Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui

defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan pada hernia abdomen,
isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari bagian muskuloaponeurotik dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong dan isi hernia.
Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada
dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang
berulang atau berkelanjutan.1
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi jika
berbaring atau didorong masuk ke perut, tidak ada keluhan nyeri atau gejala
obstruksi usus. Bila isi kantong tidak dapat direposisi kembali ke dalam rongga
perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi
kantong pada peritoneum kantong hernia. Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun
tanda sumbatan usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata
bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak
dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau
vaskularisasi. Secara klinis, hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia
ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut
sebagai hernia strangulata. Pada keadaan sebenarnya, gangguan vaskularisasi
telah terjadi pada saat jepitan dimulai, dengan berbagai tingkat gangguan mulai
dari bendungan sampai nekrosis.1
Operasi darurat untuk hernia inkarserata merupakan operasi terbanyak
nomor dua operasi darurat setelah apendisitis. Selain itu, hernia inkarserata
merupakan penyebab obstruksi usus nomor satu di Indonesia.1
Setiap tindakan operasi atau pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi
yang tepat. Kata anesthesia berarti pembiusan yang merupakan kata yang berasal

dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk
merasa". Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Istilah anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846.2
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local atau infiltrasi, blok
atau regional, umum atau general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang
kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya
kesalahan anesthesia. Pada saat operasi, dilakukan premedikasi, induksi
anesthesia dan rumatan anesthesi. Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia
umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit
perawatan pasca anesthesia.3 Ketiga rangkaian tersebut harus dilakukan dengan
benar agar proses operasi dapat berjalan dengan lancar dan menghindari
terjadinya komplikasi anestesia.
Oleh karena hal tersebut, penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada
umumnya mengenai tatalaksana anestesi pada hernia inkarserata.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Manajemen Anestesi Pre-operatif

2.1.1 Penilaian Preoperatif


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan praanestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi bertujuan untuk:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu
maupun urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi.3
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi anamnesis (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan,
hal ini tercermin dalam inform consent.3

2.1.1.1 Anamnesis
Anamnesis dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.4

2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi
tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan
airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis
juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada
defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.4
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu
dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion
yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang
pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.4
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum.5

Gambar 4.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.6
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA6
Kelas I

Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II

Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi


aktivitas sehari-hari.

Kelas III

Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV

Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun


tanpa operasi.

Kelas V

Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.

Kelas VI

Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.4

Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan


Pemeriksaan rutin

Indikasi

Urinalisis

Pada semua pasien (periksa konsentrasi


glukosa darah jika glukosa urine positif)

FBC

Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua


bedah mayor

Ureum, Creatinin, Elektrolit

Bedah mayor

ECG

Umur > 50 tahun

Foto Torak

Umur > 60 tahun

Tes fungsi hati (Liver Function Test)

Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No

Test

Indikasi

Darah Lengkap

Anemia dan penyakit hematologik lainnya


Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi

Ureum,

creatinin

konsentrasi elektrolit

dan Penyakit ginjal


Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit

atau

menunjukkan

efek

toksik

dari

adanya

abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic,


antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3

Konsentrasi

glukosa Diabetes Mellitus

darah

Penyakit hati yang berat

Elektrokardiografi

Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru


kronik
Diabetes Mellitus

Chest X-ray

Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler

Arterial blood gases

Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi

Test fungsi paru

Pasien yang akan operasi thorakotomi


Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,
bronchiectasis

Skreen koagulasi

Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin

Test fungsi hati

Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alkohol
Tumor dengan metastase ke hepar

10

Tes fungsi thyroid

Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.4

2.1.1.4 Informed Consent


Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.3

2.1.2 Masukan Oral


Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.6

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist,


2011)6
Usia pasien

Intake oral

Lama puasa (jam)

puasa

diberikan
< 6 bln

Clear fluid

Breast milk

Formula milk

20 cc/kg

yg

6 bln 5 thn

>5 thn

Adult,

op.

pagi
Adult,

op.

siang

Clear fluid

10 cc/kg

Formula milk

Solid

Clear fluid

Solid

Clear fuid

Solid

Puasa mulai jam 12 mlm

Clear fluid

Solid

Puasa mulai jam 8 pagi

10 cc/kg

2.1.3 Terapi Cairan


Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses
yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:7
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal7
Berat Badan

Jumlah

10kg pertama

4 mL/kg/jam

10kg berikutnya

+ 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg

+ 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.7

2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan.4

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi4


No. Jenis Obat
1

Dosis (Dewasa)

Sedatif:
Diazepam

5-10 mg

Difenhidramin

1 mg/kgBB

Promethazin

1 mg/kgBB

Midazolam

0,1-0,2 mg/kgBB

Analgetik Opiat
Petidin

1-2 mg/kgBB

Morfin

0,1-0,2 mg/kgBB

Fentanil

1-2 g/kgBB

Analgetik non opiat

Disesuaikan

Antikholinergik:
Sulfas atropine

0,1 mg/kgBB

Antiemetik:
Ondansetron

4-8 mg (iv) dewasa

Metoklopramid

10 mg (iv) dewasa

10

Profilaksis aspirasi
Cimetidin

Dosis disesuaikan

Ranitidine
Antasid

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,


diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan
5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi
yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.4

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
Pulse Oxymeter dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.4
Tabel 2.7 Komponen STATICS4
S

Scope

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang

11

sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.


T

Tubes

Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa


balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

Airways

Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau


pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah

saat

pasien tidak sadar untuk

mengelakkan sumbatan jalan napas.


T

Tapes

Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

Introducer

Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

Connector

Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

Suction

Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi


Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal ini adalah:8
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien
dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik
anestesi lokal atau umum.8
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
12

adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia


gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum endotrakeal.8
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.8
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dan lain-lain.8
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.8
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.

13

7. Bahaya kebakaran dan ledakan


Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila
dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup.8

2.3 General Anesthesia


General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari
hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan
menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum
tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis
(hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya
reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot
(memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal),
amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur).3
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang
meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan
masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing masing bagian
berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini
merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat
dan rangsangan pembedahan.3
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat
premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi,
dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi
aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua

14

anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum
adalah masa pasca operasi.3

2.3.1

Stadium Anestesi
Anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4
plana), yaitu :

Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasioperasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.9

Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler,
pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,
lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata.9

Stadium III (pembedahan):


Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama
kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadangkadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya
(+), lakrimasi

akan

meningkat,

menghilang, tonus otot menurun.9

15

refleks

farings

dan muntah

Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun


dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi
torakal, bola

pernafasan

mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan

refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea


dan laring hilang.9
Plana

3: Ditandai

dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan

daripada torakal karena

paralisis

otot

interkostal

yang

makin

bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot


interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot

diafragma, pupil

melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini,
lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.9
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,
tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan
refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.9

Stadium IV (paralisis medulla oblongata):


Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III
plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan.9
Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi
obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia,
hiccup (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.9

16

2.4 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam
trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau
dikendalikan. Tiga hal yang

harus diperhatikan untuk dapat membantu

memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :

Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).

Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).

Relaksasi otot yang baik.4


Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang
harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut
SALT, yaitu:

Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien
terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping
itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.4

Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya
lidah ke bagian belakang faring.4

Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu


penempatan pipa endotracheal.4

Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada


orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9.4

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:

Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai
stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus
kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik
sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.4

Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).

17

Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).4

2.5 Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
-

Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

Heart rate, nadi, dan kualitasnya

Warna membran mukosa, dan capillary refill time

Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek


palpebra)

Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.3

2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi


2.6.1

Recovery dari General Operasi


Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa
tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus
dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses
recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi
neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring
tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau
tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin,
drainase, dan perdarahan.8
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada
pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasienpasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau toraks,
sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin
memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional
untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post

18

Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara
ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.8

2.6.2

Kriteria Discharge dari PACU


Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah
Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge
ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.9
Tabel 2.8 Aldrete Score9
Objek
Aktivitas

Kriteria

Nilai

1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas

3. Tidak

mampu

menggerakkan

ekstremitas
Respirasi

Tekanan Darah

Kesadaran

Warna Kulit

1. Mampu nafas dalam dan batuk

2. Sesak atau pernafasan terbatas

3. Henti nafas

1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah

2. Berubah 20-50% dari pra bedah

3. Berubah > 50% dari pra bedah

1. Sadar baik dan orientasi baik

2. Sadar setelah dipanggil

3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

1. Kemerahan

2. Pucat agak suram

3. Sianosis

Nilai Total

19

2.6.3 Kunjungan Post-Operatif


Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 48 jam setelah operasi
dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review
dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post
operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan
kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi,
cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila
diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.4

20

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Usia

: 35 th

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Dusun II Air Hitam Sum-Sel

Pekerjaan

: Wiraswasta

No. Rekam Medik

: 11 92 99

Berat Badan

: 73 kg

Tinggi Badan

: 171 cm

Tanggal dilakukan Anesthesia

: 3 Desember 2014

Lama anesthesia

: 1 jam 20 menit (11.50-13.10 WIB)

Diagnosa pra bedah

: Hernia inguinalis sinistra inkarserata

Jenis pembedahan

: Hernioplasti

Jenis anesthesia

: General Anesthesia

Anesthesia dengan

: Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan


Fentanyl, Maintenance dengan Sevofluran+
O2 + N2O

3.2

Pre-operasi

Anamnesa Pre-operasi

: Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-)

: Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat hipertensi (-)

: Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), Riwayat hipertensi (-),


merokok (+), konsumsi alkohol (-), riwayat trauma dan MRS (-),
riwayat operasi (-)

: Makan/minum terakhir pukul 06.00 3 Desember 2014


( 2 jam SMRS)

21

: Pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapangan perut sejak 1 hari


SMRS. Nyeri buah zakar (+). mual dan muntah (+), mencret (+).
Pasien dibawa ke ke IGD Palembang BARI.
Pasien mengaku awalnya terdapat benjolan pada lipat paha kiri
sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat diurut-urut (+).

Pemeriksaan Fisik Pre-op


B1 :

Airway normal, napas spontan simetris, RR 22x/mnt,Rh (-), Wh(-),


Struma (-), Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid 3 cm, lokasi
laring 2 cm, Mallampati score I, pernafasan cuping hidung (-), gigi
geligi dbN, gerak leher bebas, nyeri telan (-), massa di leher (-),
trakea di tengah, saturasi O2 100% room air

B2 :

Akral hangat, kering, merah, CRT<2 , nadi 92x/mnt kuat angkat,


TD 110/80, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,2o C

B3 :

GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek


Cahaya +/+

B4 :

BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 300 ml dalam 4 jam, kuning
jernih

B5 :

datar, lemas, Bising Usus (+) menurun, nyeri tekan seluruh


lapangan perut (+)

B6 :

Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-),
edema (-)

Pemeriksaan Laboratorium (3 Desember 2014)


Darah Rutin

o Hb

:17,2 gr/dl

(N : 13,4 - 17,7)

o Leukosit

: 18.700 / l

(N : 5.000-10.000)

o Trombosit

: 167.000 /l

(N : 150.000-400.000)

o Hematokrit

: 48 %

(N : 40 - 48)

o Diffcount

: 0/1/1/90/6/2

(N : 0-1/ 1-3/ 2-6/ 5070/ 20-40/ 2-8)

22

Golongan darah: A
Rhesus: +

Faal Hemostasis

o Waktu perdarahan: 3

(N : 1-6 menit)

o Waktu pembekuan: 10

(N : 10-15 menit)

Kesimpulan : Dalam Batas Normal

3.3

Laporan Anestesi Preoperatif


Assessment: ASA 1, emergensi

Diagnosa pra bedah

Keadaan pra bedah (3 Desember 2014):

: Hernia inguinalis sinistra inkarserata

TB: 171 cm, BB 73 kg


TD: 110/80 mmHg, nadi 92x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,2oC
Hb: 17,2 gr/dl
Pasien puasa pre-operasi (6 jam)
Jenis pembedahan : Hernioplasti

3.4 Durante Operasi

Jenis anesthesia

: General Anastesi

Teknik anesthesia

: Intubasi oral

Lama anesthesia

: 1 jam 20 menit (11.50- 13.10 WIB)

Lama operasi

: 1 jam (12.00-13.00 WIB)

Posisi

: Supine

Infus

: RL 500 ml, 1 line tangan kiri

Obat-obatan yang diberikan

Obat premedikasi :

Obat induksi:

Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)

1. Inj. Fentanil 100 g


2. Inj. Propofol 100 mg titrasi
23

3. Inj. Atracurium 50 mg IV

Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2

Obat analgetik durante operasi : N2O


Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV dan Sulfas Atropine 0,25 mg IV
Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV

Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV

Cairan masuk:
Pre operatif

: RL 1000 cc

Durante operatif

: RL 500 cc dan Gelatin polysuccinate 500 cc

Cairan keluar:
Perdarahan

: 200 cc

Produksi urin

: Preoperatif
Durante operatif

3.4

: 300 cc (dibuang)
: 200 cc

Postoperatif di RR jam 13.15

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:

B1

: Airway normal, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),


saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 4 lpm.

B2

: Akral hangat, kulit merah, nadi 80x/menit, TD 130/80 mmHg,


S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,6o C

B3

: GCS 456, diameter pupil 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek


kornea +/+

B4

: Catheter (+), Produksi Urin 250cc

B5

: Bising Usus (+) menurun, mual (-), muntah (-)

B6

: Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis(-)

24

Terapi Pasca Bedah


Infus: infus RL 1000cc/24 jam
Antibiotika: Ceftriaxone 2x 1 gr iv, Infus metronidazole 3x500 mg.
Bila mual/muntah : Kepala miring, Inj Ondansetron 4 mg iv.
Bila kesakitan: Inj ketorolac 3x 30 mg IV
Minum atau makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah.

Bising usus (+).

25

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. S umur 35 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD


Palembang BARI pada tanggal 3 Desember 2014 pukul 08.15 dengan keluhan
nyeri pada seluruh lapangan perut sejak 1 hari SMRS. Berdasarkan anamnesis
dengan metode AMPLE pada tahap preoperatif, didapatkan bahwa pasien belum
makan sejak pukul 06.00 (2 jam sebelum masuk Rumah Sakit). Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada anamnesa.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini meliputi tanda-tanda vital seperti
tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu. Dilakukan juga pemeriksaan
airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan kelainan.

B1 Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.

B2 Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.

B3 Brain
Dalam batas normal.

B4 Bladder
BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna
kuning jernih.

B5 Bowel
Pada bowel, didapatkan bising usus (+) menurun.

B6 Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.

Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan


keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi saat ini, dan prosedur bedah yang
direncanakan. Pada pasien ini didapatkan leukositosis yaitu 18.700 / ul. Dari hasil
26

anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam kondisi


sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga
diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi.
Anestesi untuk kasus hernia inguinalis dapat dipertimbangkan regional
anestesi atau general anestesi. Pada kasus ini dipilih general anestesi karena sudah
terjadi hernia inkarserata, hal ini adalah kasus kegawatdaruratan dan diperkirakan
akan membutuhkan waktu yang lama untuk tindakan pembedahan.10
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
dan makanan 6 jam preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan
sejak pukul 06.00 (6 jam sebelum operasi).
Terapi obat-obatan yang diberikan adalah:

Premedikasi pada pasien ini diberikan sebelum operasi, dengan obat


premedikasi berupa Obat premedikasi Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di
kamar operasi).
Ondancetron bekerja sebagai antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara
selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.

Obat induksi:
1. Fentanil: merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang
secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 75 - 125
kali lebih poten dari Morfin. Fentanil merupkan analgesik narkotik yang
poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anastesi maupun
sebagai awalan anastetik.
2. Propofol: obat sedative hipnotik yang digunakan dalam induksi dan
pemeliharaan anestesi maupun sedasi.
3. Atracurium : bekerja sebagai pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja
sedang. Obat ini menghambat transmisi neurumuskuler (neuromuscular
blocking agent yang sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising))

27

sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Kegunaannya dalam


pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk mendapatkan
relaksasi otot.

Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2


1. Sevofluran : Merupakan anestetik inhalasi berhalogen dengan onset dan
pulih sadar yang cepat, bau tidak tajam, MAC 2,1%, metabolisme di hati
5%, dan tidak stabil terhadap CO2 absorbent.
2. O2: Adalah unsur kimia dalam sistem tabel periodik yang mempunyai
lambang O dan nomor atom 8. Oksigen atau O2 adalah udara yang
diperlukan makhluk hidup untuk bernapas.

Obat analgetik durante operasi : N2O


N2O: Nitrous oxide adalah anestesi inhalasi yang bersifat anastetik lemah
tetapi analgesinya kuat.

Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV dan Sulfas Atropine 0,25 mg IV


1. Neostigmin: merupakan antikolinesterase yang digunakan untuk relaksasi
otot sampai relaksasi otot non depolarisasi (anastesi). ;Anti kolinesterase
melawan efek obat pelemas otot non depolarisasi (kompetitif)
2. Sulfas Atropine: untuk menekan sekresi saliva, mucus bronkus dan
keringat. Sulfas atropine merupakan antimuskarinik yang bekerja pada
alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik.

Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV


Dexametason: glukokortikoid sintetik dengan aktivitasimunosupresan dan
anti-inflamasi.

Sebagai

imunosupresan.

Aktivitas

anti-inflamasi

Deksametason dengan jalan menekan atau mencegahrespon jaringan terhadap


proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yangmengalami inflamasi,
termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi.

Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV


Ketorolac adalah analgetik kuat yang setara dengan opioid sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri. Ketorolac bekerja dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid pada sistem saraf
pusat.
28

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.7
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali
jumlah volume darah yang hilang.7
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:
110 - 130, D: 70 - 80), nadi antara 77-92x/menit. RR : 18-22x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
PACU (RR OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan
tidak ada mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 4 lpm melalui Nasal
Canule.
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien

29

kemudian dipindahkan ke ruang perawatan bedah dengan rencana monitoring


yang dilakukan sudah benar dan sesuai kebutuhan pasien.
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam
medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari
anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang
secara keseluruhan dalam batas normal. Management nyeri dilakukan dengan
baik.

BAB V
KESIMPULAN

Pasien adalah pria usia 35 tahun dengan hernia inguinalis sinistra


inkarserata, yang dilakukan operasi hernioplasti pada tanggal 3 Desember 2014.
Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini
dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi general anestesi.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif
stabil sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak
didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup
stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien
dapat dipindahkan ke ruang perawatan bedah. Seluruh tatalaksana pasien
dilakukan dengan baik.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta. 2010. Hal 619-641
2. Hafas, gita. 2012. Sejarah Anestesi. Ikatan Alumni FK-UI. Jakarta.
3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.
4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
5. Gonzales, F. Joshua, dkk. 2011. The Relationship between the Mallampati
Scoring System, the Berlin Questionnaire, and Epworth Sleepiness Scale.
Vol. 9 No. 3 ISSN 1540-580X
6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective
Procedures: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA:
Lippincott Williams & Wilkins
7. Leksana, Eri. 2012. Terapi cairan dan elektrolit. Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
8. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
9. Dobson, Michael. (2010) Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta; Penerbit
buku kedokteran EGC.
10. Ordonez, F. dkk. 2014. Spinal anesthesia versus general anesthesia in the
surgical treatment of inguinal hernia. redar.2013.11.016. Epub 2014 Feb
13.

31

LAMPIRAN

32

33

Anda mungkin juga menyukai