Anda di halaman 1dari 46

TUGAS INDIVIDU

RINITIS, SINUSITIS dan PHARINGITIS

Disusun Oleh:
Alma Ananda Alieva Noor Wahyudina (20120320028)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

RINITIS

I.

Pengertian Rinitis Alergi.


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
II.

Klasifikasi Rinitis Alergi.


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu:
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).

III.

Etiologi Rinitis Alergi.


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat


berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab
rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
b. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
c. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
d. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
IV.

Patofisiologi.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh
terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer. Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag).
Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila
Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
b. Respon sekunder. Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang
mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau
humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah
ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
c. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung
dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).

V.

Gejala klinik.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi,
Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang
garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.
WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
VI.

Diagnosis.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis. Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan
tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus

(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi
faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih
5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari
satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
b. Pemeriksaan Fisik. Pada muka biasanya didapatkan garis DennieMorgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah
mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan
(allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media
(Irawati, 2002).
VII.

Pemeriksaan Penunjang.

a. In vitro. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien

lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin Endpoint Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
VIII.

Penatalaksanaan rinitis alergi.

a. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance)


dan eliminasi.
b. Simptomatis

Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,


yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering

dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian


dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta

serta

simpatomimetik

mempunyai
golongan

efek

agonis

kolinergik.

adrenergik

Preparat

alfa

dipakai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan


antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal

(beklometosa,

budesonid,

flusolid,

flutikason,

mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal


adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).

Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu


dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.


Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006).

IX.

Komplikasi.
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki

tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang


luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif,
terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu
atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis
dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein
basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
(Durham, 2006).
X.

Asuhan Keperawatan.
a. Pngkajian.

Identitas.

Keluhan utama.

Riwayat peyakit dahulu.

Riwayat keluarga.

Pemeriksaan fisik (Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret


mukoid, Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi)

Pemeriksaan penunjang (Pemeriksaan nasoendoskopi, Pemeriksaan


sitologi hidung, Hitung eosinofil pada darah tepi , Uji kulit allergen
penyebab).

b. Diagnosa Keperawatan.

Ketidakefektifan jalan nafas b/d obstruksi /adanya secret yang


mengental.

Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada


hidung.

Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang


penyakit dan prosedur tindakan medis.

Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore.

c. Intervensi.

Ketidakefektifan jalan nafas b/d obstruksi /adanya secret yang


mengental.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria Hasil: Klien tidak bernafas lagi melalui mulut, Jalan nafas
kembali normal terutama hidung.

Intervensi
Kaji

penumpukan

Rasional
secret
Mengetahui tingkat

yang ada.

keparahan dan tindakan

Observasi tanda-tanda vital.

selanjutnya.
Tingkat dari suatu keparahan
penyakit akan menyebabkan
diadakanya suatu tindakan.
Kerjasama untuk

Kolaborasi

dengan

team

medis

menghilangkan obat yang


dikonsumsi

Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada


hidung.

Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman

Kriteria :

- Klien tidur 6-8 jam sehari

Intervensi
a. Kaji kebutuhan tidur klien.

Rasional
a. Mengetahui permasalahan klien dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur

b. ciptakan suasana yang nyaman.

b. Agar klien dapat tidur dengan tenang

c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut

c. Pernafasan tidak terganggu.

d. Kolaborasi dengan tim medis

d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat

pemberian obat

hidung

Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang


penyakit dan prosedur tindakan medis.
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria: Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola
kopingnya, Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang
dideritanya serta pengobatannya.

Intervensi
1. Kaji tingkat kecemasan klien

Rasional
1. Menentukan tindakan selanjutnya

2. Berikan kenyamanan dan

2. Memudahkan penerimaan klien

ketentaman pada klien :


- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang
dengan menyentuh klien )
3. Berikan penjelasan pada klien

terhadap informasi yang diberikan


3. Meningkatkan pemahaman klien
tentang penyakit dan terapi untuk
penyakit tersebut sehingga klien lebih
kooperatif

tentang penyakit yang dideritanya 4. Dengan menghilangkan stimulus yang


perlahan, tenang seta gunakan

mencemaskan akan meningkatkan

kalimat yang jelas, singkat mudah

ketenangan klien.

dimengerti
4. Singkirkan stimulasi yang berlebihan
misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang
lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain
/klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim
medis

5. Mengetahui perkembangan klien secara


dini.
6. Obat dapat menurunkan tingkat
kecemasan klien

Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore.

Intervensi

Rasional

a. Dorong individu untuk bertanya


mengenai
masalah,
penanganan,
perkembangan
dan
prognosis
kesehatan

a. memberikan minat dan perhatian,


memberikan
kesempatan
untuk
memperbaiakikesalahan konsep

c.
dorong
individu
untuk
mengekspresikan
perasaannya,
khususnya
bagaimana
individu
merasakan,
memikirkan,
atau
memandang dirinya

kepercayaan diri, memperbaiki harga diri,


mrnurunkan pikiran terus menerus
terhadap perubahan dan meningkatkan
perasaan terhadap pengendalian diri

b. pendekatan secara komperhensif dapat


b. ajarkan individu menegenai sumber membantu
memenuhi
kebutuhan
komunitas
yang
tersedia,
jika pasienuntuk memelihara tingkah laku
dibutuhkan
(misalnya
:
pusat koping
kesehatan mental)
c. dapat membantu meningkatkan tingkat

SINUSITIS

I.

Definisi Sinusitis.
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya, akhiran umum dalam

kedokteran it is berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan


sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi, virus, bakteri maupun jamur.
Sebagai informasi yang patut kita ketahui, terdapat empat sinus disekitar
hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (di antara kedua
mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang
dahi). Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada
(maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).
II.

Anatomi Sinus Paranasal.


Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung

dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan
sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal
adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap
nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir
yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis.
Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila
kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior
dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus
inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang
penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut
kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran
dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel
etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal
terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak
terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina
(Broek, 2010).Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan,

kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada
sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 1518 tahun (Soetjipto, 2010).

III.

Bagian-bagian Sinus Paranasal.


a. Sinus Maksila.
Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10
minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar
dan bervolume 6-8 ml saat lahir (Soetjipto, 2010). Proses terbentuknya
sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila
hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan
suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm.
Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak

kira-kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses


perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase
pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi
mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada
sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan
setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah
proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan
mencapai ukuran maksimum pada usia

17 hingga 18 tahun. Ukuran

standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2
dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk
oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah
resesus zigomatikus (Stammberger, 2008).
Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010),
yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi
klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan
terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis
maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak
ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan
drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui
infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah
tersebut mengalami inflamasi.
b. Sinus Etmoid.
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul
di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini
dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu
kemudian, lipatan- lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan
sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior
'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur
permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008).
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya

di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang
berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat
suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal
mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di
infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010).
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5
sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior
ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang
terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap
sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).
c. Sinus Sfenoid.
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada
sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus
sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2
x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang
sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran
sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya).
Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang
dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi
hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan

pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di


daerah pons (Soetjipto, 2010).
d. Sinus Frontal.
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan
bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah
sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi,
mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi
dengan sebuah septum intersinus (Walsh, 2006). Pada fetus usia 4 bulan,
perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat.
Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks
etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami
pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat
lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid
anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang
cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat.
Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan
meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar.
Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus
dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan
variasi (Stammberger, 2008). Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi)
x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat
dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).
IV.

Macam-Macam Sinusitis.
Secara klinis, sinusitis dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Sinusitis Akut : Sinusitis akut (acute sinusitis atau acute rhinosinusitis)
merupakan kondisi yang menyebabkan rongga di sekitar hidung
(sinus) menjadi meradang dan bengkak. Kondisi ini akan mengganggu
drainase cairan dan menyebabkan penumpukan lendir. Orang yang
mengalami sinusitis akut lazim mengalami kesulitan bernapas melalui

hidung.Daerah sekitar mata dan wajah mungkin juga terasa bengkak


yang disertai nyeri pada wajah atau sakit kepala berdenyut-denyut.
Sinusitis akut paling sering disebabkan oleh flu. Pemicu lain termasuk
bakteri, alergi, dan infeksi jamur. Pengobatan sinusitis akut tergantung
pada penyebabnya. Dalam kebanyakan kasus, penyakit ini bisa diobati
sendiri di rumah. Namun, sinusitis persisten dapat menyebabkan
infeksi serius dan komplikasi lainnya. Sinusitis yang berlangsung lebih
dari 12 minggu atau terus kambuh kembali disebut sebagai sinusitis
kronis.
b. Sinusitis Subakut : Sinusitis sub akut : Sinusitis sub akut merupakan
lanjutan dari sinusitis akut. Sinusitis sub akut dan sinusitis akut hampir
sama namun yang membedakan hanyalah dalam tanda dan gejalanya.
Dikatakan sinusitis sub akut jika gangguannya terjadi selama 1 hingga
3 bulan.
c. Sinusitis kronis : Sinusitis jenis ini dipicu kerana adanya penyakit lain
seperti asma, alergi, kelainan sekrese (pembuangan lendir), dan lain
sebagainya. Dikatakan sinusitis kronis bila gangguannya mencapai
lebih dari 3 bulan.
Sedangkan berdasarkan penyebab terjadinya penyakit sinusitis, penyakit
ini dapat digolongkan menjadi:
a. Rhinogenik yang terjadi disekitar hidung dan disebabkan oleh
penyumbatan pada hidung yang akhirnya menyebabkan sinusitis.
b. Dentogenik atau dikenal juga dengan odontogenik yang disebabkan
oleh kelainan pada gigi, berakibat pada gigi geraham atas yang
mengalami sinusitis infeksi.
V.

Etiologi.
a. Sinusitis Akut, yaitu: Infeksi virus (Sinusitis akut bisa terjadi setelah
adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas, misalnya
Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus); Bakteri (di
dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam

keadaan normal tidak menimbulkan penyakit, misalnya Streptococcus


pneumoniae, Haemophilus influenzae. Jika sistem pertahanan tubuh
menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi
virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan
berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi
infeksi sinus akut); Infeksi jamur (infeksi jamur bisa menyebabkan
sinusitis akut pada penderita gangguan sistem kekebalan, contohnya
jamur Aspergillus); Peradangan menahun pada saluran hidung (pada
penderita rhinitis alergi dan juga penderita rhinitis vasomotor); Septum
nasi yang bengkok; Tonsilitis yg kronik.
b. Pada Sinusitis Kronik, yaitu Sinusitis akut yang sering kambuh atau
tidak sembuh; Alergi; Karies dentis (gigi geraham atas); Septum nasi
yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa; Benda asing di
hidung dan sinus paranasal; Tumor di hidung dan sinus paranasal.
VI.

Manifestasi Klinis.
a. Sinusitis maksila akut.
Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung
tersumbat,m nyeri tekan, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadangkadang berbau dan bercampur darah.
b. Sinusitis etmoid akut.
Gejala : Sekret kental di hidung dan nasofaring, nyeri di antara dua
mata, dan pusing.
c. Sinusitis frontal akut.
Gejala : Demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari, tetapi
berkurang setelah sore hari, sekret kental dan penciuman berkurang.
d. Sinusitis sphenoid akut.
Gejala : Nyeri di bola mata, sakit kepala, dan terdapat sekret di
nasofaring
e. Sinusitis Kronis.

Gejala : Flu yang sering kambuh, ingus kental dan kadang-kadang


berbau,selalu terdapat ingus di tenggorok, terdapat gejala di organ lain
misalnya rematik, nefritis, bronchitis, bronkiektasis, batuk kering, dan
sering demam.
VII.

Patofisiologi.

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam ronga

sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini


biasa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi
antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bacteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.
Klasifikasi dan mikrobiologi: Consensus international tahun 1995
membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika
lebih dari 8 minggu.
Consensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3
bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya
factor predisposisi harus dicari dan di obati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bacteri utama yang ditemukan pada sinusitis
akut adalah streptococcus pneumonia (30-50%). Hemopylus influenzae (20-40%)
dan moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak di temukan
(20%).
Pada sinusitis kronik, factor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya
bakteri yang ada lebih condong ka rarah bakteri negative gram dan anaerob.
VIII.

Pemeriksaan Penunjang.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan


naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusistis maksila dan
etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid
posterior dan sphenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering
ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemerikasaan pembantu yang penting adalh foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara, cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT scan sinus merupakan golg standard diagnosis sinusitis karena mampu
manila anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secacra keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusistis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.
Pemeriksaan

mikrobiologik

dan

tes

resistensi

dilakukan

dengan

mengambil secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang


tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus
maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
IX.

Penatalaksanaan.
Tujuan terapi sinusitis ialah:
a. Mempercepat penyembuhan

b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehinggan drenase
dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan maukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotic yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, teroid oral/topical, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif,
adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
X.

Komplikasi.

Komplikais sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya


antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis
orbita, asbes subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis
sinus kavernosus. Kelainan Intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses
ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi padasinusitis kronis berupa: Osteomielitis
dan abses suberiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebalum sinusitisnya disembuhkan.
XI.

Asuhan Keperawatan.

a. Pengkajian.

Identitas/ biodata klien.

Keluhan Utama.

Riwayat Kesehatan Sekarang.

Riwayat Kesehatan Masa Lalu.

Riwayat Kesehatan Keluarga.

Keadaan Lingkungan.

b. Observasi

Keadaan Umum (Suhu, nadi, tekanan darah, RR, BB, tinggi badan).

Pemeriksaan PersistemB1/breathing: Tidak teratur, suara nafas ronkhi


berhubugan dengan adanya secret kental pada hidung; B2/ blood: Normal;
B3/ brain: Pasien composmentis; B4/ bladder: Normal; B5/bowel: Nafsu
makan menurun ,porsi makan menurun dan BB turun; B6/ bone:
Kelemahan otot dan malaise
c. Analisis Data
No. Data

Etiologi

Masalah
Keperawatan

1.

Data subjektif:

Inflamasi pada sinus frontal Nyeri

Pasien mengeluh nyeri kepala.


Data objektif:

Peradangan

Pasien tampak gelisah,


didapati skala nyeri 8, RR= 25Nyeri pada kepala
x/ menit.

2.

Data subjektif:

Inflamasi pada sinus frontal Bersihan jalan


nafas tidak efektif

Pasien mengeluh sesak nafas.


Data objektif:
Produksi secret meningkat
Ada retraksi dinding dada,
penggunaan pernafasan
cuping hidung, suara nafas
ronkhi, RR=25 x/menit.
Akumulasi secret

Bersihan jalan nafas tidak

efektif

Ronkhi

3.

Data subjektif:

Sesak nafas
Inflamasi

Gangguan
pemenuhan nutrisi

Pasien mengeluh tidak nafsu


makan.

kurang dari
Produksi secret meningkat kebutuhan

Data objektif:
Penurunan berat badan dari 63
kg menjadi 62 kg, makanan
yang disajikan tidak pernah
dihabiskan.

Secret terakumulasi
dihidung

Hidung tersumbat

Penciuman terganggu

Tidak bisa mencium aroma


makanan

Nafsu makan menurun

Nutrisi tidak terpenuhi

4.

Data subjektif:

Inflamasi

Gangguan
istirahat; tidur

Pasien mengeluh tidak bisa


tidur dengan nyenyak.
Data objektif:

berhubungan
Rasa tidak nyaman karena dengan hidung
hidung tersumbat (buntu)

tersumbat (buntu)

Gelisah, lemas, mata cowong,

5.

tidur kurang dari 6-8 jam

Tidur tidak nyenyak

perhari.
Data Subjektif:

Infeksi saluran pernafasan Hipertermi


atas

Pasien mengeluh kedinginan


Data Objektif:
Makrofag menangkap
Suhu tubuh= 38C

benda asing yang masuk ke


tubuh

Merangsang pengeluaran
mediator kimia

Prostalglandin

Peningkatan set. point


Hipotalamus

Suhu tubuh meningkat

d. Diagnosa
Nyeri: kepala, tenggorokan berhubungan dengan peradangan pada hidung.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya secret yang
mengental.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafsu makan menurun.
Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hidung tersumbat.
Hipertermi berhubungan dengan reaksi infeksi.
e. Intervensi
Nyeri (kepala, tenggorokan) berhubungan dengan peningkatan tekanan
sinus sekunder terhadap peradanggan sinus paranasal.
Tujuan: Nyeri yang dirasakan klien berkurang atau menghilang dalam
waktu 1x24 jam.
Kriteria hasil: Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau
menghilang, RR=16-20 x/menit, Nadi=60-100x/menit, ekspresi wajah
klien tidak menyeringai lagi, Skala nyeri 2.
No. Intervensi

Rasional

1.

Obat analgesic dapat menurunkan atau

Kolaborasi:

menghilangkan rasa nyeri.


2.

Berikan obat analgesic


Mandiri:

Teknik distraksi diharapkan bisa


menurunkan skala nyeri setelah

Ajarkan teknik distraksi atau

pengobatan dengan obat analgesic.

pengalihan nyeri dan teknik


3.

relaksasi
Mandiri:

Observasi dilakukan untuk memastikan


bahwa nyeri berkurang yang ditandai

Observasi tanda-tanda vital, keluhan

dengan RR dalam skala normal.

klien serta skala nyeri


Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya secret yang
mengental.

Tujuan: Jalan nafas kembali efektif dalam waktu 10-15 menit.


Kriteria hasil: Klien tidak lagi menggunakan pernafasan cuping hidung,
Tidak adanya suara nafas tambahan, Ronkhi (-), RR= 16-20 x/menit
e)

Tidak adanya retraksi dinding dada

No. Intervensi

Rasional

1.

Nebulizing dapat mengencerkan secret

Kolaborasi:

dan berperan sebagai bronkodilator


Berikan nebulizing.
2.

Mandiri:

untuk melebarkan jalan nafas.


Mengetahui letak secret dan
mengakumulasi secret di supsternal

Foto thoraks dada serta melakukan


3.

clapping atau vibrasi


Kolaborasi:

sehingga mudah untuk di drainase.


Mengeluarkan secret dari paru.

Lakukan suctioning (pada px. yang


mengalami penurunan kesadaran dan
tidak mampu melakukan batuk
3.

efektif).
Mandiri:

Mengeluarkan secret dari jalan nafas


khusunya pada pasien yang tidak

Ajarkan batuk efektif (pada px. yang


tidak mengalami penurunan
kesadaran dan mampu melakukan
4.

batuk efektif).
Mandiri:

mengalami penurunan gangguan


kesadaran dan bisa melakukan batuk
efektif.
Untuk mengetahui perkembangan
kesehatan klien.

Observasi tanda tanda vital


Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafsu makan menurun.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien kembali terpenuhi dalam waktu 5x24 jam.
Kriteria hasil: Berat badan klien kembali seperti semula (63kg), BB
normal= 63 kg, Makanan yang disajikan selalu dihabiskan.

No. Intervensi

Rasional

1.

Dengan menu yang bervariasi, dapat

Kolaborasi:

menumbuhkan nafsu makan klien


Sajikan makanan secara menarik
dengan memperhatikan nutrisi yang
2.

diperlukan oleh klien.


Mandiri:

sehingga kebutuhan nutrisi klien


kembali terpenuhi.
Mengetahui perkembangan
pemenuhan kebutuhan nutrisi klien.

Catat intake dan output makanan


3.

klien.
Mandiri:

Dengan sedikit tapi sering dapat


mengurangi penekanan pada lambung.

Anjurkan makan sedikit sedikit tapi


4.

sering.
Mandiri:

Dengan pemahaman yang baik


tentang nutrisi akan memotivasi untuk

Berikan helath education pentingnya

meningkatkan pemenuhan nutrisi.

makanan bagi proses penyembuhan.


Diagnosa
: Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hidung
tersumbat.
Tujuan: Klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman.
Kriteria hasil: Klien dapat tidur 6-8 jam perhari, Tidak gelisah, Mata tidak
cowong, Klien tidak lemas.
No. Intervensi

Rasional

1.

Mengetahui permasalahan klien dalam

Mandiri:

pemenuhan kebutuhan ; istirahat klien.


2.

Kaji kebutuhan tidur klien


Mandiri:

Klien dapat tidur dengan tenang.

3.

Ciptakan suasana yang nyaman.


Kolaborasi:

Agar klien dapat tidur.

Berikan obat tidur


Hipertermi berhubungan dengan reaksi infeksi.

Tujuan: Suhu tubuh kembali dalam keadaan normal.


Kriteria Hasil: Suhu tubuh 36,5-37,5 C, Kulit hangat dan lembab,
membran mukosa lembab
No. Intervensi

Rasional

1.

Suhu tubuh harus dipantau secara

Mandiri:

efektif guna mengetahui


Monitoring perubahan suhu tubuh

perkembangan dan kemajuan dari


pasien.

2.

Mandiri:

Dapat membantu mengurangi demam.

Berikan kompres hangat

3.

Kolaborasi:

Mengurangi demam dengan aksi


sentralnya pada hipotalamus,

Berikan antipiretik

meskipun demam mungkin dapat


berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme dan
autodestruksi dari sel-sel terinfeksi.

FARINGITIS

I.

Pengertian.
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit

peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan oleh bakteri
atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
II.

Epidemologi.
Faringitis terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin,

tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak. Faringitis akut jarang
ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan mencapai
puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anakanak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang
terjadi,tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.
III.

Etiologi.
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.Virus penyebab

adalah :
a. Common cold.
b. Flu.
c. Adenovirus.
d. Mononucleosis.
e. HIV.
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah :
a. Streptokokus grup A.
b. Korinebakterium.
c. Arkanobakterium
d. Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia pneumoniae
IV.

Patofisiologi.
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium

awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat
melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu-abu
terdapat pada folikel atau jaringan limfoid.Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi
meradang dan membengkak sehingaa timbul radang pada tenggorok atau
faringitis.
V.

Gejala Klinis.
Penyakit ini cenderung akut dengan disertai demam yang tinggi, sakit

kepala, rasa nyeri di perut dan muntah-muntah. Tenggorokan terasa nyeri,


amandel menjadi berwarna merah dan membengkak. Pada anak yang sudah lebih
besar, akan terlihat adanya lapisan seperti krim di atas amandel (eksudat) yang
tidak mengeluarkan darah bila disentuh. Kelenjar getah bening di leher sering
membengkak dan terasa nyeri bila ditekan. Berbeda dengan faringitis virus,
penderita faringitis streptokokus tidak mengalami rhinitis, suara serak atau batuk.
VI.

Pemeriksaan.

a. Pemeriksaan fisik

Inspeksi : kemerahan pada faring,adanya pembengkakan di daerah


leher.

Palpasi : adanya kenaikan suhu pada bagian leher, adanya nyeri


tekan.

TTV : suhu tubuh mengalami kenaikan, nadi meningkat, dan


napasnya cepat.

b. Pemeriksaan diagnostik.

Kultur dan uji resistensi.

Pemeriksaan serologic.

Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam.

Fotothorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru.

Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari


basil tahan asam di jaringan.

VII.

Tindakan penanganan.
Untuk faringitis virus penanganan dilakukan dengan memberikan
aspirin atau asetaminofen cairan dan istirahat baring. Komplikasi
seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri
karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus sehingga
untuk mengatsi komplikasi ini dicadangkan untuk menggunakan
antibiotika.

Untuk faringitis bakteri paling baik diobati dengan pemberian


penisilin G sebanyak 200.000-250.000 unit, 3-4 kali sehari selama 10
hari. Pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang
cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Erritromisin
atau klindamisin merupakan obat alin dengan hasil memuaskan jika
penderita alergi terhadap penisilin. Jika penderita menderita nyeri
tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres
panas atau dingin pada leher dapat membantu meringankan nyeri.
Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula meringankan
gejala nyeri tenggorokan dan hal ini dapat disarankan pada anak-anak
yang lebih besar untuk dapat bekerja sama.

VIII.

Komplikasi.
Penyakit ini, jika dibiarkan sampai menjadi berat, dapat
menimbulkan radang ginjal (glomerulonefritis akut).

Demam rematik akut

Otitis media (radang telinga bagian tengah).

Sinusitis.

Abses peritonsila dan abses retropharynx (radang di sekitar


amandel atau bagian belakang tenggorokan yang dapat menimbulkan
nanah).

IX.

Klasifikasi.
Berdasarkan lama berlangsungnya

a. Faringitis akut, adalah radang tenggorokan yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yaitu streptkokus grup A dengan tanda dan gejala mukosa dan
tonsil masih berwarna merah, malaise, nyeri tenggerokan dan kadang
disertai demam dan batuk. Faringitis ini terjadi masih baru, belum
berlangsung lama.
b. Faringitis kronik, radang tenggorokan yang sudah berlangsung dalam
waktu yang lama, biasanya tidak disertai nyeri menelan, cuma terasa ada
sesuatu yang menjanggal ditenggerokan. Faringitis kronik umumnya
terjadi pada individu dewasa yang bekerja atau tinggal dalam lingkunga
yang berdebu, menggunakan suara yang berlebihan, menderita batuk
kronik, dan kebiasaaan mengkomsumsi alkohl dan tembakau.faringitis
kronik dibagi menjadi 3 yaitu :

Faringitis hipertropi ditandai dengan penebalan umum dan kogesti


membrane mukosa.

Faringitis atrpi kemungkinan merupakan tahap lanjut dari jenis


pertama (membrane tipis, keputihan ,licin, dan pada waktunya
berkerut).

Faringitis granular kronik terjadi pembengkakan folikel limpe pada


dinding faring.

Berdasarkan agen penyebab :


a. Faringitis virus.

Biasanya tidak ditemukan nanah ditenggorokan.


Demam ringan tau tanpa demam.
Jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat.
Kelenjar getah bening normal atau sedikit membengkak.
Tes apus tenggorokan member hasil negative.
Untuk strep throat pada biakan dilaboratorium tidak tumbuh bakteri,

b. Faringitis bakteri

Biasanya ditemukan nanah dutenggorokan.

Demam ringan sampai sedang.


Jumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang.
Kelenjar getah bening mengalami pembengkakan ringan sampai

sedang.
Ter apus tenggorokan meberikan hasil positif.
Bakteri tumbuh pada biakan dilaboratorium.

X.

Asuhan Keperawatan.

a. Pengkajian.

Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,


agama, suku bangsa, pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan,
alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber informasi).

Riwayat Kesehatan Sekarang (Mengkaji data subjektif yaitu data yang


didapatkan dari klien, meliputi: Alasan masuk rumah sakit, Pasien
mengatakan terasa nyeri di leher dan mengatakan sakit saat menelan;
Keluhan utama: Pasien mengatakan nyeri dan merasa tidak nyaman
pada daerah leher, pasien mengatakan mual dan muntah, pasien
mengatakan sakit saat menelan; Kronologis keluhan: Pasien mengeluh
nyeri di leher).

Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Mengkaji apakah sebelumnya pasien


pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan
penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien
mengatakan pernah mengalami infeksi pada saluran tenggorokan dan
pernah menjalani perawatan di RS).

Riwayat Kesehatan Keluarga (Mengkaji apakah dalam keluarga pasien


ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama).

Riwayat Psikososial dan Spiritual (Mengkaji orang terdekat dengan


pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap
keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap

stres,

persepsi

pasien

terhadap

penyakitnya,

tugas

perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan).

Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual (Dikaji 14 kebutuhan dasar manusia


menurut Virginia Handerson, seperti: Bernafas, makan, minum,
eliminasi, gerak aktivitas, istirahat/tidur, pengaturan suhu tubuh,
kebersihan diri, Rasa nyaman, rasa aman, sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan
lingkungan sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya), pengetahuan,
rekreasi, spiritual).

Pengkajian

Fisik,

meliputi:

keadaan

umum,

yaitu

dengan

mengobservasi bentuk tubuh, warna kulit, kesadaran, dan kesan umum


pasien (saat pertama kali MRS); gejala kardinal, yaitu dengan
mengukur TTV (suhu, nadi, tekanan darah, dan respirasi); keadaan
Fisik, yaitu melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dari
kepala sampai anus, tapi lebih difokuskan pada bagian leher;
pemeriksaan penunjang, yaitu dari hasil pemeriksaan laboratorium
dengan uji kultur dan uji resistensi.

Anamnesa (adanya riwayat merokok,adanya riwayat streptokokus,dan


yang penting ditanyakan apakah klien pernah mengalami nyeri/lesi
pada mulut dan nyeri saat menelan.

b. Diagnosa Keperawatan.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tenggorokan.

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan dengan sekret


yang kental ditandai dengan kesulitan dalam bernafas.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan kesulitan menelan.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak familiar dengan


sumber informasi.

c. Intervensi
No Diagnosa Kep
1

Nyeri

Tujuan &
Kriteria Hasil
1.
Setelah 1.

Tujuan
Kaji ulang

Rasional
1.

Agar tepat

berhubungan

diberikan

dengan proses

asuhan

inflamasi pada

keperawatan

tenggorokan

diharapkan

2.
3.

nyeri pasien 4.

tingkat nyeri

dalam memilih

Ajarkan

tindakan untuk

teknik relaksasi

mengatasi nyeri

Kaji TTV

2.

Kolaborasi

berkurang

dalam pemberian

Dengan

analgetik

relaksasi dan
mengurangi nyeri
3.

kriteria hasil:

Meningkatkan

Untuk
mengetahui
keaadaan umum

nyeri

pasien

pasien
4.

berkurang

Untuk
mengurangi nyeri

dari skala 5
menjadi 3

Pasien
tidak tampak
meringis

TTV
normal

Nadi:60100 x
permenit

RR:16-20
x permenit

TD:100140/60-90
mmHg

Suhu:36,837,2 C

Bersihan jalan1.

Pasien

1.

Identifikasi

1.

Untuk

napas

tidak

dapat

kualitas atau

mengetahui

efektif

mengeluarkan

kedalaman nafas

keadaan napas

berhubungan

sputum

pasien

pasien

dengan dengan2.
sekret

yang

Pasien

2.

Anjurkan

2.

Untuk

mengatakan

untuk minum air

mencairkan

kental ditandai

dapat

hangat.

sputum agar

dengan

bernapas

kesulitan dalam

dengan lancar

3.

Ajari pasien

mudah

untuk batuk

bernafas,

efektif
4.

dikeluarkan
3.

Kolaborasi

melegakan saluran

untuk pemberian
ekspektoran

Untuk
pernapasan

4.

Untuk
mengencerkan

Ketidakseimba 1.
3

ngan

nutrisi

kurang

Pasien

1.

mengatakan

dari

tidak sakit

Kaji intake
makanan pasien

2.

mengetahui

Anjurkan

adanya

kebutuhan

dalam

pasien untuk

peningkatan nafsu

tubuh

menelan

makan makanan

makan

berhubungan

makanan

yang tinggi

dengan

2.

Pasien

kesulitan

makan

menelan

dengan lahap
3.

4.

Kurang
pengetahuan

2.

kalori dan serat


3.

kebutuhan nutrisi

dengan ahli gizi

Nafsu

Untuk
memenuhi

kolaborasi

pasien
3.

Untuk

makan pasien

mendapatkan

meningkat

menu makanan

Pasien

yang sesuai

nampak lebih
4

dahak
1.
Untuk

segar
1.
Pasien
dapat

dengan
1.

Kaji tingkat
pengetahuan

kebutuhannya
1.
Untuk
mengetahui

berhubungan

menyebutkan

dengan

kembali apa 2.

tidak

familiar dengan

yang

sumber

dijelaskan

informasi.

perawat
2.

pasien
Lakukan

pasien akan

BHSP
3.

Pasien
mengangguk 4.
dan nampak

seberapa tahu

Berikan

penyakitnya
2.

Health

percaya terhadap

Education

perawat

Lakukan

3.

evaluas

pengetahuan dan

Pasien

informasi tentang

mengatakan
mengerti

Untuk
menambah

mengerti
3.

Agar pasien

penyakitnya
4.

Untuk
mengetahui daya
tangkap pasien
setelah diberikan
HE

Anda mungkin juga menyukai