Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Berbicara masalah kewarisan, bahwa kewarisan merupakan salah satu masalah


penting dalam kehidupan manusia. Kewarisan bisa timbul karena adanya tiga hal.
Pertama adanya orang yang meninggal dunia, yang disebut dengan pewaris, Kedua,
adanya harta peninggalan, yang merupakan harta kekayaan si pewaris. Sedangkan
yang ketiga, adanya orang yang menerima harta warisan tadi, yang disebut dengan
ahli waris. Adanya pewarisan berarti adanya perpindahan perekonomian, berupa harta
benda dari si pewaris kepada ahli waris.

Sementara itu terlebih dulu harus dilihat definisi dari hukum kewarisan. Hukum
kewarisan menurut Prof. Subekti adalah serangkaian peraturan yang mengatur
mengenai sebab-sebab perpindahan harta kekayaan manusia dari orang yang telah
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

Di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, ada beberapa sistem


kewarisan yang berlaku. Yang tertua adalah sistem kewarisan menurut hukum adat.
VanVollenhoven membagi Indonesia menjadi sembilan belas daerah hukum adat.
Sistem kewarisan menurut hukum adat ini bisa berbeda-beda antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Ada sistim kewarisan yang individual dan ada sistim
kewarisan yang kolektif. Sistem kewarisan kolektif terbagi dua yaitu sistem
kewarisan kolektif murni dan sistem kewarisan mayorat. Sistim kewarisan inidvidual
dapat kita temui pada masyarakat yang tidak berklan seperti di Jawa. Sementara
sistem kewarisan kolektif murni kita temui pada masayarakat berklan misalnya
Minangkabau, Batak, dan Lampung.

Sistem kewarisan kedua yang masuk di Indonesia adalah sistim kewarisan Islam,
yang muncul seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Sistem kewarisan
2

Islam yang merupakan salah satu elemen penting dari syariat Islam mulai
berkembang dan diterima di Inonesia dengan perantaraan para muballig yang
senantiasa menyebarkan agama Islam. Sistem kewarisan yang ketiga adalah sistem
kewarisan menurut Hukum Perdata Barat, yang berpedoman pada Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketiga sistem
hukum kewarisan di atas semuanya mempunyai karakteristik sendiri-sendiri .

Hukum Kewarisan Islam yang saat ini berlaku di Indonesia, mempunyai beberapa
mazhab atau ragam peraturan. Yang pertama adalah mazhab dari Ahlu Sunnah Wal
Jamaah, atau lebih dikenal dengan ajaran patrilineal Syafi’i, mengingat penduduk
Indonesia sebagian besar bermazhab Syafi’i. Pada mazhab ini hukum kewarisan
Islam mengambil sumber selain dari Al-Qur;an juga mengambil lewat sumber-
sumber Hadits Rasul. Yang kedua adalah mazhab atau aliran Prof. Hazairin, guru
besar Fakultas Hukum UI, yang terkenal dengan bukunya Hukum Kewarisan
Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, yang membawa suatu perubahan besar dalam
bidang hukum kewarisan Islam.

B. Rumusan Masalah.
Yang menjadi rumusan masalah dari pembaghasan ini adalah :
Bagaimanakah sistem kewarisan menurut pemikiran Hazairin ?
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI Dr. HAZAIRIN, S.H


Hazairin merupakan seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat pertama

dari kalangan putra Indonesia. Ia termasuk salah seorang nasionalis dan intelektual

muslim Indonesia yang berpendidikan barat (Belanda). Nama langkapnya adalah :

“Prof.Dr.Hazairin. Gelar Pangeran Alamsyah Harahap, S.H”1

Gelar kehormatan akademik adalah “Profesor” diberikan oleh Senat Guru

Besar Universitas Indonesia atas prestasinya di kedua bidang hukum yakni hukum

Islam dan hukum adat, dengan keahlian guru besar Hukum Adat dan hukum Islam

pada fakultas hukum Universitas Indonesia. Penganugerahan profesor diberikan

padanya tahun 1952.2 Sedangkan gelar Pageran Alamsyah Harahap” diberikan atas

jasanya yang peduli terhadap adat istiadat Tapanuli Selatan, ketika ia ditugaskan

pemerintah Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Padangsidempuan dengan tugas

tambahan sebagai peneliti hukum adat disana.3 Bukti lain dari kepedulian terhadap

adat istiadat Tapanuli Selatan ini dituangkan dalam karyanya seperti : De Redjang

(disertasi doktornya, 1936), De Gevolgen van de Huwelijksontbiding in Zuid

Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan, 1941), dan

1
Tim Ensiklopedi, editor Bahasa: Nina M.Armado, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Van
Hoeve, 2005),hal.13
2
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, hal.380
3
Tim Ensiklopedi, editor Bahasa: Nina M.Armado, Op-Cit.
4

Reorganisatie Van het Rechtswesen In Zuid Tapanulis. (Reorganisasi Hukum di

Tapanuli Selatan).4

Hazairin berketurunan atau berdarah Versia. Ia dilahirkan pada tanggal 28

November 1906 di Bukit Tinggi Sumatera Barat. Ayahnya bernama Zakaria Bahar,

seorang guru berasal dari Bengkulu. Kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang

Muballigh terkenal pada zamannya. Ibunya berasal dari Minangkabau, etnis yang

terkenal taat pada ajaran agama Islam. Itulah sebabnya Hazairin tumbuh dalam

lingkungan yang penuh dengan bimbingan keagamaan, terutama dari kakeknya

sendiri. Pendidikan agama inilah yang membentuk sikap keagamaan yang demikian

kuat dalam menempuh perjalanan karir dan hidupnya serta mewarnai pemikirannya

meskipun secara formal ia banyak menuntut ilum di lembaga pendidikan Hindia

Belanda5. Pendidikan formal Hazairin pertama di HIS (Holllands Inlnadsche School)

di Bengkulu dan tamat pada tahun 1920; ia lalu melanjutkan pendidikan di MULO

(Meer Uit breid Lagere Onderwijs) di Padang dan tamat pada 1927; berikutnya di

RHS (Rechkundige) Hoogeschool/Sekolah Tinggi Ilmu Hukum), jurusan hukum adat

di Batavia (Jakarta) hingga mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten) pada tahun

1935. Setahun kemudian ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul De

Redjang (Mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu).6 Di samping belajar

pendidikan umum, ia juga belajar bahasa Arab, terutama dari kakeknya dan untuk

lebih lanjut mempelajari ajaran Islam ia belajar sendiri. Ia menguasai bahasa Belanda,

Inggris, dan Prancis secara aktif. Ia menguasai bahasa Arab, jerman dan latin secara
4
Tim Ensiklopedi, Editor Bahasa, Abdul Azizi Dahlan, hal.538.
5
Baca Tim Ensiklopedi, Editor Bashasa: Nina M.Armado, Loc.Cit dan baca pula Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Loc.Cit.
6
Tim Ensiklopedi, Editor Bahsa, Abdul Azis, Op-Cit,hal.537.
5

pasif.7 Karir Hazairin di Indonesia telah ia tekuni dalam beberapa bidang profesi,

misalnya bidang pendidikan, bidang birokrasi dan bidang politik, hal ini

mencerminkan kesibukan seseorang yang mengabdi pada kemajuan bangsa

Indonesia. Berdasarkan bidang tersebut, ia mengawali karir di bidang pendidikan,

sebagai asisten Dosen Hukum Adat dan Etnologi (antropologi) pada Fakultas Hukum

Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta) tahun 1935 sampai dengan 1938. Pada

tahun 1950 ia mendirikan Yayasan Wakaf perguruan Tinggi Islam jakarta, yang

kemudian diubah namanya menjadi Yayasan Universitas Islam Jakarta. Pada tahun

itu juga ia dipercaya sebagai Ketua Yayaysan sekaligus sebagai rektornya sampai

dengan 1960. Sejak 1960 hingga wafatnya, Hazairin tercata sebagai anggota Dewan

Kantor IAIN Syarif Hidayatullah jakarta. Pada tahun 1962, ia ikut membidani

lahirnya Majelis Ilmiyah Islamiyah yang diketuainya. Sebagai guru besar hukum adat

dan hukum Islam, Hazairin tercatat mengajar pada Universitas Indonesia (UI),

Universitas Islam Jakarta (UIJ), Akademi Hukum Militer (AHM), Pendidikan Tinggi

Ilmu Kepolisian (PTIK). Sehingga ia lebih dikenal sebagai seorang ilmuan dalam

bidang pendidikan dari pada bidang politik yang pernah ia lakoni. 8 Karirnya di bidang

birokrasi, 1938 setelah lulus ujian, ia diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda

sebagai pegawai yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri

Padangsidempuan, Sumatera Utara sekaligus pada kerisedanan Tapanuli, tugas

tambahan yang ia emban adalah sebagai peneliti hukum adat Tapanuli Selatan dari

tahun 1938 sampai 1942. Pada Oktober 1945 sampai April 1945 ia menjabat sebagai

7
Ibid.
8
Baca Tim Ensiklopedi, Editor Bahasa, Abdul Azis Dahlan, Op-Cit, hal.538, Tim
Ensiklopedi, Editor Bahasa, Nina M. Armando, Op-Cit, hal.14.
6

Ketua Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan (Ketua Pengadilan Negeri pertama setelah

kemerdekaan), merangkap ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) dan anggota Pusat

Pemerintahan Tapanuli. Tahun 1946 ia sempat diangkat menjadi residen Bengkulu

(1946-1950), merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan hingga tahun

1953. tahun 1953 ia ditarik ke Jakarta untuk menjabat sebagai Kabag hukum perdata/

Sipil pada Kementerian Kehakiman. Dari Agustus 1953 sampai dengan Oktober 1945

ia diangkat sebagai Mnteri Dalam Negeri dalam Kabinet Santroamidjojo-

Wongsosuseno-Muhammad Roem. Seteleh berhenti sebagai menteri. Ia diangkat

sebagai pejabat tinggi yang diperbantukan pada kementerian kehakiman (hingga

1959) dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan sebagai guru besar

ilmu hukum diberbagai Peguruan Tinggi.9 Ketokohan Hazairin dalam bidang politik,

dalam masa pendudukan/fesisimen Jepang 1945, Hazairin pernah menjadi anggota

gerakan bawah tanah suatu organisasi rahasia di kalangan pemuda pergerakan yang

bertujuan mengusir penjajah tanah air, anggotanya baik terdiri dari para pemuda baik

yang bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air) ataupun bukan. Pada masa

perang kemerdekaan 1945 sampai 1949 Hazairin bergabung dengan tentara pelajar.

Tahun 1946 ia menjadi Komandan Bridge Tentara pelajar di Kalimantan. Aktifitas

politik lainnya, hazairin ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR),

pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketua PIR adalah Wongsonegoro dan

Hazairin duduk sebagai wakil ketua I. Di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara

sebelum diadakan pemilihan umum (pemilu) pertama, PIR mempunyai tiga orang

9
Ibid.
7

wakil yaitu wongsonegoro, Roosseno dan Hazairin. Dalam kedudukannya sebagai

salah seorang pemimpin PIR itulah Hazairin duduk dalam kabinet Ali-Wongso-

Roem sebagai menteri dalam negeri dengan tugas utama mempersiapkan pemilihan

umum pertama. Pemilihan umum terlaksana pada tahun 1955 setelah Hazairin tidak

lagi menjabat menteri dalam negeri. Dalam pemilu pertama tersebut PIR menjadi

dua ; ada PIR Hazairin/Tajuddin dan ada PIR Wongsonegoro. Perpecahan ini terjadi

jauh-beberapa tahun-sebelum pemilihan umum pertama dilaksanakan. Hazairin

memutuskan diri untuk mundur dalam kancah dunia perpolitikan praktis, ia

mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia ilmu, sebagai guru besar hukum adat

dan hukum Islam.10 Hazairin wafat pada tanggal 12 desember 1975 di Jakarta

dikebumikan dengan suatu upacara militer di Taman Makam Pahlawan kalibata

Jakarta. Atas jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya Bintang Satya

lencana Widya Satia, Bintang Gerilya, Bayangkara kelas III dan Bintang Kartika Eka

Paksi kelas III. Namanya diabadikan pada Universitas Hazairi (UNIHAZ) di

Bengkulu.11 Hazairin termasuk penulis yang produktif, setidaknya mewariskan 17

karya. Diantaranya adalah dalam bidang hukum seperti ; De Redjang (disertasi

doktornya, 1936). De Gevolgen Van de Huwwelijksontbiding In Zuid tapanuli

selatan). Dalam hukum Islam dan hukum adat, yaitu : Pergolakan Penyesuaian Adat

kepada hukum Islam (1952), Hukum Keluarga nasional 1962), Hukum Kewarisan

Bilateral menurut Al-Qur’an dan Hadits (1958), Hendak Ke Mana Hukum Islam

(1960), Hadits Kewarisan dan Sistem Bilateral, Indonesia Satu Masjid dan

10
Ibid.
11
Ibid.
8

Perdebatan dalam Seminar hukum Nasional tentang Faraidh. Gagasan dalam bidang

hukum pidana Islam dan keinginan untuk berlakunya hukum pidana Islam di

Indonesia dapat dilihat pada; Hukum Pidana Islam ditinjau dari segi-segi, dasar-dasar

dan asas-asas tat Hukum nasional, demokrasi Pancasila (1970), Negara tanpa

Penjara.12 Buku yang diterbitkan seperti : Tujuh serangkai tentang hukum (1973),

merupakan kumpulan tulisannya, yaitu: Negara Tanpa Penjara, Sekelumit persangkut

Pautan Hukum Adat, Fungsi dan Tujuan Pembinaan Hukum dalam Negara RI yang

demokrasi dan berdasarkan hukum, hukum baru di Indonesia dan Imu Pengetahuan

Islam dan Masyarakat. Karya yang terakhir adalah Tinjauan mengenai UU

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.13

B. Sistem Kewarisan Menurut Hazairin

12
Ibid.
13
Tim Ensiklopedi, Editor Bahasa, Abdul Aizs Dahlan, Ibid.
9

Menurut Hazairin, sistem kewarisan tidak dapat dilepaskan dari bentuk


kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan berpangkal pada sistem keturunan yang
dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan. Pada prinsipnya ada tiga macam sistem
keturunan, yaitu patrilineal14, matrilineal15, dan parental atau bilateral.16 Prinsip
patrilineal atau matrilineal akan melahirkan kesatuan kekeluargaan yang disebut
dengan klan atau marga. Sedang prinsip bilateral, di sebagian masyarakat–seperti
Jawa–tidak melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu dan di sebagian yang lain
melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu yang disebut dengan rumpun (tribe).

Berdasar pada tiga macam sistem keturunan itu, Hazairin menyimpulkan:

Jika disebut suatu masyarakat itu patrilineal atau matrilineal atau bilateral,
maka yang dimaksud ialah sistem kekeluargaan dalam masyarakat itu berdasarkan
sistem keturunan yang patrilineal atau matrilineal atau bilateral.

Jika disebut sesuatu hukum kewarisan itu patrilineal atau matrilineal atau
bilateral, maka yang dimaksud ialah bahwa hukum kewarisan itu mencerminkan
suatu sistem kekeluargaan, dimana berlaku sistem keturunan yang patrilineal atau
matrilineal atau bilateral17.

Selain itu, bentuk masyarakat yang patrilineal dipertahankan dengan bentuk


perkawinan yang disebut eksogami, yaitu larangan kawin antara laki-laki dan

perempuan yang satu klan. Selanjutnya, Hazairin membawa kenyataan tentang sistem
keturunan dan ciri-cirinya itu kepada al-Qur’ân untuk menentukan bagaimana bentuk
14
Yaitu prinsip keturunan yang setiap orang selalu menghubungkan dirinya hanya kepada
ayahnya dan seterusnya menurut garis laki-laki. Jika penarikan garis keturunan itu mutlak, maka
disebut patrilineal murni, seperti dalam masyarakat Batak. Jika penarikan tersebut tidak mutlak,
kepada ayahnya atau ibunya, maka disebut patrilinela yang beralih-alih, seperti dalam masyarakat
Rejang dan Lampung. Hazairin, Hukum Kewarisan,hlm. 9.
15
Yaitu menghubungkan dirinya hanya kepada ibunya dan karena itu hanya menjadi anggota
klan ibunya itu, misalnya masyarakat Minangkabau. Ibid.
16
Yaitu menghubungkan dirinya baik kepada ibunya maupun kepada bapaknya. Ibid.
17
Ibid. hlm. 9-10.
10

kekeluargaan menurut al-Qur’ân. .

Paling tidak, menurut Hazairin, terdapat tiga landasan teologis normatif, yang
menyatakan bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’ân adalah sistem
bilateral, antara lain: Pertama, apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan,
akan ditemukan adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang
bersaudara sepupu. Sebagaimana ayatnya berbunyi :

  


  


  
  
 

  
 

 
  
  
   
   
   
 
   
  
   
    
    
 
  
  
11

   


   
  
 
   
 
  
   
  
  
   
   

Artinya : “Diharmkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-
anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 23)

Artinya : “Diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang


bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283]
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
12

menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha


mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Pada prinsipnya Al-Qur’ân cenderung kepada sistem kekeluargaan yang


bilateral. Kedua, surat an-Nisâ’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik
laki-laki maupun prempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Sebagaiman
ayatnya berbunyi :

  


   
    
   
 
    
  
   
  
   
    
   
 
   
  
   
   
   
 
  
   
     
  
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
13

seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua


orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ini merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada


prinsipnya hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem
matrilineal, hanya anak perempuan yang berhak. Ketiga, surat an-Nisâ’ ayat 12 dan
176 menjadikan saudara bagi semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli
waris.18

Ayat 12 Surat An-Nisa’ berbunyi sebagai berikut :

    


   
    
  
   
   
    
  
     
   
  
   
   
    
  
   
18
Ibid. hlm. 11-12.
14

  


   
  
   
   
   
    
    
  
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.

Ayat 176 Surat An-Nisa’ berbunyi sebagai berikut :

  


 
  
  
15

   


    
   
    
 
  
   
  
  
  
    
   

Artinya : : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)
[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ternyata, kesimpulan yang ditarik oleh Hazairin bahwa ayat-ayat al-Qur’ân


mengarah kepada sistem bilateral tidaklah cukup. Pertanyaan lanjutan yang muncul
adalah sistem kewarisan bilateral macam apakah yang ditetapkan oleh al-Qur’ân.
Langkah berikutnya yang dibutuhkan, menurut Hazairin, adalah harus dicari
perbandingannya dengan masyarakat yang bilateral.

Oleh karena itu, Hazairin juga menjelaskan bahwa terdapat tiga sistem kewarisan
di Indonesia, yaitu pertama, sistem kewarisan individual, yang cirinya harta warisan
16

dapat dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris, kedua, sistem kewarisan


kolektif, yang cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris
(secara bersama-sama) yang merupakan semacam badan hukum, yang tidak boleh
dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris dan hanya boleh dibagikan
pemanfaatan kepada mereka, dan ketiga, sistem kewarisan mayorat, yang cirinya
hanya anak tertua pada saat meninggalnya pewaris yang berhak mewarisi harta
warisan atau sejumlah harta pokok dari suatu keluarga.19

Dari ketiga sistem kewarisan tersebut, dalam pandangan Hazairin, yang


pertamalah yang sesuai dengan al-Qur’ân. Sistem ini berpendirian bahwa dengan
matinya si pewaris dengan sendirinya hak milik atas harta-hartanya itu berpindah
kepada ahliwaris-ahliwarisnya. Sistem ini juga menghendaki bahwa pada saat
matinya si pewaris itu, telah dapat diketahui dengan pasti siapa ahli warisnya atau
setidaknya telah wajib diketahui pada saat dibagi.20
Sedangkan dalam al-Qur’ân, terdapat beberapa ayat yang secara substantif
mengandung unsur-unsur sistem individual. Surat an-Nisâ’ ayat 7 dan 33
mengandung prinsip-prinsip bagi sistem kewarisan yang individual, yaitu adanya
ahliwaris yang berhak atas suatu bagian yang pasti (nashîban mafrûdhan); ayat 8
sengaja menyebut bagiannya; dan ayat 11, 12, 176 menentukan bagian-bagian untuk
ahliwaris. Dengan demikian, Hazairin berkesimpulan bahwa sistem kewarisan
menurut al-Qur’ân itu termasuk jenis yang individual bilateral.
Jika kesimpulan Hazairin tentang kecenderungan bilateral dalam al-Qur’ân itu
sebagai anti-tesa terhadap pendapat ulama’ Sunni yang lebih cenderung kepada
sistem patrilineal, maka menurut reviewer kesimpulan itu menjadi bias. Pasalnya,
ulama’ fiqh sejak dulu sepakat bahwa orang yang bersaudara sepupu diizinkan untuk
saling kawin. Mengenai kewarisan pun para ulama’ sepakat bahwa anak laki-laki dan
perempuan serta semua saudara adalah ahli waris. Dengan demikian kriteria bilateral
yang dibuat Hazairin berlaku juga terhadap pendapat ulama’ ini. Dalam hal ini,

19
Ibid. hlm. 13.
20
Ibid. hlm. 14.
17

reviewer sepakat dengan pendapat Al Yasa21 yang mengatakan bahwa pendapat


Hazairin lebih bilateral daripada pendapat ulama’ fiqh atau pendapat ulama’ fiqh
lebih patrilineal daripada pendapat Hazairin. Inilah kritik reviewer yang pertama.

Kedua, mengenai benteng untuk mempertahankan bentuk masyarakat patilineal


atau matrilineal dengan perkawinan eksogami. Hazairin tidak menyebut sebuah fakta
pun untuk mendukung pernyataannya. Hazairin hanya menyebut contoh bahwa
misalnya Ali dan Fatimah tidak boleh kawin jika ibu Ali dan Fatimah beribu yang
sama. Paparan tersebut Hazairin menimbulkan kesan bahwa perkawinan eksogami
merupakan keharusan dari masyarakat yang berklan. Bisa jadi Hazairin telah
melakukansimplifikasi.

Ketiga, dalam upaya penemuan dan pengembangan hukum baru, Hazairin


memilih metode alternatif yang mereka kembangkan sendiri, yakni rekonstruksi
penafsiran. Operasionalisasi pola penafsiran ini, ditempuh dengan cara menghimpun
semua ayat dan hadis yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya
sebagai satu kesatuan yang saling menerangkan. Digunakannya ilmu antropologi
sebagai kerangka acu penafsiran ini, merupakan hal dan konstruksi baru dalam jagad
tafsir. Sayangnya, tawaran ini tidak nampak aplikatif dalam buah atau hasil
ijtihadnya, maka pola pemikirannya hanya lebih dekat kepada rekonstruksi-
interpretatif.22
Kendati demikian, kontribusi pemikiran yang diberikan Hazairin sangatlah
besar dan patut dihargai untuk konteks masyarakat saat itu. 23 Tentu saja, sebagai
seorang intelektual, bentuk penghargaan yang tepat adalah dengan membaca,
mengkaji, mengkritik, bahkan merekonstruksi temuan Hazairin tersebut.

21
Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris…op. cit. hlm. 22.
22
Mahsun, Wacana Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Studi Asal-usul dan
Tipologi dari Tema-tema Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Tahun 1970-2000 M) (Tesis).
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 310.
23
Terutama munculnya teori Receptie a Contrario yang merepresantisakan berlakunya hukum
Islam bagi orang Islam. Teori ini secara historis mempengaruhi peraturan hukum di Indonesia,
setidaknya sumber inspirasi untuk menghapus pengaruh hukum kolonial.
18

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian terdahulu maka sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut :

1. Hazairin adalah seorang tokoh pembaharu hukum Islam di Indonesia dengan


membuka pintu Ijtihad, terutama kaitaannya dengan hukum Islam dan hukum
adat yang didalamnya membahas tentang hukum kewarisan.
2. Menurut Hazairin ada Tiga macam sistem keturunan, yaitu patrilineal,
matrilineal, dan parental atau bilateral
19

3. Sistem kewarisan menurut Hazairin adalah sistem kewarisan Bilateral,


sehingga membawa warna alternatif dalam mengambil keputusan hukum
tentang hukum kewarisan. Sedangkan hukum kewarisan Ahlu Sunnah
WalJamaah/Imam Syafe’I adalah patrilineal .
4. Prinsip patrilineal atau matrilineal akan melahirkan kesatuan kekeluargaan
yang disebut dengan klan atau marga. Sedang prinsip bilateral, di sebagian
masyarakat–seperti Jawa–tidak melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu
dan di sebagian yang lain melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu yang
disebut dengan rumpun (tribe).
5. Hazairin dapat digolongkan salah seorang tokoh moderat dengan melihat
bahwa hukum islam itu harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits untuk
difahami berdasarkan kaidah ijtihad dan mengandalkan nalar. Ia
mengusulkan agar bebas mazhab. Fiqh klasik (Ahlussunnah Waljamaah) dan
hukum adat di Indonesia, berkat ijtihad dapat dilaksanakan p[ada masa
kekinian.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahnya, Karya Insan Indonesia

(Karindo, Jakarta, 2004.

Hazairin, Demokrasi Pancasila, jakarta, PT.Rineka Cipta, 1990.


20

Mahsun, Wacana Pemikiran Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Studi Asal-

usul dan Tipologi dari Tema-tema Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Tahun 1970-

2000 M) (Tesis). (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003).

Tim Ensiklopedi, Editor Bahasa, Nina M.Armado, Ensiklopedi Hukum Islam,

jakarta, Baru Van Hoove, 1996.

Tim Ensiklopedi, Editor Bahasa, Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum

Islam, jakarta, Baru Van Hoove, 2005.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta,

Djambatan, 2002.
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai