Askep TA
Askep TA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid yang terletak pada
kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan belakang mulut. Tonsil berfungsi sebagai
mencegah agar infeksi tidak menyebar keseluruh tubuh dengan cara menahan kuman
memasuki tubuh melalui mulut, hidung dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang
tonsil mengalami peradangan. (Hembing, 2004)
Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas,
mulai dari mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya
aliran udara melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom apnea
terjadi minimal 30 kali selama 7 jamtidur. Disamping ukuran tonsil, luas orofaring
terutama jarak atara kedua dinding lateral faring cukup penting dalam menimbulkan
sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada pembesaran
tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau berkurang setelah
tonsilektomi. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai
saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil,
sebagai penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sebagian besar lagi menganjurkan
tonsilektomi segera. Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan bila di curigai
adanya keganasan seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya ulserasi.
(Hatmansjah, 2008) Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman,
namun hal ini bukan berarti merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaan. Di AS karena
kekhawatiran komplikasi tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di indonesia
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi pendek dan tehnik lebih
sulit.
Pada awal 1960 dan 1970an telah dilakukan 1-2 juta tonsilektomi, pada tahun
1996, diperkirakan 287.000 anak-anak dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi,
dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4 %) mengalami
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6 %) menjalani tonsilektomi saja.
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu
tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi
yang lebih utama adalah obstruksi saluran pernapasan dan hipertropi tonsil. Untuk
keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah
tidak diperdebatkan lagi(Anonim, 2004 )
B. RUANG LINGKUP
Penyusunan makalah ini membahas tentang Asuhan Keperawatan Anestesi Perioperatif
pada Pasien Appendictomi dengan Tehnik Spinal Anestesi mulai dari Pre Anestesi, Intra
Anestesi, Post Anestesi.
C. TUJUAN
1. Memenuhi tugas Praktek Klinik Keperawatan Anstesi dan Reanimasi.
2. Mahasiswa mengetahui tentang pemeriksaan Pre Anestesi pada tindakan
Appendiktomi, tindakan anestesi yang dilakukan dan komplikasi tindakan serta
pemulihan post anestesi.
3. Mahasiswa
mampu
memberikan
Asuhan
Keperawatan
Anestesi
pada
Tonsilektomi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. PENGERTIAN
Tonsilektomi adalah mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan. (Kamus
Kedokteran, 2000). Tonsilektomi merupakan pembedahan yang paling banyak
dan biasa dilakukan di bagian THT (Telinga, Hidung dan Tenggorok), oleh karena
itu sering dianggap sebagai pembedahan kecil saja. Tetapi bagaimanapun juga,
tonsilektomi adalah suatu pembedahan yang merupakan tindakan manipulasi yang
dapat menimbulkan trauma dengan risiko kerusakan jaringan. Komplikasi mulai
dari yang ringan bahkan sampai mengancam kematian atau gejala subyektif pada
pasien berupa rasa nyeri pasca bedah dapat saja terjadi. Tonsilitis merupakan
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi
beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga
disebabkan oleh virus, pada tonsilitis ada dua yaitu :
a. Tonsilitis Akut
b. Tonsilititis Kronis.
B. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis adalah virus dan bekteri sebagian besar disebabkan oleh
virus yang merupakan juga faktor predisposisi dari infeksi bakterial.
Golongan Virus :
-
Adenovirus
Virus echo
Virus influenza
Golongan Bakteri :
-
Streptococcus
Mycrococcus
C. PATOFISIOLOGI
Tonsilektomi atau lebih populer dikenal dengan istilah operasi amandel, telah dikenal
oleh masyarakat awam sejak dahulu, dan sejak diperkenalkan tonsilektomi dengan cara
Guillotine (1828), kecenderungan melakukan pembedahan ini untuk menyembuhkan
berbagai penyakit saluran napas atas semakin meningkat. Oleh karena hal di atas, terjadi
perbedaan batasan-batasan indikasi tonsilektomi yang umumnya berkisar pada jumlah
penyakit yang termasuk indikasi, skala prioritas dan indikasi mutlak atau relatif serta
terakhir frekuensi serangan tonsillitis pertahun yang merupakan indikasi tonsilektomi.
Indikasi yang umum pada saat ini adalah : (1) serangan tonsilitis berulang, atau tonsilitis
kronis, (2) sumbatan jalan napas atas karena pembesaran tonsil, (3) abses peritonsil, dan
(4) kecurigaan akan adanya keganasan. Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan
tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut
dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit
tenggorokan 4 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsillitis akut.
Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah
kuman patogen yang ditemukan pada permukaan tonsil tetapi ternyata, setelah
dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil pasca tonsilektomi, ditemukan jenis kuman
patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil
sebelum pemberian antibiotik. Patokan lain adalah carrier diphteri, tonsilitis kronik
sebagai fokal infeksi organ lain dan radang tuberkulosis servikal, karena diperkirakan
radang kronik tonsil akan memperberat penyakit ini. Pada tonsilitis kronik, kuman
patogen akan menetap di bagian dalam tonsil sehingga menyebabkan tonsil berubah
sebagai sarang kuman. Keadaan ini dapat menjadikan tonsil sebagai fokal infeksi bagi
timbulnya penyakit-penyakit lain di dalam tubuh seperti demam rematik atau
glomerulonefritis. Salah satu kuman patogen yang cukup berbahaya yang dapat
dijumpai pada tonsilitis kronik adalah streptokokus beta hemolitikus tipe A. Kuman ini
menghasilkan streptolisin 0 yang dapat merangsang terbentuknya anti streptolisin titer 0
(ASTO). Pembesaran tonsil pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas,
mulai dari mengorok waktu tidur sampai terjadi sleep apnea. Apnea adalah terhentinya
aliran udara melalui hidung atau mulut selama minimal 10 detik dan sindrom sleep
apnea adalah apnea yang terjadi minimal 30 kali selama 7 jam tidur. Di samping ukuran
tonsil, luas orofaring terutama jarak kedua dinding lateral faring cukup penting dalam
menimbulkan sumbatan jalan napas atas, sehingga sleep apnea dapat juga terjadi pada
pembesaran tonsil sedang. Gejala-gejala sumbatan umumnya menghilang atau
berkurang setelah tonsilektomi. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk
kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada
abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.Tindakan tonsilektomi untuk diagnosis dilakukan
bila dicurigai adanya keganasan seperti pembesaran tonsil unilateral atau adanya
ulserasi.Apabila satu atau dua tonsil meradang membesar sampai ketengah uvofaring
maka sebaiknya dilakukan tindakan pengangkatan tonsil atau disebut Tonsilektomi.
Pathway
Folikal
Maternal
Pembesaran Tonsil
Antibody
Tonsil Normal
G. INDIKASI
maka
luar
H. KONTRAINDIKASI
tonsilektomi
konvensional
atau
dalam
keadaan
yang
tidak
10
Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG
(bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan
darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di
tangan.
Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan
halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus
menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau
sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi
selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.
Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu
dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya
darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di
daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang
pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.
terjagabebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga dapat dilakukan saat
pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa
mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.
11
Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih
rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah
mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.
Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga dapat
diberikan antiemetik sebagai pencegahan.
Perdarahan pascatonsilektomi
-
Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang
tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada
waktu
induksi
anestesi
untuk
re-operasi.
Pengosongan
lambung
dengan
Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif
akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas
besar dan compliance paru rendah.
Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko
yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan
per individu.
Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi
12
Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea,
di
ruang
pemulihan
untuk
meminimalkan
komplikasi
selain
untuk
memaksimalkan efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang
menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang
telah diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama
observasi optimum sebelum pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama
minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan
dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah
tim. Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan
anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat
meminimalkan efek komplikasi yang timbul.
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi
respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi
pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit
untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.
13
Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan
sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang
dimodifikasi:
-
Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi
pernapasan
0= apneu
Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20%
nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 5020% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang
dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk
mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
14
Perawatan postoperasi
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara
jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral
secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai
pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien
sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang
jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi
randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya
nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika
yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya
penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut
atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus
diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus
dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat anti nyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia
yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu
juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien
harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi
keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.
L. KOMPLIKASI ANESTESI
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan
status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
15
Laringospasme
Mual muntah
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus
atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus
nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah
operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan
elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik cold diseksi dan
teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang
meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
Komplikasi lainnya anatara lain : Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan
terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
16
BAB III
ASKEP
(Asuhan Keperawatan)
A. ASUHAN KEPERAWATAN PRE ANESTESI PADA PASIEN
TONSILEKTOMI DENGAN TEHNIK ANESTESI UMUM
Pengkajian dimulai tanggal
30 JULI 2009
01 AGUSTUS 2009
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS KLIEN
Nama klien
: An. W
Umur
: 15 tahun
Jenis kelamin
: Laki
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Belum kawin
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
Tgl. Masuk RS
: 29 Juli 2009
No. RM
: 170905
2. STATUS KESEHATAN
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah menderita panyakit yang sama.
Dalam keluarga pasien yang tidak mempunyai penyakit sama dengan pasien.
Pasien mengatakan sakit / nyeri pada bagian tenggorokan pada saat menelan dan badan
panas.Suhu : 38 0C Hal ini sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu.
17
Keterangan :
:
( wanita )
( pria )
Pasien
18
Sebelum sakit
teratur jamnya, minum 5-6 gelas perhari air putih dan susu sehari 1 kali.
Saat ini
: Makan pada awal sakit selama 2 hari tidak mau makan
mandiri
Saat ini
tangan) dibersihkan keluarga pagi dan sore, gosok gigi tidak mampu, hanya
berkumur saja.
8. Pola Psikologis
Sebelum sakit
Saat ini
dapat
berhubungan/berkomunikasi
dengan
19
Saat ini
menghitung, daya ingat juga baik, berinteraksi agak kurang dengan orangorang yang berada di sebelahnya.
11. Pola Seksual dan Reproduksi
Sebelum sakit
: Pasien tidak ada masalah Seksual dan Reproduksi
Saat ini
: Pasien tidak ada masalah Seksual dan Reproduksi
12. Pola Nilai dan Kepercayaan
Sebelum sakit
: Pasien tidak ada masalah dalam melaksanakan Ibadah.
Saat ini
: Pasien tidak ada masalah dalam melaksanakan Ibadah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien bedrest di tempat tidur, keadaan tampak lemah, muka tegang, bibir kering, serta
kerapian diri kurang, pasien masih mampu menjawab pertanyaan dengan spontan dan
pasien tampak cemas dengan penyakit yang ia derita.
a. Tanda-tanda Vital
Tensi (TD)
Nadi
Pernafasan
Suhu
TB
BB
: 110/70 mmHg
: 100 x/menit
: 24 x/menit
: 38 C
: 100 cm
: 25 Kg
b. Tingkat Kesadaran
Kesadaran umum pasien tampak lemah dan kesadaran GCS Compos Mentis
(15) :
motorik : 5
verbal
:5
mata
:5
c. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan Kepala dan Rambut
Bentuk kepala : bulat, besar, simetris dan kulit kepala bersih.
Rambut
: pertumbuhan baik, hitam, tidak berbau.
Wajah
: bulat oval, struktur wajah simetris, Ekspresi wajah
tampak sering tegang
Kelainan lain
:d. Pemeriksaan Mata
Kelengkapan
: lengkap kanan dan kiri
Kesimetrisan
: kedua mata simetris dan tidak juling
Konjungtiva
: putih pucat
20
Seklera
Pupil
besar.
Kelainan lain
e. Pemerikaan Hidung
Tulang
Lubang
pendarahan
Cuping
Daging tumbuh
Kelainan lain
f. Pemeriksaan Telinga
Bentuk
Lubang
g.
h.
i.
j.
: putih
: reflek cahaya baik untuk mengecil dan melebar sama
:: normal, tidak ada pembengkakan
: tidak ada secret, tidak ada sumbatan, tidak ada
: bernafas normal, cuping tidak bergerak
: tidak ada polip
:: simetris
: sedikit ada serumen, tidak ada pendarahan, tidak ada
benda asing
Ketajaman
: normal
Ukuran
: sedang
Kelenturan
: normal, lentur
Kelainan lain
:Pemeriksaan Mulut
Keadaan bibir
: kering dan pucat
Gigi
: caries gigi tidak ada, gigi goyang tidak ada.
Gusi
: tidak ada pendarahan, tidak ada pembengkakan
Lidah
: Warna merah, sedikit kotor, tidak ada pendarahan
Kemempuan menelan : Menelan nyeri
Kemampuan membuka : Dapat membuka lebar
Kelainan lain
:Pemeriksaan Kulit
Kebersihan
: bersih
Kehangatan
: kulit terasa dingin dan pucat
Warna
: pucat
Tekstur
: halus
Tugor
: sedikit turun
Kelainan lain
:Pemeriksaan Dada
Bentuk dada
: simetris
Pernafasan
: frekuensi = 20 x / menit
Tanda kesulitan bernafas : tidak ada
Irama
: regular
Kelainan lain
:Pemeriksaan Jantung
Palpitasi
: tidak ada pulsasi
21
Ictus cordis
: normal
Pembesaran jantung
: tidak ada pembesaran (normal)
Auskultasi
:
o Bunyi jantung I : suara lub
o Bunyi jantung II : suara dub
Bunyi jantung tambahan : tidak ada bunyi
Suara bising
: tidak ada suara
o Frekuensi denyut jantung : 90 x/menit
Kelainan lain
:k. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: tidak ada distensi (kembung)
Benjolan
: normal
o Benjolan
: tidak ada benjolan
o Banyangan pembuluh darah
: tidak ada
o Auskultasi
: peristaltic usus
10
x/menit
(normal)
Palpasi
:
o Tanda nyeri tekan
: tidak ada
o Benjolan
: tidak ada
o Tanda acites
: tidak ada
o Hepar
: tidak teraba
o Lien
: tidak teraba
Kelainan lain
:l. Pemeriksaan Genetalia
BAK lancar
m. Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran
: kompos metis (sadar penuh) GCS (15)
Tanda rangsangan otak : suhu normal 36,8 0 C, kepala tidak nyeri.
Saraf otak
: semua saraf berfungsi dengan baik (normal)
Reflek
: normal
Kelainan lain
: Nyeri menelan.
n. Pemeriksaan Status Mental
Kondisi emosi perasaan : menahan kesakitan
Orientasi
: pasien dapat berorientasi dengan diri sendiri,
lingkungan baik
Bahasa
mudah dimengerti
Kelainan lain
:-
22
D. DATA PENUNJANG
Pada tanggal 30 juli 2009 dilakukan pemeriksaan Laboratorium dengan hasil sebagai
berikut :
Jenis Pemeriksaan
Golongan Darah
Haemoglobin
Cloting Time
Bleeding Tme
Leukosit
Hasil
B Rhesus (+) Positif
12,8 gr%
2 menit
2 menit
11.000 mm3
Nilai Normal
12 15 gr%
2 5 menit
1 2 menit
4000 10.000 mm3
E. TERAPI MEDIS
Pasang infus RL
Puasa 8 jam sebelum operasi.
II. ASUHAN KEPERAWATAN INTRA ANESTESI PADA PASIEN
TONSILEKTOMY DENGAN TEHNIK ANESTESI UMUM
A. PENGKAJIAN
Operasi dilakukan pada tanggal 01 Agustus 2009 di OK 2 RSUD Kebumen, Pasien di
bawa ke ruang operasi di baringkan di meja operasi pada pukul 13.15 WIB dengan
posisi supinasi. Tanda-tanda vital : Tekanan darah 110/68 Mmhg, Nadi 100 x/menit,
Respirasi 24 x/menit, Suhu 36,8 0 C.
1. persiapan alat dan obat
a. Alat
- stethoscope
- Larigoscope,
- ETT no 5,5
- spuite 2 cc, 5 cc, 10, sesuai kebutuhan
- goudle/mayo sesuai ukuran
- plester
- mandrin
- fase mask sesuai ukuran.
- Ambubag
- mesin anestesi dan gas anestesi dihubungkan ,test fungsi dan kebocoran
- alat monitor
23
premedikasi dilakukan.
k. pemeliharaan anestesi dengan pemberiaan O2, N2O, dan gas anestesi sefofluran.
24
I
II
III
IV
V
VI
VII
25
A. PENKAJIAN
An. B dipindahkan ke Recovery Room pukul 13.50 WIB.
a. Pengkajian Keperawatan pada pukul 13.50 WIB
1. Status tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/65 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respirasi
: 24 x/menit
Tidak tanpa sianosis, turgor baik, akral kulit hangat.
2. Kesadaran : Composmentis.
3. Posisi pasien Post Operasi dengan posisi miring / Posisi tonsil.
4. Aldrete Skore : 9
Karena nilai kesadaran pasien masih bernilai 1 (satu)
5. Insruksi Paska Operasi
- Posisi miring / posisi tonsil
- Berikan Oksigen 2 liter per menit.
- Observasi tanda-tanda vital setiap 10 menit pertama selama 1 jam,
- Perhatikan pendarahan
- Berikan es krim
V. ANALISA DATA
No
I
Analisa Data
DS = Pasien mengatakan belum
Problem
Cemas
Etiologi
Kurang pengetahuan
masalah
akibat anestesi.
pembiusan/operasi
DO = ( Pre Anestesi )
-
N. 100 X/menit
36,8 0 C
II
Resiko Aspirasi
DS =
Adanya sisa
pendarahan
DO = ( Intra Anestesi )
- Banyak sisa
pendarahan/bekuan darah,
26
DS =
Bersihan jalan
DO = ( Post Anestesi )
napas tidak
Gelisah
Dispnea
Sianosis
Perubahan frekwensi
Adanya secret
efektif
nafas
-
Stridor
VI. IMPLEMENTASI
Dx
I
Tanggal
30 Juni 2009
Implementasi
Kaji tingkat kecemasan dengan observasi tanda-tanda
II
30 Juni 2009
Pukul. 13.35 WIB
III
30 Juni 2009
Pukul 13.45 wib
vital
T = 110/60 mmHg
N = 80 x / memnit
R = 18 x / menit
Orientasikan dengan tim anestesi dan kamar operasi.
Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan
dilakukan.
Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
Ajari tehnik relaksasi.
Kolaborasi untuk pemberian obat penenang.
Atur Posisi pasien
Pantau tanda-tanda aspirasi
Pantau tingkat kesadaran, reflek batuk, reflek muntah,
kemampuan menelan.
Pantau status paru-paru.
Bersihkan jalan napas.
Kolaborasi dengan dokter.
Atur posisi pasien
Pantau tanda-tanda tidak keefektifan dan pola napas
27
BAB IV
PEMBAHASAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI
DENGAN TEHNIK GENERAL ANESTESI
Diagnosa Keperawatan yang muncul pada pasien An. B antara lain :
1. Cemas berhubungan dengan Kurang pengetahuan masalah pembiusan/ operasi
28
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan Asuhan Keperawatan Anestesi yang telah kami buat dan juga telah kami
implementasikan pada pasien. Maka kami dapat menyimpulkan bahwa hasil yang kami
peroleh telah sesuai dengan apa yang kami harapkan walaupun tidak sepenuhnya sesuai
29
dengan Asuhan Keperawatan yang ada menurut teori, tapi efektivitas Asuhan
Keperawatan yang telah dibuat telah terbukti dengan kesembuhan pasien atau
pemulihan dari pengaruh anestesi.
B. SARAN
Dari Asuhan Keperawatan Anestesi yang telah kami buat, kami menyarankan bagi
pembuat Asuhan Keperawatan Anestesi berikutnya agar lebih teliti dan akurat dalam
pengkajian agar diagnosa yang diangkat sesuai dengan keluhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands
SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6
Belden MD. THT : www. emedicine. com. Last Updated 24 Juni 2003.
Larizgoita I. Tonsillectomy:
Lynda Juall Carpenito. (2000). Diagnosa Keperawatan. Edisi VIII. EGC : Jakarta
30
Saten S. Chalazion. Taken From : www. emedicine. com. Last Updated : 5 Juli
2007
31