LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Definisi abortus
Menurut definisi WHO, abortus didefinisikan sebagai hilangnya janin atau
embrio dengan berat kurang dari 500 gram setara dengan sekitar 20-22 minggu
kehamilan.
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat
500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau janin belum mampu
untuk hidup di luar kandungan (Prawirohardjo, 2008).
Definisi abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum
janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada
terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama
haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janinneonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Cunningham et al, 2005).
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%). Selain itu
bila terdapat mioma uteri, akan menyebabkan menigkatnya kemungkinan abortus
berulang apabila implantasi plasenta menutupi atau berkontak dengan mioma.
Serviks uteri terdiri atas (1) pars vaginalis servicis uteri yang dinamakan
porsio; (2) pars supravaginalis uteri yaitu bagian serviks yang berada di atas
vagina. Bila terdapat kelainan seperti inkompetensi serviks yaitu keadaan dimana
serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan trimester pertama, dimana ostium servik akan membuka tanpa disertai
rasa mules/kontraksi rahim dan terjadi pengeluaran sehingga menyebabkan
terjadinya abortus berulang.
Saluran yang terdapat dalam serviks disebut kanalis servikalis, berbentuk
seperti saluran lonjong dengan panjang 2,5cm. Saluran ini dilapisi kelenjarkelenjar torak bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran
serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum dan pintu di vagina disebut
ostium uteri eksternum.
Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas:
a. Tunica mucosa atau endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks
uteri. Endometrium terdiri atas epitel kuboid, kelenjar-kelenjar dan jaringan
dengan banyak pembuluh darah yang berkelok-kelok.
b. Tunica muscularis atau myometrium yang sangat tebal dan dibentuk oleh otot
polos yang disokong oleh jaringan ikat. Lapisan otot polos uterus di sebelah
dalam berbentuk sirkular dan di sebelah luar longitudinal. Di antara kedua
lapisan itu terdapat lapisan otot oblik berbentuk anyaman
c. Lapisan serosa, yakni peritoneum visceral.
Ismus adalah bagian uterus antara serviks dan korpus uteri, diliputi oleh
peritoneum viserale yang mudah sekali digeser dari dasarnya atau digerakkan di
daerah plika vesikouterina.
Uterus diperdarahi oleh arteria uterina kiri dan kanan yang terdiri atas ramus
asenden dan desenden. Pembuluh darah ini berasal dari arteria iliaka interna
(disebut juga arteri hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke
dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina.
Pembuluh darah lain yang memberi vaskularisasi ke uterus adalah arteria Ovarika
kiri dan kanan. Arteria ini berjalan dari lateral dinding pelvis melalui ligamentum
infundibulo-pelvikum mengikuti tuba falloppii, beranastomosis dengan ramus
asenden arteria uterina di sebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama-sama
dengan arteri-arteri tersebut kembali melalui pleksus vena hipogastrika.
Gambar 1. Uterus
Sumber :
http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy%20%26%20Physiology/2020/2020%20
Exam%20Reviews/Exam%205/2714a_Uterus_1.jpg
Getah bening yang berasal dari serviks akan mengalir ke daerah obturatorial
dan inguinal, selanjutnya ke daerah vasa iliaka. Dari korpus uteri saluran getah
bening akan menuju ke daerah paraaorta atau paravertebra dalam.
Inervasi uterus terdiri atas sistem simpatetik dan parasimpatetik. Sistem
parasimpatetik berada di dalam panggul di sebelah kanan dan kiri os sakrum,
berasal dari saraf sakral 2, 3, dan 4 yang selanjutnya memasuki pleksus
Frankenhauser. Sistem simpatetik masuk ke rongga panggul sebagai pleksus
hipogastrikus menuju pleksus Frankenhauser. Serabut-serabut saraf tersebut
memberi inervasi pada miometrium dan endometrium. Kedua sistem simpatetik
dan parasimpatetik mengandung unsur motorik dan sensorik. Saraf simpatetik
menimbulkan kontraksi dan vasokontriksi, sedangkan yang parasimpatetik
sebaliknya
yaitu
mencegah
(Prawirohardjo, 2008).
kontraksi
dan
menimbulkan
vasodilatasi
b. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja
atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, sematamata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Abortus spontan terbagi lagi
menjadi :
1) Abortus Iminens
Merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.
10
2) Abortus Insipiens
Adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih
dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
3) Abortus Inkompletus
Adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan
masih ada yang tertinggal.
11
4) Abortus Kompletus
Adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
5) Missed Abortion
Adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah
meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil
konsepsi masih tertahan dalam kandungan lebih dari 4 minggu.
6) Abortus Habitualis
Adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
7) Abortus Infeksious
Adalah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8) Abortus septik
Adalah abortus yang disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman
atau toksinnya ke dalam pembuluh darah atau peritoneum.
12
II.1.4. Epidemiologi
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi
menyatakan kejadian abortus spontan antara 1520% dari semua kehamilan.
Kalau dikaji lebih jauh abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini
dikarenakan tingginya angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui
pada 24 minggu setelah konsepsi (Prawirohardjo, 2008).
WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun
terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13 % dari jumlah total kematian ibu di
seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya
meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 95 % (19 dari setiap 20
abortus) di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat angka
kejadian abortus spontan berkisar antara 10-20% dari kehamilan. Di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Banyumas Unit II Purwokerto, angka kejadian abortus
pada tahun 2007 sebesar 23,70%, pada tahun 2008 meningkat menjadi 30,70%, Di
Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung, prevalensi abortus tercatat sebesar 812% (Dwilaksana, 2010).
Di Indonesia setiap tahun selalu dilakukan pencatatan distribusi penyakit
oleh Departemen Kesehatan RI yang salah satunya adalah penyakit kehamilan.
Dapat dilihat pada lampiran 2 mengenai Tabel Distribusi Penyakit Kehamilan,
Persalinan dan Masa Nifas Pasien Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit,
Indonesia Tahun 2006 diketahui jumlah pasien abortus yang menjalani rawat inap
pada tahun 2006 sebanyak 42.354 orang dengan jumlah pasien meninggal dunia
sebanyak 205 orang. Sedangkan pada lampiran 4 mengenai Tabel Distribusi
Penyakit Kehamilan, Persalinan dan Masa Nifas Pasien Rawat Jalan Menurut
Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006 diketahui jumlah pasien abortus
yang menjalani rawat jalan pada tahun 2006 sebanyak 24.491 orang kasus baru
dan jumlah kunjungan sebanyak 34.103.
Jumlah
keguguran
yang
terjadi
diketahui
akan
menurun
dengan
13
Variabel
Persentase
25-30
Sebelum 6 minggu
18
Selepas 9 minggu
Selepas 14 minggu
50-70
6-10
30-40
1-2
10
25-30
14
15
2) Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus. Merokok
dilaporkan menyebabkan peningkatan risiko abortus. Bagi wanita yang
merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar dua kali lipat
dibandingkan kontrol normal (Cunningham et al, 2005). Sigaret rokok
diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah
diketahui
mempunyai efek
vasoaktif sehingga
menghambat
sirkulasi
3) Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
16
defek
hemostatik.
Penelitian
Tulpalla
dan
kawan-kawan
4) Kelainan Endokrin
Hipotiroidisme
Autoantibodi tiroid dilaporkan menyebabkan peningkatan insidensi
abortus walaupun tidak terjadi hipotiroidisme yang nyata (Cunningham et
al, 2005).
Diabetes melitus
Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada
wanita dengan diabetes dependen-insulin. Risiko ini berkaitan dengan
derajat kontrol metabolik pada trimester pertama. Dalam suatu studi
17
5) Faktor autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dengan penyakit
autoimun.
Misalnya Systematic
Lupus
Erithematosus (SLE)
yang
penting,
yaitu Lupus
International
Consensus
Workshop pada
1998
mengajukan
18
6) Faktor uterus
Anomali kongenital uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin.
Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan.
Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27
persen pasien (Prawirohardjo, 2008).
19
7) Faktor Janin
Temuan morfologis tersering pada abortus spontan dini adalah kelainan
perkembangan zigot, mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang
plasenta. Dalam suatu analisis terhadap 1000 abortus spontan, dijumpai ovum
patologis yang pada separuhnya mudigah mengalami degenerasi atau tidak ada
sama sekali (Cunningham et al, 2005).
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotipe
embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan
kelainan sitogenik. Bagaimanapun gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan gen tunggal (kelainan mendelian) atau mutasi pada
beberapa lokus (gangguan poligenik dan multifaktor) yang tidak terdeteksi
dengan pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau
poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan
20
Insiden trisomi
meningkat
dengan
bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh
trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir
abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan
penyebab 20-25% kelainan sitogenik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan
Sindroma Down (trisomi21) bisa bertahan.
Pengelolaan
standar
menyarankan
untuk
pemeriksaan
genetik
amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun.
Risiko ibu terkena aneploidi adalah 1 : 80, pada usia di atas 35 tahun karena
angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35
tahun.
Kealainan lain umunya berhubungan dengan fertilisasi abnormal
(tetraploidi, triploidi). Tetraploidi terjadi pada 8% kejadian abortus karena
kelainan kromosom, dimana terjadinya kelaian pada fase sangat awal sebelum
proses pembelahan.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan
struktural terjadi pada 3% kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan
bahwa kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan
struktur kromosom pada pria berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma,
infertilitas, dan bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya
mutasi gen yang bisa menganggu proses implantasi bahkan menyebabkan
abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus
berulang adalah myotonis distrophy, yang berupa autosom dominan dengan
penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif dan penyebab abortusnya mungkin
karena kombinasi gen yang abnormal dan mengganggu fungsi uterus.
(Prawirohardjo 2008 ; Farcas et al 2007).
21
misalnya
disfibrinogenemi,
defisiensi
faktor
XIII
dan
8) Faktor Ayah
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya
abortus spontan. Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat
menyebabkan abortus. Adenovirus atau herpes simpleks ditemukan pada 40
persen sampel semen yang diperoleh dari pria steril. Virus terdeteksi dalam
bentuk laten pada 60 persen sel, dan virus yang sama dijumpai pada abortus
(Cunningham et al, 2005).
b. Faktor risiko
Faktor risiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis maupun non
biologis, yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam
kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain (Depkes, 2006)
Beberapa faktor risiko diduga merupakan faktor risiko dari kejadian
abortus yaitu (Widjanarko 2009; Cunningham et al 2005; Prawirohardjo 2008;
Mochtar 1998) :
1) Usia
Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia risiko
untuk hamil dan melahirkan (Mulyati, 2003). Menurut Manuaba (1998)
kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat
terjadi pada usia yang masih muda, karena pada saat remaja alat reproduksi
22
belum matang dan belum siap untuk hamil. Menurut Cunningham (2005)
bahwa frekuesnsi abortus bertambah dari 12% pada wanita 20 tahun,
menjadi 26 % pada wanita yang berusia diatas 40 tahun. Menurut
Prawirohardjo (2008) risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80 pada usia
diatas 35 tahun, karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan
meningkat setelah usia 35 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Mulyati di Lima Rumah
Sakit di Jakarta tahun 2003 mendapatkan bahwa terdapat hubungan
bermakna (p=0,004) antara usia ibu dengan kejadian abortus serta ibu
dengan kelompok usia <20 dan >35 tahun memiliki risiko 1,9 kali lebih
besar dibanding kelompok usia 20-35 tahun
Penelitian lainnya oleh Sumarni di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun
2006 menyatakan bahwa Ibu hamil dengan usia <20 dan >35 tahun
mempunyai risiko abortus 3,808
dengan usia 20-35 tahun, dan terdapat hubungan bermakna usia terhadap
kejadian abortus (Sumarni, 2006).
2) Paritas Ibu
Semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin
tinggi risikonya untuk mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan
nifas (Mulyati, 2003). Sejalan dengan pendapat Cunningham (2005) bahwa
risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas.
Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman,
sedangkan risiko terjadinya komplikasi meningkat pada kehamilan,
persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan seterusnya. Demikian juga
dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan kehamilan risiko tinggi
(Mulyati, 2003).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Mulyati di Lima Rumah
Sakit di Jakarta tahun 2003 mendapatkan ibu hamil yang paritasnya <1 dan
>3 mempunyai risiko abortus 1,2 kali dibanding dengan ibu hamil yang
paritasnya 1-3, tetapi secara statistik tidak bermakna (p = 0,447).
23
Anwar
Malang
Periode
Januari-Desember
2003
yang
24
4) Pemeriksaan antenatal
Pemeriksaan antenatal yang baik adalah minimal 1 kali pada trimester
pertama, 1 kali pada trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga.
Keuntungan yang diperoleh dengan melakukan pemeriksaan antenatal dengan
baik adalah kelainan yang mungkin ada atau akan timbul pada kehamilan
tersebut cepat diketahui dan segera dapat diatasi sebelum berpengaruh tidak
baik pada kehamilannya (Prawirohardjo, 2008).
Ibu dengan pemeriksaan antenatal yang tidak baik akan meningkatkan
risiko kehamilan (risiko kesakitan dan kematian), karena akan sulit untuk
mendeteksi kelainan dan kebutuhan yang diperlukan ibu dalam mempersiapkan
kehamilan dan kelahiran secara optimal.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Mulyati di Lima Rumah Sakit
di Jakarta tahun 2003 mendapatkan bahwa ibu yang pemeriksaan antenatal
tidak baik mempunyai risiko abortus 5,4 kali lebih besar dibanding ibu yang
pemeriksaan antenatal baik, dan terdapat hubungan bermakna pemeriksaan
antenatal dengan kejadian abortus (p=0,000).
5) Pendidikan
Umumnya ibu yang mengalami abortus mempunyai pendidikan 1-9
tahun dan memungkinkan abortus pada pendidikan rendah lebih besar
dibanding kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Menurut Prawirohardjo
(2008), bahwa kejadian abortus pada wanita yang berpendidikan lebih rendah
lebih banyak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saifudin (2002) bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan makin rendah kejadian abortus. Angka
kejadian yang tertinggi yaitu pada golongan berpendidikan 10-12 tahun
(SMA). Secara teoritis diharapkan wanita yang berpendidikan lebih tinggi
cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Y. Widyastuti dan Dina Kaspa Eka
di
25
6) Merokok
Merokok dilaporkan menyebabkan penigkatan risiko abortus. Bagi
wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko tersebut sekitar dua
kali lipat dibandingkan kontrol normal (Cunningham et al, 2005).
7) Alkohol
Abortus spontan dan anomali janin dapat terjadi akibat sering
mengkonsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Angka abortus
meningkat dua kali lipat pada wanita yang minum 2 kali setiap minggu, dan
tiga kali pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap hari (Cunningham et
al, 2005).
II.1.6. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis, kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing
dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan
isinya.
Pada kehamilan kurang dari delapan minggu, hasil konsepsi biasanya
dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara
mendalam. Pada kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua
lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat
menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas umumnya
yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu
kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan
lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
26
bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed
abortion) (Prawirohardjo, 2008)
27
uterus yang masih sesuai dengan kehamilan, gerak janin dan gerak jantung
janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat
penipisan serviks uterus atau pembukaanya.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan
perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi / pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak.
d. Missed Abortion
Hal ini didefenisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah
meninggal in utero selama beberapa minggu. Setelah janin meninggal,
mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan
28
merasa
sembuh,
tetapi pertumbuhan
janin
terhenti.
Pada
pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari
terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan
uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak
beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat
dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks
uterus memungkinkan. Bila usia kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari
20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk
melakukan induksi terlebih dahulu. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain
dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit
dalam 500cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi
sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah
retensi carian tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan
kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau
jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan
tindakan kuretase sebersih mungkin. (Prawirohardjo, 2008).
29
II.1.8. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Adanya amenore kurang dari 20 minggu
2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil konsepsi.
3) Rasa mulas atau keram perut di daerah atas simpisis, sering disertai
keluarnya jaringan konsepsi
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah
normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan
normal atau meningkat.
c. Pemeriksaan ginekologi
1) Inspeksi vulva
Perdarahan pervagina, ada atau tidak hasil konsepsi, tercium atau tidak bau
busuk dari vulva.
2) Inspekula
Ostium uteri terbuka atau tertutup, ada atau tidak cairan atau jaringan
berbau busuk dari ostium.
3) Colok vagina
Porsio masih terbuka , besar uterus lebih kecil atau sesuai dari usia
kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang.
30
d. Pemeriksaan bimanual
Uterus membesar, besar uterus sesuai dengan riwayat haid, tidak
mendatar dan mempunyai konsistensi hamil normal.
e. Pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan USG (Ultrasonografi). Hal ini membantu untuk memeriksa
detak jantung janin dan menentukan apakah embrio berkembang normal.
2) Pemeriksaan darah. HCG beta berguna untuk membedakan dengan
diagnosis banding lainnya.
3) Pemeriksaan jaringan. Jika terdapat sisa jaringan, dapat dikirim ke
laboratorium untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi - dan
bahwa gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan
kehamilan (Sepilian, 2007)
b) Mola hidatidosa
Pada mola hidatidosa tinggi fundus uteri umunya lebih besar dari lama
kehamilan. Amenorea, perdarahan pervaginam dan kadang-kadang pada darah
yang keluar terdapat gelembung mola didalamnya, reaksi kehamilan HCG
positif, pada pemeriksaan USG ditemukan gambaran khas, yaitu berupa badai
salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
31
c) Perdarahan implantasi
Dapat timbul sekitar saat haid yang diperkirakan. Biasanya jumlahnya
lebih dari banyak dari darah haid pertama siklus yang normal, tidak ada nyeri
atau nyeri pinggang penyerta.
II.1.10. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat abortus antara lain adalah:
a) Perdarahan
b) Perforasi
c) Infeksi
d) Syok
II.1.11. Prognosis
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi abortus spontan
sebelumnya (Manuaba, 1998) :
a) Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang rekuren
mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.
b) Pada wanita dengan etiologi abortus yang tidak diketahui, kemungkinan
keberhasilan kehamilan berikutnya sekitar 40-80%.
c) Sekitar 77% angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin
pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan riwayat 2 atau lebih
abortus spontan yang tidak jelas.
32
33
34
Faktor Janin:
1. Perkembangan zigot
Abortus
abnormal
2. Kelainan genetik
Keterangan :
: variabel yang diteliti
Faktor Paternal:
1. Translokasi kromosom pada sperma
2. Penyakit-penyakit ayah
Bagan 1. Kerangka teori
35
Paritas Ibu
Riwayat Abortus
Sebelumnya
Pemeriksaan
Antenatal
Pendidikan