Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga
disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar
gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran
kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam
(Sjamsuhidajat dan Jong, 1996).
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering
ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang
paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab,
2002; Price dan Wilson, 1995).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit

Graves.

Berdasarkan

ciri-ciri

penyakitnya,

penyakit

Graves

dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya


antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Diantara pasien-pasien dengan tirotoksikosis, 60 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi pada
wanita sekitar 2%, tetapi hanya 1/10 nya pada pria, biasanya jarang terjadi
sebelum remaja dan tara-rata pada umur 20-50.(Harrison, 2008).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki
berat 15 - 20 gram. Tiroid menyekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin
(T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan
kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular
dihubungkan oleh isthmus
dibawah

(kanan dan kiri),

(jembatan) yang terletak di depan trachea tepat

cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang

membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.Kelenjar tiroid dialiri


oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma

Persarafan kelenjar tiroid:


1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus).

3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor).

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Yodide Trapping, yaitu penangkapan yodida oleh pompa Na+/K+ ATPase.


2. Yodida masuk ke dalam koloid dan mengalami

oksidasi. Yodida diubah

menjadi yodium (yodine). Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.


3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)
dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi
oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis

yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi

dihambat oleh yodida, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap
berada dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari yodida. Enzim deiodinase sangat
berperan dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
2.2.1Definisi Graves
Penyakit

Graves

(goiter

difusa

toksik)

merupakan

penyebab

tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh


produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati
(eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati (Subekti,
2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison, 2000).

2.2.2Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun
thyroid-stimulating

antibodies

(TSAb).

Antibodi

ini

yang disebabkan
berikatan

dan

mengaktifkanTSH receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan


melepaskan hormon tiroid.
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin,
periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

2.2.3Patogenesis dan Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang


berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan
bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati
pada penyakit Graves (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan

tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast
dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,
proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

Hipertiroidism

Metabolisme
meningkat

Perangsangan
katekolamin

Kulit teraba
hangat,
berkeringat

Inflamasi
retrobulbar

Respon simpatis
meningkat
palpitasi, tremor

Perangsangan
jantung

Perangsangan
saluran cerna

Exopthalmus

BB turun, otot
lemas

2.2.4Gejala Klinik
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon
tiroid

yang

berlebihan.Gejala-gejala

hipertiroidisme

berupa

manifestasi

hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,


gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar,

kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995).
Trias Graves yaitu struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Perubahan pada
mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
a. No signs or symptoms
b. Only signs (lid retraction or lag), no symptoms
c. Soft tissue involvement (periorbital edema)
d. Proptosis (>22 mm)
e. Extraocular muscle involvement (diplopia)
f. Corneal involvement
g. Sight Loss

2.2.5Diagnosis
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut.

Tabel2.1: Indeks Wayne

Tes Laboratorium

Sidik tiroid

Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba
nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan
waktu melakukan sidik tiroid, yang ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold
nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada
gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan.

2.2.6Penatalaksanaan Graves
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis

terjadinya sindrom penyakit

Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan


untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung

pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya
struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta
penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar
ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat
untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state)
seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga
dapat, meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80
mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).

2. Terapi Yodium Radioaktif


Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I).Respons yang terjadi

sangat

tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu
2 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun.131I dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi
di dalam kelenjar tiroid.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme.Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme (Shahab, 2002).

10

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar. Sebelum
operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif,
diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah
operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa
banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001). Tiroidektomi total
biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang
progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan,
dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 3
gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih
memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves.Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).
2.2.7 Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada
mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk
mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan
menghentikan merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu,
penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk
mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan
adekuat.Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti
kortikosteroid

dan

siklosporin,

disamping

OAT

sendiri

dan

hormon

tiroid.Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti

11

dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata (Shahab,
2002).

2.2.8 Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.

2.4 Krisis Tiroid


Krisis tiroid adalah kegawatan endokrin yang disebabkan oleh disregulasi hormon
tiroid dan termasuk kedalam keadaan tirotoksikosis yang hebat.Bila keadaan
tersebut ditemukan harus dilakukan penilaian secara hati-hati dan tindakan cepat
untuk membatasi morbiditas dan mortalitas.American Thyroid Association
memperkirakan disfungsi tiroid berkembang >12% pada populasi Amerika.Krisis
tiroid (Thyrotoxic crisis / thyroid storm) merupakan kasus yang jarang ditemukan,
tetapi dapat mengancam jiwa pada eksasebasi tirotoksikosis. Insidensi krisis tiroid
<10% pada pasien tirotoksikosis yang dirawat inap, sering pada wanita dan
sebagian besar terjadi antara usia 20 49 tahun (Jessica Hampton, 2013). Krisis
tiroid sebagian besar didasari oleh Graves Hiperthyroidism.Manifestasi klinik
menunjukan dekompensasi organ disertai demam hampir pada semua pasien
(Carroll & Matfin, 2010).

2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi


Pada keadaan normal, fungsi tiroid diatur oleh interaksi antara hipotalamus,
hipofisis dan kelenjar tiroid.Iodida masuk melalui membran basal sel tiroid dan
dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase (TPO). Selanjutnya, akan bergabung
dengan molekul tirosin sehingga terbentuk T4 dan T3. Seluruh organ tubuh akan
terpengaruh oleh perubahan hormon tiroid. Hal ini terutama dipengaruhi oleh
bentuk aktif hormon tiroid yaitu T3 (Carroll & Matfin, 2010).

12

Tirotoksikosis merupakan sindrom klinik akibat terpaparnya jaringan oleh hormon


tiroid yang tinggi dalam sirkulasi.Singkatnya, tirotoksikosis disebabkan oleh
hiperaktivitas kelenjar tiroid / hipertiroid.Sebagian besar bentuk tirotoksikosis
adalah Graves disease. Penyakit ini berhubungan dengan proses autoimun pada
reseptor TSH dan merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan krisis
tiroid. Antibodi reseptor TSH menstimulasi sintesis hormon tiroid, sehingga kadar
hormon menjadi berlebihan. Patofisiologi krisis tiroid belum diketahui secara
mendalam, tetapi berhubungan dengan peningkatan sejumlah reseptor beta1
adrenergik.

Sehingga

pada

keadaan

stres,

akan

terjadi

peningkatan

katekolamin(Carroll & Matfin, 2010).


Krisis tiroid dapat muncul pada keadaan toksik multinoduler goiter.Penyebab
lainnya adalah infeksi berat, trauma, pembedahan, infark miokardium, ketosidosis
diabetik, kehamilan danmelahirkan.Penggunaan iodin eksogen dalam jumlah
besar dan penggunaan amiodaron dapat menyebabkan produksi dan sekresi
hormon tiroid (Carroll & Matfin, 2010). Interferon alfa dan interleukin 2 (terapi
kanker dan kelainan fungsi imun) dapat menggangu ikatan antara tiroksinglobulin sehingga terjadi peningkatan kadar tiroksin bebas. Obat-obatan yang
berisiko terhadap krisis tiroid adalah NSAID, salisilat, antidepresan trisiklik,
insulin,

diuretic

tiazid,

amiodaron,

steroid

berkepanjangan,

dan

fludrocortison.Gagal jantung, syok, atau kegagalan berbagai organ menyebabkan


mortalitas sebesar 2-75%, meskipun krisis tiroid telah diketahui dan diterapi
(Jessica Hampton, 2013).

2.4.2 Manifestasi Klinis


Gambaran utama pada krisis tiroid diantaranya demam, berkeringat secara
berlebihan, gagal jantung kongestif, sinus takikardia atau variasi aritmia supra
ventrikular (takikardia atrial paroksismal, atrial fibrilasi, atrial flutter) dan gejala
neurologi, serta gejala gastrointestinal. Kelainan fungsi hepar, sekunder terhadap
gagal jantung. Hepar menunjukan keadaan kongesti atau hipoperfusi. Gejala dan
tanda krisis tiroid ditunjukan pada tabel 1.

13

Tabel 2.2. Manifestasi Klinis

2.4.3
Diagnosis
Sistem penilaian Burch dan Wartofsky (1993) merupakan sistem skoring untuk
membantu menegakkan krisis tiroid yang dijelaskan melalui tabel 2.

Tabel 2.3Sistem Skoring Burch dan Wartofsky

14

Pada keadaan krisis tiroid terjadi peningkatan T4 dan T3 bebas dengan penurunan
tirotropin <0,05U/ml. Kadar serum total FT3 meningkat pada sebagian besar
pasien tirotoksikosis. Gambaran laboratorium lain yang berhubungan dengan
tirotoksikosis adalah hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas
enzim liver, peningkatan alkalifosfatase dan glikogenolisis. Hiperkalsemia dan
peningkatan alkali fosfatase dapat disebabkan karena hemokonsentrasi dan
hormon tiroid yang menstimulasi resorpsi tulang. Keadaan tirotoksikosis akan
mempengaruhi fungsi adrenokortikal, yaitu mempercepat metabolisme kortisol
dengan menstimulasi degradasi glukokortikoid oleh enzim hepar D 4,5 steroid
reduktase. Hal ini akan menyebabkan keadaan insufisiensi adrenal(Ananda &
Dharma, 2014).

2.4.4.1 Terapi Spesifik Terhadap Tiroid


Pasien dengan krisis tiroid akut sebaiknya dirawat pada tempat yang tepat seperti
Acute Medical Unit (AMU), high dependency area atau intensive care unit.Tujuan
pengobatan krisis tiroid diantaranya untuk menghentikan sintesis hormon tiroid
(obat antitiroid), menghambat pelepasan hormon (iodin) dan menghambat efek
hormon tiroid di jaringan perifer dengan mencegah konversi T4 menjadi T3 (dosis
tinggi PTU, propranolol, kortikosteroid), mengontrol gejala adrenergik

yang

berhubungan dengan tirotoksikosis (beta bloker) dan mengontrol dekompensasi


sistemik dengan terapi suportif.
Obat antitiroid yaitu tiourasil (propiltiourasil) dan imidazol (methimazol dan
karbiamazol). Mekanisme kerja tionamid, diantaranya mengalangi proses
couplingoleh tiroperoksidase, menghambat fungsi dan pertumbuhan sel folikular
tiroid. Sedangkan PTU menghambat konversi T4 menjadi T3, dan menekan
antibodi reseptor antitirotropin. Dosis pemberian PTU untuk krisis tiroid adalah
800-1200 mg/hari, terbagi atas 200-300 mg setiap 6 jam. Dosis untuk metimazol
adalah 80-100mg/hari terbagi atas 20-25 mg setiap 6 jam.
Terapi iodin dapat melengkapi efek terapi tionamid. Pada terapi tionamid, sintesis
hormon dihambat, sedangkan terapi iodin akan menghambat pelepasan hormon

15

pada tempat penyimpanan dan mengurangi transportasi iodida dan oksidasi dalam
sel folikular. Efek terhadap pengurangan ini disebut dengan efek Wolff-Chaikoff
(menghambat proteolisis tiroglobulin). Peningkatan sejumlah kecil iodida akan
meningkatkan pembentukan hormon tiroid, tetapi sejumlah besar iodida
(>1mol/L) akan menghambat pembentukan hormon (proses iodinasi). Iodida
efektif menurunkan kadar hormon tiroid dengan cepat dalam 7-14 hari, akan tetapi
efek iodida akan hilang dan kembali pada keadaan hipertiroid dalam 2-3 minggu.
Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut, makan pemberian iodida dikombinasi
dengan tionamid.
Manifestasi kardiovaskular dapat dikoreksi dengan pemberian beta bloker seperti
propranolol. Pada krisis tiroid propranolol digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap
4 jam atau 80-120 mg setiap 4 jam. Propranolol parenteral akan memberikan efek
lebih cepat, dosis yang diberikan dalam bolus 0,5-1 mg dalam 10 menit diikuti
dengan 1-3 mg dalam 10 menit. Beta bloker lainnya yang dapat digunakan adalah
atenolol dengan dosis 50-200 mg/hari, metoprolol 100-200 mg/hari dan nadolol
40-80 mg/hari. Kontraindikasi penggunaan beta bloker adalah riwayat gagal
jantung berat dan obstruksi saluran nafas dalam serangan.
Golongan glukokortikoid seperti deksametason dan hidrokortison mempunyai
efek menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga dapat digunakan sebagai
terapi adjuvant.Insufisiensi adrenal relatif dapat diobati dengan glukokortikoid.
Dosis hidrokortison yang digunakan adalah 100 mg IV setiap 8 jam, lalu
penurunan dosis sejalan dengan perbaikan gejala klinis krisis tiroid(Ananda &
Dharma, 2014).

2.4.4.2 Terapi Lainnya


Salah satu terapi yang dapat digunakan, bila terapi lini pertama (tionamid, iodida,
beta bloker, dan glukokortikoid) gagal atau berefek toksik adalah litium yang
berefek menghambat pelepasan hormon tiroid.Litium digunakan ketika pasien
kontraindikasi terhadap tionamid. Beberapa efek litium terhadap hormon tiroid,
diantaranya adalah menurunkan sekresi hormon tiroid dan meningkatkan
kandungan iodin intrasel serta menghambat coupling residu iodotirosin. Pada

16

krisis tiroid, litium diberikan pada dosis 300 mg setiap 8 jam.Penggunaan


potasium perklorat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami amiodaroneinduced thyrotoxicosis (AIT).Potasium perklorat bekerja dengan menghambat
uptake iodin. Rejimen potasium perklorat (1 gram.hari) dikombinasikan dengan
metimazol (30-50 mg/hari) dapat mengembalikan kadar hormon tiroid sampai
batas normal dalam 4 minggu.
Kolestiramin (anion-exchange resin) dapat menurunkan reabsorpsi hormon tiroid
dari sikulasi enterohepatik.Penggunaannya dalam terapi dikombinasikan dengan
metimazol atau PTU.Dosis kolestiramin yang diberikan adalah 4 gram peroral, 4
kali sehari(Ananda & Dharma, 2014).

Tabel 2.4. Terapi Krisis Tiroid

17

BAB III

18

SIMPULAN
Penyakit

Graves

(goiter

difusa

toksik)

yang

merupakan

penyebab

terseringhipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai


predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding pria, terutama pada usia 20 50 tahun. Gambaran klinik klasik dari
penyakit graves struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Pada anak-anak,
terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada
penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama
adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,
dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila
T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika
kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan
penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan.
Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat
mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu:
Obat anti tiroid, Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131)dan Pembedahan dengan
Tiroidektomi.

Pengobatan

krisis

tiroid

meliputi

pengobatan

terhadap

hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon


dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat
beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan,
elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

DAFTAR PUSTAKA

19

Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265


Djokomoeljanto.Tirotoksikosis-Penyakit Graves.Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18 Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar
Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
Weetman

P.

A.,

Graves

Disease.

The

New

England

Journal

of

Medicine.Massachusetts Medical Society. 2000.


Ananda, G., & Dharma, L. (2014). Krisis Tiroid. Endokrin.
Carroll, R., & Matfin, G. (2010). Theurapeutik Advances in Endocrinology and
Metabolism. Endocrine and Metabolic Emergencies : Thyroid storm, 139145.
Jessica Hampton, R. M.-A. (2013). Thyroid Storm and Myxedema Coma. Thyroid
Gland Disorder Emergencies, 24, 325-332.

20

Nayak, B., & Burman, K. (2006). Thyrotoxicosis and Thyroid Storm.


Endocrinology And Metabolism Clinics Of North America, 663-686.

21

Anda mungkin juga menyukai