
kesalahan orang tersebut sehingga ia harus membayar ganti rugi berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata.
Jadi pertanggung jawaban penjual adalah menyangkut tanggung jawab karena
tidak berfungsinya barang/jasa yang diperjual belikan itu sendiri (cacat tersembunyi).
Sedangkan tanggung jawab produsen adalah menyangkut tanggung jawab atas kerugian
lain (harta, kesehatan tubuh atau jiwa pengguna barang/jasa) yang terjadi akibat
penggunaan produk tersebut. Sesuai dengan judul perlindungan konsumen, maka yang
berhak

mengajukan

tuntutan

ganti

rugi

adalah

konsumen.

Telah diuraikan, konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan
menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu.
-

Yang dimaksud dengan setiap orang dalam batasan diatas dimaksudkan orang alamiah
dan orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum).

Unsur menggunakan digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau

jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual beli,
sewa menyewa, pinjam pakai, dan sebagainya), tetapi juga mungkin karena pemberian
sumbangan hadiah atau sejenisnya yang berkaitan dengan suatu hubungan

komersil

(hadiah undian pemasaran, promosi barang) maupun dalam hubungan lainnya/non


komersil.
Meliputi hal-hal apa saja dapat dilakukan tuntutan dapat penulis kemukakan yaitu
meliputi aspek hukum administrasi negara berupa pencabutan izin produknya, aspek
hukum pidana dalam hal terbukti unsur penipuan dan pemalsuan. Sedangkan khusus
aspek keperdataannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah ganti
rugi berupa biaya, kerugian dan bunga yang diderita konsumen.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan, misalnya orang yang terluka dalam
angkutan bus yang mengalami kecelakaa lalu lintas, termakan makanan dan minuman
yang mengandung bahan-bahan yang beracun atau peristiwa-peristiwa lain yang sejalan

yang menyebabkan ia dirugikan secara materiil, terganggu kesehatannya atau keamanan


jiwanya, mereka ini berhak mengajukan tuntutan ganti rugi.
Dengan perbuatan dimaksud, setiap perbuatan termasuk perbuatan lalai atau
kurang hati-hati, sedang unsur kesalahan itu tidak saja diukur dari perbuatan atau
kelalaian atau bertentangan dengan undang-undang, melainkan juga bertentangan dengan
kesusilaan dan kepatutan yang harus diindahkan dalam masyarakat.

Kesimpulan
Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini
ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen yang
merupakan pengejawantahan dari perintah UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum didalam setiap kepentingan masyarakat,
ketidakpastian akan perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan hambatan pada
upaya perlindungan konsumen.
Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk
membawa konsumen dalam mempertahankan haknya sebagai konsumen yaitu Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, akan tetapi para konsumen tetap masih enggan
menempuh melalui lembaga peradilan bagi dirinya sehingga lebih bersifat pasrah
terhadap apa yang dialaminya.
Produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak memenuhi
syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan pertimbangan berbagai
keamanan terutama tentang :
- penampilan produk
- penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.
- saat produk tersebut diedarkan

Selanjutnya pasal 1367 KUHPerdata sangat tepat sebab tanggung jawab mutlak
terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat dari kerugian
yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan berbahaya.

Bab VIII
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pendahuluan
Pada bagian akan dijekaskan penyelesaian sengketa dan lembaga perlindunngan
konsumen. Mahsiswa diharapkan setelah mempelajari materi ini dapat menjelaskan
lembaga perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa.

Penyaji
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.
lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha
negara.
Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UU
Perlindungan Konsumen
a. Penyelesaian Peadilan Umum
Pasal 45 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa ini merupakan pilihan dari para
pihak apakah diselesaikan melalui peradilan umum ataukah diluar peradilan atau damai.
Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK
Kemudian pasal 45 ayat (3) UUPK, menyebutkan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggunng jawab
pidana, sebagaimana diatur dalam Undanng-Undang.
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberi hak
mengajukan gugatan menurut pasal 46 UU Perlindungan Konsumen adalah
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen.

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang


dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak seduikit.

b. Penyelesaian di Luar Pengadilan


Undang-undang

Perlindungan

Konsumen

disamping

mengatur

penyelesaian sengkete di peradilan umum juga mengatur penyelesaian sengketa


alternatif yang dilakukan diluar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK
menyebutkan: jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa;. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam pasal 47
UUPK. Lalu pertanyaannya adalah apakah penyelesaian sengketa diluar
pengadilan ini apakah termasuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Lembaga perlindungan Konsumen


Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang lembaga
perlindungan konsumen, yaitu BPKN yang didirikan oleh pemetintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan pasal bab VIII pasal 31-43 UUPK dan bab IX pasal 44 UU
Perlindungan Konsumen.

Penutup
Setelah mempelajari materi ini mahasiswa dapat menjawab
1. menyebutkan penyelesaian sengketa dapat ditempuh
2. menyebutkan lembaga perlindungan konsumen

Daftar Kepustakaan
1. A.Z. Nasution, SH, Hukum dan Konsumen Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Cetakan
Pertama, 1994.
2. A.Z. Nasution, SH, Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum dan
Pembangunan No. 4 Tahun XVI Desember 1986.
3. Ari Purwadi, SH, Aspek Hukum Perdata pada perlindungan Konsumen, Juridika No. 1
dan 9 Tahun VII Januari 1992.
4. Warta Konsumen, Januari 1988 No. 234 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
Jakarta.
5. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, SH, Pengatur dalam hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
6. Sudariyatno, SH, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya,
Bandung, 1996.
7. R. Susilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politeia Bogor.
8. Prof.R.Soebakti, SH, KUH Perdata, Paramitha, Jakarta.
9. M. Yahya Harahap, SH, Segi-segi Hukum Perjanjian, PT. Alumni

10. Tini Hadad, Dalam AZ. Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar
, (Yogyakarta: Diadit Media, 2001). Cet. II . hlm. Vii.
11. Nurmadjito. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas. Di dalam Husni
Syawali (Ed.), Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: Mandar Maju, 2000) hlm. 7.
12. Natalie OConnor. Consumer Protection Under The Trade Practices Act: A Time
For Change, di dalam Inosentius Samsul (Ed.), Hukum Perlindungan Konsumen I
(Jakarta: Pascsarjana FH-UI, 2001), hlm. 94.
13. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen terhadap akibat hukum yang ditimbulkan dari
produk pada Era Pasar Bebas. Di dalam Husni Syawali (Ed.), Hukum Perlindungan
Konsumen. (Bandung: Mandar Maju, 2000) hlm. 44
14. Sabarudin Juni, SH, Universitas Sumatra Utara, Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen dilihat dari Segi Kerugian Akibat Barang Cacat dan Berbahaya.
15. Perlindungan Konsumen dan Product Liability, Universitas Sumatra Utara.
16. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, 2004.
17. Wiwik Sri Widiarti, SH.MH, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, Pelanngi
Cendekia, jakarta, 2007

Anda mungkin juga menyukai