Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ILMIAH

UL
PIODERMA

Oleh
Amalia Firdaus
Senoadji Pratama
Putri Arum Permatasari
Khulaida Fatila Hayati
Thoriqotil Haqqul M.

(102011101014)
(102011101030)
(102011101033)
(102011101055)
(102011101061)

Dokter Pembimbing:
Prof. dr. Bambang Suhariyanto, Sp.KK(K)

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Definisi............................................................................................... 3
2.2 Etiopatologi ....................................................................................... 3
2.3 Klasifikasi ......................................................................................... 6
2.4 Tatalaksana Konvensional ............................................................ 11
2.5 The Update of Pioderm Therapy .................................................... 12
BAB 3. KESIMPULAN ........................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii

BAB 1. PENDAHULUAN

Dalam kondisi fisiologis, kulit normal manusia akan menjadi tempat


kolonisasi bagi sejumlah mikroorganisme komensal. Kolonisasi ini bahkan telah
dimulai segera setelah lahir. Saat berlangsungnya persalinan pervaginam, terjadi
inokulasi dari kuman Staphylococcus epidermidis, segera setelah lahir kulit
neonatus juga mendapat kolonisasi Coryneform bacteria. Dalam beberapa minggu
komposisi flora normal pada kulit bayi akan menyerupai kulit orang dewasa.
Pioderma merupakan istilah untuk menyebut semua penyakit infeksi pada
kulit yang disebabkan oleh kuman Staphylococcus, Streptococcus maupun
keduanya. Infeksi ini mencakup infeksi superfisial yang hanya mengenai lapisan
epidermis kulit, hingga infeksi yang bersifat profunda, karena meluas hingga
lapisan subkutis. Penyebab tersering dari penyakit infeksi pada kulit ini adalah
Staphylococcus aureus dan Stresptococcus B hemolyticus.
Furunkel merupakan salah satu jenis pioderma yang banyak dijumpai di
masyarakat. Penyakit ini didefinisikan sebagai peradangan pada folikel rambut
dan jaringan disekitarnya. Infeksi Staphylococcus aureus merupakan penyebab
tersering dari penyakit ini. Bila dalam satu area tubuh ditemukan lebih dari satu
lesi furunkel maka keadaan itu disebut sebagai furunkulosis, sedangkan bila
ditemukan beberapa furunkel yang menyatu dengan beberapa puncak pada
permukaan lesinya, maka kondisi tersebut dinamakan karbunkel.
Gejala utama yang dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri. Lesi kulitnya
sendiri berupa nodul eritematosa yang berbentuk kerucut, dimana pada bagian
tengahnya akan dijumpai adanya puncak (core) yang biasanya berupa pustul
(central necrotic). Bagian tubuh yang sering bergesekan, seperti: aksila dan
bokong merupakan tempat predileksi dari penyakit ini.
Secara umum pengobatan yang diberikan berupa: (1) pengobatan topikal
pada lesi dengan kompres dan pemberian salep atau krim antibiotik. Pada kasus
dengan lesi yang sedikit, biasanya pengobatan topikal saja sudah cukup. Pada

kasus-kasus dengan jumlah lesi yang banyak, pengobatan topikal biasanya perlu
dikombinasi dengan (2) pengobatan sistemik berupa pemberian antibiotika oral.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,

Streptococus, atau oleh kedua-duanya

2.2

Etiopatologi
Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3

kategori:
1. Mikroorganisme patogen dari aliran darah menyebabkan infeksi sekunder
pada kulit
Kelainan kulit pada keadaan ini dapat langsung akibat mikroorganisme
patogen itu pada epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis, atau dapat
disebabkan respons imun antara organisme dan antibodi atau faktor selular
pada kulit. Tahap pertama pertahanan adalah mekanisme antibakteri yang
tidak tergantung dari pengenalan antigen. Kulit dan permukaan epitel
mempunyai sistem

non-spesifik atau innate protective system yang

membatasi masuknya organisme invasif. Asam lemak yang dihasilkan


kulit juga bersifat toksik terhadap banyak organisme. Kulit merupakan
barier fisik yang dapat mempertahankan tubuh dari agen patogen. Apabila
terdapat kerusakan kulit, maka kulit akan mempertahankan tubuh dengan
proses imunologik yang cepat terhadap agen patogen tersebut dan
mengeluarkan mikroorganisme tersebut dari epidermis dan dermis. Sistem
imun berkembang dengan fungsi yang khusus dan bekerja pada kulit. Sel
Langerhans, dendrosit kulit, sel endotel, keratinosit dan sel lainnya
semuanya ikut berpartisipasi dalam skin associated lymphoid tissue
(SALT) yang mempunyai sistem imun pada kulit. Ketika mikroorganisme
menembus barier kulit akan merangsang respons imun. Kulit seperti
halnya

organ

mengeliminasi

lain

akan

antigen.

merusak
Varisela,

mikroorganisme
infeksi

tersebut

enterovirus

dan
dan

meningococcemia merupakan contoh mikroorganisme sampai ke kulit


melalui aliran darah dan menyebabkan kelainan pada kulit tanpa kontribusi
faktor imun pejamu. Pada penyakit seperti morbili, rubela dan
gonococcemia

sukarnya

mikroorganisme

ditemukan

menandakan kemungkinan efek langsung atau peranan

pada

kultur

respons imun

(immune-mediated response). Banyak penelitian telah dilakukan untuk


menentukan keasaman yang berbeda pada kulit yang berbeda pada waktu
yang berbeda dan pada individu yang berbeda. Umumnya dikatakan
bahwa pH normal kulit berfluktuasi antara 4,2 dan 7,0 (rata-rata 5,2)
Reaksi asam kulit dapat membunuh kebanyakan bakteri patogen. Asam
laktat telah lama dipakai untuk keasaman kulit sejak tahun1934,
Marchionini melaporkan keberhasilan terapi dengan asam laktat

pada

pasien seborrheic eczema. Sedangkan Pennoyer dan Sullivan melaporkan


pada tahun 1954 bahwa mereka telah berhasil dalam menurunkan insidens
impetigo pada bayi dari 2% menjadi 0,13% dengan memakai preparat
yang mengandung asam laktat. Penelitian multisenter pemakaian Lactacyd
di Perancis telah dilaporkan oleh dokter umum, dokter kulit dan dokter
anak pada pasien dengan seborrheic dermatitis, hiperhidrosis dan diaper
rash menunjukkan efikasi 87,6% dan tidak ditemukan efek samping.

2. Penyebaran toksin spesifik yang berasal dari mikroorganisme patogen


menyebabkan kelainan pada kulit
Infeksi mikroorganisme pada daerah lokal, namun toksin yang dibebaskan
mencapai kulit melalui aliran darah. Seperti diketahui bakteri mempunyai
banyak antigen permukaan yang berbeda dan mengeluarkan bermacammacam faktor virulen (misalnya toksin) yang dapat merangsang respons
imun. Contoh penyakit eksantema yang disebabkan toksin ini adalah
demam skarlet karena streptokokus, toxic shock syndrome, dan lain-lain.
Streptokokus merupakan kokus Gram-positif, anaerob, menyebabkan
infeksi toksigenik dan piogenik pada manusia, seperti pada demam skarlet
(eksotoksin). Stafilokokus merupakan kokus Gram-positif, fakultatif

anaerob, merupakan patogen kulit yang paling prevalen. Pertahanan


pertama terhadap stafilokokus adalah leukosit PMN yang memfagositosis
dan membunuh bakteri. Staphylococcus aureus menghasilkan sejumlah
faktor virulen termasuk toksin yang menentukan patogenisitasnya. S.
aureus mengeluarkan exfoliative toxin yang menyebabkan nekrolisis
epidermis dan eksotoksin yang menyebabkan toxic shock syndrome. Galur
stafilokokus lain yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah S.
epidermis, merupakan flora bakteri pada kulit yang sering ditemukan.
Infeksi nosokomial karena bakteri pada bayi baru lahir selama perawatan
di ruang bersalin terutama disebabkan S. aureus. Penelitian yang
dilaporkan Meberg dan Schoyen menunjukkan terjadi penurunan insidens
infeksi S. aureus (pioderma, infeksi umbilikus) selama 3 minggu pertama
kehidupan sesudah pemberian Hibiscrub sebagai disinfeksi umbilikus.

3. Penyakit sistemik menimbulkan kelainan kulit karena proses imunologik


Umumnya tidak dapat diidentifikasi baik lokasi antigen ataupun toksin
yang dibebaskan. Kelainan kulit yang terpenting pada kategori ini adalah
eritema nodosum dan eritema multiforme. Proses terjadinya respons imun
Antigen terikat pada sel yang dapat mempresentasikan antigen seperti sel
Langerhans, makrofag dan dendrosit dermis. Sel tersebut akan memproses
antigen dan mempresentasikan fragmen antigen kepada limfosit spesifik.6
Dalam keadaan normal sejumlah kecil limfosit akan melalui dermis di luar
pembuluh darah. Limfosit kemudian akan membentuk sel inflamasi
perivaskular. Banyak ahli imunologis berpendapat bahwa populasi limfosit
di kulit dilengkapi oleh suatu program untuk beraksi dengan antigen yang
sebelumnya telah pernah kontak dengan kulit. Sirkulasi limfosit dari kulit
ke kelenjar limfe kembali ke kulit disebut homing. Limfosit homing
masuk ke dalam kulit yang tidak mengalami inflamasi untuk mencari
adanya antigen. Bila ada antigen, limfosit akan mengaktivasi sel endotel
gepeng untuk mengumpulkan limfosit lain sebagai bagian dari reaksi
inflamasi yang ditimbulkannya. Bila limfosit spesifik yang telah

tersentisisasi bereaksi dengan antigen, respons imun dapat timbul. Kurang


lebih 5% dari limfosit di dermis pada reaksi imun yang diperantarai oleh
sel adalah limfosit yang secara spesifik bereaksi terhadap antigen. Limfosit
tambahan dapat dikumpulkan ke area tersebut oleh limfokin yang
dikeluarkan oleh limfosit spesifik sebagai respons terhadap adanya
antigen. Respons imun dapat pula ditimbulkan di epidermis. Sel T masuk
ke dalam epidermis dari dermis. Agar hal ini dapat terjadi sel T harus
melewati daerah membran basalis dan menembus keratinosit. Substansi
mediator seperti IL-8 dianggap berperan terhadap penarikan limfosit ke
dalam epidermis. Keratinosit memproduksi IL-8 terutama bila dirangsang
oleh gamma-interferon. Bila telah terdapat dalam epidermis, limfosit dapat
diaktivasi oleh sel Langerhans. Keadaan ini dapat memperkuat respons
imun dan membantu eliminasi antigen atau menghancurkan sel yang
terinfeksi. Sejumlah sel helper dan sel supresor pada infiltrat akan
mengatur proses inflamasi yang terjadi.

2.3

Klasifikasi
Pioderma terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Pioderma Primer
Pioderma yang terjadi pada kulit yang normal.
2. Pioderma Sekunder
Pioderma yang terjadi pada kulit yang sebelumnya telah ada penyakit
kulit. Gambaran klinisnya menjadi tidak khas dan kadang ditemukan lebih
dari satu organism pada pemeriksaan. Jika penyakit kulit disertai pioderma
sekunder maka disebut impetigenisata. Tanda impetigenisata adalah
munculnya pustule, pus, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan,
pembesaran KGB regional, leukositosis, dan dapat pula disertai demam.

Pembagian Pioderma
Impetigo

Folikulitis

Flegmon Selulitis yang mengalami supurasi

Abses Multipel Kelenjar keringat

Furunkel

Karbunkel

Ulkus Piogenik

Ektima

Pionikia

Hidradenitis Supurativa

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Erisipelas

Selulitis

Eritrasma

TABEL

S4 (STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME)

S4 pertama kali oleh Ritter von Rittershain, sehingga sering disebut


penyakit Ritter. S.S.S.S ialah infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus tipe
tertentu dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyakit ini
terutama terdapat pada anak dibawah 5 tahun, pria lebih banyak dari wanita.
Etiologinya ialah Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan atau faga 71.
Patogenesis. Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung,
tenggorok, dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik
(epidermolin, eksofoliatin) yang beredar di seluruh tubuh sampai pada epidermis
dan menyebabkan kerusakan. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi
diduga fungsi ginjal belum sempurna sehingga penyakit ini terjadi pada golongan
usia tersebut.

10

Gejala Klinis. Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi
disaluran nafas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema,
yang timbul mendadak pada muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian
menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 1-2 hari akan muncul bula-bula
berdinding kendur, tanda nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan
spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tanpak daerah
erosif. Akibat epidermolisis tersebut gambarannya mirip dengan kambustio.
Daerah-daerah tersebut akan mongering dalam beberapa hari dan terjadi
deskuamasi. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai
sikatriks.
Komplikasi. Meskipun dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi
komplikasi seperti selulitis, pneumonia dan septicemia.
Pemeriksaan bakteriologi. Jika terdapat infeksi ditempat lain maka dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologi. Juga dilihat tipe kuman karena tidak semua
Satphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit ini, hanya tipe tertentu. Pada
kulit tidak ditemukan kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.
Histopatologi. Terdapat gambaran yang khas yaitu terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum, meskipun ruang lepuh
sering mengandung sel-sel akantolitik, epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa
disertai nekrosis sel.
Diagnosis banding. Penyakit ini mirip N.E.T (Nekrolisis Epidermal
Toksik, bahkan pada awalnya disebut N.E.T sebelum dilaporkan oleh Ritter).
Perbedaannya S4 umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun,
mulainya kelainan kulit didaerah muka, leher, dan lipat paha, mukosa umumnya
tidak diserang dan angka kematian lebih rendah (meskipun begitu penyakit ini
adalah pioderma penyebab kematian paling mungkin). Kedua penyakit ini sulit
dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi secara
frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena prinsip pengobatan keduanya
berbeda. Perbedaan terletak pada celah, S4 di stratum granulosum, N.E.T di sub
epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis disekitar celah dan
terdapat sel radang.

11

Pengobatan. Pengobatan antibiotic, kortikosteroid tidak perlu. Penisilin


cukup efektif, misalnya kloksasillin dengan dosis 3x250 mg untuk orang
dewasa/hari/os. Pada neonatus, dosisnya 3x50 mg/hari/os. Obat lain yang dapat
diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi I. topical dapat diberikan
sufratulle, atau krim antibiotic. Diperhatikan juga keseimbangan cairan dan
elektrolit.
Prognosis. Kematian dapat terjadi terutama pada bayi berusia kurang dari
1 tahun dengan prevalensi sekitar 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak
adanya keseimbangan cairan dan elektrolit juga karena sepsis.

2.4 Terapi Konvensional


Sistemik

Penicillin G prokain dan semisintetiknya


Penisilin G prokain
Dosis 1,2 juta perhari diberikan secara IM. Obat ini sudah tidak digunakan
lagi karena sering menimbulkan syok anafilaktik
Ampisilin
Diberikan dengan dosis 4x500 mg per hari pada dewasa dan 4x7,525 mg
per hari pada anak sejam sebelum makan.
Amoksisilin
Dosis sama seperti ampisilin. Obat ini dapat diberikan setelah makan.
Selain itu, dosis lebih cepat diserap dibandingkan ampisilin sehingga kadar
dalam plasma lebih tinggi.

Linkomisin dan klindamisin


Dosis linkomisin 3x500 mg sehari selama 5-7 hari dan klindamisin 4x150
mg sehari. Pada kasus berat dosis dapat dinaikkan menjadi 4x300-450 mg
pada dewasa. Pada anak anak dosis klindamisin 3-4x8-20 mg/kgBB/hari.
Pada saat ini klindamisin lebih direkomendasikan karena efektifitasnya
lebih tinggi dan efek sampingnya lebih sedikit. Selain itu, pada pemberian
oral tidak dihambat oleh asam lambung.

12

Eritromisin
Dosis eritromisin adalah 4x500 mg sehari pada dewasa dan 4x12,5-25 mg
sehari pada anak-anak. Efektifitasnya kurang jika dibandingkan dengan
linkomisin

dan klindamisin

serta penicillin

dan semisintetiknya.

Eritromisin mudah menyebabkan resistensi dan memberikan efek pada


gastrointestinal tract.

Sefalosporin
Jika pioderma berat dan tidak berespon dengan obat diatas, dapat
digunakan golongan sefalosporin. Contohnya dapat digunakan cefadroksil
2x500 mg atau 2x1000 mg sehari pada dewasa dan 25mg/kgBB/hari dalam
2 dosis pada anak-anak.

Topikal
Obat topical yang digunakan adalah obat topical yang tidak digunakan secara
sistemik karena dapat menyebabkan resistensi dan hipersensitifitas, yakni:
Antibiotika topikal :
Basitrasin
Neomisin 0,5%
Polimiksin B
Asam fusidat 2%
Mupirosin 2%
Larutan Antiseptik :
Larutan Permanganas Kalikus 1/5.000 1/10.000
Povidon yodium 7,5 - 10% dilarutkan 10x
Larutan Asam Salisilat 1/1.000
Solusio asidum barikum 3%

2.5 The Update of Pioderm Therapy


Linezolid adalah antibiotic golongan oxazolidinone yang aktif
melawan bakteri yang banyak menimbulkan resistensi dan bakteri gram positif
(termasukMRSa

(Methicillin

Resistant

Staphylococcus

aureus),

VRE

13

(vancomycin-resistant Enterococcus faecium), dan macrolide resisten


streptococcus. Linezolid tersedia dalam bentuk oral dan intravena yang
memiliki biovailibilitas mencapai 100%. Kemampuan penetrasi Linezolid
pada jaringan yang lebih dalam mencapai 105 %. Pengurangan dosis tidak
diperlukan pada keadaan insufisiensi ginjal. Efek samping yang terjadi pada
pemberian lebih dari 28 hari seperti yang dianjurkan dapat terjadi efek
reversible atau irreversible pada peripheral and optic neuropathy, asidosis
laktat seperti trombositopenia (2,2%) dan anemia (4,8%).
Daptomisin merupakan antibiotic lipopeptid siklik sebagai hasil
fermentasi dari Streptomyces roseodporus, bersifat baktersidal yang aktif
melawan bakteri gram positif. Daptomisin mempunyai kelebihan dari sisi
farmakokinetiknya yaitu memiliki daya penetrasi yang baik kedalam jaringan.
Daptomisin hanya tersedia dalam bentuk infuse intravena. Dari 534 pasien
yang diberikan daptomisisn dengan dosis 4 mg/Kgbb perhari untuk
pengobatan SSTI complication skin and soft tissue infection, memperoleh
angka keberhasilan pada kelompok daptomisin sebesar 83,4% dan 84,2% pada
kelompok pembanding yaitu pemberian vankomisin 1 gram single dose
danpenisilin 4 12 gran perhari. Berdasarkan penelitian ini, pada keadaan
yang disebabkan infeksi MRSA, didapatkan angka keberhasilan sekitar 75%
(21 dari 28 pasien) pada kelompok daptomisin dan 65% pada kelompok
vankomisin. Efek samping yang sering terjadi terutama pada system
gastrointestinal seperti nausea atau vomiting, Efek nefrotoxik pada
daptomisisn (6,7%) lebih rendah jika dibandingkan dengan vankomisin
(18,1%). Aktifitas daptomisin tergantung pada sitokrom p450.
Tigesiklin adalah antibiotic glisilsiklin dengan aktifitas broad spectrum
melawan bakteri aerob, fakultatif gram positif, bakteri gram negative dan
bakteri anaerob dengan penggunaan sistemik. Secara invitro Tigesisiklin aktif
melawan bakteri yang resisten antibiotic seperti VRE (Vankomisin Resistant
Enterococcus

faecalisand

E. faecium), MRSa (Methicillin Resistant

Staphylococcus aureus), ESbl (extended spectrum -lactamase)-producing


gram-negative and carbapenem-resistant bacteria. Bakteri resisten yang

14

diisolasimeliputi (MRSa: 65% of all S. aureusisolates, VRE: 14% of all


enterococcal isolates, ESbl (extended spectrum -lactamase) E. coli: 28%).
Angka keberhasilan secara klinis mencapai 82 % dengan efek samping pada
system gastrointestinal.

Vankomisin adalah antibiotic glikopeptid yang memiliki aktifitas


bakterisidal pada bakteri gram positif secara invitro seperti MRSa (Methicillin
Resistant

Staphylococcus

aureus)

danMSSa

(MethicillinSensitifity

Staphylococcus Aureus). Namun daya penetrasi kedalam jaringan cukup


buruk. Vankomisisn merupakan gold standar pada penanganan infeksi MRSa
dari tahun ketahun selama belum ada obat lain yang memiliki kemampuan
seperti vankomisin.

Karakteristik umum pada anti MRSa yang terdaftar

pada tabel 1 dan 2, dari obat-obat yang telah di analisis bahwa vancomycin,
daptomycin, TMP-SMP, Q/d, fosfomycin dan rifampicin merupakan antibiotic
yang bersifat bacterisidal, sedangkan linezolid, clindamycin dantigecycline
bersifat

bacteriostatic.

Membedakan

penggunaan

bakteriosatik

dan

bakterisidal pada aplikasi klinis tidaklah mutlak dan dapat memperburuk


keadaan sehingga hal ini merupakan asumsi yang salah pada terapi
antimikroba, terutama jika parameter farmakokinetik dan farmakodinamik
seperti penetrasi kedalam jaringan dan ikatan terhadap protein plasma

15

terabaikan. Hal ini perlu diperhatikan adalah membedakan secara microbiologi


dan klinis. Namun sampai saat ini tidak ditemukan keuntungan yang
signifikan penggunaan bactericidal sebagaiterapi cSSTI.

Tidak banyak obat yang memperlihatkan efek yang signifikan terhadap


kemampuan secara klinis dan eradikasi mikroba. Saat ini linezolid pada
percobaan trial memperlihatkan efektifitasnya pada cSSTI (complication skin
and soft tissue infection) yang disebabkan MRSa dan cenderung melebihi
diatas vankomisin dalam keberhasilan klinis dan kemampuan eradikasi.
Dalbavancin merupakan antibiotic lipoglycopeptide yang aktif
melawan bakteri patogen gram positif, memiliki waktu paruh plasma yang
panjang kurang lebih 2 minggu dan 93 % terikat pada protein, sehngga
memungkinkan penggunaanya sekali dosis untuk seminggu. Antibiotik ini
memiliki MIC (Konsentrasi hambat minimal) 90% pada S.aureus 0,06ug per
milliliter. Pasien yang diteliti dilakukan secara acak untuk pemberian
dalbavancin intravena dimulai pada hari 1 dan hari ke- 8 dan kelompok
vankomisin intravena minimal pemberian selama 3 hari dan dilanjutkan
pemberian linezolid per oral untuk menyelesaikan 10 sampai 14 hari terapi.
Pada pasien kelompok dalbavancin diberikan dosis 1 g diberikan secara
intravena selama 30 menit pada hari- 1 kemudian pada hari ke-8 diikuti
pemberian 500 mg diberikan secara intravena selama 30 menit. Sedangkan
pada kelompok pemberian vankomisin-lin, diberikan vankomisin pada dosis 1

16

g (atau 15 mg per kilogram berat badan) diberikan secara intravena selama


120 menit setiap 12 jam selama minimal 3 hari, kemudian diikuti pemberian
peroral linezolid pada dosis 600 mg setiap 12 jam, untuk menyelesaikan 10
sampai 14 hari terapi. Point primer yang dinilai adalah onset respon klinis
yang diperlukan untuk menghentikan penyebaran eritema yang berkaitan
dengan infeksi dan menurunkan demam pada 48 sampai 72 jam. Point
sekunder pada akhir terapi adalah status klinis dan penilaian hasil akhir.
Dari data yang dikumpulkan, 525 dari 659 pasien (79.7%)

pada

kelompok dalbavancin dan 521 dari 653 (79.8%) pada kelompok


vancomycinlinezolid memiliki respon klinis awal yang menunjukkan
keberhasilan terapi dengan perbedaan kurang lebihhanya 0,1%, tingkat
confidence (kepercayaan) 95%. Dari outcomes yang dihasilkan memiliki hasil
yang sama study analisis dan hasil data klinis yang di kumpulkan pada akhir
terapi. Untuk pasien yang terinfeksi oleh Staphylococcus aureus, termasuk
methicillin-resistant S. aureus yang secara klinis berhasil dengan presentase
90.6% dari pasien yang diberikan dalbavancin dan 93.8% pada pasien
vancomycinlinezolid.

17

Efek samping yang terjadi pada kelompok dalbavancin selama study


penelitian ini lebih rendah dari kelompok vancomycinlinezolid. Efek
samping umum yang terjadi yaitu nausea, diarrhea dan pruritus.

Pemberian dalbavancin intravena satu kali seminggu sama dengan


pemberian vankomisin intravena yang diiukuti linezolid oral selama terapi
pada acute bacterial skin and skin-structure infection.

18

BAB III
KESIMPULAN

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,


Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Pioderma merupakan penyakt yang sering
dijumpai. Dibagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, insidennya menduduki tempat ketiga dan berhubungan erat
dengan keadaan sosial ekonomi. Faktor Predisposisi adalah higiene yang kurang,
menurunnya daya tahan tubuh, telah ada penyakit lain di kulit.
Karena disebabkan oleh bakteri, terapi yang diberikan menggunakan
antibiotik yang harus sesuai. Pioderma erat kaitannya dengan keadaan sosial
ekonomi yang rendah dan salah satu faktor predisposisinya adalah kurang
hygiene. Ini merupakan masalah yang penting untuk Negara yang berkembang
seperti Indonesia. Sehingga diperlukan peningkatan menjaga kebersihan untuk
pencegahan terhadap penyakit pioderma.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Hair
Diseases. In: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009; p.846-847.
2. Garna, herry. Patofisiologi infeksi bakteri pada kulit. Jakarta: sari pediatric
volume II;2000
3. Djuanda, Adhi. dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi VI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI;2010
4. Siregar, R. S. Atlas Berwarna Penyakit Kulit. Jakarta: EGC :2004
5. Graham-Brown, Robin. Dermatologi Edisi VIII. Jakarta: Erlangga:2005
6. Boucher, Helen. Once-Weekly Dalbavancin versus Daily Conventional
Therapy for Skin Infection. In: The New England Journal of Medicine.
Vol.370;2014
7. Eckmann, Christian dan Matthew Dryden. Treatment of Complicated Skin
aand Soft-Tissue Infections Caused By Resistent Bacteria: Value of
Linezolid, Tigecycline, Daptomycin and Vancomycin. European Journal of
Medical Research 15;554-563;2010

Anda mungkin juga menyukai