Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN ILMIAH

DALAM PRAKTEK FARMASI


KLINIK
Oleh : Ivan Surya Pradipta
Pendahuluan
Terjadi perubahan paradigma farmasi yang mendasar dalam dekade
terkahir, yaitu perubahann paradigma dari product oriented menjadi patient
oriented. Tuntutan pada paradigma patient oriented, farmasis tidak hanya
berorientasi hanya kepada produk, namun juga dituntut untuk berorientasi
kepada

pasien,

sehingga

diharapkan

farmasis

dapat

memberikan

kontribusi keilmuannya secara aktif dalam meningkatkan kualitas hidup


pasien. Secara historis, perkembangan farmasi global melalui tahapantahapan periode. Tahap tradisional terjadi sebelum tahun 1940-an dimana
fungsi dan peranan farmasis hanya berorientasi kepada produk, seperti
kegiatan menyediakan, membuat dan mendistribusikan obat. Kegiatan ini
menekankan pada ilmu dan seni meracik obat dalam skala kecil untuk
kebutuhan pengobatan di rumah sakit ataupun di komunitas. Tahap ini
mulai

goyah

ketika

mulai

berkembangnya

farmasi

industri

yang

memproduksi obat dalam skala besar. Periode tersebut terjadi sekitar


tahun 1940-an, dimana peresepan tidak lagi menekankan pada obatobatan yang membutuhkan peracikan, namun peresapan berisikan obatobatan dalam sediaan jadi yang diproduksi oleh industri farmasi dalam
skala besar. Semakin berkembangnya ilmu kedokteran pada tahun 1960
hingga 1970-an ditandai dengan mulai bermunculan berbagai jenis obatobatan baru serta berkembangnya metode dan alat-alat diagnosa yang
baru sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam
proses penggunaan obat. Hal tersebut memunculkan tahapan transisional,
dimana tuntutan terhadap kontribusi farmasis dalam dunia kesehatan

semakin tinggi. Pada masa tersebut banyak kalangan memandang bahwa


peran

farmasis

tidak

difungsikan

sebagaimana

kompetensi

yang

dimilikinya, sehingga di Amerika dan Inggris pada tahun 1960-an muncul


istilah farmasi klinik.
Periode awal famasi klinik ditunjukkan dengan adanya farmasis yang
mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya,
sebagai contoh adalah dimulainya kegiatan farmasis bangsal yang
menempatkan farmasis di bangsal-bangsal rawat inap untuk memberikan
kontribusi keilmuannya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien,
meskipun kontribusi tersebut masih dirasakan terbatas. Penerapan fungsifungsi baru pada masa itu bukanlah tanpa kendala, kendala yang ditemui
diantaranya adalah banyaknya pertentangan dari dokter, perawat dan
farmasis, namun terdapat pula faksi-faksi yang mendukung fungsi-fungsi
baru tersebut untuk terus dilakukan dan dikembanngkan. Kegigihan dan
semangat untuk menjawab tuntutan berbagai kalangan mengenai peran
farmasis

ditunjukkan

dari

masa

ke

masa,

sehingga

lahirlah

periode Pharmaceutical care dimana clinical pharmacy services diberikan


dengan semakin baik dan paripurna.
Periode Pharmaceutical Care ditunjukkan dengan berkembangnya
pendidikan tinggi farmasi yang berbasiskan farmasi klinik. Hal tersebut
ditandai dengan munculnya pendidikan farmasi klinik yang sifatnya
spesialistik, contohnya farmasi klinik spesialis penyakit infeksi, kardiologi,
onkologi, pelayanan informasi obat dan lain lain. Kehadiran farmasis
berkeahlian klinik di negara-negara maju makin dirasakan sangat penting,
mengingat makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dibidang kesehatan. Penanganan pasien dilakukan melalui sebuah tim
multi profesi kesehatan yang meliputi, dokter, farmasis, perawat dan
tenaga kesehatan lainnya . Adanya sinergi keilmuan lintas profesi yang
baik diantara profesi kesehatan dalam penanganan pasien, akan

memberikan

dampak

yang

baik

bagi outcome

clinic pasien

yang

ditanganinya.
Farmasi klinik
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi
klinik

sebagai

discipline

concerned

with

the

application

of

pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy and minimize drug


toxicity in individual patients. Menurut Siregar (2004) farmasi klinik
didefinisikan

sebagai

suatu

keahlian

khas

ilmu

kesehatan

yang

bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan


sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan
berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan
pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Berdasarkan
definisi

tersebut,

dapat

dirumuskan

tujuan

farmasi

klinik

yaitu

memaksimalkan efek terapeutik, meminimalkan resiko/toksisitas obat,


meminimalkan biaya dan menghormati pilihan pasien.
Kegiatan farmasi klinik tidak hanya memberikan saran professional
pada saat peresepan saja namun kegiatan farmasi klinik mencakup
kegiatan sebelum persepan, saat persepan dan setelah peresepan.
Kegiatan farmasi klinik sebelum peresepan meliputi setiap kegiatan yang
mempengaruhi kebijakan peresepan, seperti penyusunan formularium
rumah

sakit,

mendukung

informasi

dalam

menetapkan

kebijakan

peresepan rumah sakit, evaluasi obat. Kegiatan farmasi klinik selama


peresapan contohnya adalah memberikan saran profesional kepada dokter
atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan terapi pada saat peresepan
sedang dilakukan. Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah peresepan
yaitu

setiap

kegiatan

yang

berfokus

kepada

pengoreksian

dan

penyempurnaan peresepan, seperti monitoring DRPs, monitoring efek


obat, outcome research dan Drug Use Evaluation (DUE).

Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya Drug Related


Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian
atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang mempengaruhi secara
potensial atau aktual hasil akhir pasien. Menurut Koda-Kimble (2005),
DRPs diklasifikasikan, sebagai berikut :
1.

Kebutuhan akan obat (drug needed)

Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan

Problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi

Obat yang diresepkan benar, tetapi tidak digunakan (non


compliance)

2.

Ketidaktepatan obat (wrong/inappropriate drug)

Tidak ada problem medis yang jelas untuk penggunaan suatu


obat

3.

4.

Obat tidak sesuai dengan problem medis yang ada

Problem medis dapat sembuh sendiri tanpa diberi obat

Duplikasi terapi

Obat mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah

Obat tidak ada diformularium

Pemberian tidak memperhitungkan kondisi pasien

Ketidaktepatan dosis (wrong / inappropriate dose)

Dosis terlalu tinggi

Penggunaan yang berlebihan oleh pasien (over compliance)

Dosis terlalu rendah

Penggunaan yang kurang oleh pasien (under compliance)

Ketidaktepatan interval dosis

Efek buruk obat (adverse drug reaction)

Efek samping

Alergi

Obat memicu kerusakan tubuh

Obat memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium

5.

Interaksi obat (drug interaction)

Interaksi antara obat dengan obat/herbal

Interaksi obat dengan makanan

Interaksi obat dengan pengujian laboratorium

Secara garis besar kegiatan farmasi klinik meliputi pemantauan dan


evaluasi penggunaan obat, pelayanan farmasi di bangsal, pelayanan
informasi obat, penelitian dan pengembangan. Kegiatan farmasi klinik
memiliki karakteristik, antara lain : berorientsi kepada pasien; terlibat
langsung dalam perawatan pasien; bersifat pasif, dengan melakukan
intervensi setelah pengobatan dimulai atau memberikan informasi jika
diperlukan; bersifat aktif, dengan memberikan masukan kepada dokter atau
tenaga kesehatan lainnya terkait dengan pengobatan pasien; bertanggung
jawab terhadap setiap saran yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan
profesi kesehatan lainnya (dokter, perawat dan tenga kesehatan lainnya).
Keterampilan dalam melakukan praktek farmasi klinik memerlukan
pemahaman keilmuan, seperti :
1.

Konsep-konsep

penyakit

(anatomi

dan

fisiologi

manusia,

patofisiologi, patogenesis)
2.

Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi dan product


knowledge)

3.

Teknik komunikasi dan konseling

4.

Pemahaman Evidence Based Medicine (EBM)

dan kemampuan

melakukan penelusurannya
5.

Keilmuan farmasi praktis lainnya

Evidence Based Medicine (EBM) Sebagai Pendekatan Praktek Farmasi


Klinik
Perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan berjalan
sangat cepat, hal tersebut sejalan dengan berkembangnya inovasi-inovasi
baru di bidang farmasi maupun kedokteran. Paradigma lama bahwa

pengobatan berdasarkan suatu pengalaman dan uji coba (trial and error)
mulai bergeser kearah paradigma yang disebut dengan Evidence Based
Medicine (EBM). Dalam terminologi EBM, pengobatan harus berdasarkan
bukti ilmiah atau hal lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga
pemahaman mengenai EBM sangat diperlukan bagi praktisi kesehatan
yang terjun didalam dunia klinis.
Di bidang farmasi klinik Evidence Based Medicine berperan dalam
mendukung proses-proses penggunaan obat (drug uses proceses), antara
lain keputusan menggunakan terapi obat, pemilihan obat, penentuan
regimen obat, labeling dan dispensing, edukasi pasien, monitoring obat ,
tindak lanjut monitoring obat dan evaluasi. Penggunaan EBM dibidang
faramsi klinik diharapkan dapat memberikan pengobatan yang rasional dan
sesuai dengan outcome klinis yang diharapkan. Selain itu, kebutuhan EBM
menjadi sangat diperlukan untuk seorang farmasis klinik untuk meyakinkan
kepada dokter bahwa rekomendasi yang diberikan merupakan hal yang
perlu dilaksanakan untuk mencapai tujuan terapi.
Evidence Based Medicine didefinisikan sebagai suatu pendekatan
pada praktek medis yang menggunakan hasil penelitian mengenai patient
care dan bukti objektif lainnya yang diperoleh sebagai komponen dalam
membuat keputusan klinis. Terdapat beberapa
digunakan

dalam

EBM,

antaralain

istilah yang sering

(1)

Evidence

Based

Diagnose, merupakan EBM yang biasa digunakan oleh dokter sebagai


komponen

dalam

menegakkan

diagnosa, (2) Evidence

Based

Nursing, merupakan EBM yang biasa digunakan oleh perawat dalam


menjalankan NursinG

Care, (3) Evidence

Based

Pharmacotherapy, merupakan EBM yang digunakan oleh farmasis dalam


terapi.
Berdasarkan

klasifikasi Agency

for

Health

Care

Policy

and

Research (AHCPR), US, terdapat 7 level Evidence Based Medicin. Levellevel EBM tersebut didasarkan atas kekuatan desain penelitian atau hal

lainnya yang layak digunakan sebagai EBM. 7 level EBM tersebut, antara
lain :
Level

Merupakan

hasil

penelitian

dengan

metode

eksperimental, Randomized Control Trial (RCT), dengan sampel


yang besar yang diperoleh dari gabungan pusat-pusat penelitian
dengan desain yang sama (meta analisis & multicenter)
Level II
Merupakan hasil penelitian dengan

metode

eksperimental, Randomized Control Trial (RCT) yang diperoleh dari


satu pusat penelitian saja
Level III
Merupakan

hasil

penelitian

dengan

metode

observasional, kohort, desain penelitian yang baik


Level IV
Merupakan hasil penelitian dengan

metode

observasional, case control, desain penelitian yang baik


Level V
Merupakan hasil penelitian tanpa kelompok kontrol atau
kelompok kontrol yang kurang, dengan desain penelitian yang baik
Level VI
Merupakan EBM yang memiliki banyak pertentangan
dikalangan medis, tetapi cenderung di favoritkan sebagai EBM
Level VII Pendapat atau opini Ahli.
Langkah-langkah Implementasi EBM
Implementasi EBM membutuhkan langkah-langkah yang tepat agar
didapatkannya EBM yang dapat digunakan untuk memcahlan permasalan
yang kita temui. Langkah-langkah dalam dalam mengimplementasikan
EBM, antara lain :
1.

Menciptakan suatu pertanyaan klinis


Ciptakan pertanyaan klinis yang merepresentasikan keadaan pasien
yang sesungguhnya. Pertanyaan tersebut meliputi PICO (Patient,
Intervention, Comparation, Outcome).

2.

Pencarian EBM

Lakukan penulusuran sumber informasi berdasarkan pertanyaan klinis


yang dibuat. Sumber informasi dapat diperoleh melalui:

Sumber informasi non-elektronik, seperti literatur primer (printed


journal), sekunder (kumpulan abstrak), sekunder (text book), opini
ahli

Sumber informasi elektronik, seperti website, artikel ilmiah dan lainlain.

3.

Evaluasi hasil EBM


Setelah didapatkan EBM melalui penelusuran EBM, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap hasil EBM yang diperlukan. Diperlukan
kehalian dalam critical appraisal evidence dengan melihat validitas
dan keterpakaiannya pada permasalahan yang kita temui. Karena
tidak semua sumber informasi menunujkkan validitas yang baik serta
nilai aplikasi yang baik terhadap permasalahn yang kita hadapi.
Implementasi EBM Setelah didapatkan EBM yang telah di evaluasi,
gabungkan keahlian klinik dengan hasil evidence untuk melakukan
intervensi klinik

4.

Evaluasi outcome klinis


Lakukan monitoring terhadap intervensi klinik yang kita lakukan. Jika
hasilnya kurang baik maka lakukan evaluasi baik terhadap EBM
maupun terhadap problem medis yang ada.

Penutup
Perkembangan dunia farmasi global menunjukkan tren terhadap
tuntutan implementasi farmasi klinik dalam pelayanan kefarmasian.
Tuntutan tersebut harus dijawab oleh kalangan famasis / apoteker jika ingin
tampil sebagai suatu profesi yang memiliki peran dan dihargai oleh seluruh
lapisan

masyarakat.

Pemahaman

terhadap

bekal

keilmuan

yang

mendukung praktek farmasi klinik harus terus di explorasi tanpa perlu


menunggu tersedianya pendidikan formal maupun informal, karena ciri dari

suatu profesi salah satunya adalah life long learner. Evidence Based
Medicine harus

menjadi

dasar

farmasis/apoteker

dalam

mengambil

keputusan klinis, oleh karena itu pemahaman terhadap EBM mutlak


diperlukan dalam praktek farmasi klinik. EBM dapat memberikan
manfaat,antara lain meningkatkan kepercayaan diri dalam memberikan
saran professional, meningktakan komunikasi yang efektif terhadap tenaga
kesehatan, menambah wawasan dan dapat meningkatkan outcome klinis
pasien.
Daftar Pustaka
Aslam M, Tan CK, Prayitno A, 2003, Farmasi Klinis, Jakarta, Gramedia
Elex Media Komputindo.
Chiquette, E and Posey, LM., 2005, Evidence Based Medicine in JT. DiPiro,
RL. Talbert, GC. Yee, GR. Matzke, BG. Wells, LM. Posey, (Eds),
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th edition, McGraw-Hill,
New York, 27-37.
Koda-Kimble

M.A.,

Young

L.Y.,

Kradjan

W.A.,

Guglielmo

B.J.,

2005, Applied Theurapeutics : The Clinical Use of Drugs, 8th edition,


Lippincott Williams and Wilkin, Philadelphia.
Malone, P.M., Mosdell, K.W., Kier, K.L., and Stanovich, J.E., 2001, Drug
Information A Guide for Pharmacists, 2nd edition, McGraw-Hill, New York.
Rosenthal, M., Austin, Z., Tsuyuki, RT., Are Pharmacist the Ultimate Barrier
to Pharmacy Practice Change ?,CPJ/RP Jour 2010; 143 (1): 37-42
Scroccaro, G., Alminana, MA., Schreudering, AF., Yechiel, Hekster, Huon,
Y., The Need for Clinical Pharmacy, Pharm Worl Sci 2000;22(1): 27-29
Siregar Charles, JP., Amalia Lia, 2003, Farmasi Rumah Sakit : Teori dan
Praktek, Penerbit EGC, Jakarta
* Penulis adalah anggota Kelompok Bidang Ilmu Farmakologi dan
Farmasi Klinik

Fakultas Farmasi Universitas Padjajdaran, Bandung

Anda mungkin juga menyukai