Penyajian
a. Pengertian tentang Konsumen
Dalam ilmu perlindungan konsumen, terdapat setidak-tidaknya tiga pengertian
tentang kmonsumen. Perundang-undangan umum yang ada tidak menggunakan arti yang
sama dengan konsumen yang dimaksudkan, karena perlindungan konsumen ini
menyesuaikan dengan kemajuan dan perkembangan jaman.
Perkembangan sosial ekonomi dan tehnologi pun telah berubah jauh dari saat-saat
perundang-undangan umum tersebut disusun, karena itulah perlindungan konsumen
memang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat
perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.
Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara
harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang
membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang
yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan "
setiap orang yang menggunakan barang atau jasa".
Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai
orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum
pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan
barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi
lagi).
Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam
perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang membeli barang
yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak
termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial (Consumer protection Act No. 68 of 1986 Pasal 7 huruf C).
Perancis mendefinisikan konsumen sebagai; "A privat person using goods and services
for privat ends". Sementara Spanyol menganut definisi konsumen sebagai berikut:
"Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real
property , products , services, or activities, regardless of wheter the seller,
supplier or producer is a public or private entity, acting alone or collectively".
Selain itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim
Peneliti UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1, dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai
dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Tim Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya
barang, yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala
keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, maka
anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan kategori
konsumen.
Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang mulai berlaku satu bulan sejak pengundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir
2 mendefinisikan konsumen sebagai "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user / pengguna
terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barannng dan/atau jasatersebut.
BPHN: Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang
lain dan tidak diperjual belikan. Yang dimaksud dengan konsumen adalah end user atau
pengguna terakhir. Siapa yang dimaksud dengan konsumen akhir ada beberapa batasan.
Perundang-undangan Australia:
setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga yang telah
ditetapkan (setinggi-tingginya A $. 15,000, atau kalau harganya lebih , maka
kegunaan barang tersebut umumnya untuk keperluan pribadi, domestik, atau
rumah tangga (normally used for personal, family or household purposes)
Setiap pembeli produk konsumen yang tidak untuk dijual kembali, dan pada
umumnyadigunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga
(personal, family or household )
v Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia: Pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau
orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali
v Fakultas Hukum Universitas Indonesia Setiap orang atau keluarga yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan
v Hornby:
Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu Sesuatu atau Seseorang yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang Setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa
Bab II
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana,
hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai
cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen
terletak dalam cabang hukum yang mana.. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum
konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana,
administrasi, dan konvensi internasional.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, memberikan batasan hukum konsumen yaitu:
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan
masalah anatara berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa
konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan
menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah
konsumen dalam peraturan perundan-undangangan tersebut walaupun ditemukan
sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen.
b. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undang-undang yang pada
umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan sarjana ekonomi pada (ISEI)
menyebutkan kelompok besar kalangan pelaku ekonomi; tiga diantaranya termasuk
kelompok pengusaha, (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok
pelaku usaha tersebut terdiri dari;
1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan. Seperti Perbankan, usaha keasing, dan penyedia
dana lainnya.
2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari
orang/atau badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/atau badan yang
memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan
perumahan, jasa angkutan, perasuransian, perbankan, kesehatan, obatobatan dsb.
3. distributor
yaitu
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
2. Perlindungan Konsumen
Apakah yang dimaksud dengan perlindungan konsumen?
Undamg-undang tentang perlindungan konsumen, UU No. 8 tahun 1999
menegaskan sebagai;
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen (pasal 1 butir 1).
b.
c.
Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
konsumen
ini
adalah
dengan
meningkatkan
kesadaran,
c. Produk konsumen
Apakah yang dimaksud dengan produk konsumen. UU perlindungan konsumen tidak
menegasklan pengertian tentang istilah produk konsumen. Dalam UU konsumen
hanya disebut tentang barang dan/atau jasa ( lihat pasal 1 angka 4 dan 5 ). Untuk
istilah ini AZ. Nasution berpendapat bahwa produk konsumen adalah barang dan/atau
jasa yang umumnya digunakan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan
tidak untuk diperdagangkan.
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam kehidupan sehari-hari, hampir semua kegiatan usaha bersentuhan dengan
konsumen. Karena itulah AZ. Nasution membedakan antra [engertian hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen.
Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan
barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.
Dari pengertian tersebut disimpulkan bahwa segala kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup manusia sehari-hari, yang diatur dalam suatu UU disebut hukum
konsumen, dengan demikian maka hukum konsumen terdiri dari beberapa peraturan
peruindang-undangan yang bersentuhan dengan kebutuhan konsumen.
Berikut ini adalah beberapa hukum konsumen yang juga merupakan sumeber hukum bagi
hukum perlindungan konsumen
3. UU NO.8/99 Ttg Perlindungan Konsumen
4. UU NO.2/81 Ttg Metrologi Legal
5. UU NO.2/66 Ttg Hygiene
6. UU NO.23/92 Ttg Kesehatan
7. UU NO.5/84 Ttg. Perindustrian
Penutup
Dengan membaca penyajian tersebut diharapkan mahasiswa dapat menjwab soal-soal
dibawah ini
1. sebut dan jelaskan pengertian konsumen, dimana ada 3 (tiga) pengertian.
Sebutkan.
2. apa perbedaan antara hukum konsumen dan hukum konsumen
3. sebut dan jelaskan pelaku usaha.
Bab III
Sejarah Perlindungan Konsumen
Pendahuluan
Dalam bab II ini akan dijelaskan mengapa konsumen harus dilindungi? Untuk menjawab
hal ini akan dijelaskan tentang sejarah Hukum perlindungan konsumen, dan
perkembangan perlindungan konsumen. Setelah mempelajari materi ini diharapakan
mahasiswa mampu untuk menjeaskan mengapa konsumen perlu dilindungi?
Penyajian
Sebelum terjawab pertanyaan diatas mengapa konsumen perlu dilindungi? Kita akan
mempelajari dulu sejarah perlindungan konsumen.
Perkembangan pentingnya konsumen dilindungi, ini karena adanya perkembangan dunia
perdagangan dan transaksi yang pesat hal ini dapat dilihat dari sejarah,
- adanya revolusi industri, dimana pada masa ini banyak muncul industri-industri yang
dikhwatirkan dalam menjalankan usahanya guna mendapatkan keuntungan para
pengusaha ini akan menggunakan berbagai cara karena adanya persaingan antara
pelaku usaha, meningat dunia industri dan perdagangan maju pesat.
- adanya globalisasai atau dunia tanpa batas, dimana dunia perdagangan lebih mudah
untuk memasuki negara tetangga atau suatu pruduk sangat mudah untuk memasuki dan
dipasarkan diu negara lain diluar negara penghasil produk tersebut.
- bergaining position konsumen lemah atau posisi tawar konsumen rendah.
- karakteristik konsumen yang sangat kompleks, berbeda satu sama lain
- status pendidikan dan statis ekonomi yang sangat beragam, hal ini oleh Hans W.
Micklitz membedakan antara konsumen yang terinformasi dan konsumen yang tidak
terinformasi. Adapun konsumen yang terinformasi adalah konsumen dengan karak
teristik mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, status ekonomi
(desember 1998-30 maret 1999). Padahal sesungguhnya berbagai usaha dengan memakan
waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telah dijalankan berbagai pihak yang berkaitan
dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan
pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, YKLI, bersama-sama dengan
perguruan-perguruan tinggi, yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan
ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskag penelitian, pengkajian dan
naskah akademik RUU (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara
historis, beberapa diantara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
masalah
Perlindungan
Konsumen (15-16
Desember 1975)
b.
c.
d.
e.
konsumen. Apalagi globalisasi sudah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan
kedudukan konsumen yang lemah dibandingkan pelaku usaha maka kebutuhan akan
perlindungan konsumen tersebur merupakan suau conditio sine quanon.
Prospek Gerakan Konsumen
Perhatian terhadap gerakan perlindungan hak-hak konsumen mendapat dukungan
dan pengakuan dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dengan resolusinnya No. 2111
tahun 1978, kemudian pada 16 april 1985 dengan resolusimnya No. A/RES/39/248 juga
disuarakan seruan penghormatan terhadap hak-hak konsumen. Gerakan konsumen
international mempunyai wadah International Organization Consumers Unions (IOCU).
Kemudian sejak 1995 berubah menjadi Consumers International (CI). Anggota CI
mencapai 203 anggota yang terdiri dari 90 negara. Indonesia mempunyai 2 (dua)
organisasi konsumen, YLKI (jakarta) dan LP2K (semarang)
Konsumen Indonesia merupakan bagian konsumen global sehingga gerakan
konsumen di dunia international mau tidak mau menembus batas-batas negara, dan
mempengaruhi kesadaran konsumen, untuk berbuat hal yang sana, perjuangan akan hakhak konsumen, seiring dengan perkembangan pasar, globalisasi dunia tanpa batasperdagangan bebas.
Penutup
Dengan mempelajari sejarah ini mahasiswa diharapkan dapat menjawab,
1. Mengapa atau apa yang menjadi alasan konsumen perlu
di;lindungi.
2. menyebutkan sumber-sumber hukum perlindungan konsumen
3. menyebutkan
sejarah
perkembangan
konsumen (konsumerisme)
gerakan
perlindungan
Bab IV
Hak-hak Konsumen
Pendahuluan
Dalam bab ini hendak dijelaskan apa yang dilindungi dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, atau bilamana konsumen tersebut dilindungi. Dengan mempelajari bab ini
mahasiswa diharapkan dapat nenjelaskan apa yang menjadi hak-hak konsumen, hak-hak
pelaku usaha, kewajiban konsumen dan apa kewajiban pelaku usaha.
Penyajian
Perlindungan konsumen dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan yang
diberikan oleh hukum. Oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan tidak saja hanya fisik, namun juga hakhak yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen ssesungguhnya
identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen (berdasarkan Consuners
bill of, 1962. President Kennedys) yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety).
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
3. Hak untuk memilih (the right to choose)
4. Hak untuk di dengar (the right to be heard)
Empat hak dasar ini diakui secara international. Dalam perkembangannya
organisasi konsumen yang tergabung dalam IOCU yang berubah menjadi CI,
menambahkan lagi beberapa hak , YLKI misalnya menambahkan satu hak lagi yaitu han
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang kemudian dikenal
dengan panca hak konsumen (Jakarta, YLKI, 1985)
Dalam Undang-Undang Perlindungan Koinsumen UU No. 8 tahun 1999, tidak
mengatur tentang
hidup.
Adapun hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam pasal 4 UU Perlindungan
Konsumen ini, sementara satu hak terakhit dirumuskan secara terbuka.
1.
2.
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
5.
Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upaya
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8.
9.
diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya
(bab IX, X, dan XI).
Penutup
Dari pembahasan tersebut diharapkan mahasiswa mampu menjawab pertanyaan.
1. apa yang dilindungi dalam UU Perlindungan Konsumen
2. apa saja yang menjadi hak konsumen yang diatur dalam UU Nasional maupun
International.
3. menyebutkan kewajiban pelaku usaha, dan juga lembaga perlindungan konsumen.
Bab V
Pronsip-prinsip Perlindungan Konsumen
Berbicara tentang prinsip-prinsip perlindungan konsumen ini, mahasiswa diharpakan
setelah mempelajati prinsip perlindungan konsumen ini mampu untuk menyelesaikan dan
menganalisa suautu sengketa konsumen. prinsip-prinsip ini meliputi, kedudukan
konsumen, proses beracara, prinsip tanggung jawab dan product liability.
Penyajian
a. Pengantar
Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis
besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama kebijakan yang bersifat
komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi
yang memadai kepada konsumen. (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris
yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen
(hak atas kesehatan dan keamanan)
Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan
konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsipprinsip pengaturan di bidang perlondungan konsumen. Dalam UUPK ada lima prinsip
yang dikaitkan dengan asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum.
b. Kedudukan Konsumen
prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan
dengan pelaku ysaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan
sejarah hukum perlindungan konsumen:
1.
Let the buyer beware. Prinsip kehati-hatian ada pada konsumen. Hal ini
dengan adanya asumsi bahwa kedudukan kinsumen dan pelaku usaha
adalah seimbang, sehingga konsumen tiudak perlu ada proteksi. Prinsip
ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen
tidak mendapat informasi yang memadai yang selanjutnuya mampu
untuk
dan/atau jasa.
2.
The due care theory, prinsip ini menyatkan bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan
produk. Selkama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat
dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan
maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian
pada hokum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat,
pasal 1865 KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa
yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan
haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu
peristiwa, maka is diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.
3.
Artinya
konsumen
dapat
menggugat
berdasarkan
wanprestasi.
C. Proses Beracara
Sengketa konsumen akan terjadi apabila terjadinya pelanggaran hak-hak
konsumen dan tidak terpenuhinya kewajiban pelaku usaha. Banyak cara dalam
penyelesaian sengketa konsumen ini. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari sengketa
konsumen akan melibatkan pihak konsumen yang melibatkan banyak orang, karena
sengketa ini muncul biasanya karena ketidaksesuaian produk baik barang maupun jasa,
dimana produk ini akan dikonsumsi lebih dari satu orang, meski demikian tidak menutup
kemungkinan sengketa ini hanya melibatkan perseorangan. Dalam bab ini akan dibahas
cara yang dapat ditempuh dalam beracara sengketa konsumen.
1. Small Claim, adalah jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen,
sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alas
an mengapa small claim diijinkan dalam enyelesaoian sengketa konsumen, a.
kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang
kerugiannya, b. keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja, c.
untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
2. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu
orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatann
kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002
dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok. Dalam UU Perlindungan
Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b). pertanyaan
muncul apakah NGOs dapat menjadi wakil dari para konsumen, dapat asalkan
saja NGOs tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai
korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class Action
wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of
Civil Procedure
a. Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak
b. Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak
yang diwakili dan pihak yang mewakili
c. Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar
pembelaan yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang
mewakili
d. Adequacy of Representation, adanya kemampuan klas yang mewakili
dalam mewakili pihak yang diwakili
konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah
berbadan hukum atau yayasan.
2.
3.
4.
Bab VI
Product Liability/ Tanggung Jawab Produk
Pendahuluan
Setelah mempelajari tanggung jawab produk ini mahasiswa diharapkan dapat
menganalisa sengketa konsumen yang muncul di masyarakat. Mahasiswa mampu
menjelaskan apa tanggung jawab produk tersebut, mengapa perlu diatur tentang
tanggung jawab produk.
Penyajian
Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan: Konsumen dimanapun mereka berad,
dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang dimaksud hak-hak
dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur;
Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak unutk mendapatkan kebutuhan dasar manusia
(cukup pangan dan papan); Hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih
serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan
dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak
konsumen tersebut di negaranya masing-masing.
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami
konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada
penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri
tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka
harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang
berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga
yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperlukan Undang-Undang
serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang
dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas unutk mengawasi
berjalannya peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik.
Konsumen harus sadar akan hak-hak yang mereka punyai sebagai seorang
konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku
pengusaha dan pemerintah.
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang
selama ini dianggap kurang diperhatikan, bisa menjadi lebih diperhatikan.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen
yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen
dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan;
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
Informasi, serta menjamin kepastian hukum.
- Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
Pelaku usaha;
- Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
- Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan;
- Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan
beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk
(produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara
ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau
membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan
tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam
pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat
produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya
kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan
sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya.
Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda
dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan
1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen untuk
memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan
akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan
ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada
konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum
dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang
atau instansi lain.
Apakah yang dimaksud dengan cacat produk? Di Indonesia cacat produk atau
produk yang cacat di definisikan sebagai berikut:
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena
kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi
dalam peredaranya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia
atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang
Dari batasan ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku
usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini dipicu oleh tujuan yang ingin
dicapai doktrin ini yaitu:
a.
b.
Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak
dapat di hindari.
Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya)
karena:
1.
2.
Cacat Desain;
3.
Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada di
bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga
dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat
seperti tersebut diatas termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi
sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi
dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk
yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu sebagaimana yang di utarakan
diatas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada
produsen dari produk tersebut. Tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat
tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha
lainnya, seperi importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.
Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha
produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab
cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedang tanggung
jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas
rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan
melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability),
tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam konsdisi
demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah
ditinggalkan, dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab)
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha
yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen diatur
dalam Pasal 4,5,7-17, 19-21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Definisi
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun
yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan
dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen
(Prducer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (Product Liability)
produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat
intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis
binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).
Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu
produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku
cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat
(defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal
tiga macam defect: Production/manufacturing defects, design defects dan warning or
instruction defects.
Production/Manufacturing Defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai
dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
Desaign Defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada
manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain
produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
Warning/Instruction
Defect
yaitu
apabila
buku
pedoman, buku
panduan,
pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang
bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang
penggunaannya yang aman.
Tentang pengertian product liability dapat dikemukakan definisi sebagai berikut:
Menurut Hursh: product liability is the liability of manufacturer, processor or nonmanufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party,
caused by product which has been sold.
Perkins Coie menyatakan: Product Liability:The liability of the manufacturer or
others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of
product.
Sedangkan dalam convention on the Law Applicable to Products Liability (The
Hague Convention), article 3 menyatakan:
This convention shall applay to the liability of the following persons:
1.
2.
3.
suppliers of a product;
4.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu tanggung
jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk
(producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang
product Liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap
orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau
penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.
Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas.
cacat
atau
tidak
aman
dapat
menuntut
kompensasi
tanpa
harus
(resiko)
seharusnya
ditanggung
oleh
pihak
ynag
grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.
Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang
ini.
Pertimbangan-pertimbangan
Turidis
4. tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung
jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kotraktuil antara
produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh
pelaku usaha.
5. seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan
instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum
haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscou Pound hukum
adalah o tool of social engineering
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuatpenerapan prinsip
strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory
1.
Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik
untuk
menanggung
beban
kerugian,
dan
pada
setiap
kasus
yang
g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan
industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produkproduk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen jug
akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhatihati dalam meproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen,
baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum tentang
product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak
produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis
dia tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang
menganut
prinsip
tanggung
mutlak(stict
liability)
dalam
mengantisipasi
kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan
konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan
karena sistem hukum yang beralaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan
pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.
Penutup
Perlindungan Konsumen pada dasranya adalah perlindungan pada konsumen oleh
hokum terhadap produk konsumen atau barang dan/atau jasa pelaku usaha atau
produsen. Produsen atau pelaku usaha wajib bertanggung jawab terhadap produk
yang dipasarkan di masyarakat. Dengan mempelajari tanggungjawab produk ini
mahasiswa dapat menjelaskan
1. apa yang dimaksud dengan tanggung jawab produk
2. sebutkan macam-macam tanggung jawab
3. mengapa tanggung jawab produk ini penting untuk diatur dalam suatu aturan
perundang-undangan,
Bab VII
Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Pendahuluan
Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang memberikan perlindungan kepada
konsumen terhadap barang kenutuhan yang dibutuhkan sehari-hari baik itu barang
dan/atau jasa. Hampir semua aspek kehidupan bersentuhan dengan konsumen. karena
itulah hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. sebelum
lahirnya UU Perlindungan Konsumen banyak peraturan perundang-undangan yang
mengatur didalamnya tentang konsumen, misal kesehatan, keselamatan, dsb.
Terlepas dari Undang-undang yang mengatur tentang konsumen tersebut,
pengaturan tentang perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yaitu :
1. Aspek hukum publik
2. Aspek hukum privat/perdata
Ad.1. Aspek Hukum Publik
Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum
konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional
terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktek bisnis, maupun
Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia
sebagai salah satu anggota.
Diantara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan
dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalah
hukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum
publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah
dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa.
Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku
oleh aparat pemerintah yang diberikan wewenang untuk itu, sangat perlu bagi
bahwa
barang
itu
dipalsukan
dan
kepalsuan
itu
tadi
menyatakan
: Barangsiapa
dengan
maksud hendak
pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205
KUHPidana tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak,
cat rambut, cat bibir dan sebagainya.
Sedangkan dalam pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam
pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha
melakukan suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri
dari publik atau seorang yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk
menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi pelaku usaha lainnya.
Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja
kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah
lama/tua kepada pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang
tersebut adalah barang baru.
Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual
barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual.
Misalnya penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan
cara membuat barang lain yang hampir serupa, atau menyampurinya
dengan
bahan-bahan
lain
sehingga
harga,
kekuatan, guna
atau
untuk
melindungi
kepentingan
konsumen.
perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang
termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUHPerdata.
Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada aspek hukum privat/perdata dalam
usaha perlindungan hukum terhadap konsumen. Perbuatan melawan hukum (on
rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUHPerdata,
dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam
hal ini adalah terjadi hubungan hukum antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual
beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam
hubungan hukumnya.
Dalam bahasan lebih lanjut tulisan ini dibatasi pada hubungan hukum pada
perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli adalah satu perjanjian yang mengikat antara pihak
penjual berjanji menyerahkan suatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai
pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga (ketentuan pada Pasal 1457
KUHPerdata). Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1457 KUHPerdata ini,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang akan dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang akan dibeli kepada
penjual.
ketentuan
hukum
ini
terlihat
bahwa
KUHPerdata
mengandung
Kerugian yang dialami oleh konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam
ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata. Menurut pandangan para sarjana pertanggung
jawaban untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda didasarkan pada ajaran resiko
sedangkan yurisprudensi Belanda berpendapat bahwa tanggung jawab timbul apabila
kerugian yang terjadi merupakan akibat dari kelalaian dalam mengawasi benda yang
berada pada pengawasannya. Pada ayat (3) ini menunjukkan pada kerusakan akan sesuatu
benda atau lukanya seseorang yang ditimbulkan dengan perantaraan sesuatu benda.
Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan melawan
hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka
pertanggung jawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut serta
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
Dalam transaksi yang dilakukan konsumen, konsumen menghadapi permasalahan
yang sulit diatasi oleh konsumen dengan sendiri. Perangkat peraturan perundangundangan yang pelaksanaan wewenang administratif aparat pemerintah masih belum
mendukung dalam memenuhi kebutuhan hidup konsumen.
Dalam kenyataan konsumen Indonesia masih sering mengalami kasus-kasus yang
sangat merugikan dirinya baik secara materiel maupun immateriel. Seperti halnya yang
dikemukakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Indonesia, dimana kekecewaan yang
dinyatakan oleh konsumen karena kualitas produk yang tidak memenuhi standar.
April
1997
ada
tiga
bagian
dalam
tulisan
ini
Pertama, menguraikan soal pemadaman berikut akibat yang timbul dan diderita oleh
konsumen jasa kelistrikan. Juga alasan yang dikemukakan PT. PLN selaku produsen
yang menjelaskan mengapa terjadi pemadaman tersebut.
Kedua, upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam memberdayakan konsumen jasa
kelistrikan. Hambatan yang ditemui YLKI di lapangan termasuk antara lain kondisi
hukum positif yang mengatur hak-hak konsumen jasa kelistrikan.
Ketiga, agenda kedepan yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat posisi tawar
konsumen jasa kelistrikan.
Pada hari Minggu 13 Paril 1997 telah terjadi pemadaman aliran listrik disebagian
besar wilayah Jawa dan Bali. Bagi kepentingan konsumen jasa kelistrikan, pemadaman
tersebut mempunyai dua arti istimewa. Pertama, dari segi cakupan wilayah, pemadaman
kali ini cukup luas dan berada dalam wilayah strategis pelayanan PT. PLN, yaitu Jawa
dan Bali. Kedua, dari segi waktu, lamanya pemadaman rata-rata 8 jam juga terbilang
cukup lama untuk ukuran PT. PLN.
Kerugian yang diderita konsumen akibat pemadaman tersebut cukup beragam.
Tidak hanya konsumen langsung (pelanggan PT. PLN) yang dirugikan, masyarakat yang
secara langsung tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT. PLN pun juga dirugikan
akibat tidak berfungsinya berbagai fasilitas umum yang powernya disuplay PT. PLN,
seperti KRL Jabotabek, lampu pengatur lalu lintas, dan stasiun pompa bensin umum
(SPBU).
Nilai nominal yang diderita konsumen juga beragam, beragam apakah konsumen
sebagai pelanggan rumah tangga atau pelanggan bisnis. Untuk pelanggan rumah tangga,
bentuk kerugian mulai dari tidak bisa mandi karena pompa air tidak berfungsi, tidak bisa
nonton TV sampai harus beli lilin sebagai ganti lampu penerangan.
Alasan yang dikemukakan oleh PT. PLN atas peristiwa pemadaman tersebut
adalah dikarenakan adanya gangguan teknik yang timbul diluar dugaan pada sistem relay
pengaman tegangan (proteksi) 500 kv yang berbentuk kartu elektronik dengan sistem
modul komputer di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Gandul SawanganBogor. Kejadian dimaksudkan muncul secara mendadak dan tiba-tiba dimana peralatan
proteksi tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang terprogram secara komputer.
Selanjutnya terhadap gangguan tersebut secepatnya diupayakan pemulihan suplay tenaga
listrik dengan penanganan teknik secara optimal, sehingga suplay dengan sistem
interkoneksi 500 kv Jawa Bali kembali normal. (Jawaban Tergugat PT. PLN dalam
perkara perdata No.134/Pdt.G/1997/PN.Jaksel)
Upaya advokasi yang dilakukan YLKI dalam merespon terjadinya pemadaman
listrik total Jawa Bali, 13 April 1997 adalah melalui kuasa hukumnya LBH Jakarta
yaitu dengan menempuh jalur hukum mengajukan gugatan ganti rugi kepada PT. PLN.
Hal baru yang dilakukan YLKI dalam gugatan perdata ini adalah selain mewakili diriya
sendiri selaku pelanggan PT. PLN, YLKI juga mewakili masyarakat konsumen PT. PLN.
Angka-angka yang mengejutkan ini semakin bertambah tiap tahun akan tetapi
sepertinya kurang nyata dalam masyarakat oleh karena banyak konsumen yang tidak
menyuarakan
hak
dan
kepentingannya.
Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak
sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya
untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam
mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut :
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati
dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang
dihasilkan produsen.
2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya
atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan keamanan dan
keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT untuk pemberantasan
malaria melalui Depkes RI.
3.
4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan
berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan
pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.
Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak
memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana yang diharapkan orang dengan
mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang :
a. penampilan produk
b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk
c. saat produk tersebut diedarkan
Produk tidak cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan
pula produk (bersamaan) yang lebih baik. Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI merumuskan pengertian produk
yang cacat sebagai berikut :
Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena
kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain
yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi
manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagai layaknya diharapkan
orang.
Pengertian cacat dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang sungguhsungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat
digunakan dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh
benda itu, atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat benda tersebut dari
tujuan yang semestinya.
Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk
mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah
barang yang diproduksi.
Tanggung jawab produk adalah istilah yang dialih bahasakan dari product
liability, berbeda dengan ajaran pertanggung jawaban hukum pada umumnya dimana
tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau
membahayakan orang lain) adalah tanggung jawab mutlak produsen yang disebut dengan
strict liability).
Kerugian yang dialami oleh seseorang pemakai produk cacat atau berbahaya,
bahkan pemakainya menjadi korban merupakan tanggung jawab mutlak produsen atau
dipersamakan dengannya. Dalam hal ini produsen berarti :
1. Pembuat produk.
2. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk.
3. Setiap orang yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus untuk
pembeda produknya dengan orang lain.
4. Tanpa mengurangi tanggung jawab pembuat produk, setiap pengimpor produk
untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan.
5. Setiap pemasuk produk, apabila produk tidak diketahui atau pembuat produk
diketahui tetapi pengimpornya tidak diketahui.
Mengenai masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat
tersebut tidak menjadi persoalan (Pasal 1506 KUHPerdata) baik dia mengetahui atau
tidak penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang
dijualnya.
Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan
kegunaan barang tidak serasi lagi dengan tujuan yang semestinya.
Menurut Prof. Subekti dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata : perkataan
tersembunyi ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah
dilihat oleh seseorang pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa
orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut.
Terhadap cacat yang mudah dilihat dan sepatutnya pembeli dapat melihat tanpa
susah payah, maka terhadap cacat yang sedemikian penjual tidak bertanggung jawab.
Karena terhadap cacat yang demikian harus menjadi tanggung jawab konsumen
(pembeli).
Disinilah berlaku prinsip bahwa pembeli bertanggung jawab sendiri atas cacat
yang secara normal patut diketahui dan mudah dilihat. Dengan demikian suatu cacat yang
objektif mudah dilihat secara normal tanpa memerlukan pemeriksaan yang seksama dari
ahli, adalah cacat yang tersembunyi.
Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, pembeli
(konsumen) dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan
tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan
Pasal 1508 KUHPerdata :
1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak penjual, maka penjual wajib
mengembalikan harga penjualan kepada pembeli dan ditambah dengan pembayaran
ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;
2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh penjual, maka penjual hanya
berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos yang
dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang);
3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang
tersembunyi, maka penjual tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada
pembeli.
Dalam praktek jual beli barang sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada bon
pembayaran yang dibawahnya bertuliskan :
Barang-barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau diturunkan
Hal ini berarti apabila terdapat cacat tersembunyi pada barang yang dibeli, hal itu
menjadi resiko pembeli sendiri.
Barang-barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar, kecuali
bila ada perjanjian sebelumnya.
Hal ini berarti apabila ada cacat tersembunyi pada barang itu menjadi resiko
pembeli sendiri, kecuali bila ada diperjanjikan sebelumnya.
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah adanya clause seperti yang tertera
pada bon pembayaran tersebut baru diketahui setelah barang diterima pembeli, oleh
karena itu menurut Prof. Mariam Darus adanya clause (seperti yang terdapat pada bon
pembayaran tersebut) tidak mencerminkan aspirasi kepentingan konsumen, tetapi hanya
kepentingan pengusaha.
Lebih lanjut beliau menekankan perlunya dibuat pembatasan-pembatasan
mengenai hal ini, baik melalui yurisprudensi, maupun peraturan perundang-undangan
lainnya dalam upaya melindungi kepentingan konsumen.
Pertanggung jawaban yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1) ini mewajibkan
produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk untuk menanggung segala kerugian
yang mungkin akan disebabkan oleh keadaan barang yang dihasilkan.
Produsen menurut hukum bertanggung jawab dan berkewajiban mengadakan
pengawasan terhadap produk yang dihasilkannya. Pengawasan ini harus selalu dilakukan
secara teliti dan menurut keahlian. Kalau tidak selaku pihak yang menghasilkan produk
dapat dianggap lalai, dan kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit, cidera atau
mati/meninggalnya konsumen pemakai produk yang dihasilkannya, maka produsen harus
mempertanggung jawabkannya.
Sekiranya inilah yang dimaksud oleh Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan, bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kerugian yang
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Oleh karena itu, konsumen selaku Penggugat harus dapat membuktikan bahwa
produsen telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan itu atas dasar kesalahan
produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk tersebut.
Dalam hal ini ditekankan adalah kesalahan produsen. Bahwa Pasal 1365 BW
tidak membedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati melainkan hanya
mengatakan, bahwa harus ada kesalahan dipihak pembuat perbuatan melanggar hukum
agar sipembuat itu dapat diwajibkan menanggung/membayar ganti kerugian. Menurut
Prof. Wirjono dalam hukum Perdata BW tidak perlu dihiraukan apa ada kesengajaan atau
kurang berhati-hati.
Dalam hukum pembuktian dikenal suatu prinsip yang disebut prinsip bewijsleer
atau ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan itu
kewajiban untuk membuktikan dalil dan peristiwa dimaksud.
Terutama dalam kasus tentang barang yang diproduksi secara massal, maka
konsumen selaku penggugat membuktikan bahwa produk yang dimaksud dibeli produsen
tersebut, siapa yang bertanggung gugat atas tindakan yang lalai tersebut, serta tindakan
itu merupakan tindakan yang melanggar hukum dan ada unsur kesalahan serta adanya
hubungan sebab akibat yang menimbulkan kerugian dimaksud. Jadi terhadap kasus
tanggung gugat produsen atas produk yang menyebabkan sakit, cidera atau
mati/meninggalnya konsumen pemakai produk tersebut memerlukan adanya pembuktian
yang dimaksud.
Pekerjaan pembuktian ini bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apalagi bagi
seorang konsumen yang awam hukum. Membuktikan bahwa meninggalnya atau menjadi
sakitnya
seseorang
karena
suatu
makanan
misalnya,
memerlukan
pemeriksaan laboratorium. Ini tentunya memakan biaya, waktu dan tenaga yang tidak
sedikit, oleh karena itu pembuktian ini sama sekali tidak mudah atau sederhana.
Makin meningkatnya teknologi masa kini, menyebabkan konsumen tidak mampu
menentukan pilihan barang, barang-barang yang makin canggih, menyebabkan konsumen
tidak mengenalnya. Beberapa diantara para konsumen yang misalnya radio, televisi,
atau bahkan komputer. Oleh karena keadaan demikian, maka konsumen meletakkan
kepercayaan sepenuhnya kepada penjual atau produsen.
Dari uraian tersebut diatas pada umumnya kita mengenal pertanggung jawaban
seseorang atas segala perbuatan, akibat-akibat dari perbuatannya, tidak berbuat, kelalaian
atau kekurang hati-hatiannya pada orang atau pihak lain. Tanggung jawab itu tergantung
pada apakah peristiwa itu (yang menimbulkan kerugian pada orang lain itu) terdapat
kesalahan orang tersebut sehingga ia harus membayar ganti rugi berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata.
Jadi pertanggung jawaban penjual adalah menyangkut tanggung jawab karena
tidak berfungsinya barang/jasa yang diperjual belikan itu sendiri (cacat tersembunyi).
Sedangkan tanggung jawab produsen adalah menyangkut tanggung jawab atas kerugian
lain (harta, kesehatan tubuh atau jiwa pengguna barang/jasa) yang terjadi akibat
penggunaan produk tersebut. Sesuai dengan judul perlindungan konsumen, maka yang
berhak
mengajukan
tuntutan
ganti
rugi
adalah
konsumen.
Telah diuraikan, konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan
menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu.
-
Yang dimaksud dengan setiap orang dalam batasan diatas dimaksudkan orang alamiah
dan orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum).
Unsur menggunakan digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau
jasa oleh konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual beli,
sewa menyewa, pinjam pakai, dan sebagainya), tetapi juga mungkin karena pemberian
sumbangan hadiah atau sejenisnya yang berkaitan dengan suatu hubungan
komersil
Kesimpulan
Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini
ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen yang
merupakan pengejawantahan dari perintah UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum didalam setiap kepentingan masyarakat,
ketidakpastian akan perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan hambatan pada
upaya perlindungan konsumen.
Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk
membawa konsumen dalam mempertahankan haknya sebagai konsumen yaitu Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, akan tetapi para konsumen tetap masih enggan
menempuh melalui lembaga peradilan bagi dirinya sehingga lebih bersifat pasrah
terhadap apa yang dialaminya.
Produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak memenuhi
syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan pertimbangan berbagai
keamanan terutama tentang :
- penampilan produk
- penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.
- saat produk tersebut diedarkan
Selanjutnya pasal 1367 KUHPerdata sangat tepat sebab tanggung jawab mutlak
terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat dari kerugian
yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan berbahaya.
Bab VIII
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pendahuluan
Pada bagian akan dijekaskan penyelesaian sengketa dan lembaga perlindunngan
konsumen. Mahsiswa diharapkan setelah mempelajari materi ini dapat menjelaskan
lembaga perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa.
Penyaji
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.
lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha
negara.
Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UU
Perlindungan Konsumen
a. Penyelesaian Peadilan Umum
Pasal 45 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa ini merupakan pilihan dari para
pihak apakah diselesaikan melalui peradilan umum ataukah diluar peradilan atau damai.
Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK
Kemudian pasal 45 ayat (3) UUPK, menyebutkan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggunng jawab
pidana, sebagaimana diatur dalam Undanng-Undang.
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberi hak
mengajukan gugatan menurut pasal 46 UU Perlindungan Konsumen adalah
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Perlindungan
Konsumen
disamping
mengatur
Penutup
Setelah mempelajari materi ini mahasiswa dapat menjawab
1. menyebutkan penyelesaian sengketa dapat ditempuh
2. menyebutkan lembaga perlindungan konsumen
Daftar Kepustakaan
1. A.Z. Nasution, SH, Hukum dan Konsumen Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Cetakan
Pertama, 1994.
2. A.Z. Nasution, SH, Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum dan
Pembangunan No. 4 Tahun XVI Desember 1986.
3. Ari Purwadi, SH, Aspek Hukum Perdata pada perlindungan Konsumen, Juridika No. 1
dan 9 Tahun VII Januari 1992.
4. Warta Konsumen, Januari 1988 No. 234 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
Jakarta.
5. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, SH, Pengatur dalam hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
6. Sudariyatno, SH, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya,
Bandung, 1996.
7. R. Susilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politeia Bogor.
8. Prof.R.Soebakti, SH, KUH Perdata, Paramitha, Jakarta.
9. M. Yahya Harahap, SH, Segi-segi Hukum Perjanjian, PT. Alumni
10. Tini Hadad, Dalam AZ. Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar
, (Yogyakarta: Diadit Media, 2001). Cet. II . hlm. Vii.
11. Nurmadjito. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang
Perlindungan Konsumen dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas. Di dalam Husni
Syawali (Ed.), Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: Mandar Maju, 2000) hlm. 7.
12. Natalie OConnor. Consumer Protection Under The Trade Practices Act: A Time
For Change, di dalam Inosentius Samsul (Ed.), Hukum Perlindungan Konsumen I
(Jakarta: Pascsarjana FH-UI, 2001), hlm. 94.
13. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen terhadap akibat hukum yang ditimbulkan dari
produk pada Era Pasar Bebas. Di dalam Husni Syawali (Ed.), Hukum Perlindungan
Konsumen. (Bandung: Mandar Maju, 2000) hlm. 44
14. Sabarudin Juni, SH, Universitas Sumatra Utara, Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen dilihat dari Segi Kerugian Akibat Barang Cacat dan Berbahaya.
15. Perlindungan Konsumen dan Product Liability, Universitas Sumatra Utara.
16. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, 2004.
17. Wiwik Sri Widiarti, SH.MH, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, Pelanngi
Cendekia, jakarta, 2007