HIV Pada Kehamilan Persalinan Dan Pasca Persalinan
HIV Pada Kehamilan Persalinan Dan Pasca Persalinan
Daftar Isi 1
Kata Pengantar...
Bab I Pendahuluan...........
........................................................ 6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan referat ini dengan baik.
Penulisan referat ini bertujuan untuk memberikan sedikit kontribusi dalam
dunia kedokteran khususnya agar berguna bagi mahasiswa kedokteran yang sedang
menjalankan kepaniteraan klinik di rumah sakit. Adapun tujuan lain dari penulisan
referat ini yaitu untuk memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi di RSUD Ambarawa.
Penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnan penulis dimasa
yang akan datang, penulis mohon saran dan kritik yang membangun.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina,
serta air susu ibu. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam
Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, memperkirakan jumlah
ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. 1
Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan
HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. 2 Di Negara
Afrika, HIV/AIDS pada anak masih menempati persentase yang tinggi, yaitu ratarata 47% dari total keseluruhan anak hidup dengan HIV, dimana > 90% yang
terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan,
persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIVpositif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui. 3
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5%
melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak /
PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV
(antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir.
Pada tahun 2011, diperkirakan 330.000 infeksi baru HIV pediatrik secara
global. Skrining HIV universal untuk ibu hamil dapat meningkatkan pencegahan
penularan (PMTCT) dari ibu ke anak.
Pada tahun 2011, 57% wanita hamil dengan HIV di negara berpenghasilan
rendah dan menengah menerima obat antiretroviral yang efektif untuk mencegah
penularan HIV kepada anak mereka.
Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), Jakarta dan Bali
menduduki tempat teratas untuk tingkat kasus HIV baru/ 100.000 penduduk. Jakarta
memiliki jumlah kasus baru tertinggi (4.012 pada tahun 2011).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin mengetahui definisi,
etiologi, cara penularan, klasifikasi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis,
diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis HIV dalam
kehamilan.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, etiologi, cara penularan, klasifikasi, patofisiologi
gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan,
dan prognosis HIV dalam kehamilan.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dibidang kedokteran.
BAB II
II.1
II.1.1 DEFINISI
HIV/AIDS ialah penyakit akibat menurunnya daya tahan tubuh yang
didapat karena infeksi HIV atau dapat juga dikatakan sebagai kumpulan
gejala penyakit karena menurunnya sistem imun seseorang karena terinfeksi
oleh virus HIV.
langsung
dengan
darah,
produk
darah,
jarum
suntik,
Gambaran Klinis
Skala Aktivitas
Asimptomatik
Asimptomatik, aktivitas
Limfadenopti generalisata
normal
II
III
IV
khilitis angularis
Kandidiasis orofaringeal
Toksoplasmosis otak
Kriptokokosis ekstrapulmonal
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
2.
3.
III.I.7 PENGOBATAN
Ditunjukan untuk : Virus HIV, infeksi oportunis, kanker sekunder, status
kekebalan tubuh, simtomatis dan suportif, termasuk pendekatan psikiatri.
Indikasi pengobatan antiretroviral
Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila infeksi HIV
telah ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di bawah ini:
Tahap lanjut klinis infeksi HIV:
Dosis
Nucleoside RTI
Abicavir (ABC)
Didanosine (ddl)
10
Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)
40 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV/AZT)
Tenofovir (TDF)
300mg sekali sehari (Interaksi obat dengan ddl, perlu mengurangi dosis ddl)
Nevirapine (NVP)
Indinavir/ritonavir
(IDV/r)
Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
400 mg / 100 mg setiap 12 jam (533 mg / 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi
dengan EVP atau NVP)
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
Asimtomatik:
- CD4 <500/ul, dimulai pengobatan
- CD4>500/ul, pengobatan dianjurkan pada pasien dengan >30.000-50.000
copies/mL HIV RNA atau penurunan cepat hitung cel CD4. Pertimbangan
pengobatan bila jumlah HIV RNA > 5.000-10.000cps/mL
III.1.8 PROGNOSIS
Buruk, apabila sudah terjadi gejala opertunistik, dan belum ada obat yang
benar benar tepat
III.1.9 PENCEGAHAN
1. Vaksin belum ada
2. Menghindari faktor resiko
3. Ketentuan wajib lapor untuk petugas kesehatan
4. Peranan Poli Konseling AIDS, LSM dan usaha masyarakat peduli AIDS
5. Peranan jarum suntik dan kondom sangat penting
6. Apabila HIV positif untuk hubungan sex dipilih absentia, be honesty,
condom (ABC).
12
BAB III
HIV PADA KEHAMILAN
Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi pada wanita dengan
HIV positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan. Setelah memperoleh
informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan, serta resiko penularan
terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang diambil ODHA. Efek
infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus, prematuritas, IUGR (Intra
Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra Uterin Fetal Death), penularan pada janin,
dan meningkatnya angka kematian ibu. Sebaliknya, kehamilan hampir tidak
berpengaruh pada infeksi HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya
volume cairan tubuh selama kehamilan, disamping itu kadar HIV stabil dan tidak
mempengaruhi resiko kematian atau perkembangan menjadi AIDS. Pemantauan
kehamilan pada CD4 < 500 sel/mm3 dianjurkan setiap 3 minggu sampai usia
kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 36 minggu,
13
Penularan perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin
pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5
10%, saat persalinan sekitar 10 20%, dan saat menyusui sekitar 10 20%
bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi
pada minggu minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi
saat menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan
bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 30%, bila menyusui sampai 6 bulan
kemungkinan terinfeksi 25 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang
sampai 1824 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat
melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi,
sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular
HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV,
namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun
parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat
rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir
ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin
lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh
ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi
yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan terjadi
pada sekitar 1020% bayi yang disusui selama 18 bulan/lebih. Atas dasar
tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan
diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi
mencapai sekitar 15% dari populasi.
2.
Faktor ibu :
Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini
disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan
jumlah virus pada ibu yang tertular HIV sebelum atau selama masa
kehamilan.
Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus menerus,
kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh
ibu tinggi.
Mastitis
Faktor bayi :
Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi
dibawah usia 6 bulan.
Pencegahan :
1.
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Korioamnionitis
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Malnutrisi maternal
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan
anak, yaitu :
1.
darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah dinyatakan bebas
HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama. Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary
Counseling and Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV.
Sasarannya adalah wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan
menyusui.
2.
2.
17
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling
tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan,
maka pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
Gantikan efek kontrasepsi menyusui. Tindakan tidak menyusui untuk mencegah
penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi
hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya meliputi
empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
a.
b.
c.
d.
18
Wanita hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat
menunda pengobatan sampai usia kehamilan 10 12 minggu. Setelah trimester
pertama, ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan
zidovudine (dikenal juga dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat
dipertimbangkan, sesuai dengan jumlah CD4 dan jumlah virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua nucleoside analog
reserve transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease inhibitor (PI),
merupakan pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang dewasa
dengan infeksi HIV-1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak diperkenankan
menggunakan regimen pengobatan ini. Pemilihan pengobatan ARV pada wanita
hamil dengan HIV positif, bergantung pada beberapa pemikiran :
19
Efek obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik,
metagenitas, maupun karsinogenitas
Akibat yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya
bergantung pada obat itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat
janin terpapar, durasi paparan, interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada
janin, serta genetik ibu dan janin.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World
Health Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV menurunkan replikasi
virus dan jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin terhadap pemaparan virus
HIV. Obat ARV secara efektif mengobati infeksi HIV maternal serta mencegah
penularan vertikal.
Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis). Pengobatan ARV
merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk mengobati infeksi HIV /
AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis ARV merupakan
20
penggunaan antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi penularan HIV dari ibu
kepada janin. Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada indikasi,
akan meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan HIV
terhadap janin, dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:
1. Jika tersedia pemeriksaan CD4, direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4,
serta menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:
21
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300 mg setiap 3
jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk
menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun lebih mahal,
sebab memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan.
Mengingat harga obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai
dengan kondisi setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang mengkonsumsi
AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan penanganannya
bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah netropenia,
intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati, asidosis laktat.
Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan resistensi
terhadap antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu singkat,
kurang dari 3 bulan. Walaupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal
dengan nevirapine dapat menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh
ini belum ada bukti untuk itu.
Tabel Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Kondisi Klinis
3.
Kondisi Klinis
22
Regimen alternatif:
4.
6.
Atau
ODHA yang datang saat
persalinan tetapi belum
pernah mendapat ARV
8.
23
* Dikutip dari: "Recommendation on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli
2004
1. Keamanan dan Toksisitas Pengobatan Anti HIV selama Kehamilan
Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil terbatas
dibanding dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui
untuk merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.
Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun
2005 efek jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin in-utero masih
belum diketahui.
Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah nonnucleosid reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP).
Penggunaan jangka panjang NVP dapat menyebabkan beberapa efek samping
negatif seperti kelelahan atau kelemahan, mual, kehilangan nafsu makan,
mata atau kulit yang menguning, atau tanda toksisitas liver seperti liver
pengerasan atau pembesaran atau peningkatan liver enzim. Efek tersebut
belum ditemukan pada penggunaan jangka pendek (satu atau dua dosis) NVP
selama kehamilan. Kondisi pasien selama pengobatan dengan NVP harus
diawasi sebab, kehamilan dapat menimbulkan beberapa gejala awal toksisitas
liver. Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada wanita yang belum
pernah mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan CD4 > 250
sel/mm3. Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui oleh FDA,
namun tidak direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan
HIV positif. Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat
lahir.
Nucleoside
reverse
transcriptase
inhibitors
(NRTIs)
dapat
2.
Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
3.
Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam
selam 6 minggu setelah dilahirkan. Bila selama kehamilan wanita hamil
dengan HIV positif sudah mendapat pengobatan anti HIV lain, maka
pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal selama persalinan. Pilihan
persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada
keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan
pervaginam maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan
cara persalinan harus dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan,
seawal mungkin.
Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36
minggu
25
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus
dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum
ketuban pecah. Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi
wanita hamil dengan HIV positif dengan:
Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.
Persalinan pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV
positif bila ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari
wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan
pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea
meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia,
serta resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi,
seksio sesarea meningkatkan resiko infant respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan
seksio sesarea, dan dilanjutkan setelah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus
diberikan selama persalinan dan setelah bayi lahir pada persalinan
pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan adalah meminimalkan kontak
bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan dengan menghindari
pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum maupun forsep. Semua
bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus memdapat
pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal
dengan pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian
obat tambahan lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang
terjadwal untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan
untuk melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keadaan
klinik yang diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya ketuban.
Pada wanita yang tidak terinfeksi virus HIV, penatalaksanaan seksio sesarea
tanpa mengetahui kematangan paru janin, menurut ACOG, ditunda sampai
26
pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat memasuki persalinan, untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin. Tindakan seksio sesarea
antara usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit perbedaan pada
kemungkinan peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang
membutuhkan ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan
kejadian resiko persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia
kehamilan 39 minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan seksio
sesarea, pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif,
sesuai dengan standar dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang
digunakan selama kehamilan harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat
persalinan, dan selama persalinan berlangsung. Dengan meningkatnya
morbiditas maternal akibat infeksi, perlu dipikirkan juga mengenai pemberian
antibiotik profilaksis perioperatif, walaupun belum ada penelitian mengenai
efisiensinya.
Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal, pada
wanita yang tidak memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang
memperoleh pengobatan ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko
penularan pada ketuban yang pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan.
Prosedur obstetri meningkatkan resiko pemaparan janin terhadap darah ibu,
seperti amniosintesis, serta monitoring secara invasif harus dihindari.
Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada indikasi. Jika terjadi ketuban
pecah dini, sebelum atau menjelang persalinan, perlu dilakukan tindakan
untuk mempersingkat waktu persalinan, seperti pemberian oksitosin, dapat
dipikirkan
Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :
penularan
vertikal.
Penurunan
minimum
penularan
HIV,
27
tidak
memperoleh
pengobatan
antiretroviral,
atau
hanya
persalinan,
tingkat
plasma
HIV-1
RNA,
pengobatan
seksio sesarea elektif dan 7,3% pada partus pervaginam. Walaupun demikian,
seksio sesarea bukanlah operasi tanpa resiko, apalagi pada ODHA dimana
imunitas penderita sangat lemah. Di Zambia dilaporkan 75% ODHA
mengalami keterlambatan penyembuhan luka dengan resiko infeksi
meningkat. Di Ruwanda, seksio sesarea bahkan menyebabkan kematian
penderita ODHA meningkat.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea,
tetapi juga tidak melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah
berbeda, perlu dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan
tersebut, komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.
Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang
tidak perlu, dan dapat menjadi jalur penularan HIV, seperti:
Episiotomi rutin
Ekstraksi vakum
Ekstraksi cunam
Antara 1 2 bulan
Antara 3 6 bulan
Bayi dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari
pemeriksaan di atas. Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan
preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan
infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini tidak
terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus diperiksa
ulang pada usia 15 18 bulan. Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif
harus dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan. Bayi
harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek samping negatif yang
ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi. Bayi
tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi lainnya.
Semua
bayi
yang
dilahirkan
dari
wanita
dengan
HIV
positif
30
Hal yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang
baik
31
bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak dengan makanan
yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang mengakibatkan
peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif selama 4 6 bulan mengurang morbiditas dan mortalitas
akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga berkaitan dengan
resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada payudara ibu. Cara lain
menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di atas 66 C untuk
membunuh virus HIV dan mnyusui hanya dilakukan pada bulan bulan pertama
saja.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti sapi,
kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak protein,
sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu tersebut
harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI sebaiknya
diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan dibandingkan botol.
Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus, dan air tidak
diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan peningkatan
angka kematian bayi.
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan
pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu mendapatkan konseling.
Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan
antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat
anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral dikhawatirkan usia
ibu tidak cukup panjang. Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes
HIV harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang
saat berusia 18 bulan.
BAB IV
KESIMPULAN
32
World
Health
Organization
(WHO)
menyebutkan
bahwa
PMTCT
2.
3.
Antara 1 2 bulan
Antara 3 6 bulan
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Http://bobbyindrautama.blogspot.com/2008/09/hiv-pada-kehamilanpersalinan-dan-pasca_25.html
2. ALARM INTERNATIONAL: A Program to Reduce Maternal Mortality and
Morbidity
3. Treatment for Adult HIV Infection.2006 Recommendations of the
International AIDS Society-USA Panel. JAMA. 2006;296:827-843.
4. Antiretroviral Drug Resistance Testing in Adults Infected with Human
Immunodeficiency Virus Type 1: 2003 Recommendations of an International
AIDS Society-USA Panel CID 2003; 37:113-28.
5. http://www.who.int/hiv/topics/mtct/en/index.html
6. McFarland, Elizabeth J. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in :
Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition. 2003. McGraw&Hill
Company. Singapore (1140-50).
7. Yunihastuti E, Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Kelompok Studi Kasus
AIDS FKUI/RSUPN dr.Ciptomangunkusumo. Infeksi HIV pada Kehamilan.
2003. FKUI. Jakarta (1 32).
8. Volderding A, Sande A.. The Medical Management of AIDS. 4th edition. 1995.
WB Saunders Company. United State of America . (22-4, 614-32).
9. Behrman, Kliegman, Jenson. Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human
Immunodeficiency Virus). in: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th Edition.
2004. WB Saunders Company. Philadelpia. (1109-20).
10. Suwendra, Putu.. Human Immunodeficiency Virus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi&Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2001. IDAI. Jakarta
(281-301).
11. Maslow S. AIDS in Gynocology in Gynecology and Obstetrics Sciarra.
Volume 1 Edisi Revisi.1995. J.B Lippincott Company 46. Philadelphia (112).
12. Walker K, Stratton P. Human Immunodeficiency Virus (HIV) In Non Pregnant
Women in Text Book of Gynecology. 2th edition. 2000. WB Saunders
Company. United State of America (895 902).
13. Djauzi, Samsuridjal&djoerban, Zubairi. Penatalaksanaan Infeksi HIV di
Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi kedua. 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta (1, 3-4, 8-10, 19-20, 26-48).
35
Jenderal
Pemberantasan
Penyakit
Menular&Penyehatan
36