PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan pada hernia abdomen,
isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari bagian muskuloaponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia.
Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada
dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang
berulang atau berkelanjutan.1
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika
berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga
perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi
kantong pada peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun
tanda sumbatan usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata
bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak
dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau
vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia
ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut
sebagai hernia strangulata. Pada keadaan sebenarnya, gangguan vaskularisasi
telah terjadi pada saat jepitan dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai
dari bendungan sampai nekrosis.1
Operasi darurat untuk hernia inkarserata merupakan operasi terbanyak
nomor dua operasi darurat setelah apendisitis. Selain itu, hernia inkarserata
merupakan penyebab obstruksi usus nomor satu di Indonesia.1
Setiap tindakan operasi atau pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi
yang tepat. Kata anesthesia berarti pembiusan yang merupakan kata yang berasal
dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk
merasa". Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Istilah anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.2
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local atau infiltrasi, blok
atau regional, umum atau general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang
kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
kesalahan anesthesia. Pada saat operasi, dilakukan premedikasi, induksi
anesthesia dan rumatan anesthesi. Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia
umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit
perawatan pasca anesthesia.3 Ketiga rangkaian tersebut harus dilakukan dengan
benar agar proses operasi dapat berjalan dengan lancar dan menghindari
terjadinya komplikasi anestesia.
Oleh karena hal tersebut, penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada
umumnya mengenai tatalaksana anestesi pada hernia inkarserata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1.1 Anamnesis
Anamnesis dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.4
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.6
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA6
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI
Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.
Indikasi
Urinalisis
FBC
Bedah mayor
ECG
Foto Torak
Test
Indikasi
Darah Lengkap
Ureum,
creatinin
konsentrasi elektrolit
atau
menunjukkan
efek
toksik
dari
adanya
Konsentrasi
darah
Elektrokardiografi
Chest X-ray
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Skreen koagulasi
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alkohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.4
Intake oral
puasa
diberikan
< 6 bln
Clear fluid
Breast milk
Formula milk
20 cc/kg
yg
6 bln 5 thn
>5 thn
Adult,
op.
pagi
Adult,
op.
siang
Clear fluid
10 cc/kg
Formula milk
Solid
Clear fluid
Solid
Clear fuid
Solid
Clear fluid
Solid
10 cc/kg
Jumlah
10kg pertama
4 mL/kg/jam
10kg berikutnya
+ 2 mL/kg/jam
+ 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.7
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Menciptakan amnesia
Dosis (Dewasa)
Sedatif:
Diazepam
5-10 mg
Difenhidramin
1 mg/kgBB
Promethazin
1 mg/kgBB
Midazolam
0,1-0,2 mg/kgBB
Analgetik Opiat
Petidin
1-2 mg/kgBB
Morfin
0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
Antikholinergik:
Sulfas atropine
0,1 mg/kgBB
Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid
10 mg (iv) dewasa
10
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid
Scope
11
Tubes
Airways
saat
Tapes
Introducer
Connector
Suction
13
14
anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum
adalah masa pasca operasi.3
2.3.1
Stadium Anestesi
Anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4
plana), yaitu :
Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasioperasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.9
Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler,
pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,
lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata.9
akan
meningkat,
15
refleks
farings
dan muntah
pernafasan
3: Ditandai
paralisis
otot
interkostal
yang
makin
diafragma, pupil
melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini,
lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.9
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,
tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan
refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.9
16
2.4 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam
trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau
dikendalikan. Tiga hal yang
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien
terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping
itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.4
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya
lidah ke bagian belakang faring.4
Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai
stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus
kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik
sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.4
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
17
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).4
2.5 Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
-
18
Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara
ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.8
2.6.2
Kriteria
Nilai
3. Tidak
mampu
menggerakkan
ekstremitas
Respirasi
Tekanan Darah
Kesadaran
Warna Kulit
3. Henti nafas
1. Kemerahan
3. Sianosis
Nilai Total
19
20
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Usia
: 35 th
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
Pekerjaan
: Wiraswasta
: 11 92 99
Berat Badan
: 73 kg
Tinggi Badan
: 171 cm
: 3 Desember 2014
Lama anesthesia
Jenis pembedahan
: Hernioplasti
Jenis anesthesia
: General Anesthesia
Anesthesia dengan
3.2
Pre-operasi
Anamnesa Pre-operasi
21
B2 :
B3 :
B4 :
BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 300 ml dalam 4 jam, kuning
jernih
B5 :
B6 :
Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-),
edema (-)
o Hb
:17,2 gr/dl
(N : 13,4 - 17,7)
o Leukosit
: 18.700 / l
(N : 5.000-10.000)
o Trombosit
: 167.000 /l
(N : 150.000-400.000)
o Hematokrit
: 48 %
(N : 40 - 48)
o Diffcount
: 0/1/1/90/6/2
22
Golongan darah: A
Rhesus: +
Faal Hemostasis
o Waktu perdarahan: 3
(N : 1-6 menit)
o Waktu pembekuan: 10
(N : 10-15 menit)
3.3
Jenis anesthesia
: General Anastesi
Teknik anesthesia
: Intubasi oral
Lama anesthesia
Lama operasi
Posisi
: Supine
Infus
Obat premedikasi :
Obat induksi:
3. Inj. Atracurium 50 mg IV
Cairan masuk:
Pre operatif
: RL 1000 cc
Durante operatif
Cairan keluar:
Perdarahan
: 200 cc
Produksi urin
: Preoperatif
Durante operatif
3.4
: 300 cc (dibuang)
: 200 cc
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1
B2
B3
B4
B5
B6
24
25
BAB IV
PEMBAHASAN
B1 Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
B2 Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 Brain
Dalam batas normal.
B4 Bladder
BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna
kuning jernih.
B5 Bowel
Pada bowel, didapatkan bising usus (+) menurun.
B6 Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
Obat induksi:
1. Fentanil: merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang
secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 - 125
kali lebih poten dari Morfin. Fentanil merupkan analgesik narkotik yang
poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anastesi maupun
sebagai awalan anastetik.
2. Propofol: obat sedative hipnotik yang digunakan dalam induksi dan
pemeliharaan anestesi maupun sedasi.
3. Atracurium : bekerja sebagai pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja
sedang. Obat ini menghambat transmisi neurumuskuler (neuromuscular
blocking agent yang sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising))
27
Sebagai
imunosupresan.
Aktivitas
anti-inflamasi
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.7
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali
jumlah volume darah yang hilang.7
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:
110 - 130, D: 70 - 80), nadi antara 77-92x/menit. RR : 18-22x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
PACU (RR OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan
tidak ada mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 4 lpm melalui Nasal
Canule.
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta. 2010. Hal 619-641
2. Hafas, gita. 2012. Sejarah Anestesi. Ikatan Alumni FK-UI. Jakarta.
3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.
4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
5. Gonzales, F. Joshua, dkk. 2011. The Relationship between the Mallampati
Scoring System, the Berlin Questionnaire, and Epworth Sleepiness Scale.
Vol. 9 No. 3 ISSN 1540-580X
6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective
Procedures: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA:
Lippincott Williams & Wilkins
7. Leksana, Eri. 2012. Terapi cairan dan elektrolit. Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
8. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
9. Dobson, Michael. (2010) Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta; Penerbit
buku kedokteran EGC.
10. Ordonez, F. dkk. 2014. Spinal anesthesia versus general anesthesia in the
surgical treatment of inguinal hernia. redar.2013.11.016. Epub 2014 Feb
13.
31
LAMPIRAN
32
33