Anda di halaman 1dari 2

(Humor) Suka Duka Seorang Dokter Gigi

OPINI | 10 July 2013 | 12:43

Dibaca: 1415

Komentar: 14

Menjadi dokter gigi membawa konsekuensi akan berhubungan dengan orang yang unjuk gigi dan
buka mulut setiap hari. Bukan dalam makna kiasan (unjuk gigi alias show of forces dan buka
mulut alias bicara tanpa tedeng aling-aling), namun dalam makna yang sebenar-benarnya.
Kedengarannya simpel sekali, menyuruh pasien membuka mulut dan menunjukkan giginya, namun
dalam prakteknya ternyata membuat dokter gigi stres dan frustrasi setiap hari (on daily basis).
Menyuruh pasien membuka mulutnya ternyata bukan persoalan gampang. Ada pasien yang
membuka mulutnya kecil sekali, persis seperti dia membuka pintu terhadap orang yang menagih
utang. Biarpun sudah diminta untuk membuka lebih lebar berkali-kali, tetap saja mulutnya
bergeming. Ini kondisi yang membuat frustrasi dokter gigi, karena hanya pada mulut yang terbuka
lebar, dia mampu menambal atau mencabut gigi.
Alasan pasien yang membuka kecil mulutnya bisa beragam macamnya. Pasien yang mengalami
abses (bengkak bernanah) pada gigi gerahamnya, biasanya juga diikuti dengan trismus yaitu
kekakuan pada otot di sekitar rahang sehingga yang bersangkutan memang tak bisa membuka mulut
dengan lebar. Alasan lain adalah pasien ini mempunyai kelainan yang disebut lock jaw yaitu
persendian rahang bawah yang dol atau loncer. Bila dia membuka mulutnya terlalu lebar, maka
persendian rahangnya akan selip, sehingga rahangnya akan terkunci tidak dapat ditutup kembali.
Kalau dalam istilah bahasa Jawa, dia akan mangap terus, tidak dapat mingkem. Karena
pengalaman yang buruk ini, pasien ini tidak mau membuka mulutnya lebar-lebar.
Dua alasan di atas masih dapat diterima dan dipahami oleh dokter gigi. Tapi banyak pasien yang
ogah buka mulut lebar tanpa alasan yang jelas. Perintah dokter gigi sebenarnya sudah cukup
gamblang Bilang a! Dengan menyuarakan a, maka mulut pasti akan terbuka lebar. Tetapi
parahnya, pasien malah membuat gerakan mulut menyuarakan bunyi o, u, i atau e. Otomatis
mulut pun akan menyempit dan menegang. Pasien yang paling sulit disuruh membuka mulut adalah
anak-anak, terlebih-lebih kalau dia tahu dokter gigi akan mencabut gigi susunya yang sudah goyang.
Dulu, sewaktu masih mahasiswa, saya diberi trick untuk memencet hidungnya, sehingga karena
tidak bisa bernafas, maka dia akan membuka mulutnya untuk mengambil nafas. Tapi trick ini bak
senjata makan tuan, karena dari pengalaman pribadi, jari saya malahan sering digigit kuat-kuat oleh
si anak.
Stres lain yang banyak dialami dokter gigi dalam menjalankan profesinya adalah soal air ludah.
Pada saat akan menambal gigi (atau istilah kami menumpat gigi) pasien harus terus membuka
mulutnya, agar gigi yang akan ditambal tetap dalam kondisi kering. Untuk menjaga kondisi gigi tetap
kering ini, maka di samping kiri dan kanan gigi tersebut diblokir dengan gulungan kapas untuk
menghindarkan infiltrasi air ludah. Di samping pemasangan dam kapas, juga dipakai alat penyedot
ludah, yang lazim kita sebut dengan suction atau saliva ejector. Tapi repotnya, ada sejumlah
pasien yang mempunyai kecenderungan memproduksi air ludah sangat banyak, sehingga air liur ini
datang mengalir seperti tsunami kecil di dalam mulut.

Di sinilah rasa frustrasi segera menyergah. Proses penambalan gigi belum rampung, tetapi air ludah
terus menyembur seperti mata air. Gulungan kapas penyerap air ludah sudah diganti berulang kali
dan alat penyedot ludah terus bekerja, namun masih tak mampu mengatasi derasnya air ludah.
Kondisi seperti ini dalam istilah medis dinamakan dengan hypersalivation.
Terhadap kondisi hipersalivasi ini, tentu dokter gigi tak mungkin memarahi si pasien, karena
produksi air ludah yang berlebihan ini tentu bukan disengaja olehnya. Istilah bahasa pasarnya
memang ini sudah dari sononya. Tetapi ada kondisi lain yang membuat dokter gigi lebih stres dan
lebih frustrasi yaitu bila pasien tak tahan dipasang gulungan kapas untuk memblokade air ludah ini.
Ada sementara pasien yang langsung merasa mual bilamana ada kapas yang diselipkan di dalam
mulutnya. Jadi terpaksa sang dokter gigi bekerja berpacu dengan waktu pada saat menambal gigi
sambil terus berdoa moga-moga si pasien tidak berkecenderungan hipersalivasi.
Karena proses membuka mulut waktu ditambal gigi ini memakan waktu lumayan lama, maka dokter
gigi dan asistennya harus terus pasang mata menjaga kepatuhan pasien untuk terus mangap. Tak
jarang, pasien mendadak sontak tutup mulut atau secara refleks meludah ke cawan ludah
(spitoon) di tengah proses penambalan. Kalau ini terjadi dokter gigi biasanya langsung berteriak
panik, melebihi kepanikan diserang teroris. Dalam hati, pasien ini mungkin membatin dokter gigi
ini lebay banget. Orang cuma meludah saja, kok berteriak setinggi langit. Ya, setiap profesi
membuat orang jadi ekstrem. By the way, ini maxim ciptaan saya sendiri. Anda boleh setuju, boleh
tidak.
http://hiburan.kompasiana.com/humor/2013/07/10/humor-suka-duka-seorang-dokter-gigi575814.html

Anda mungkin juga menyukai