Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

Daftar Isi 1
Kata Pengantar...

Bab I Pendahuluan...........

Bab II HIV ..... 6


II.1 Definisi ....................................... 6
II.2 Etiologi

........................................................ 6

II.3 Patogenesis ............................... 6


II.4 Klasifikasi ............................................................... 8
II.5 Diagnosis Klinik.. 8
II.6 Pemeriksaan Lab ............................................................................ 9
II.7 Pengobatan...................................................................................... 10
II.8 Prognosis dan Pencegahan.............................................................. 12
Bab III HIV Pada Kehamilan... 13
Bab IV Kesimpulan ..................................................................................... 32
Daftar Pustaka ...34

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan referat ini dengan baik.
Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan sedikit kontribusi dalam
dunia kedokteran khususnya agar berguna bagi mahasiswa kedokteran yang sedang
menjalankan kepaniteraan klinik di rumah sakit. Adapun tujuan lain dari penulisan
referat ini yaitu untuk memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi di RSUD Ambarawa.
Penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnan penulis dimasa
yang akan datang, penulis mohon saran dan kritik yang membangun.

Jakarta, Februari 2014

Intan Diah Ningrum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina,
serta air susu ibu. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam
Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, memperkirakan jumlah
ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. 1
Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan
HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. 2 Di Negara
Afrika, HIV/AIDS pada anak masih menempati persentase yang tinggi, yaitu ratarata 47% dari total keseluruhan anak hidup dengan HIV, dimana > 90% yang
terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan,
persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIVpositif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui. 3
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5%
melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak /
PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV
(antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir.

Pada tahun 2011, diperkirakan 330.000 infeksi baru HIV pediatrik secara
global. Skrining HIV universal untuk ibu hamil dapat meningkatkan pencegahan
penularan (PMTCT) dari ibu ke anak.

Pada tahun 2011, 57% wanita hamil dengan HIV di negara berpenghasilan
rendah dan menengah menerima obat antiretroviral yang efektif untuk mencegah
penularan HIV kepada anak mereka.

Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), Jakarta dan Bali
menduduki tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru/ 100.000 penduduk. Jakarta
memiliki jumlah kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin mengetahui definisi,
etiologi, cara penularan, klasifikasi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis,
diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis HIV dalam
kehamilan.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, cara penularan, klasifikasi, patofisiologi
gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan,
dan prognosis HIV dalam kehamilan.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dibidang kedokteran.

3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

BAB II
II.1

HIV(Human Immunodeficiency Virus)

II.1.1 DEFINISI
HIV/AIDS ialah penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh yang
didapat karena infeksi HIV atau dapat juga dikatakan sebagai kumpulan
gejala penyakit karena menurunnya sistem imun seseorang karena terinfeksi
oleh virus HIV.

Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus


II.1.2 ETIOLOGI
Virus HIV, retrovirus, dulu disebut LAV (Lymphadenopathy Associated
Virus) HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV tipe I dan
II
II.1.3 CARA PENULARAN
- Hubungan seksual (Sering berganti pasangan seksual)
- Kontak

langsung

dengan

darah,

produk

darah,

jarum

suntik,

penyalahgunaan obat-obat (drug abuse)


- Vertikal
II.1.4 PATOGENESIS
Virus HIV merupakan suatu retrovirus yang bersifat lymphotropis.
Virus ini dapat memperbanyak diri tanpa memastikan hospesnya. RNA virus
HIV mampu membuat DNA dan RNA dari hospesnya, dibantu dengan enzim
reverse trancriptase, sehingga sulit dikenali oleh sistem antibody tubuh. Virus
6

ini makin banyak hingga akhirnya menyebabkan penurunan kekebalan tubuh


dan perbandingan ratio antara T helper dan T suppressor menjadi terbalik.

Gambar 2. Patogenesis infeksi HIV


Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai
molekul CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit
T4. Sel-sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel langerhans dan sel
mikroglia. Setelah mengikat molekul CD4, virus memasuki sel target dan
melepaskan selubung luarnya. RNA retrovirus ditrankripsi menjadi DNA melalui
transkripsi terbalik.
Beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam
sel target dan membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru
yang bekerja menyerupai pabrik-pabrik untuk virus-virus baru.
Sel target yang normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti
biasanya dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebar. Secara klinis berarti
orang tersebut terinfeksi untuk seumur hidupnya. Jika sel yang terinfeksi ini dipakai
untuk memproduksi virus, demikian juga sel target (sel hospes) akan dirusak dan
virus akan keluar darinya.
Belum jelas faktor-faktor apa yang menjadi activator bagi produksi virus ini.
Mungkin agen endogen seperti CMV atau EBV ikut berperan. Atau mungkin juga
karena faktor-faktor lain yang merusak system kekebalan.

III.I.5 KLASIFIKASI INFEKSI HIV


Stadium 1: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 di atas 500
atau persentase CD4 di atas 29%.
Stadium 2: Tidak ada kondisi terdefinisi AIDS, dan jumlah CD4 200-499 atau
persentase CD4 14-28%.
Stadium 3 (AIDS): Infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes laboratorium
dan jumlah CD4 di atas 200 atau persentase CD4 diatas 14%, atau catatan
kondisi terdefinisi AIDS (yang dikonfirmasi dengan tes laboratorium).
Stadium tidak diketahui: Infeksi HIV yang dikonfirmasi dengan tes
laboratorium dan tidak ada data tentang jumlah atau persentase CD4 dan
tidak ada informasi tentang munculnya kondisi terdefinisi AIDS
Diagnosis Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa (WHO)
Stadium

Gambaran Klinis

Skala Aktivitas

Asimptomatik

Asimptomatik, aktivitas

Limfadenopti generalisata

Berat badan menurun < 10%

Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis

normal

seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren,

II

III

IV

khilitis angularis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

ISPA seperti sinusitis bakterialis

Berat badan menurun > 10%

Diare kronis > 1 bulan

Demam berkepanjangan > 1 bulan

Kandidiasis orofaringeal

Oral hairy leukoplakia

TB paru dalam tahun terakhir

Infeksi bakterial berat seperti pneumonia, piomiositis

HIV wasting syndrome seperti yang didefinisikan CDC

Pneumonia Pneumocytis carinii

Toksoplasmosis otak

Simptomatik, aktivitas normal

Pada umumnya lemah,


aktivitas di tempat tidur < 50%

Pada umumnya sangat lemah,


aktivitas di tempat tidur > 50%

Diare kriptoporidiosis > 1 bulan

Kriptokokosis ekstrapulmonal

Retinitis virus cytomegalo

Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan

Leukoensepalopati multifokal progresif

Mikosis diseminata seperti histoplasmosis

Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus, dan paru

Mikobakteriosis atipikal diseminata

Septisemia salmonelosis non tifoid

Tuberkulosis di luar paru

Limfoma

Sarkoma kaposi

Ensefalopati HIV

III.I.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1.

Pemeriksaan antibody dan antigen HIV


a. Antibodi: cara ELISA, Western Blot, RIPA (Radio Immuno Presipitasi),
IFA
(immunoflourescence)
b. Antigen: isolasi virus, antigen p24 dan PCR.

2.

Penurunan imunitas tubuh


a. Darah tepi: hemoglobin, jumlah leukosit, trombosit, limfosit, gambaran
darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang
b. Imunitas: jumlah sel T, sel B, rasio CD4/CD8
c. Tes kulit: misalnya tes mantoux

3.

Keganasan atau infeksi opotunistik


Pemeriksaan biakan atau serologis ditujukan kepada protozoa, jamur
maupun keganasan.

III.I.7 PENGOBATAN
Ditunjukan untuk : Virus HIV, infeksi oportunis, kanker sekunder, status
kekebalan tubuh, simtomatis dan suportif, termasuk pendekatan psikiatri.
Indikasi pengobatan antiretroviral

Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila infeksi HIV
telah ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di bawah ini:
Tahap lanjut klinis infeksi HIV:

Infeksi HIV stadium IV tanpa memandang jumlah CD4

Infeksi HIV stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3

Infeksi HIV stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3

Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan


ARV pada infeksi HIV simptomatik digunakan limfosit total 1200/mm3,
dan pada pasien asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkolerasi
dengan jumlah CD4.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1 dalam plasma)
tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak direkomendasikan
WHO sebagai tindakan rutin dalam pengambilan keputusan pengobatan.
Tabel Pengobatan ART pada ODHA Dewasa
Tersedia Pemeriksaan CD4

Stadium IV tanpa memandang jumlah CD4


Stadium III dengan CD4 < 350 sel/mm3

Stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3


Tidak Tersedia Sarana Pemeriksaan CD4

Stadium IV tanpa memandang jumlah limfosit total


Stadium III tanpa memandang jumlah limfosit total

Stadium II dengan limfosit total < 1200/mm3

Tabel Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa

Golongan / Nama Obat

Dosis
Nucleoside RTI

Abicavir (ABC)

Didanosine (ddl)

300 mg setiap 12 jam


-

400 mg sekali sehari

(250 mg sekali sehari bila BB < 60 kg)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama dengan TDF)

10

Lamivudine (3TC)

150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari

Stavudine (d4T)

40 mg setiap 12 jam

(30 mg setiap 12 jam bila BB < 60 kg)

Zidovudine (ZDV/AZT)

300 mg setiap 12 jam


Nucleotide RTI

Tenofovir (TDF)

300mg sekali sehari (Interaksi obat dengan ddl, perlu mengurangi dosis ddl)

Non Nucleoside RTIs


Evafirenz (EFV)

600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP)

200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam


Protease Inhibitors

Indinavir/ritonavir
(IDV/r)

800 mg / 100 mg setiap 12 jam

Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)

400 mg / 100 mg setiap 12 jam (533 mg / 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi
dengan EVP atau NVP)

Nelfinavir (NFV)

1250 mg setiap 12 jam

Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)

1000 mg / 100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg / 200 mg sekali sehari

Ritonavir (RTV/r)

Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg / 5 ml

SASARAN OBAT ANTI VIRUS


1. Penghambat pengikatan virus dengan DNA : Soluble CD4
2. Penghambat enzyme reverse transcriptase
- Zidovudine (AZT)
- Zalcitabine (ddC)
- Stavidunie (d4T)
- Didanosine (ddl, videx)
- Lamivudine (3 TC)
- Foscarnet
3. Memutus sintesa rantai DNA
Zidovudine, Didanosine, Zalcitabine
11

4. Memblokir pembentukan dan perkembangan virus : interferon


5. Menghambat pematangan inti virion: protease inhibitor (saquinavir,
indinavir)
REKOMENDASI DIMULAI PENGOBATAN
-

Simtomatik, dianjurkan pengobatan untuk semua pasien

Asimtomatik:
- CD4 <500/ul, dimulai pengobatan
- CD4>500/ul, pengobatan dianjurkan pada pasien dengan >30.000-50.000
copies/mL HIV RNA atau penurunan cepat hitung cel CD4. Pertimbangan
pengobatan bila jumlah HIV RNA > 5.000-10.000cps/mL

III.1.8 PROGNOSIS
Buruk, apabila sudah terjadi gejala opertunistik, dan belum ada obat yang
benar benar tepat

III.1.9 PENCEGAHAN
1. Vaksin belum ada
2. Menghindari faktor resiko
3. Ketentuan wajib lapor untuk petugas kesehatan
4. Peranan Poli Konseling AIDS, LSM dan usaha masyarakat peduli AIDS
5. Peranan jarum suntik dan kondom sangat penting
6. Apabila HIV positif untuk hubungan sex dipilih absentia, be honesty,
condom (ABC).

12

BAB III
HIV PADA KEHAMILAN
Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi pada wanita dengan
HIV positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan. Setelah memperoleh
informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan, serta resiko penularan
terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang diambil ODHA. Efek
infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra
Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin,
dan meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak
berpengaruh pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya
volume cairan tubuh selama kehamilan, disamping itu kadar HIV stabil dan tidak
mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS. Pemantauan
kehamilan pada CD4 < 500 sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia
kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu,
13

kemudian seminggu sekali sampai persalinan. Pemeriksaan tambahan berupa


pemeriksaan laboratorium darah lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas
memungkinkan pada usia kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang
menggunakan pengobatan antiretroviral / CD4 < 200sel/mm3.
1.

Penularan perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin
pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5
10%, saat persalinan sekitar 10 20%, dan saat menyusui sekitar 10 20%
bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi
pada minggu minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi
saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan
bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 30%, bila menyusui sampai 6 bulan
kemungkinan terinfeksi 25 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 1824 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat
melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi,
sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular
HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV,
namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun
parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat
rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir
ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin
lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh
ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi
yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi
pada sekitar 1020% bayi yang disusui selama 18 bulan/lebih. Atas dasar
tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan
diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi
mencapai sekitar 15% dari populasi.
2.

Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi


Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh,
dan virulensi kuman.
14

Faktor ibu :

Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini
disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan
jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa
kehamilan.

Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus menerus,
kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh
ibu tinggi.

Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi


plasenta

Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi

Mastitis

KPD,partus lama,dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi,


episiotomi.

Faktor bayi :

Bayi lahir prematur

Menyusui pada ibu dengan HIV

Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi
dibawah usia 6 bulan.

Pencegahan :
1.

Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak


Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV,
World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of
the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan
penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV,
anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta
dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti
protokol serta kebijakan nasional.
Intervensi PMTCT :
Pemeriksaan dan konseling HIV, antiretroviral, persalinan yang lebih aman,
menyusui yang lebih aman.
Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
15

Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama


persalinan dan masa menyusui

Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV

Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT

Faktor resiko MTCT selama kehamilan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya


malaria)

Infeksi menular seksual

Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)

Faktor resiko MTCT selama persalinan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai

Prosedur persalinan invasif

Janin pertama pada kehamilan multipel

Korioamnionitis

Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

Lama menyusui

Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal

Abses payudara / puting yang terinfeksi

Malnutrisi maternal

Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan
anak, yaitu :
1.

Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita


jangan sampai terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat
jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia
pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal
ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus
dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika
suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian. Transfusi
16

darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas
HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama. Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary
Counseling and Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV.
Sasarannya adalah wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan
menyusui.
2.

Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV


positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1.

Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan


Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak
mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan
penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk
mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah
terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan termasuk
keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga mereka dapat
membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.

2.

Menunda kehamilan berikutnya


Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun
jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :

Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab


dapat menjalarkan infeksi keatas sehingga menimbulkan infeksi
pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan
mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih
mudah terjadi.

Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah


penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai
angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya
seperti kontrasepsi oral atau noorplant.

17

Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti


noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi
pada wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap
perjalanan penyakit HIV.

Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan


maupun mencegah penularan HIV.

Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling
tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).

Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan,
maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
Gantikan efek kontrasepsi menyusui. Tindakan tidak menyusui untuk mencegah
penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi
hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi
empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :

a.

Penggunaan ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)

b.

Penggunaan ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan

c.

Penanganan obstetrik selama persalinan

d.

Penatalaksanaan selama menyusui

Antiretroviral pada Kehamilan


Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral pada
wanita hamil dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi
untuk menurunkan penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang
direvisi pada 24 Februari 2005 oleh Perinatal HIV Guidelines Working
Group menyatakan, pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV-1 positif
berdasarkan keyakinan bahwa pengobatan mempunyai kegunaan yang telah
diketahui bagi wanita selama kehamilan, kecuali ada efek yang diketahui bagi
ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
1. Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS
2. CD4 < 200 sel/mm3

18

3. Viral load > 1000/ml


Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV terhadap
janin. Pengobatan anti HIV merupakan bagian penting dalam menjaga
kesehatan ibu, serta mencegah penularan HIV kepada janin. Keputusan untuk
memulai terapi tergantung pada beberapa faktor, yang juga harus diketahui
oleh wanita yang tidak hamil, yaitu :

Resiko infeksi HIV yang menjadi berat

Resiko dan kegunaan menunda pengobatan

Toksisitas pengobatan, serta interaksi obat dengan obat lain yang


diminum

The need to adhere to a drug regimen closely

Sebagai tambahan, bagi wanita hamil dengan HIV,harus mempertimbangkan:

Keuntungan menurunkan jumlah virus serta menurunkan resiko penularan


HIV dari ibu ke janin

Efek jangka panjang yang belum diketahui terhadap bayi bila


menggunakan obat ARV selama kehamilan

Informasi yang tersedia mengenai penggunaan obat anti HIV selama


kehamilan

Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat
menunda pengobatan sampai usia kehamilan 10 12 minggu. Setelah trimester
pertama, ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan
zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat
dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog
reserve transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI),
merupakan pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa
dengan infeksi HIV-1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan
menggunakan regimen pengobatan ini. Pemilihan pengobatan ARV pada wanita
hamil dengan HIV positif, bergantung pada beberapa pemikiran :

Kemungkinan perubahan dosis kebutuhan sesuai dengan perubahan fisiologis


yang berhubungan dengan kehamilan.

Efek potensial dari obat antiretroviral pada wanita hamil

19

Efek potensial jangka pendek maupun panjang dari obat antiretroviral


terhadap janin maupun bayi, yang mungkin belum diketahui untuk semua
obat antiretroviral
Keputusan penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh

wanita hamil setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan


yang sudah maupun belum diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan
bayinya. Perubahan fisiologis selama kehamilan dapat berpengaruh pada kinetik
absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan eliminasi obat, sehingga juga
mempengaruhi pada dosis obat yang dibutuhkan, serta kemungkinan toksisitas
yang ditimbulkan. Selama kehamilan, waktu transit di saluran pencernaan
memanjang, kadar air serta lemak dalam tubuh meningkat, diikuti dengan
peningkatan cardiac output, ventilasi, serta aliran darah liver dan renal,
penurunan konsentrasi protein plasma, peningkatan reabsorbsi sodium renal,
serta perubahan jalur metabolik enzim di liver. Transport obat pada plasenta,
kompartementalisasi obat pada embrio / fetus dan plasenta, biotransformasi obat
oleh fetus dan plasenta, serta eliminasi obat oleh janin, juga berakibat pada
farmakokinetik obat pada wanita hamil. Pertimbangan tambahan penggunaan
obat pada wanita hamil :

Efek obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik,
metagenitas, maupun karsinogenitas

Farmakokinetik serta toksisitas obat yang ditransport melalui plasenta.

Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya
bergantung pada obat itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat
janin terpapar, durasi paparan, interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada
janin, serta genetik ibu dan janin.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World
Health Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV menurunkan replikasi
virus dan jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin terhadap pemaparan virus
HIV. Obat ARV secara efektif mengobati infeksi HIV maternal serta mencegah
penularan vertikal.
Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis). Pengobatan ARV
merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV /
AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis ARV merupakan

20

penggunaan antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi penularan HIV dari ibu
kepada janin. Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada indikasi,
akan meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan HIV
terhadap janin, dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:
1. Jika tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4,
serta menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:

Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah CD4

Stadium III WHO dengan CD4 < 350/mm3

Stadium I atau II WHO dengan CD4 200/mm3

2. Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk menawarkan


pengobatan ARV pada pasien dengan:

Stadium IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total

Stadium III WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total

Stadium II WHO dengan limfosit total 1200/mm3


Bila pengobatan ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus

segera dilaksanakan. Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester


pertama. Wanita hamil yang memperoleh pengobatan ARV membutuhkan
perawatan serta monitoring berkelanjutan antara program HIV / AIDS lokal. Bila
terjadi koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan pengobatan tambahan serta
penatalaksanaan klinis untuk meminimalkan efek samping. Di negara
berkembang terdapat beberapa regimen antiretroviral untuk mencegah penularan
dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak perlu terapi
ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai 13%, serta
ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif
mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup. Nevirapine
dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom Steven-Johnson, peningkatan serum
aminotransferase, serta hepatitis.
2. AZT

21

Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk
menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun lebih mahal,
sebab memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan.
Mengingat harga obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai
dengan kondisi setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi
AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya
bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia,
intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan resistensi
terhadap antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu singkat,
kurang dari 3 bulan. Walaupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal
dengan nevirapine dapat menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh
ini belum ada bukti untuk itu.
Tabel Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Kondisi Klinis

Regimen bagi Ibu(dosis sesuai tabel 3)

Regimen bagi Bayi

Pastikan tidak sedang dalam keadaan


hamil sebelum memulai ARV

Hindari penggunaan EFV


ODHA dengan indikasi
1. ARV yang mungkin dapat AZT + 3TC + NVP atau
hamil

d4T + 3TC + NVP


Lanjutkan regimen ARV yang
sekarang digunakan
Bila mendapat pengobatan dengan
EFV diganti dengan NVP atau PI pada
ODHA dengan ARV yang
kehamilan trimester I
2.
kemudian hamil

Lanjutkan pengobatan ARV yang sama


selama persalinan dan pasca persalinan

3.

ODHA hamil dengan


inidikasi ARV

Kondisi Klinis

Tunda ARV sampai setelah trimester


I bila mungkin. Bila kondisi buruk
perlu pertimbangkan untung rugi
pemakaian ART dini
ARV seperti pada ODHA biasa
ARV lini I: AZT + 3TC + NVP atau
d4T + 3TC + NVP
EFV tidak boleh diberikan pada
kehamilan trimester I

Regimen bagi Ibu(dosis sesuai tabel 3)

AZT (4mg/kgBB setiap 12 jam)


selama 1 minggu atau

NVP (2mg/kgBB) dosis tunggal


atau

NVP dosis tunggal + AZT selama 1


minggu

NVP dosis tunggal dalam 72 jam


pertama + AZT selama 1 minggu
atau
AZT selama 1 minggu atau

NVP dosis tunggal dalam 72 jam


pertama

Regimen bagi Bayi

22

AZT dimulai pada usia kehamilan 28


minggu atau segera setelah itu,
dilanjutkan selama masa persalinan, +

NVP dosis tunggal pada awal persalinan

NVP dosis tunggal dalam 72 jam


pertama + AZT selama 1 minggu

Regimen alternatif:

4.

ODHA hamil namun


belum ada indikasi ARV

AZT dimulai pada usia kehamilan


28 minggu atau segera setelah itu,
dilanjutkan selama persalinan

AZT + 3TC: sejak kehamilan 36


minggu atau segera setelah itu,
dilanjutkan selama masa
persalinan hingga 1 minggu pasca
persalinan
NVP dosis tunggal intrapartum

AZT selama 1 minggu

AZT + 3TC (2mg/kgBB)


selama 1 minggu

NVP dosis tunggal dalam 72 jam

ODHA hamil dengan


Sesuai butir 4, namun lebih baik
5. indikasi ARV namun tidak menggunakan regimen yang paling efektif
mulai ARV
dari yang ada
Bila dipertimbangkan untuk menggunakan
ARV:

6.

ODHA hamil dengan TB


aktif OAT yang sesuai Bila pengobatan dimulai pada trimester III:
untuk wanita hamil tetap
diberikan
AZT + 3TC + EFV atau d4T + 3TC +
EFV

Ibu hamil dalam masa


persalinan dengan status
HIV tidak diketahui
7.

AZT + 3TC + SQV/r atau


D4T + 3TC + SQV/r

Atau
ODHA yang datang saat
persalinan tetapi belum
pernah mendapat ARV

Bila tidak akan menggunakan ARV,


ikuti butir 4
Bila sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui
status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah
persalinan (dengan persetujuan) dan ikuti butir 8
Bila positif:

Berikan NVP dosis tunggal


Bila persalinan sudah terjadi jangan
berikan NVP, namun ikuti butir 8,
atau

AZT + 3TC saat persalinan hingga

NVP dosis tunggal dalam 72


jam pertama

AZT + 3TC selama 1 minggu

1 minggu pasca persalinan

8.

Bayi lahir dari ODHA


yang belum pernah
mendapat obat ARV

NVP dosis tunggal sesegera mungkin +


AZT selama 1 minggu. Bila diberikan
setelah > 2 hari kurang bermanfaat

23

* Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli
2004
1. Keamanan dan Toksisitas Pengobatan Anti HIV selama Kehamilan
Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil terbatas
dibanding dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui
untuk merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.
Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun
2005 efek jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin in-utero masih
belum diketahui.
Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah nonnucleosid reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP).
Penggunaan jangka panjang NVP dapat menyebabkan beberapa efek samping
negatif seperti kelelahan atau kelemahan, mual, kehilangan nafsu makan,
mata atau kulit yang menguning, atau tanda toksisitas liver seperti liver
pengerasan atau pembesaran atau peningkatan liver enzim. Efek tersebut
belum ditemukan pada penggunaan jangka pendek (satu atau dua dosis) NVP
selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus
diawasi sebab, kehamilan dapat menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas
liver. Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum
pernah mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250
sel/mm3. Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA,
namun tidak direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan
HIV positif. Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat
lahir.

Nucleoside

reverse

transcriptase

inhibitors

(NRTIs)

dapat

menimbulkan toksisitas mitokondrial, yang dapat menimbulkan timbunan


asam laktat dalam darah. Timbunan ini dikenal sebagai hyperlactemia atau
asidosis laktat. Toksisitas ini dapat dipertimbangkan bagi wanita hamil dan
bayinya yang akan terpapar NRTIs secara in-utero.
Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula
darah atau hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya
gejala diabetes mellitus, serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga
merupakan faktor resiko untuk hiperglikemia, namun belum diketahui apakah
24

penggunaan PI meningkatkan resiko timbulnya hiperglikemia yang


berhubungan dengan kehamilan atau diabetes gestasional. Enfuvirtide (T-20)
merupakan satu satunya fusion inhibitor yang disetujui FDA, sangat sedikit
yang diketahui mengenai penggunaannya selama kehamilan.
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan,
maka pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting
untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV
Guidlines Working Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen
pengobatan yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap bayi. Regimen
yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
1.

Wanita hamil dengan HIV


ZDV dimulai pada kehamilan 14 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg,
atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg

2.

Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena

3.

Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam
selam 6 minggu setelah dilahirkan. Bila selama kehamilan wanita hamil
dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan anti HIV lain, maka
pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan. Pilihan
persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada
keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan
pervaginam maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan
cara persalinan harus dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan,
seawal mungkin.

Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif


dengan:

Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36
minggu

Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat


zidovudine selama kehamilan

25

Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36


minggu atau lebih

Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus
dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum
ketuban pecah. Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi
wanita hamil dengan HIV positif dengan:

Sudah memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan

Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu

Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.

Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV
positif bila ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari
wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan
pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea
meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia,
serta resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi,
seksio sesarea meningkatkan resiko infant respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan
seksio sesarea, dan dilanjutkan setelah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus
diberikan selama persalinan dan setelah bayi lahir pada persalinan
pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan adalah meminimalkan kontak
bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan dengan menghindari
pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun forsep. Semua
bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat
pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal
dengan pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian
obat tambahan lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang
terjadwal untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan
untuk melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keadaan
klinik yang diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya ketuban.
Pada wanita yang tidak terinfeksi virus HIV, penatalaksanaan seksio sesarea
tanpa mengetahui kematangan paru janin, menurut ACOG, ditunda sampai
26

pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat memasuki persalinan, untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin. Tindakan seksio sesarea
antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit perbedaan pada
kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang
membutuhkan ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan
kejadian resiko persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia
kehamilan 39 minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio
sesarea, pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif,
sesuai dengan standar dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang
digunakan selama kehamilan harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat
persalinan, dan selama persalinan berlangsung. Dengan meningkatnya
morbiditas maternal akibat infeksi, perlu dipikirkan juga mengenai pemberian
antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun belum ada penelitian mengenai
efisiensinya.
Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal, pada
wanita yang tidak memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang
memperoleh pengobatan ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko
penularan pada ketuban yang pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan.
Prosedur obstetri meningkatkan resiko pemaparan janin terhadap darah ibu,
seperti amniosintesis, serta monitoring secara invasif harus dihindari.
Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada indikasi. Jika terjadi ketuban
pecah dini, sebelum atau menjelang persalinan, perlu dilakukan tindakan
untuk mempersingkat waktu persalinan, seperti pemberian oksitosin, dapat
dipikirkan
Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :

Usaha memaksimalkan kesehatan wanita hamil, pemberian kombinasi


terapi antiretroviral, diharapkan dapat menurunkan jumlah virus serta
angka

penularan

vertikal.

Penurunan

minimum

penularan

HIV,

direkomenndasikan pemberian regimen ZDV profilaksis menurut PACTG


076.

Tingkat plasma HIV-1 RNA harus dimonitor selama kehamilan sesuai


dengan standar pelaksanaan infeksi HIV pada dewasa.

27

Penularan HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea


terencana, pada wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui,
yang

tidak

memperoleh

pengobatan

antiretroviral,

atau

hanya

memperoleh ZDV profilaksis.

Wanita dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan


untuk membicarakan mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk
menurunkan resiko penularan vertikal.

Penatalaksanaan pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan


seksio sesarea dan datang dengan ketuban pecah, atau datang dalam
keadaan persalinan, harus berdasarkan lamanya waktu ketuban pecah,
jalannya

persalinan,

tingkat

plasma

HIV-1

RNA,

pengobatan

antiretroviral sebelumnya, serta faktor klinis lainnya. Masih belum jelas


manfaat tindakan seksio sesarea yang dilakukan setelah ketuban pecah,
atau setelah persalinan berlangsung.

Wanita tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang


berhubungan dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus
seimbang dengan manfaat yang diperoleh bagi janin.

Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang


masih terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan
harus dihormati.

1. Persalinan bagi Wanita Hamil dengan HIV Positif di Indonesia


Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2003 menyebutkan, di negara maju, seksio sesarea sebelum mulai
persalinan dapat mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi sampai 80%
(1,8% dibandingkan 10,5%). Penelitian pada 8533 pasangan ibu dan anak di
Amerika Utara dan Eropa didapatkan bahwa seksio sesarea elektif sebelum
inpartu dan sebelum pecah ketuban dapat menurunkan resiko penularan HIV
dari ibu ke anak sebesar 50% dibandingkan persalinan pervaginam. Bila
seksio sesarea elektif disertai penggunaan pengobatan antiretroviral, maka
resiko dapat diturunkan sampai 87%. Bila dilakukan perbandingan antara
seksio sesarea disertai pengobatan antiretroviral dengan partus pervaginam
yang disertai pengobatan antiretroviral, insiden penularan menjadi 2% pada
28

seksio sesarea elektif dan 7,3% pada partus pervaginam. Walaupun demikian,
seksio sesarea bukanlah operasi tanpa resiko, apalagi pada ODHA dimana
imunitas penderita sangat lemah. Di Zambia dilaporkan 75% ODHA
mengalami keterlambatan penyembuhan luka dengan resiko infeksi
meningkat. Di Ruwanda, seksio sesarea bahkan menyebabkan kematian
penderita ODHA meningkat.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea,
tetapi juga tidak melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah
berbeda, perlu dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan
tersebut, komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.
Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang
tidak perlu, dan dapat menjadi jalur penularan HIV, seperti:

Episiotomi rutin

Ekstraksi vakum

Ekstraksi cunam

Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap

Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam

Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel


darah diambil dari kulit kepala janin

Pasca Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya


Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat mungkin harus
sudah dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah melahirkan. Perinatal HIV
Guidlines Working Group tahun 2005 menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita
dengan HIV positif, mendapat pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa.
Pada orang dewasa dilakukan pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah.
Bayi menyimpan antibodi ibu dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama
beberapa bulan setelah dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi
berusia 1 tahun akan memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak
menderita HIV. Untuk tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung,
bukan untuk mencari antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki
antibodi dari ibunya, sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
29

Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:

Antara 48 jam setelah lahir

Antara 1 2 bulan

Antara 3 6 bulan

Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari
pemeriksaan di atas. Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan
preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan
infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak
terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa
ulang pada usia 15 18 bulan. Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif
harus dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi
harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek samping negatif yang
ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi
tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua

bayi

yang

dilahirkan

dari

wanita

dengan

HIV

positif

direkomendasikan untuk mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk


mencegah penularan HIV dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan
6 12 jam setelah bayi lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan
ARV lainnya. Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus
memperoleh pengobatan untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP).
Pengobatan yang direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan
trimethoprim. Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 6 minggu dan
dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV
positif, maka pengobatan terus dilanjutkan. Berikan penjelasan kepada pasien untuk
dapat memperoleh perawatan kesehatan yang sesuai serta pelayanan pendukung
lainnya bagi ibu dan bayi : Perawatan kesehatan rutin, perawatan khusus HIV,
keluarga berencana, pelayanan kesehatan jiwa, substance abuse treatment, case
management. Wanita dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk
mencegah penularan HIV melalui ASI. Selama masa postpartum dapat terjadi
perubahan fisik dan emosional, bersamaan dengan tekanan dan tanggungjawab untuk
merawat bayi, dapat mempersulit dalam melanjutkan pengobatan regimen ARV.
Perlu juga dibicarakan kepada pasien mengenai:

30

Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang
baik

Rasa depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan)

Rencana jangka panjang untuk melanjutkan perawatan kesehatan dan


pengobatan ARV bagi ibu dan bayi

Penanganan Pasca Persalinan di Indonesia


Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2003, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara lain :
1. Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang, sehingga
pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari atau menunda
kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat
kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
2. Menyusui
Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui bayinya
secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2 tahun atau lebih.
Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab dapat
terjadi penularan HIV antara 10 20%, apalagi bila terdapat lecet pada payudara,
atau terdapat mastitis.
Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk salah gizi dan mudah
terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan dimana ibu tidak bisa
membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan seperti tidak
tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat
diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak
aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 6 bulan, selanjutnya
segera disapih.
Sekitar 50 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6 bulan
pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif selama 6 bulan
mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapat
makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan pada usia < 6

31

bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak dengan makanan
yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang mengakibatkan
peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif selama 4 6 bulan mengurang morbiditas dan mortalitas
akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga berkaitan dengan
resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada payudara ibu. Cara lain
menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di atas 66 C untuk
membunuh virus HIV dan mnyusui hanya dilakukan pada bulan bulan pertama
saja.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi,
kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein,
sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut
harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI sebaiknya
diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan dibandingkan botol.
Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus, dan air tidak
diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan peningkatan
angka kematian bayi.
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan
pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan konseling.
Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan
antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat
anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral dikhawatirkan usia
ibu tidak cukup panjang. Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes
HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang
saat berusia 18 bulan.

BAB IV
KESIMPULAN

32

World

Health

Organization

(WHO)

menyebutkan

bahwa

PMTCT

(programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan


penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta
keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
1.

Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS

2.

CD4 < 200 sel/mm3

3.

Viral load > 1000/ml

Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :


1. Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau 3 x
200 mg, atau 2 x 300 mg
2. Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena, bayi yang dilahirkan
diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6 minggu setelah
dilahirkan.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:

Antara 48 jam setelah lahir

Antara 1 2 bulan

Antara 3 6 bulan

Regimen antiretroviral di negara berkembang untuk mencegah penularan dari ibu


ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama setelah lahir).
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3 jam
selama persalinan berlangsung. Hindari tindakan obstetrik invasif yang tidak
perlu, seperti: Episiotomi rutin, ekstraksi vakum, ekstraksi cunam, pemecahan
ketuban sebelum pembukaan lengkap, terlalu sering melakukan pemeriksaan
dalam, memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin Pasca persalinan, antara lain :
1. Kontrasepsi
33

Kontrasepsi yang dianjurkan dengan menggunakan kondom. Seorang ODHA


sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post
partum.
2. Menyusui
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan
pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera
disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Ibu minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral
semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya
sampai cukup besar..Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes
HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif
diulang saat berusia 18 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

34

1. Http://bobbyindrautama.blogspot.com/2008/09/hiv-pada-kehamilanpersalinan-dan-pasca_25.html
2. ALARM INTERNATIONAL: A Program to Reduce Maternal Mortality and
Morbidity
3. Treatment for Adult HIV Infection.2006 Recommendations of the
International AIDS Society-USA Panel. JAMA. 2006;296:827-843.
4. Antiretroviral Drug Resistance Testing in Adults Infected with Human
Immunodeficiency Virus Type 1: 2003 Recommendations of an International
AIDS Society-USA Panel CID 2003; 37:113-28.
5. http://www.who.int/hiv/topics/mtct/en/index.html
6. McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in :
Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition. 2003. McGraw&Hill
Company. Singapore (1140-50).
7. Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Kelompok Studi Kasus
AIDS FKUI/RSUPN dr.Ciptomangunkusumo. Infeksi HIV pada Kehamilan.
2003. FKUI. Jakarta (1 32).
8. Volderding A, Sande A.. The Medical Management of AIDS. 4th edition. 1995.
WB Saunders Company. United State of America . (22-4, 614-32).
9. Behrman, Kliegman, Jenson. Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human
Immunodeficiency Virus). in: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition.
2004. WB Saunders Company. Philadelpia. (1109-20).
10. Suwendra, Putu.. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2001. IDAI. Jakarta
(281-301).
11. Maslow S. AIDS in Gynocology in Gynecology and Obstetrics Sciarra.
Volume 1 Edisi Revisi.1995. J.B Lippincott Company 46. Philadelphia (112).
12. Walker K, Stratton P. Human Immunodeficiency Virus (HIV) In Non Pregnant
Women in Text Book of Gynecology. 2th edition. 2000. WB Saunders
Company. United State of America (895 902).
13. Djauzi, Samsuridjal&djoerban, Zubairi. Penatalaksanaan Infeksi HIV di
Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi kedua. 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta (1, 3-4, 8-10, 19-20, 26-48).

35

14. Murati T P. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Ketiga. 1996. FKUI. Jakarta. (543-50).
15. http://www.google.com . HIV and AIDS. 2002.
16. Direktorat

Jenderal

Pemberantasan

Penyakit

Menular&Penyehatan

Lingkungan Departemen Kesehatan RI.. Pedoman Nasional Perawatan,


Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA. 2003. Departemen Kesehatan RI
Jakarta (4-6, 21-7, 68-104).
17. http://www.google.com. Konseling HIV-AIDS. 2000
18. Berek S. Human Immunodeficiency Virus (HIV). in Novaks Gynecology. 13th
edition. 2003. Lippincott William&Wilkins Wloter Kluwer Company.
Philadelpia (465-7).
19. De Cherney H, Nathan L. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection. in
Current Obstetric&Gynecologyc Diagnosis&Treatment. 9th Edition. Mc
Graw-Hill Companies. United State (745-8).
20. http://www.yahoo.com. Image. Genom dan protein HIV.
21. http://www.yahoo.com. Image. Siklus Replikasi Virus HIV

36

Anda mungkin juga menyukai