Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS IV

MODUL ORGAN : TROPIK INFEKSI


SEORANG LAKI-LAKI DENGAN DEMAM, BERKERINGAT DAN MENGGIGIL

KELOMPOK 2
030.
Dewi Fitriani

030.

Jimmy

030.10.143

Jordan David

030.10.144

Kalvika Vatangga G.

030.10.145

Kamilah Nasar

030.10.146

Karamina Maghfirah

030.10.147

Kartika Hermawan

030.10.149

Kelly Khesya

030.10.150

Kezia Marsilina

030.10.151

Komang Ida WR.

030.10.152

Krisliana Jeane

030.10.154

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Jakarta, 28 Juni 2012

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
LAPORAN KASUS

Lembar 1
Seorang laki-laki usia 42 tahun, karyawan pabrik cat. Keluhan utama kaki bengkak, kebas
dan kesemutan, keluhan ini sudah berlangsung 1 tahun.

Lembar 2
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik di daerah perut dan punggung terdapat bercak merah.
Ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis.
Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan lesi ukuran bervariasi, batas tegas, terdapat
peninggian, mengkilat, tidak gatal, tidak sakit dan tidak terasa.

Lembar 3
Laboratorium :
Hemoglobin

11,5 g / dL

LED

30 mm/jam

Leukosit

5000/l

Hitung Jenis

0/1/7/58/30/4

SGOT

45 U/l

SGPT

60 U/l

BTA

BI

+5

MI

92%

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

STATUS PASIEN
1. Identitas pasien

Nama

:-

Umur

: 42 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Karyawan pabrik cat.

2. Anamnesis

Keluhan Utama : Kaki bengkak, kebas dan kesemutan dan sudah


berlangsung 1 tahun.

Keluhan Tambahan : Pada daerah perut dan punggung terdapat bercak


merah. Ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis.
Ditemukan lesi ukuran bervariasi, batas tegas, terdapat peninggian,
mengkilat, tidak gatal, tidak sakit dan tidak terasa.

Riwayat penyakit dahulu : -

Riwayat keluarga

:-

Riwayat pengobatan

:-

HIPOTESIS
Berdasarkan patogenesis yang ada dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini terdapat
suatu infeksi, reaksi inflamasi, kelainan sistemik yang mengakibatkan terjadinya oedem dan
juga menimbulkan paresthesia. Maka hipotesis yang dapat diambil ialah lepra, diabetes
mellitus yang tidak terkontrol, pajanan industri dan filariasis. Namun, hipotesis ini dapat
berkembang ke arah yang lebih luas, tergantung hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga
penunjang.
Lepra. Hal ini dipikirkan ke dalam hipotesis sebagai infeksi spesifik, yang menimbulkan
gejala berupa parestesia.
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Penyakit ini bila tidak terkontrol atau
berlangsung kronik dapat menimbulkan komplikasi berupa neuropati akibat terganggunya
kegiatan sel Schwan sehingga kecepatan konduksi menurun. Dan apabila neurophati ini

terjadi pada saraf sensorik maka akan kehilangan sensasi dan juga ditandai dengan adanya
paresthesia.
Pajanan industri. Hal ini dimasukkan ke dalam hipotesis, karena melihat dari skenario
bahwa pekerjaan pasien adalah sebagai tukang cat, yang mana cukup beresiko terkena bahanbahan yang toksik, seperti merkuri yang merupakan salah satu bahan toksik yang terdapat
pada cat, dimana pada intoksikasi merkuri menahun dapat terjadi neurotoksisitas dengan
gejala awal tremor lalu manifestasi lainnya terjadi neuropati perifer dalam bentuk parestesia
pada bagian distal ekstremitas.
Filariasis. Pada manusia W.bancrofti dapat timbul selama kira-kira 5 tahun. Sesudah
menembus kulit melalui gigitan nyamuk, larva meneruskan perjalanannya ke pembuluh darah
dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu tahun. Cacing
dewasa ini sering menimbulkan varises saluran limfe anggota kaki bagian bawah.
ANAMNESIS TAMBAHAN
a. Riwayat penyakit sekarang :

Apakah keluhan-keluhan tersebut hilang timbul atau menetap selama


jangka waktu satu tahun? (untuk membedakan antara intoksikasi merkuri
dimana gejala hilang timbul dengan gejala lepra/kusta yang menetap).

Adakah gejala lain yang menyertai keluhan? Contohnya pada diabetes


mellitus terdapat gejala poliuria (banyak buang air kecil), polifagia
(banyak makan), polidipsia (banyak minum), pruritus (gatal).

Keluhan mana yang lebih dahulu? Bengkak atau kebas?

Aapakah bengkak menjalar?

Apakah pembengkakannya progresif?

Apakah ada perubahan warna? Kelemahan otot? (5A : acromi, atrofi,


alopecia, anestesi, anhidrosis)

b. Riwayat penyakit keluarga :

Adakah di dalam keluarga yang menderita diabetes mellitus? (mencari


adanya penyakit keturunan dan faktor resiko pada pasien).

c. Riwayat lingkungan :

Adakah di lingkungan sekitar Anda yang mengalami keluhan serupa?


(karena pada lepra/kusta penularan cukup infeksius meskipun tergantung
dari sistem imun penderita dan jumlah bakteri).

Apakah di tempat kerja selalu menggunakan alat pelindung diri (APD)?


(untuk mengetahui tingkat resiko pasien ini terpajan oleh merkuri)

Sudah berapa lama bekerja di pabrik cat?

d. Riwayat pengobatan :

Apakah

keluhan-keluhan

tersebut

sudah

pernah

diobati?

(untuk

mengetahui adanya kegagalan terapi atau resistensi terhadap suatu obat).

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik di daerah perut dan punggung terdapat bercak merah. Ekstremitas
lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis. Ditemukan lesi ukuran bervariasi, batas tegas,
terdapat peninggian, mengkilat, tidak gatal, tidak sakit dan tidak terasa.
Interpretasi :

Bercak merah pada perut dan punggung makula atau eritema.

Ichtiosis beberapa gangguan kulit yang ditandai oleh peningkatan keratinisasi


yang berakibat pada pengelupasan noninflamasi kulit.(1)

Rasa tidak gatal dan tidak sakit menandakan neuropati akibat kerusakan saraf
yang menyebabkan hilangnya sensasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG(1,2,3)

Pemeriksaan Darah :

Hemoglobin: 11,5 g/dL (Normal pria : 13-18 g/dL) terjadi anemia.


Pasien mengalami anemia ringan penyakit kronik yang ditandai dengan adanya
penurunan Hb. Hal ini disebabkan oleh infeksi M. leprae yang menyebabkan tubuh
mengeluarkan sitokin-sitokin seperti IL-1 dan TNF yang menekan proses
eritropoesis di sumsum tulang sehingga mengalami penurunan nilai Hb.

LED: 30 mm/jam (Normal pria: 0-10 mm/jam) menderita penyakit kronis, dimana
pada pasien ini keluhan sudah berlangsung selama satu tahun.

Leukosit: 5000/l (Normal: 5000-10000/l) normal.

Hitung Jenis : 0/1/7/58/30/4 Batang meningkat.


Nilai normal : Basofil 0-1%, Eosinofil 1-3%, Batang 2-6%, Segmen Neutrofil 5070%, Limfosit 20-40%, Monosit 2-8%.

Pemeriksaan Fungsi Hati :

SGOT: 45 U/l (Normal: 6-30 U/l)

SGPT: 60 (Normal: 7-32 U/l)

Interpretasi : SGOT dan SGPT terjadi peningkatan menandakan adanya gangguan pada
fungsi hati.

Pemeriksaan Bakteriologis :

BTA + menunjukkan adanya bakteri basil tahan asam dan Mycobacterium


leprae adalah bakteri tahan asam sehingga dapat memperkuat hipotesis utama.

BI +5 artinya dalam 1 lapang pandang rata-rata ditemukan 101-1000 basil


tahan asam.
Indeks bakteri menunjukkan nilai kepadatan basil tahan asam tanpa membedakan
morfologi solid atau nonsolid.

MI 92% syarat perhitungan sudah terpenuhi yaitu jumlah minimal kuman tiap
lesi 100 BTA sehingga termasuk kategori tinggi.
Rumus Jumlah solid/(jumlah solid + non solid) x 100 % = ...%
Morfologi indeks adalah nilai yang digunakan untuk melihat seberapa besar
presentase bakteri dalam bentuk hidup dari total keseluruhan. Melalui nilai
morfologi indeks dapat ditentukan seberapa daya tular bakteri, menilai hasil
pengobatan pasien kusta dan menilai apakah terjadi resistensi terhadap suatu jenis
obat.

DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil anamesis, pemeriksaan fisik didapatkan hasil adanya rasa baal, bercak
merah dipunggung, serta ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis. Pada
pemeriksaan penunjang bakteriologi ditemukannya BTA positif. Maka dari itu kelompok
kami menyimpulkan bahwa pasien mengalami lepra multibasiler. Adapun pembagian lepra
menurut WHO adalah sebagai berikut :
Kelainan kulit
1. Bercak atau
makula:
a. jumlah
b. ukuran
c. distribusi

PAUSIBASILER (PB)

a. 1-5
b. Kecil dan besar
c. Unilateral atau bilateral

MULTIBASILER (MB)

a. Banyak
b. Kecil-kecil
c. Bilateral, simetris

d. kosistensi
e. batas
f. kehilangan
rasa pd bercak
g. Kehilangan
kemampuan
berkeringat, bulu
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat,
perdarahan
dihidung)

d.
e.
f.
g.

asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak berkeringat,
bulu rontok pada bercak

d. Halus, berkilat
e. Kurang tegas
f. Biasanya tidak jelas, jika
ada terjadi pada yang
sudah lanjut
g. Bercak masih
berkeringat, bulu tidak
rontok

Tidak ada
Tidak pernah ada

Ada, kadang tidak ada


Ada, kadang tidak ada

3. Ciri-ciri khusus

Central healing,
penyembuhan ditengah

1.Punched out lesion


2.Madarosis
3.Ginecomastia
4.Hidung Pelana
5.Suara sengau

4. Nodulus

Tidak ada

Kadang - kadang ada

5. Penebalan saraf tepi

Lebih sering terjadi dini,


asimetris

Terjadi pada stad. Lanjut,


biasanya lebih dari satu dan
simetris

6 Deformitas (cacat)

Biasanya asimetris, terjadi


dini
BTA negatif

Terjadi pada stadium lanjut

7. Apusan Kulit

BTA positif

PATOFISIOLOGI MANIFESTASI KLINIS DARI PENYAKIT LEPRA(4)


Dinding sel pada M. leprae memiliki polisakarida yang dapat berikatan dengan lamina
basalis sel Schwann. Mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukandi saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan
responsistem

imunitas selular

yang menyebabkan

reaksi

inflamasi,

yang

menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Iskemik


pada saraf perifer menyebabkan terjadinya parestesia (kesemutan) pada darah yang
dipersyarafi.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari kusta. Cellmediated immunity (IFN-gamma, IL-2) yang kuat dengan respon humoral yang lemah akan

menyebabkan bentuk paucibasiler dari penyakit ini, sedangkan respon humoral yang kuat
(IL-4, IL-10) dengan cell-mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan menyebabkan
bentuk multibasiler.
Pada kusta tipe multibasiler, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi
dengan bebas dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe paucibasiler terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis,
makrofag berubah menjadi sel epiteoid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langerhans.
Massa epiteloid menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
PENATALAKSANAAN(5)
Tujuan utama pada penatalaksanaan lepra yaitu :
-

Memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit.

Mengobati dan menyembuhkan penderita.

Mencegah timbulnya penyakit.

Strategi pokok yang dilakukan berdasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita.
Non medikamentosa
-

Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan
akan berlangsung lama antara 12- 18 bulan. Untuk itu pasien harus rajin meminum
obat dan tidak boleh putus obat.

Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan apabila
pengobatan tidak adekuat dan tidak dilakukan pencegahan.

Penjaga kelembaban pada kulit dapat menggunakan minyak (baby oil).

Proteksi jari tangan dan kaki dengan memakai sepatu, hindari berjalan jauh dan
menghindari sentuhan dengan benda tajam.

Dapat memberikan vitamin A untuk mencegah kulit kering.

Edukasi pasien untuk follow-up ke dokter setiap bulan.

Medikamentosa

Multibasiler : DDS 100mg/hari


Rifampisin 600 mg/bulan
Lamprene 300 mg/bulan dan 50mg/hari
Pengobatan MDT untuk kista tipe MB dilakukan dalam 12 dosis yang diselesaikan dalam
waktu 12- 18 bulan.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES
RI (1981) dengan memakai regimen pengobatan MDT (multi drug treatment. Kegunaan
MDT

untuk

mengatasi

resistensi

Dapson

yang

semakin

meningkat,

mengatasi

ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
PROGNOSIS

Ad Vitam

: Bonam, karena pasien masih dapat hidup dan jarang menimbulkan

kematian.

Ad Sanationam : Dubia ad bonam, karena tergantung pengobatan yang dilakukan


dan sistem imun dari pasien.

Ad Functionam : Dubia ad malam, karena pada pasien sudah terdapat tanda-tanda


adanya kelainan pada susunan saraf tepi dan degenerasi pada sel saraf lama.

Ad Cosmeticum : Bonam, karena lesi bersifat reversible artinya dapat sembuh.

KOMPLIKASI(6)

Ekstremitas
Komplikasi yang terjadi pada ekstremitas pasien lepra adalah konsekuensi dari
neuropati yang menyebabkan hilangnya sensitivitas dan miopati. Hilangnya
sensitivitas mencakup raba halus, nyeri, dan reseptor panas, tetapi biasanya tidak
mempengaruhi pengenalan posisi dan vibrasi. Trunkus saraf yang paling sering
terkena ialah trunkus dari nervus ulnaris pada siku yang menyebabkan clawing pada
jari keempat dan kelima, hilangnya interoseus dorsal pada otot-otot yang terlibat, dan
hilangnya sensasi pada jalur yang terlibat. Terkenanya nervus medianus pada lepra
mengganggu oposisi jempol dan kemampuan menggenggam. Disfungsi nervus radial,
meskipun

jarang

terjadi,

menyebabkan

wristdrop.

Transfer

tendon

dapat

mengembalikan fungsi tangan tetapi sebaiknya tidak dilakukan sampai 6 bulan setelah
terapi antimikrobial dimulai dan episode dari neuritis akut berhenti.
Ulserasi plantar, khususnya pada metatarsal, mungkin bisa dikatakan sebagai
komplikasi dari neuropati lepra yang paling sering terjadi. Terapi termasuk
debridement cermat, administrasi antibiotik yang tepat, menghindari weight-bearing
sampai ulserasi sembuh, dan ambulasi progresif lambat setelahnya, juga penggunaan
sepatu spesial untuk mencegah rekuren.
Footdrop, salah satu akibat dari kelumpuhan nervus peroneus sebaiknya diterapi
dengan brace sederhana nonmetallic yang diletakan pada sepatu, atau dengan koreksi
bedah (tendon transfer). Pada kasus yang tidak umum, Charcots joint, khususnya
pada kaki dan pergelangan kaki, dapat terjadi pada lepra. Kehilangan jari kaki bagian
distal pada lepra dapat terjadi akibat trauma, infeksi sekunder, dan proses osteolitik.

Hidung
Pada lepra lepromatous (LL), invasi bakteri basil pada mukosa nasal dapat
menyebabkan kongesti nasal kronik dan epistaksis. Lepra LL yang tidak diobati dapat
mengakibatkan dekstrusi kartilago nasal dan dapat menyebabkan deformitas saddlenose atau anosmia.

Mata
Pada lepra LL, bakteri basil menginvasi ruang anterior mata, dan eritema lepra
nodusum dapat terjadi pada uveitis yang dapat mengakibatkan katarak dan glaucoma.
Lebih lanjut, lepra merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada Negara
berkembang.

Testis
M. leprae menginvasi testis, sementara eritema lepra nodusum dapat menyebabkan
orchitis. Laki-laki dengan lepra lepromatous biasanya mengalami disfungsi testicular
ringan sampai sedang, disertai peningkatan LH dan FSH, penurunan testosteron, dan
aspermia atau hypospermia (85% pasien LL, 25% pasien BL). Pasien LL dapat
menjadi impoten atau infertile.

Amyloidosis
Amyloidosis sekunder adalah salah satu komplikasi dari lepra LL dan eritema
nodosum leprosum yang jarang dialami di era antibiotik. Komplikasi ini dapat
meyebabkan abnormalitas hepar dan khususnya fungsi ginjal.

Abses Nervus

Pasien dengan lepra, khususnya lepra jenis BT, dapat mengalami abses nervus (paling
sering pada nervus ulnar) dengan manifestasi pada kulit yang mirip dengan cellulitis.
Pada kondisi tersebut, nervus yang terlibat menjadi bengkak dan terasa sangat sakit.
Meski glukokortikoid dapat mengurangi gejala inflamasi, operasi dekompresi segera
dibutuhkan untuk mencegah sekuale yang ireversibel.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

KUSTA(1,7)
A. DEFINISI
Kusta

merupakan

penyakit

infeksi

yang

kronik,

dan

penyebabnya

ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali sususan saraf pusat.
B. SINONIM
Lepra, morbus Hansen.
C. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet.
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa
tahun, rata-rata 3-5 tahun.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh
dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Malanesia termasuk Indonesia, diperkiran terbawa oleh
orang-orang Cina.Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda-beda.Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu
negara sampai saat ini belum jelas benar.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan
kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir di luar manusia.
Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih

banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas
bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.
Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M.
leprae.Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya
kemungkinan di luar manusia.Penderita yang mengandung M. leprae sampai 103 per gram
jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita
yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapatkan dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama.Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa.Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan
13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita
di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk decari kemungkinan ada tidaknya kusta
kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis
dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi
gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan
oleh faktor genetik yang berbeda.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
Eliminasi Kusta tahu 2000 (EKT 2000).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85%
disebagian besar negara atau wilayah endemis.Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem
kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara,
dan 82%-nya di 5 negara yaitu Brazil, India, Indonesia, Myanmar, dan Nigeria. Di Indonesia
jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga

tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh Karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas.Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja,
tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan
yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.
D. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial.M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan
alkohol serta Gram positif.
E. PATOGENESIS
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan
berkembang biak di sekitar tenpat suntikan. Dari berbagai macam specimen, bentuk lesi
maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies.Agar dapat tumbuh
diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikkan dan kalau melampaui jumlah
maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi (900 r),
sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil
terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.
Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat
Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksinya.

F. GEJALA KLINIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis.Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana.Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari.Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda)
untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu.Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut.Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas
selular (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum.TT adalah tipe tuberkuloid
100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe.Begitu juga LL
adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil
yang tidak mungkin berubah lagi.Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.BB adalah tipe campuran
yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.Tipe-tipe campuran ini
adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun kea rah LL.
Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan
pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT, dan I. Diagnosis banding
berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 10-2 dan 10-3.
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam
tabel berikut:

Lesi kulit (macula yang


datar, papul yang
meninggi, infiltrate, plak
eritem, nocus)
Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena

PB (Pausibasilar)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris

MB (Multibasilar)
>5 lesi
Distribusi lebih simetris

Hilangnya sensasi yang jelas


Hanya satu cabang saraf

Hilangnya sensasi kurang


jelas
Banyak cabang saraf

BTA
Tipe

Negatif
Indeterminate (I), Tuberkuloid (T),
Borderline tuberkuloid (BT)

Positif
Lepromatosa (LL),
Borderline lepromatous
(BL), Mid borderline (BB)

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar


Karakteristik

Tuberkuloid

Borderline
Tuberkuloid

Indeterminate

Macula atau macula


dibatasi infiltrate
Satu atau beberapa

Macula dibatasi
infiltrat
Satu dengan lesi
satelit
asimetris

Macula

Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan

Terlokasi dan
asimetris
Kering,skuama

Kering,skuama

Satu atau beberapa


Bervariasi
Dapat halus agak
berkilat
Agak terganggu

Sensibilitas
hilang
hilang
BTA
Pada lesi kulit
negatif
Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin*
Positif kuat (3+)
Positif (2+)
Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui
setelah 3minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar
Karakteristik
Lesi
Tipe
Jumlah

Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi
kulit
Pada
hembusan
hidung
Tes
Lepromin

Lepromatosa

Borderline
Lepromatosa

Mid-borderline

Macula, infiltrate difus,


papul, nodus
Banyak distribusi luas,
praktis tidak ada kulit
sehat
Simetris
Halus dan berkilap

Macula, plak, papul

Plak, lesi bentuk kubah,


lesi punched out
Beberapa, kulit sehat (+)

Tidak terganggu

Sedikit berkurang

Asimetris
Sedikit berkilap, beberapa
lesi kering
Berkurang

Banyak

Banyak

Agak banyak

Banyak

Biasanya tidak ada

Tidak ada

Negatif

Negatif

Biasanya negatif

Banyak tapi kulit


sehat masih ada
Cenderung simetris
Halus dan berkilap

BAB V
KESIMPULAN

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang


didapatkan bahwa pasien ini terdiagnosa menderita lepra/kusta tipe multibasiler. Pada
anamnesis didapatkan kaki bengkak, kebas dan kesemutan dalam satu tahun. Lalu pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya bercak merah pada daerah perut dan punggung. Juga
pada ekstremitas lengan dan kaki bawah kering serta ichtiosis. Pada pemeriksaan
laboratorium, diagnosa lepra/kusta ditandai dengan hemoglobin yang turun akibat infeksi M.
leprae yang dapat mengganggu proses pembentukan sel darah merah di sumsum tulang, serta
hasil BTA yang positif karena kuman M. leprae termasuk bakteri tahan asam.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010. p. 73-88.
2. Priyana A. Patologi Klinik. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2010. p. 7, 15, 25,
33.
3. Sen R. Patterns of Erythropoiesis and Anaemia in Leprosy. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/1870378/. Accessed on June 26, 2012.
4. Abbas AK, Lichtman AH. Effector Mechanism of Cell-Mediated Immunity. In :
Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology : Functions and Disorders of the
Immune System. 3rd ed. Philadelphia : Saunders, 2011. P 123-4.
5. Smith DS. Leprosy. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/220455treatment#a1127. Accessed on June 27, 2012.
6. Gelber RH. Leprosy (Hansens Disease). In : Kasper DL, Fauci AS, ed. Harrisons
Infectious Diseases. New York : McGraw Hill; 2010. p 622-3.
7. Siregar, R.S. 2004. Kusta (lepra). Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. EGC.
Jakarta. hal 141-2.

Anda mungkin juga menyukai