Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu


Ubi kayu (Manihot utilissima pohl) berasal dari Benua Amerika dan Bangsa
Portugis membawanya ke Afrika dan digunakan sebagai bahan makanan. Ubi kayu saat
ini penyebarannya hampir keseluruh dunia dan berkembang di negara-negara yang
terkenal wilayah pertaniannya. Ubi kayu ditanam secara komersial di wilayah Indonesia
sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke
Nusantara dari Brasil. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah :
Kingdom

: Plantae atau tumbuh-tumbuhan

Divisi

: Spermatophyta atau tumbuhan berbiji

Sub Divisi

: Angiospermae atau berbiji tertutup

Kelas

: Dicotyledoneae atau biji berkeping dua

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Manihot

Spesies

: Manihot utilissima Pohl ; Manihot esculenta Crantz sin.


Ubi kayu termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau mudah patah. Ubi

kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian
tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai
ketinggian 1-4 meter. Ubi kayu mempunyai panjang fisik rata-rata bergaris tengah 2-3
cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya
berwarna putih atau kekuning-kuningan. Ubi kayu biasanya diperdagangkan dalam
bentuk masih berkulit. Umbinya mempunyai kulit yang terdiri dari 2 lapis yaitu kulit luar
dan kulit dalam. Daging umbi berwarna putih atau kuning. Di bagian tengah daging umbi
terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat. Antara kulit dalam dan daging umbi
terdapat lapisan kambium.
Ubi kayu menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah tanaman
berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton per ha. Daun umbi

muda dari jenis yang beracun berguna untuk berbagai macam sayur. Daun yang kering
untuk makanan ternak. Batangnya dapat digunakan untuk kayu bakar dan kadang-kadang
untuk pagar hidup. Salah satu varietas tanaman ini mempunyai daun yang indah
warnanya yang dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Syarief 1988).
Ubi kayu mengandung racun yang disebut asam sianida (HCN). Berdasarkan
kandungan asam sianidanya, ubi kayu dapat digolongkan menjadi empat yaitu (a)
golongan tidak beracun, mengandung HCN 50 mg per kg umbi segar yang telah diparut,
(b) beracun sedikit mengandung HCN antara 50 dan 80 mg per kg, (c) beracun,
mengandung HCN antara 80 dan 100 mg per kg dan (d) sangat beracun, mengandung
HCN lebih besar dari 100 mg per kg. Ubi kayu yang tidak beracun dikenal sebagai ubi
kayu manis sedangkan ubi kayu yang beracun disebut ubi kayu pahit.
Ubi kayu memiliki kelebihan sebagai bahan baku bioetanol yaitu dapat tumbuh di
tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit, dan dapat
diatur waktu panennya. Potensi pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan produksi ubi kayu Indonesia
Tahun

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

2000

1.284.040

16.089.020

2001

1.317.912

17.054.648

2002

1.276.533

16.912.901

2003

1.244.543

18.523.810

2004

1.255.805

19.424.707

2005

1.213.460

19.321.183

2006

1.227.459

19.986.640.

2007

1.201.481

19.988.058

2008

1.178.306

20.834.241

Sumber : Departemen Pertanian (2008)


Ubi kayu sebagai bahan baku energi alternatif hanya memiliki kadar karbohidrat
sekitar 32 35 % dan dengan kadar pati sekitar 83,8% setelah diproses menjadi tepung.
Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu disajikan pada Tabel 2 berikut.
7

Tabel 2. Sifat fisiko kimia ubi kayu dan tepung ubi kayu
Komponen

Jumlah (%) (b/b)


Ubi kayu(a)

Ubi kayu(b)

Air

62 65

59,40

Karbohidrat

32 35

38,10*

Protein

0,7 2,6

0,70

Lemak

0,2 0,5

0,20

Serat

0,8 1,3

0,6

Abu
0,3 1,3
1,00
Sumber : a. Kay (1979); b Balagopalan et al.(1988)
Keterangan : *) Dihitung berdasarkan by difference
2.2 Polisakarida Dalam Ubi Kayu
Polisakarida yang menyusun ubi kayu terdiri dari pati, selulosa dan hemiselulosa.
Pati pada tumbuhan dipergunakan sebagai cadangan makanan yang dapat diuraikan
menjadi glukosa dan dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat, tubuh tanaman
akan mensintesa -amilase, -amilase dan R-enzim yang secara bersama-sama
dipergunakan untuk memutuskan ikatan-ikatan rantai pati menjadi molekul-molekul
glukosa bebas (Tjokroadikoesoemo 1986).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari
dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas yaitu fraksi amilosa dan amilopektin.
Fraksi amilosa sifatnya larut dalam air panas dan fraksi amilopektin bersifat tidak larut.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa sebanyak 4 5 % dari berat total
(Winarno 1992). Hidrolisis amilosa menghasilkan maltosa, glukosa dan oligosakarida
lainnya. Pada amilopektin

sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam rantai

percabangannya saling berikatan melalui gugus -1,6. Ikatan -1,6 sangat sukar
diputuskan, apalagi jika dihidrolisis menggunakan katalisator asam.
Selulosa merupakan polimer glukosa dengan rantai linier yang terdiri dari satuan
glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan keempat.
Ikatan yang terbentuk disebut dengan

ikatan -1,4 glikosidik. Struktur linier

menyebabkan selulosa bersifat kristalin, tidak mudah larut dan tidak mudah didegradasi
secara kimia maupun mekanis. Rumus bangun selulosa disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur selulosa


Selulosa bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin dan protein berfungsi untuk
membentuk struktur jaringan dinding sel tanaman (Holtzapple 1993). Selulosa dapat
berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa
dan lignin merupakan komponen utama penyusun tanaman yang dihasilkan melalui
proses fotosintesis. Komponen-komponen ini dapat diuraikan menjadi komponenkomponen yang lebih sederhana oleh aktifitas mikroorganisme dan dipergunakan sebagai
sumber energi (Enari 1983).
2.3 Bioetanol
Bioetanol merupakan etanol atau kependekan dari etil alkohol (C2H5OH) atau
sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan
mempunyai bau khas. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0,7937 dan titik didihnya
78,32 oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan
mempunyai panas pembakaran 328 Kkal.
Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan
bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran
bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade, yaitu grade industri
dengan kadar alkohol 90-94%, netral dengan kadar alkohol 96-99,5% umumnya
digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan bakar dengan
kadar alkohol diatas 99,5% (Hambali et al. 2007).

Bioetanol dapat dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa


keunggulan yaitu mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %, bioetanol merupakan
bahan bakar yang tidak beracun dan cukup ramah lingkungan serta dihasilkan melalui
proses yang cukup sederhana yaitu melalui proses fermentasi menggunakan mikrobia
tertentu. Bioetanol sebagai bahan bakar memiliki nilai oktan lebih tinggi dari bensin
sehingga dapat menggantikan fungsi aditif seperti metil tertiary butyl ether (MTBE) yang
menghasilkan timbal (Pb) pada saat pembakaran. Di Indonesia, minyak bioethanol sangat
potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis
tanaman yang banyak tumbuh di negara ini dan sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan
yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar
karbohidrat tinggi atau selulosa, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar,
sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu.
Tahap inti proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula baik yang berupa
glukosa, fruktosa maupun sukrosa oleh yeast atau ragi terutama S. cerevisiae dan bakteri
Z. mobilis. Pada proses ini gula dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida.
Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan
baku, fermentasi dan pemurnian. Pada tahap persiapan, bahan baku berupa padatan
terlebih dahulu harus dikonversi menjadi larutan gula sebelum difermentasi menjadi
etanol. Untuk bahan-bahan yang sudah berada dalam bentuk larutan seperti molase dapat
langsung difermentasi. Proses pengecilan ukuran dengan cara menggiling dapat
dilakukan sebelum memasuki tahap pemasakan.
Tahap pemasakan meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini
tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks. Pada
tahap likuifikasi dilakukan penambahan air dan enzim alpha amilase. Proses ini dilakukan
pada suhu 80-90oC. Berakhirnya proses likuifikasi ditandai dengan parameter cairan
seperti sup. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 60 oC. Enzim yang ditambahkan
pada tahap ini adalah enzim glukoamilase. Pada tahap sakarifikasi akan terjadi
pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana.
Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada
tahap ini terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim
dan ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran suhu 27 32 oC. Pada tahap ini akan
10

dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan stokiometri yang sama dengan etanol yang
dihasilkan yaitu 1 : 1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan
sebagai bahan baku gas dalam pembuatan minuman berkarbonat.
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal
sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn 1981).
Secara biokimia fermentasi juga dapat diartikan sebagai pembentukan energi melalui
senyawa organik. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang
mengandung gula atau glukosa terlihat pada reaksi berikut:
Glukosa

2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP + 5 Kkal

Dari reaksi diatas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas dan
secara teoritis 100% karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9 % menjadi CO2.
Fermentasi menurut jenis medianya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
fermentasi media padat dan media cair. Fermentasi media padat adalah fermentasi yang
subtratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air
untuk keperluan mikroba. Fermentasi media cair adalah proses fermentasi

yang

subtratnya larut atau tersuspensi dalam media cair. Fermentasi media padat umumnya
berlangsung pada media dengan kadar air berkisar antara 60-80 %.
Dalam proses fermentasi, glukosa dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol
oleh bermacam-macam mikroorganisme. Khamir sering digunakan dalam proses
fermentasi etanol, seperti Saccharomyces cerevisiae, S. uvarum, Schizosaccharomyces sp
dan Kluyveromyces sp. Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol
secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35oC. Laju awal produksi etanol dengan
menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun produktifitas
keseluruhan menurun karena adanya

pengaruh peningkatan etanol yang dihasilkan.

(Ratledge 1991). Khamir yang sering dipergunakan dalam proses fermentasi etanol
adalah Saccharomyces cereviseae. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik, tumbuh baik
pada suhu 30oC dan pH 4,0 4,5 (Oura 1983).
Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae
merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan
satu fasa pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan
11

menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang mengendalikan
pertumbuhan dan methabolisme khamir dalam keadaan anaeorobik, yaitu konsentrasi
gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang
dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari
300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Pada permulaan proses
fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulsi
CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol yang terbentuk akan menghalangi
proses fermentasi lebih lanjut setelah konsentrasi alkohol mencapai 13-15 persen volume
dan biasanya maksimum 13 persen volume (Prescott dan Dunn 1981). Selama proses
fermentasi juga menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan
terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura 1983).
Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor perlu
diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada
proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan
dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam
proses fermentasi, biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05 0,10 mm Hg. Jika
tekanan oksigen yang diberikan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan
cenderung

kearah

pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding

dengan

komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen.
Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia
untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral seperti Mn, Co, Cu dan
Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat dan vitamin
diperlukan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan khamir.
2.4 Hidrolisis Asam
Konversi polisakarida menjadi monomer-monomer dapat dilakukan dengan
proses hidrolisis baik secara enzimatis maupun secara kimiawi.

Hidrolisis secara

kimiawi biasanya menggunakan asam. Asam yang sering dipergunakan adalah asam
sulfat, asam klorida dan asam fosfat. Hidrolisis asam pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu
hidrolisis pada suhu rendah dengan konsentrasi asam tinggi (concentrated-acid
hydrolisis) dan hidrolisis pada suhu tinggi dengan konsentrasi asam rendah (dilute-acid
12

hydrolisis) (Taherzadeh dan Keikhosro 2007). Pemilihan antara kedua metode kimiawi
ini didasarkan pada pertimbangan laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya
total produksi.

Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid

hydrolisis dengan dilute-acid hydrolisis disajikan pada Tabel 3 berikut ini :


Tabel 3 Perbandingan keuntungan dan kelemahan antara concentrated-acid hydrolisis
dengan dilute-acid hydrolisis
Metode hidrolisis
Keuntungan
Kelemahan
Hidrolisis pada suhu rendah Dioperasikan pada suhu Konsentrasi
asam
dengan konsentrasi asam
rendah
tinggi
tinggi
Rendemen gula tinggi
Korosi peralatan
Energi tinggi untuk
pengambilan asam
Hidrolisis pada suhu tinggi Konsentrasi asam rendah
dengan konsentrasi asam Waktu tinggal singkat
rendah
Sumber: Taherzadeh dan Keikhosro (2007).

Suhu operasi tinggi


Yield gula rendah
Korosi peralatan

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah (dilute-acid) dilakukan dalam dua


tahap yaitu: pertama, tahap yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari
golongan pentosa umumnya yang terdapat fraksi hemiselulosa. Tahapan ini biasanya
menggunakan 1% H2SO4 pada suhu 80-120oC selama 30-240 menit. Tahap kedua
menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang
berasal dari golongan heksosa seperti selulosa menjadi glukosa, biasanya dilakukan
dengan konsentrasi asam 5-20 % H2SO4 dengan suhu mendekati 180 oC. Dengan
menggunakan hidolisis bertahap ini, maka kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil
glukosa dan miminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006). Proses
pemisahan antara fraksi gula dengan fraksi asam

dapat dilakukan dengan proses

pertukaran ion dan asam dapat dikonsentrasikan kembali dengan proses evaporasi
(Demirbas 2007).
Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah merupakan proses yang murah dan
cepat untuk memperoleh gula dari bahan lignoselulosa.

Namun,

proses ini akan

menghasilkan senyawa-senyawa penghambat yang bersifat toksik untuk mikroorganisme


pada proses fermentasi, termasuk yeast. Toksik ini dapat menurunkan hasil produktivitas
dan merusak pertumbuhan sel. Proses hidrolisis asam pada bahan lignoselulosik biasanya
13

akan menghasilkan glukosa, manosa, xilosa atau campuran senyawa-senyawa fenolik.


Selama proses hidrolisis asam gula pentosa akan menghasilkan furfural dan gula heksosa
menghasilkan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) (Lopez et al.(2004).
Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dapat dipergunakan sebagai langkah
perlakuan awal (pretreatment) untuk proses hidrolisis secara enzimatik. Perlakuan awal
hidrolisis enzimatik pada limbah lignoselulosik menggunakan H2SO4 0,1-1 % pada suhu
140-190 oC akan dapat melemahkan ikatan-ikatan selulosa. Pretreatment dapat dilakukan
selama 5 menit pada suhu 180 oC atau 30-90 menit pada suhu 120 oC (Taherzadeh dan
Karimi 2007)
2.5 Hidrolisis Enzim
Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida atau protein yang berfungsi
sebagai katalis dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada
permukaan molekul zat-zat yang bereaksi sehingga dapat mempercepat proses reaksi.
Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya
akan mempermudah terjadinya reaksi. Enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap
jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini
disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh,
enzim -amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Hidrolisis pati dapat menggunakan enzim -amilase dan glukoamilase. Enzim amilase merupakan endo-enzim yang dapat memecah ikatan -1,4 glikosidik secara acak
dibagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektinnya. Hasil akhir
hidrolisis amilosa adalah glukosa dan maltosa dengan perbandingan 13 % dan 17 %,
sedangkan hasil akhir hidrolisis amilopektin menghasilkan campuran limit dekstrin
bercabang dan tidak bercabang yang terdiri dari hepta, heksa, penta, tetra dan trisakarida
juga maltosa dan isomaltosa disertai sedikit glukosa.
Hidrolisis pati juga dapat menggunakan enzim glukoamilase. Enzim ini juga
dikenal dengan nama -1,4 glukan glukohidrolase. Enzim glukoamilase mampu
memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian luar dan menghasilkan unit-unit
glukosa dari ujung non-pereduksi rantai polimer polisakarida. Enzim glukoamilase dapat
diperoleh dari strain Aspergillus dan Rhizopus. Enzim ini bersifat eksoamilase, yaitu
14

memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi,
baik pada ikatan -1,4 dan -1,6 glikosidik (Tjokroadikoesoemo 1986).
Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih
tinggi seperti etanol, glukosa dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa
dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis asam atau basa.
Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa
menjadi glukosa. Keuntungan hidrolisisi ensim dibandingkan dengan hidrolisis asam
adalah kondisi reaksi ringan dan tidak terjadi reaksi samping yang berarti.
Enzim selulase dapat diproduksi oleh mikroorganisme, seperti T.viride atau T.
reesei. Mikroorganisme selulolitik mampu menghasilkan selulase kompleks, yaitu suatu
campuran beberapa jenis selulase yang berbeda. Selulase kompleks mampu
menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula

terlarut secara efisien. Beberapa

spesies bakteri yang dapat memproduksi enzim selulase dan hemiselulase adalah
Clostridium, Cellumonas, Thermomonospora, Bacillus, Bacteriodes, Ruminococcus,
Erwinia, Acetovibrio, Microbispora dan Streptomyces, dan jamur seperti Tricoderma,
Penicillium, Fusarium, Phanerochaete, Humicola dan Schizophillum spp. Walaupun
enzim selulase dapat diproduksi oleh berbagai macam mikroorganisme, enzim selulase
dari T. reesei atau T viride telah banyak dipelajari dan mempunyai karakteristik yang
paling baik.
Enzim selulase kompleks terdiri dari tiga enzim utama yaitu endoglukanase,
eksoglukanase dan selobiase. Endoglukanase menghidrolisis ikatan 1,4 -glikosidik
secara acak pada daerah amorf selulosa menghasilkan glukosa, selobiosa dan
selodekstrin. Eksoglukanase menghidrolisis selodekstrin dengan memutus unit selobiosa
dari ujung rantai polimer. Selobiase menghidrolisis selobiosa dan selo-oligosakarida
menjadi glukosa ( Wu et al. 2000; Jeewon 1997).
Enzim endoglukonase atau endoselulase menguraikan kristal-kristal penyusun
serat selulosa dan melepaskan ikatan pada rantai kristal membentuk selulosa tunggal.
Selulosa tunggal tersebut diurai oleh eksoglukonase atau eksoselulase menjadi unit-unit
selobiase yang merupakan disakarida. Selobiase diuraikan menjadi glukosa oleh glukosidase.

15

Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis enzim diantaranya yaitu


kualitas dan konsentrasi substrat, metode perlakuan awal yang diaplikasikan, aktivitas
enzim selulase dan kondisi proses hidrolisis seperti suhu dan pH. Suhu dan pH optimum
merupakan fungsi dari bahan, sumber enzim dan waktu hidrolisis. Suhu dan pH optimum
pada enzim selulase umumnya pada 40 50 oC dan pH 4 5, sehingga waktu yang
digunakan tergantung pada kondisi tersebut.
Hidrolisis enzimatik tongkol jagung yang diberi perlakuan awal H2SO4 1% pada
suhu 180 oC kemudian dihidrolisis dengan enzim selulase kasar T. viride dan enzim
glukoamilase kasar A.niger yang dilakukan pada suhu 50 oC, pH 4,8 selama 60 jam
menghasilkan 45,7 g/L etanol melalui sistem produksi fed batch (Chen et al. 2007)
Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dan
kecepatan hidrolisis enzimatis adalah substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat
menyebabkan penghambat yang memperlambat proses hidrolisis. Terjadinya penghambat
oleh substrat tergantung pada perbandingan antara banyaknya enzim terhadap banyaknya
substrat. Masalah pengadukan dan perpindahan panas juga akan timbul pada substrat
yang berkonsentrasi tinggi. Banyaknya enzim yang ditambahkan pada substrat sangat
berpengaruh terhadap kecepatan proses hidrolisis. Semakin banyak enzim yang
ditambahkan akan semakin cepat proses hidrolisis yang terjadi dan hasil yang diperoleh
juga semakin banyak, tetapi semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Banyaknya
enzim yang ditambahkan pada substrat biasanya 5 35 FPU/gram substrat. Pengurangan
biaya untuk penyediaan enzim pada proses hidrolisis enzim dapat dilakukan dengan daur
ulang enzim selulase. Bercampurnya enzim dalam hidrolisat dan terbentuknya sisa proses
yang berupa padatan (kemungkinan lignin) mempersulit proses pemisahan enzim.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan aplikasi
imobilisasi enzim selama proses.
2.6 Trichoderma viride
T. viride

termasuk dalam genur Trichoderma, famili Moniliaceae dan ordo

Moniliales. Kapang ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas,
namun jika spora telah timbul akan tampak berwarna hijau tua. T. viride

mampu

memproduksi komplek enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase
16

yang dapat menghidrolisis selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim
selulase dapat terjadi sinergisme antara eksoselulase dengan endoselulase, melainkan
juga antar eksoselulase.
Pertumbuhan T. viride optimal pada pH sekitar 4,0, sedangkan untuk produksi
enzim selulase mendekati ph 3,0. Selama produksi enzim, pH harus dipertahankan dalam
kisaran 3,0 4,0 karena inaktivasi enzim akan terjadi di bawah pH 2,0. Suhu optimum
pertumbuhan

sekitar 32 35 oC dan untuk produksi enzim sekitar 25 28 oC.

Karakteristik dari enzim selulase T. viride

adalah memiliki pH optimum 4,0 dan akan

tetap stabil pada pH 3 7. suhu optimum adalah 50 oC dan aktivitasnya akan menurun
jika suhunya lebih dari 50 oC.
T. viride

selain mampu memproduksi enzim selulase, juga dapat menghasilkan

enzim endo-1,4--xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul xilanase yang
dihasilkan dari T. viride

adalah sebesar 22.000 dalton ( Ujiie et al. 1991; Tholudur

1999). Palmvist et al. (1997) dan Larsson et al. (1999), melaporkan Trichoderma
mampu secara simultan melakukan proses detoksifikasi dan produksi enzim secara
simultan pada hidrolisat asam yang mengandung senyawa-senyawa inhibitor seperti
furfural dan HMF. Kapang ini juga mampu memetabolisme gula dari golongan pentosa
maupun heksosa dan tidak terlalu sensitif terhadap material-material lignoselulosik.
2.7 Aspergillus niger
Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaceae dan ordo
Eurotiales. Kapang ini mempunyai miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya
bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25 30 oC, namun genus Aspergillus
dapat tumbuh pada kisaran suhu 35 37 oC. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada
suhu 30 oC dengan pH optimum 7,0 atau agak asam dan besifat tidak tahan panas. A.
niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkonsumsi molekul-molekul
sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk
molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah
terlebih dahulu sebelum masuk kedalam sel.
Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung lebih baik pada suhu
kamar yaitu 25 28 oC dari pada suhu optimum pertumbuhannya (37,8 oC). Sintesis
17

enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30 oC karena energi respirasi lebih banyak
dipergunakan untuk pembentukan spora dari pada untuk membentuk miselium.
A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase,
-1,4-glikan hidrolase, protease, -amilase, glukoamilase, maltase, -galaktosidase, glukosidase,

-glukosidase,

asam

glukonat,

glukosa

oksidase,

asam

oksalat,

fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4- glukanohidrolase, -xilosidase, xilanase dan


lipase. Glukoamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkisar 54-112 k D dan
pH optimum berkisar antara 4,0-5,0. Temperatur optimum aktivasi berkisar antara 40
65 oC ( Selvakumar et al. 1996).
2.8 Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae termasuk ke dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan
dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora. S.
serevisiae memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar dan Chan
1986). Dinding sel S. cerevisiae terdiri dari komponen-komonen glukan, manan, protein,
kitin dan lemak (Waluyo 2004).
Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena
sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada
kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. S.
cerevisiae mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30 35 oC dan tidak aktif pada suhu
lebih dari 40 oC. S. cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta
rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). Biakan S. cerevisiae mempunyai kecepatan
fermentasi optimum pada pH 4,48 (Harrison dan Graham 1970)
Rendemen alkohol dari heksosa dalam fermentasi menggunakan khamir dari
genus Saccharomyces dapat mencapai 90 % (Boyles 1984). Proses fermentasi oleh
Saccharomyces adalah proses pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam
bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97 % (Campbel
1983). Mekanisme pembentukan etanol oleh kamir melalui jalur Embden-MeyerhofParnas Pathway (EMP) atau glikolisis.

Hasil

dari EMP adalah memecah glukosa

menjadi 2 molekul piruvat. Mekanisme glikolisis disajikan pada Gambar 3.

18

Glukosa

Glukosa-6-P

Fruktosa-6-P

Fruktosa-1,6-di-P

Gliseraldehida-3-P

Dihidroksiaseton
fosfat

Gliseraldehida-3-P

1,3-di fosfogliserat

3-fosfogliserat
2-fosfogliserat
Fosfoenolpiruvat

Piruvat

Gambar 3 Mekanisme proses glikolisis


Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi
asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat decarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol
dehidrogenase dirubah menjadi etanol.

19

Anda mungkin juga menyukai