Oleh:
Rahmat Setiawan
118694011
Khoirun Nisa
118694013
118694018
Ullifatul Amalia
118694027
Oktiafery Wicaksono
118694033
Ahmad Kholid
118694037
Diana Amalia P.
118694045
Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi namun sukar untuk
dipertahankan, sebab orang miskin dan pengangguran yang memperoleh bantuan dari
pemerintah menikmati banyak seklai jasa dari pekerjaan negara, tetapi merekajustru
tidak membayar pajak.
c. Teori Daya Pikul / Teori Gaya Pikul
Teori ini mengukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan
membayar dari para wajib pajak (individu individu) sehingga besaran semua pajak
pajak harus sesuai dengan kemampuan wajib pajak dengan memperhatikan pada
besarnya penghasilan, kekayaan, dan pengeluaran wajib pajak.
Kelemahan teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul seseorang
(kemampuan finansial), karena akan berbeda dan selalu berubah ubah. Teori daya
pikul ini diterapkan pada Pajak Penghasilan, dimana wajib pajak baru akan dikenai
Pajak Penghasilan bila memperoleh penghasilan melebihi Pengahsilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).
d. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini daidasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang
mengajarkan
bahwa
negara
sebagai
organisasi
mempunyai
tugas
untuk
menitik beratkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yakni fungsi
mengatur.
3. Sistem Perpajakan
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Self Assesment System
Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan oleh pemerintah
untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan jumlah pajak
yang terutang. Sedangkan fiscus hanya berperan untuk mengawasi. Pajak pusat
yang menggunakan sistem pemungutan ini adalah PPh (Pajak Penghasilan) dan
PPN (Pajak Pertambahan Nilai.
2. Official Assesment System
Dalam sistem pemungutan ini, fiscus berperan aktif dalam menghitung dan
menetapkan besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini Wajib Pajak bersifat
pasif dan utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh
fiskus. Pajak pusat yang menganut sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).
3. Witholding System
Dalam sistem ini pihak ketiga, diberikan tanggung jawab untuk
menghitung, menetapkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang sudah dipotong
atau dipungut. Sistem perpajakan ini lebih disebut sebagai pemotongan atau
pemungutan pajak.
4.
dan menghambat investasi; dalam upaya mengurangi tarif pajak marginal bagi
perseorangan dan badan usaha, para ekonom berpendapat bahwa peningkatan
usaha kerja dan investasi yang dihasilkan oleh pengurangan tarif pajak
tersebut akan mengurangi stagflasi.
Tarif Pajak Marginal adalah tarif yang segera akan berlaku apabila
penghasilan kena pajak Wajib Pajak akan melewati bracket tertentu.
Undang-Undangnya.
Tarif pajak Marginal dalam menentukan besarnya tarif pajaknya juga
mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal
17 ayat 1 yaitu sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000
Di atas Rp 25.000.000
Sampai dengan Rp 50.000.000
Di atas Rp 50.000.000
Sampai dengan Rp 100.000.000
Di atas Rp 100.000.000
Sampai dengan Rp 200.000.000
Di atas Rp 200.000.000
Tarif Pajak
5%
10 %
15 %
25 %
35 %
Contohnya:
Wajib pajak orang pribadi yang mempunyai PKP sebesar Rp
26.000.000 maka untuk jumlah Rp 25.000.000 dikenakan tarif 5% sedangkan
untuk jumlah Rp 1.000.000 dikenakan tarif marginal sebesar 10%. Persentase
tariff ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. Contoh 0
sampai Rp. 50.000.000 10% Rp. 50.000.000 sampai Rp. 100.000.000 15% dan
seterusnya.
b) Tarif Pajak Efektif
Tarif yang sesungguhnya berlaku atas penghasilan Wajib Pajak.
Penghasilan disini dapat berarti penghasilan kotor atau penghasilan netto atau
Penghasilan Kena Pajak, tergantung pada kebutuhan atau dari segi mana
seseorang ingin melihat beban tarifnya.
Undang-Undangnya:
Penggunaan tarif pajak efektif seperti pada Undang-Undang Pajak
Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 17 A yaitu sebagai berikut:
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000
Di atas Rp 25.000.000
Sampai dengan Rp 50.000.000
Di atas Rp 50.000.000
Sampai dengan Rp 100.000.000
Di atas Rp 100.000.000
Sampai dengan Rp 200.000.000
Di atas Rp 200.000.000
Tarif Pajak
5%
10 %
15 %
25 %
35 %
Contohnya:
Wajib pajak yang bernama Pak Budi pada tahun 2001 mempunyai PKP
sebesar Rp 300.000.000. Jika dikenakan tarif yang diatur dalam pasal 17 ayat
(1) huruf a, maka jumlah pajak yang terutang adalah Rp 71.250.000. Dengan
perincian sebagai berikut:
Rp 300.000.000,00
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas
dasar pengenaan pajak tertentu. Contoh Penghasilan Kena Pajak Rp.
80.000.000.
10% x Rp. 50.000.000
= Rp. 5.000.000
= Rp. 4.500.000
Total
= Rp. 9.500.000
Tarif efektifnya
- Berdasarkan Strukturnya
a) Tarif Propoersional/Sebanding
Tariff pajak proposional yaitu berupa persentase tetap terhadap jumlah
berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering disebut tariff tunggal.
Contoh : Tarif Pajak Pertambahan Nilai 10%, PBB 0,5% dan BPHTB 5%
b) Tarif Progresif
Tarif pajak progresif adalah tariff yang persentasenya menjadi lebih besar
apabila yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Misalnya :
c) Tarif Degresif
Tarif pajak degresif adalah persentase tariff pajak yang semakin menurun
apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.
d) Tarif Tetap
Dalam tarif pajak tetap ini adalah tariff berupa jumlah yang ettap (sama
besarnya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Asas keadilan dalam pemungutan pajak tampak pada besaran tarif pajak yang di
kenakan pada masing masing wajib pajak yang berbeda beda, bergantung
pada besaran penghasilan wajib pajak dari masing masing wajib pajak. Semakin
besar penghasilan wajib pajaknya maka semakin besar pula pajak yang hasus di
bayarkannya, begitupun sebaliknya semakin kecil penghasilan kena pajaknya
maka semakin kecil pula pajak yang harus di serahkan.
Setiap warga negara Indonesia yang telah berpenghasilan dan penghasilan itu
sudah memenuhi batas pengenaan pajak maka setiap warga negara itu harus
membayar pajak. Tanpa melihat suku, ras, golongan, agama, gender dan status
kehidupan.
Apabila dalam pemungutan pajak, wajib pajak merasa keberatan atas pajak yang
dibayarkan atau dikenakan maka dalam hal ini asas keadilan berguna untuk
memberikan hak kepada setiap wajib pajak mengajukan keberatan penundaan dan
mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
generasi muda yang sadar akan pajak. Selain itu, dapat juga dengan pembekalan dalam
mata kuliah akuntansi perpajakan dan hukum pajak serta mata kuliah lainnya yang
berkaitan dengan pajak untuk memberikan informasi seputar sistem perpajakan di
Indonesia.