Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang terletak pada
kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang mulut. Tonsil berfungsi sebagai
mencegah agar infeksi tidak menyebar keseluruh tubuh dengan cara menahan kuman
memasuki tubuh melalui mulut, hidung dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang
tonsil mengalami peradangan. (Hembing, 2004)
Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas,
mulai dari mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya
aliran udara melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom apnea
terjadi minimal 30 kali selama 7 jamtidur. Disamping ukuran tonsil, luas orofaring
terutama jarak atara kedua dinding lateral faring cukup penting dalam menimbulkan
sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran
tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah
tonsilektomi. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai
saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil,
sebagai penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sebagian besar lagi menganjurkan
tonsilektomi segera. Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila di curigai
adanya keganasan seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi.
(Hatmansjah, 2008) Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaan. Di AS karena
kekhawatiran komplikasi tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di indonesia
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi pendek dan tehnik lebih
sulit.
Pada awal 1960 dan 1970an telah dilakukan 1-2 juta tonsilektomi, pada tahun
1996, diperkirakan 287.000 anak-anak dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi,

dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4 %) mengalami
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6 %) menjalani tonsilektomi saja.
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu
tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi
yang lebih utama adalah obstruksi saluran pernapasan dan hipertropi tonsil. Untuk
keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah
tidak diperdebatkan lagi(Anonim, 2004 )
B. RUANG LINGKUP
Penyusunan makalah ini membahas tentang Asuhan Keperawatan Anestesi Perioperatif
pada Pasien Appendictomi dengan Tehnik Spinal Anestesi mulai dari Pre Anestesi, Intra
Anestesi, Post Anestesi.

C. TUJUAN
1. Memenuhi tugas Praktek Klinik Keperawatan Anstesi dan Reanimasi.
2. Mahasiswa mengetahui tentang pemeriksaan Pre Anestesi pada tindakan
Appendiktomi, tindakan anestesi yang dilakukan dan komplikasi tindakan serta
pemulihan post anestesi.
3. Mahasiswa

mampu

memberikan

Asuhan

Keperawatan

Anestesi

pada

Tonsilektomi.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. PENGERTIAN
Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan. (Kamus
Kedokteran, 2000). Tonsilektomi merupakan pembedahan yang paling banyak
dan biasa dilakukan di bagian THT (Telinga, Hidung dan Tenggorok), oleh karena
itu sering dianggap sebagai pembedahan kecil saja. Tetapi bagaimanapun juga,
tonsilektomi adalah suatu pembedahan yang merupakan tindakan manipulasi yang
dapat menimbulkan trauma dengan risiko kerusakan jaringan. Komplikasi mulai
dari yang ringan bahkan sampai mengancam kematian atau gejala subyektif pada
pasien berupa rasa nyeri pasca bedah dapat saja terjadi. Tonsilitis merupakan
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi
beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga
disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
a. Tonsilitis Akut
b. Tonsilititis Kronis.

B. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis adalah virus dan bekteri sebagian besar disebabkan oleh
virus yang merupakan juga faktor predisposisi dari infeksi bakterial.
Golongan Virus :
-

Adenovirus

Virus echo

Virus influenza

Golongan Bakteri :
-

Streptococcus

Mycrococcus

Corine bakterium diphterial

C. PATOFISIOLOGI
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal
oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara
Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan
berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi
perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang umumnya berkisar pada jumlah
penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau relatif serta
terakhir frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.
Indikasi yang umum pada saat ini adalah : (1) serangan tonsilitis berulang, atau tonsilitis
kronis, (2) sumbatan jalan napas atas karena pembesaran tonsil, (3) abses peritonsil, dan
(4) kecurigaan akan adanya keganasan. Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan
tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut
dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit
tenggorokan 4 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsillitis akut.
Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah
kuman patogen yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi ternyata, setelah
dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan jenis kuman
patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil
sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri, tonsilitis kronik
sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan
radang kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. Pada tonsilitis kronik, kuman
patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga menyebabkan tonsil berubah
sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil sebagai fokal infeksi bagi
timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam rematik atau
glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat
dijumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta hemolitikus tipe A. Kuman ini
menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0
(ASTO). Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas,
mulai dari mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya
aliran udara melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep
apnea adalah apnea yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur. Di samping ukuran

tonsil, luas orofaring terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam
menimbulkan sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada
pembesaran tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau
berkurang setelah tonsilektomi. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk
kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada
abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan
bila dicurigai adanya keganasan seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya
ulserasi.Apabila satu atau dua tonsil meradang membesar sampai ketengah uvofaring
maka sebaiknya dilakukan tindakan pengangkatan tonsil atau disebut Tonsilektomi.

Derajat pembesaran tonsil :


a. Derajat I (Normal)
Tonsil berada dibelakang pilar tonsil (struktur lunak dipotong oleh palatina lunak).
b. Derajat II
Tonsil berada diantara pilar dan uvula.
c. Derajat III
Tonsil menyentuh uvula.
d. Derajat IV
Satu atau dua tonsil meluas ketengah uvofaring.

Pathway

Folikal
Maternal
Pembesaran Tonsil

Antibody
Tonsil Normal

Infeksi Saluran Nafas Berat


Gangguan Nafas/ Gangguan Menelan
Tonsilektomi

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari tonsilitis terbagi atas tonsilitis akut dan kronis.
Kepekaan tonsil terhadap infeksi akut dapat meningkat apabila keadaan organisme
dari luar berlebihan.
Tanda dan gejala tonsilitis akut :
1. Penderita terlihat seperti sakit demam.
2. Mengeluh sakit tenggorokan dan sakit menelan.
3. Tonsil hyperemia.
4. Kelenjar lymphe jugularis membesar dan nyeri bila diraba.
Setelah serangan tonsilitis akut jaringan tonsil biasanya dapat kembali normal
tetapi ada juga yang tidak. Keadaan jaringan yang tidak normal ini merupakan
terbentuknya abses-abses kecil dan folikal limphoid disekitar krypta dan dibatasi
oleh jaringan ikat. Tonsil yang seperti ini dapat menimbulkan gejala infeksi berulang
tiga sampai empat bulan sekali. Keadaan ini merupakan proses awal terjadinya
tonsilitis kronis.

Tanda dan gejala tonsilitis kronis :

1. Tonsil hyperemia dan edema.


2. Kripta melebar dan tonsil berbenjol-benjol.
3. Suhu badan sub febris.
4. Penderita merasa tidak enak badan.
E. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Untuk menegakkan diagnostik tonsilitis dapat digunakan dengan adanya
gejala yang muncul seperti : demam, sulit menelan, tonsil tampak membesar dan
hyperemia.
Diagnosa banding :
a. Infeksi mononuchosis
Untuk membedakannya dengan tonsilitis akut diperlukan pemeriksaan hitung
jenis leucocyt.
b. Angina vincent
Menyebabkan ulsurasi yang luas di rongga mulut atau hanya terbatas disekitar
tonsil. Penyakit ini dibedakan dari tonsilitis akut dengan pemeriksaan usap
tenggorokan.
c. Agranusitosis
Penyakit ini menimbulkan ulsurasi yang dirongga mulut dan faring. Selain
ulsurasi terjadi pengelupasan mukosa mulut, lidah dan tonsil, penderita dapat
membantu menegakkan diagnosa.
F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Golongan darah.
2. Kadar Hb.
3. Hitung Leukosit dan Hitung Jenis.
4. Penentuan kadar klorida keringat atau imunoglobulin serum untuk
mengevaluasi diagnosis banding medis yang mencakup fibrosis kistik atau
imunodefisiensi.

G. INDIKASI

Sebelum tonsilektomi dilakukan ditemukannya indikasi seperti :


1. Tonsilitis akut residivan
Yaitu tonsilitis akut yang berulang-ulang 4-5 kali tiap tahun.
2. Tonsilitis kronis dengan eksasurbasi
Yaitu tonsilitis akut dengan keluhan ringan tapi terus menerus.
3. Abses Peritonsil/ Tonsilitis akut dengan komplikasi
Jika sudah pernah terjadi abses peritonsil maka kemungkinan untuk kambuh
berulang-ulangnya dikemudian hari besar sekali. Pada abses peritonsil jaringan
sekitar tonsil turut meradang sehingga perasaan sakit melebihi dari tonsilitis
akut biasa.
4. Streptokok tonsilitis yang berulang
Infeksi kuman streptokok yang berulang dan tidak teratasi oleh berbagai
antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kerusakan yang besar pada jaringan
tonsil. Akibatnya tonsil tidak lagi berfungsi sebagai alat penangkis kuman dan
merupakan fokal infeksi yang tidak dapat dikontrol.
5. Tonsil palatina sebagai fokat infeksi demam rematik.
6. Tonsil palatina menjadi serangan kuman atau diptheria cariur, misal tonsilitis
proso diphteria.
7. Tonsil Hipertropi sehingga timbul obstruksi mekanik
Adanya pembesaran tonsil yang sedemikian maka makan, minum bahkan
bernafas terutama dimalam hari sudah terganggu. Jika tonsil hipertropi tidak
segera diangkat maka komplikasi seperti faringitis, bronkitis sering terjadi dan
sukat diatasi.
8. Otitis media purulen yang berulang.
9. Tonsil yang menunjukkan tanda maligna
Indikasi ini sangat definitif dan tonsilektomi harus dilakukan karena kalau tumor
ganas masih bersifat insitu, tonsilektomi akan memberi hasil yang memuaskan
tetapi bilamana tumos sudah menjalar ke daerah sekitar tonsil,
tonsilektomi

maka

akan sia-sia, bahkan pembesaran tonsil unilateral yang

biasa harus dicurigai

luar

kemungkinan terjadinya maligna.

H. KONTRAINDIKASI

1. Alergi yang mendasari. Tonsilektomi dapat memperburuk alergi pada beberapa


pasien.
2. Pilek berulang dan masalah kesehatan menahun jarang karena tonsil.
3. Pasien dibawah umur 3 atau 4 tahun.
4. Tonsil besar tanpa gejala. Harus diingat bahwa tonsil cenderung membesar
sampai sekitar umur 10-12 tahun, dan kemudian berinvolusio mantap.
5. Adenitis cervicalis tuberkulosis tidak lagi dianggap sebagai indikasi.
6. Demam reumatik dan nefritis bukan indikasi, kecuali bila terapi antibiotika
intensif gagal menghilangkan streptokokus hemolitikus.
7. Desakan orang tua untuk tonsilektomi bukan merupakan suatu indikasi !
I. KOMPLIKASI
1. Perdarahan pasca tonsilektomy.
2. Menyebabkan hypertropi.
3. Atelektase.
4. Bronkhitis.
5. Pneumonia.
6. Abses paru.
J. TREATMENT
Metode Tonsilektomi yaitu :
1. Guillotine Tonsilektomi/Sluder.
Biasanya dilakukan pada jaringan tonsil yang diduga hubungannya dengan
jaringan sekitarnya masih longgar, misal pada anak. Dengan metode ini operasi
lebih cepat dan jaringan tonsil dapat diangkat seluruhnya dengan menimbulkan
manipulasi yang tidak begitu banyak. Perdarahan yang terjadi lebih sedikit
dibanding dengan metode Diseksi.
2. Diseksi Tonsilektomi
Pada Diseksi jaringan tonsil dipisahkan dari daerah sekitarnya satu per satu.
Tonsilektomi secara Diseksi ini umumnya dilakukan pada penderita dengan
dugaan jaringan tonsil sudah mengadakan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya sehingga kalau dilaksanakan metode Guillotine, maka jaringan tonsil


tidak akan dapat diangkat sebersih mungkin.
K. TEHNIK ANESTESI
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter
anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit
pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk
tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah.
Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
menginginkan

tonsilektomi

konvensional

atau

dalam

keadaan

yang

tidak

memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi


pada orang dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya
terlebih dahulu dan mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang
bersangkutan sehingga pasien dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.
Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obatobatan yang dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.
Premedikasi
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian
obat premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat
terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten
atau dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.
Anestesi Umum

10

Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia


eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik
anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini
saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat
dikontrol dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di
luar lapangan operasi namun masih memegang kendali jalan napas.
1. Anestesi endotrakea
-

Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG
(bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan
darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di
tangan.

Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan
halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus
menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.

Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau
sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi
selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.

Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu
dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya
darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di
daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.

Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan


operasi.

Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang
pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.

Ekstubasi dapat dilakukan

bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah

terjagabebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga dapat dilakukan saat
pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa
mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.

11

Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih
rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah
mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.

Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga dapat
diberikan antiemetik sebagai pencegahan.

Perdarahan pascatonsilektomi
-

Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang
tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada
waktu

induksi

anestesi

untuk

re-operasi.

Pengosongan

lambung

dengan

oro/nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.


Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai
pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya
risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi
cara ini memerlukan perhatian khusus seperti:
-

Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif
akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas
besar dan compliance paru rendah.

Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.

LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.

Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko
yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan
per individu.

2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag


Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah karena pipa
ETT menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth gag ETT dapat
diletakkan pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang
operasi menjadi bebas.
Pengamatan selama operasi
Selama operasi yang harus dipantau:
-

Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi

12

Pernapasan dan gerak dada cukup

(kalau ada) Saturasi oksigen di atas 95%

Denyut nadi yang teratur

Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk

Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:


-

Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea,

ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan keharusan. Begitu


juga dengan pasien dengan sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf
pusat untuk waktu yang lama setelah anestesi umum selama tonsilektomi berlangsung.
Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak. Pasien diobservasi selama beberapa
waktu

di

ruang

pemulihan

untuk

meminimalkan

komplikasi

selain

untuk

memaksimalkan efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang
menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang
telah diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama
observasi optimum sebelum pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama
minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan
dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah
tim. Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan
anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat
meminimalkan efek komplikasi yang timbul.
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi
respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi
pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit
untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.

13

Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan
sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang
dimodifikasi:
-

Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons

Aktivitas atas perintah


2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak

Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi
pernapasan
0= apneu

Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20%
nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 5020% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang
dari nilai preoperasi

Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk
mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2

Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU

14

Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara
jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral
secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai
pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien
sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang
jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi
randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya
nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika
yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya
penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut
atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus
diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus
dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat anti nyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia
yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu
juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien
harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi
keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.
L. KOMPLIKASI ANESTESI
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan
status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

15

Laringospasme

Gelisah pasca operasi

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan


henti jantung

Hipersensitif terhadap obat anestesi

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus
atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus
nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah
operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan
elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik cold diseksi dan
teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang
meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
Komplikasi lainnya anatara lain : Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan
terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

16

BAB III
ASKEP
(Asuhan Keperawatan)
A. ASUHAN KEPERAWATAN PRE ANESTESI PADA PASIEN
TONSILEKTOMI DENGAN TEHNIK ANESTESI UMUM
Pengkajian dimulai tanggal

Pengkajian berakhir tanggal :

30 JULI 2009
01 AGUSTUS 2009

A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS KLIEN
Nama klien

: An. W

Umur

: 15 tahun

Jenis kelamin

: Laki

Agama

: Islam

Status perkawinan

: Belum kawin

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Karang sari, kebumen

Tgl. Masuk RS

: 29 Juli 2009

No. RM

: 170905

2. STATUS KESEHATAN
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah menderita panyakit yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga pasien yang tidak mempunyai penyakit sama dengan pasien.

Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengatakan sakit / nyeri pada bagian tenggorokan pada saat menelan dan badan
panas.Suhu : 38 0C Hal ini sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu.

17

Keterangan :
:

( wanita )

( pria )

Pasien

B. POLA FUNGSI KESEHATAN


1. Pola Aktivitas dan Latihan
Sebelum sakit
: Pasien dapat melakukan segala aktivitas sendiri
Saat ini
: Pasien untuk keperluan makan dan minum nyeri untuk
menelan.
2. Pola Istirahat tidur
Sebelum sakit

: Pasien tidur siang 2 jam, tidur pada malam hari 6 - 8

jam. Kebiasaan tidur pasien tidak mempengaruhi kehidupannya, karena

tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk pemenuhan kebutuhan tidur.


Saat ini
: Pasien tidak bisa tidur siang, tidur pada malam hari 4 5jam. Karena kondisi pasien sakit dan nyeri pada bagian tenggorokan maka

pasien tidurnya agak sedikit terganggu dan tidak nyenyak.


3. Pola Nutrisi

18

Sebelum sakit

teratur jamnya, minum 5-6 gelas perhari air putih dan susu sehari 1 kali.
Saat ini
: Makan pada awal sakit selama 2 hari tidak mau makan

: Pasien makan biasa sehari 3 kali (pagi, siang, malam)

karena nyeri dan menolak diberi makanan makan keras.


4. Pola Eliminasi
Sebelum sakit
: BAB : 1x /hari
BAK : 3-5x /hari
Saat ini
: BAB : belum / hari
BAK : 2-4x /hari
5. Pola Koping
Sebelum sakit
Saat ini

: Pasien tidak ada masalah dalam beraktivitas


: Masalah utama yang dirasakan selama sakit yaitu merasa

sakit dan nyeri pada bagian tenggorokan nafsu makan menurun.


6. Pola Konsep diri
Sebelum sakit
: Harga diri tinggi, disiplin dan mandiri
Saat ini
: Harga diri tinggi berusaha untuk mandiri, tapi pasien
mengalami kesulitan jadi dibantu oleh keluarganya.
7. Personal Hygiene
Sebelum sakit
: Pasien dapat membersihkan tubuh secara bersih dan

mandiri
Saat ini

: Pasien berkeadaan tubuh bersih, mandi (muka dan

tangan) dibersihkan keluarga pagi dan sore, gosok gigi tidak mampu, hanya
berkumur saja.
8. Pola Psikologis
Sebelum sakit
Saat ini

: Pasien tidak ada masalah dalam psikologisnya


: Pasien merasa cemas dan gelisah karena tidak bisa/sulit

tidur, karena kondisi yang lemah dan tenggorokan sakit.


9. Pola Peran dan berhubungan
Sebelum sakit
: Pasien

dapat

berhubungan/berkomunikasi

dengan

siapapun, baik keluarga maupun teman.


Saat ini
: Pasien dalam berhubungan/berkomunikasi tetap baik
dengan siapapun, namun berbicara hanya sedikit saja karena pasien

mengatakan apabila bicara banyak tenggorokan sakit.


10. Pola Kognitif
Sebelum sakit
: Pasien tidak ada masalah dalam hal kecerdasan.

19

Saat ini

: Pasien masih mampu berbicara, membaca, berfikir,

menghitung, daya ingat juga baik, berinteraksi agak kurang dengan orangorang yang berada di sebelahnya.
11. Pola Seksual dan Reproduksi
Sebelum sakit
: Pasien tidak ada masalah Seksual dan Reproduksi
Saat ini
: Pasien tidak ada masalah Seksual dan Reproduksi
12. Pola Nilai dan Kepercayaan
Sebelum sakit
: Pasien tidak ada masalah dalam melaksanakan Ibadah.
Saat ini
: Pasien tidak ada masalah dalam melaksanakan Ibadah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien bedrest di tempat tidur, keadaan tampak lemah, muka tegang, bibir kering, serta
kerapian diri kurang, pasien masih mampu menjawab pertanyaan dengan spontan dan
pasien tampak cemas dengan penyakit yang ia derita.
a. Tanda-tanda Vital
Tensi (TD)
Nadi
Pernafasan
Suhu
TB
BB

: 110/70 mmHg
: 100 x/menit
: 24 x/menit
: 38 C
: 100 cm
: 25 Kg

b. Tingkat Kesadaran
Kesadaran umum pasien tampak lemah dan kesadaran GCS Compos Mentis
(15) :
motorik : 5
verbal
:5
mata
:5
c. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan Kepala dan Rambut
Bentuk kepala : bulat, besar, simetris dan kulit kepala bersih.
Rambut
: pertumbuhan baik, hitam, tidak berbau.
Wajah
: bulat oval, struktur wajah simetris, Ekspresi wajah
tampak sering tegang
Kelainan lain
:d. Pemeriksaan Mata
Kelengkapan
: lengkap kanan dan kiri
Kesimetrisan
: kedua mata simetris dan tidak juling
Konjungtiva
: putih pucat

20

Seklera
Pupil

besar.
Kelainan lain
e. Pemerikaan Hidung
Tulang
Lubang
pendarahan
Cuping
Daging tumbuh
Kelainan lain
f. Pemeriksaan Telinga
Bentuk
Lubang

g.

h.

i.

j.

: putih
: reflek cahaya baik untuk mengecil dan melebar sama
:: normal, tidak ada pembengkakan
: tidak ada secret, tidak ada sumbatan, tidak ada
: bernafas normal, cuping tidak bergerak
: tidak ada polip
:: simetris
: sedikit ada serumen, tidak ada pendarahan, tidak ada

benda asing
Ketajaman
: normal
Ukuran
: sedang
Kelenturan
: normal, lentur
Kelainan lain
:Pemeriksaan Mulut
Keadaan bibir
: kering dan pucat
Gigi
: caries gigi tidak ada, gigi goyang tidak ada.
Gusi
: tidak ada pendarahan, tidak ada pembengkakan
Lidah
: Warna merah, sedikit kotor, tidak ada pendarahan
Kemempuan menelan : Menelan nyeri
Kemampuan membuka : Dapat membuka lebar
Kelainan lain
:Pemeriksaan Kulit
Kebersihan
: bersih
Kehangatan
: kulit terasa dingin dan pucat
Warna
: pucat
Tekstur
: halus
Tugor
: sedikit turun
Kelainan lain
:Pemeriksaan Dada
Bentuk dada
: simetris
Pernafasan
: frekuensi = 20 x / menit
Tanda kesulitan bernafas : tidak ada
Irama
: regular
Kelainan lain
:Pemeriksaan Jantung
Palpitasi
: tidak ada pulsasi

21

Ictus cordis
: normal
Pembesaran jantung
: tidak ada pembesaran (normal)
Auskultasi
:
o Bunyi jantung I : suara lub
o Bunyi jantung II : suara dub
Bunyi jantung tambahan : tidak ada bunyi
Suara bising
: tidak ada suara
o Frekuensi denyut jantung : 90 x/menit
Kelainan lain
:k. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: tidak ada distensi (kembung)
Benjolan
: normal
o Benjolan
: tidak ada benjolan
o Banyangan pembuluh darah
: tidak ada
o Auskultasi
: peristaltic usus

10

x/menit

(normal)

Palpasi
:
o Tanda nyeri tekan
: tidak ada
o Benjolan
: tidak ada
o Tanda acites
: tidak ada
o Hepar
: tidak teraba
o Lien
: tidak teraba
Kelainan lain
:l. Pemeriksaan Genetalia
BAK lancar
m. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran
: kompos metis (sadar penuh) GCS (15)
Tanda rangsangan otak : suhu normal 36,8 0 C, kepala tidak nyeri.
Saraf otak
: semua saraf berfungsi dengan baik (normal)
Reflek
: normal
Kelainan lain
: Nyeri menelan.
n. Pemeriksaan Status Mental
Kondisi emosi perasaan : menahan kesakitan
Orientasi
: pasien dapat berorientasi dengan diri sendiri,

orang lain dan lingkungan


Proses berfikir
: ingatan baik, dapat berfikir dengan baik, dapat

ambil keputusan dengan cepat, diajak bicara bisa sambung.


Persepsi
: persepsi klien kepada dirinya sendiri, orang lain,

lingkungan baik
Bahasa

: bahasa dan kata-kata yang digunakan jelas

mudah dimengerti
Kelainan lain

:-

22

D. DATA PENUNJANG
Pada tanggal 30 juli 2009 dilakukan pemeriksaan Laboratorium dengan hasil sebagai
berikut :
Jenis Pemeriksaan
Golongan Darah
Haemoglobin
Cloting Time
Bleeding Tme
Leukosit

Hasil
B Rhesus (+) Positif
12,8 gr%
2 menit
2 menit
11.000 mm3

Nilai Normal
12 15 gr%
2 5 menit
1 2 menit
4000 10.000 mm3

E. TERAPI MEDIS
Pasang infus RL
Puasa 8 jam sebelum operasi.
II. ASUHAN KEPERAWATAN INTRA ANESTESI PADA PASIEN
TONSILEKTOMY DENGAN TEHNIK ANESTESI UMUM
A. PENGKAJIAN
Operasi dilakukan pada tanggal 01 Agustus 2009 di OK 2 RSUD Kebumen, Pasien di
bawa ke ruang operasi di baringkan di meja operasi pada pukul 13.15 WIB dengan
posisi supinasi. Tanda-tanda vital : Tekanan darah 110/68 Mmhg, Nadi 100 x/menit,
Respirasi 24 x/menit, Suhu 36,8 0 C.
1. persiapan alat dan obat
a. Alat
- stethoscope
- Larigoscope,
- ETT no 5,5
- spuite 2 cc, 5 cc, 10, sesuai kebutuhan
- goudle/mayo sesuai ukuran
- plester
- mandrin
- fase mask sesuai ukuran.
- Ambubag
- mesin anestesi dan gas anestesi dihubungkan ,test fungsi dan kebocoran
- alat monitor

23

b. Obat-obat yang disediakan.


Obat obat premedikasi : SA, Pethidin, Diazepam
induksi :Ketamin 50 mg IV.
Obat pelumpuh otot : Suksinil kulin 30 cc.
Anti mual : ondansentron 1/2 ampul IV.
Analgesik non narkotik: Ketorolak 1 ampul IV
dan Gas anestesi inhalasi N2O + O2 + Halotan

2. persiapan intra operatif.


a. pasien ditidurkan dalam posisi supinasi
b. pasang monitor tekanan darah, saturasi O2 dan nadi
3. Prosedur anestesi umum
a. pasien ditidurkan dimeja operasi dengan posisi supinasi.
b. memakai sarung tangan.
c. anjurkan pasien untuk berdoa karena pembiusan akan segera dimulai.
d.

premedikasi dilakukan.

e. oksigenasi diberikan dengan menggunakan face mask.


f. obat induksi diberikan dilanjutkan dengan pemberian muscle relaksan.
g. setelah terjadi relaksasi dilakukan intubasi.
h. sambungkan ETT dengan konektor mesin anestesi.
i. gunakan stetoskop untuk mendengar masuknya gas keparu-paru apakah sudah
sama
j.

antara kiri dan kanan kemudian isi cuff.

fiksasi ETT dengan plester.

k. pemeliharaan anestesi dengan pemberiaan O2, N2O, dan gas anestesi sefofluran.

l. monitor tanda vital (tensi, nadi, sarkulasi oksigen)

24

I
II
III
IV
V
VI
VII

: TD. 111/62 mmHg, N. 90 x/menit, SpO2. 100 %


: TD. 104/66 mmHg, N. 89 x/menit, SpO2. 100 %
: TD. 110/60 mmHg, N. 92 x/menit, SpO2. 100 %
: TD. 112/65 mmHg, N. 90x/menit, SpO2. 100 %
: TD. 110/62 mmHg, N. 88x/menit, SpO2. 100 %
: TD. 110/60 mmHg, N. 88 x/menit, SpO2. 100 %
: TD. 115/63 mmHg, N. 95 x/menit, SpO2. 100 %

III. ASUHAN KEPERAWATAN POST ANESTESI PADA PASIEN


APPENDICTOMI DENGAN TEHNIK ANESTESI SPINAL

25

A. PENKAJIAN
An. B dipindahkan ke Recovery Room pukul 13.50 WIB.
a. Pengkajian Keperawatan pada pukul 13.50 WIB
1. Status tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/65 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respirasi
: 24 x/menit
Tidak tanpa sianosis, turgor baik, akral kulit hangat.
2. Kesadaran : Composmentis.
3. Posisi pasien Post Operasi dengan posisi miring / Posisi tonsil.
4. Aldrete Skore : 9
Karena nilai kesadaran pasien masih bernilai 1 (satu)
5. Insruksi Paska Operasi
- Posisi miring / posisi tonsil
- Berikan Oksigen 2 liter per menit.
- Observasi tanda-tanda vital setiap 10 menit pertama selama 1 jam,
- Perhatikan pendarahan
- Berikan es krim
V. ANALISA DATA
No
I

Analisa Data
DS = Pasien mengatakan belum

Problem
Cemas

Etiologi
Kurang pengetahuan

tahu Tentang proses /

masalah

akibat anestesi.

pembiusan/operasi

DO = ( Pre Anestesi )
-

Gelisah, wajah tegang,


keringat dingin. Os
menangis.

TD. 120/65 Mmhg

N. 100 X/menit

RR. 20X/menit Suhu

36,8 0 C

II

Resiko Aspirasi
DS =

Adanya sisa
pendarahan

DO = ( Intra Anestesi )
- Banyak sisa
pendarahan/bekuan darah,

26

secret / salivasi di oral.


- Pasien belum sadar
- SpO2 : 96 %
III

DS =

Bersihan jalan

DO = ( Post Anestesi )

napas tidak

Gelisah

Dispnea

Penurunan suara napas

Sianosis

Perubahan frekwensi

Adanya secret

efektif

nafas
-

Stridor

VI. IMPLEMENTASI
Dx
I

Tanggal
30 Juni 2009

Implementasi
Kaji tingkat kecemasan dengan observasi tanda-tanda

Pukul. 13.14 WIB

II

30 Juni 2009
Pukul. 13.35 WIB

III

30 Juni 2009
Pukul 13.45 wib

vital
T = 110/60 mmHg
N = 80 x / memnit
R = 18 x / menit
Orientasikan dengan tim anestesi dan kamar operasi.
Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan

dilakukan.
Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
Ajari tehnik relaksasi.
Kolaborasi untuk pemberian obat penenang.
Atur Posisi pasien
Pantau tanda-tanda aspirasi
Pantau tingkat kesadaran, reflek batuk, reflek muntah,

kemampuan menelan.
Pantau status paru-paru.
Bersihkan jalan napas.
Kolaborasi dengan dokter.
Atur posisi pasien
Pantau tanda-tanda tidak keefektifan dan pola napas

27

Ajarkan batuk efektif


Pantau respirasi dan stasus oksiginasi
Buka jalan napas.
Berikan oksiginasi antar tindakan suction.
Auskultasi suara napas

BAB IV
PEMBAHASAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI
DENGAN TEHNIK GENERAL ANESTESI
Diagnosa Keperawatan yang muncul pada pasien An. B antara lain :
1. Cemas berhubungan dengan Kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi

28

2. Resiko aspirasi berhubungan dengan adanya sisa perdarahan


3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret
Secara umum, dilakukan dengan anestesi endotrakea, Mengenai pemakaian
LMA, didapatkan beberapa abstrak yang mendukung penggunaannya sebagai alternatif
intubasi endotrakeal. Pendarahan dan sisa pendarahan / bekukan darah merupakan hal
yang perlu kita pantau dalam memberikan asuhan keperawatan, posisi miring / posisi
tosil dan pembersihan jalan napas merupakan hal efektif dalam pola dan frekwensi
napas pasien, maka perlunya perawatan di ruang pemulihan serta intruksi keperawatan
di ruang perawatan.
Pada Asuhan Keperawatan Anestesi belum banyak terdapat pada teori Asuhan
Keperawatan oleh karena itu keperawatan anestesi reanimasi masih perlu mengali lagi
kemungkinan asuhan keperawatan anestesi guna membangun keberhasilan dalam
keperawatan anestesi reanimasi.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan Asuhan Keperawatan Anestesi yang telah kami buat dan juga telah kami
implementasikan pada pasien. Maka kami dapat menyimpulkan bahwa hasil yang kami
peroleh telah sesuai dengan apa yang kami harapkan walaupun tidak sepenuhnya sesuai

29

dengan Asuhan Keperawatan yang ada menurut teori, tapi efektivitas Asuhan
Keperawatan yang telah dibuat telah terbukti dengan kesembuhan pasien atau
pemulihan dari pengaruh anestesi.
B. SARAN
Dari Asuhan Keperawatan Anestesi yang telah kami buat, kami menyarankan bagi
pembuat Asuhan Keperawatan Anestesi berikutnya agar lebih teliti dan akurat dalam
pengkajian agar diagnosa yang diangkat sesuai dengan keluhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands
SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6

Behrman, Richard E. (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta

Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.

Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment


for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane
Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

Catzel, Pincus. (1992). Kapita Selekta Pediatri. EGC : Jakarta.

Cody,D.dan Thane R. (1993). Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan.


GC : Jakarta

Doengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC : Jakarta

Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology


Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

Larizgoita I. Tonsillectomy:

scientific evidence, clinical practice and

uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999


-

Lynda Juall Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi VIII. EGC : Jakarta

30

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. FKUI. Jakarta.

Rizal Basjrah. Dr. (1986). Faringologi. Penerbit Alumni : Bandung

Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli
2007

31

Anda mungkin juga menyukai