pasien,
sehingga
diharapkan
farmasis
dapat
memberikan
goyah
ketika
mulai
berkembangnya
farmasi
industri
yang
farmasis
tidak
difungsikan
sebagaimana
kompetensi
yang
ditunjukkan
dari
masa
ke
masa,
sehingga
lahirlah
memberikan
dampak
yang
baik
bagi outcome
clinic pasien
yang
ditanganinya.
Farmasi klinik
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi
klinik
sebagai
discipline
concerned
with
the
application
of
sebagai
suatu
keahlian
khas
ilmu
kesehatan
yang
tersebut,
dapat
dirumuskan
tujuan
farmasi
klinik
yaitu
sakit,
mendukung
informasi
dalam
menetapkan
kebijakan
setiap
kegiatan
yang
berfokus
kepada
pengoreksian
dan
2.
3.
4.
Duplikasi terapi
Efek samping
Alergi
5.
Konsep-konsep
penyakit
(anatomi
dan
fisiologi
manusia,
patofisiologi, patogenesis)
2.
3.
4.
dan kemampuan
melakukan penelusurannya
5.
pengobatan berdasarkan suatu pengalaman dan uji coba (trial and error)
mulai bergeser kearah paradigma yang disebut dengan Evidence Based
Medicine (EBM). Dalam terminologi EBM, pengobatan harus berdasarkan
bukti ilmiah atau hal lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga
pemahaman mengenai EBM sangat diperlukan bagi praktisi kesehatan
yang terjun didalam dunia klinis.
Di bidang farmasi klinik Evidence Based Medicine berperan dalam
mendukung proses-proses penggunaan obat (drug uses proceses), antara
lain keputusan menggunakan terapi obat, pemilihan obat, penentuan
regimen obat, labeling dan dispensing, edukasi pasien, monitoring obat ,
tindak lanjut monitoring obat dan evaluasi. Penggunaan EBM dibidang
faramsi klinik diharapkan dapat memberikan pengobatan yang rasional dan
sesuai dengan outcome klinis yang diharapkan. Selain itu, kebutuhan EBM
menjadi sangat diperlukan untuk seorang farmasis klinik untuk meyakinkan
kepada dokter bahwa rekomendasi yang diberikan merupakan hal yang
perlu dilaksanakan untuk mencapai tujuan terapi.
Evidence Based Medicine didefinisikan sebagai suatu pendekatan
pada praktek medis yang menggunakan hasil penelitian mengenai patient
care dan bukti objektif lainnya yang diperoleh sebagai komponen dalam
membuat keputusan klinis. Terdapat beberapa
digunakan
dalam
EBM,
antaralain
(1)
Evidence
Based
dalam
menegakkan
Based
Based
klasifikasi Agency
for
Health
Care
Policy
and
Research (AHCPR), US, terdapat 7 level Evidence Based Medicin. Levellevel EBM tersebut didasarkan atas kekuatan desain penelitian atau hal
lainnya yang layak digunakan sebagai EBM. 7 level EBM tersebut, antara
lain :
Level
Merupakan
hasil
penelitian
dengan
metode
metode
hasil
penelitian
dengan
metode
metode
2.
Pencarian EBM
3.
4.
Penutup
Perkembangan dunia farmasi global menunjukkan tren terhadap
tuntutan implementasi farmasi klinik dalam pelayanan kefarmasian.
Tuntutan tersebut harus dijawab oleh kalangan famasis / apoteker jika ingin
tampil sebagai suatu profesi yang memiliki peran dan dihargai oleh seluruh
lapisan
masyarakat.
Pemahaman
terhadap
bekal
keilmuan
yang
suatu profesi salah satunya adalah life long learner. Evidence Based
Medicine harus
menjadi
dasar
farmasis/apoteker
dalam
mengambil
M.A.,
Young
L.Y.,
Kradjan
W.A.,
Guglielmo
B.J.,