Rinitis, Sinusitis, Faringitis
Rinitis, Sinusitis, Faringitis
Disusun Oleh:
Alma Ananda Alieva Noor Wahyudina (20120320028)
RINITIS
I.
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
II.
berlangsungnya, yaitu:
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
a. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
b. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).
III.
Patofisiologi.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
V.
Gejala klinik.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi,
Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung,
mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang
garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group.
WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan
nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
VI.
Diagnosis.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis. Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan
tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi
faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih
5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari
satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
b. Pemeriksaan Fisik. Pada muka biasanya didapatkan garis DennieMorgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah
mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan
(allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media
(Irawati, 2002).
VII.
Pemeriksaan Penunjang.
a. In vitro. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin Endpoint Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
VIII.
serta
simpatomimetik
mempunyai
golongan
efek
agonis
kolinergik.
adrenergik
Preparat
alfa
dipakai
(beklometosa,
budesonid,
flusolid,
flutikason,
IX.
Komplikasi.
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki
Asuhan Keperawatan.
a. Pngkajian.
Identitas.
Keluhan utama.
Riwayat keluarga.
b. Diagnosa Keperawatan.
c. Intervensi.
Intervensi
Kaji
penumpukan
Rasional
secret
Mengetahui tingkat
yang ada.
selanjutnya.
Tingkat dari suatu keparahan
penyakit akan menyebabkan
diadakanya suatu tindakan.
Kerjasama untuk
Kolaborasi
dengan
team
medis
Kriteria :
Intervensi
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
Rasional
a. Mengetahui permasalahan klien dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
pemberian obat
hidung
Intervensi
1. Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional
1. Menentukan tindakan selanjutnya
ketenangan klien.
dimengerti
4. Singkirkan stimulasi yang berlebihan
misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang
lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain
/klien lain yang kemungkinan
mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim
medis
Intervensi
Rasional
c.
dorong
individu
untuk
mengekspresikan
perasaannya,
khususnya
bagaimana
individu
merasakan,
memikirkan,
atau
memandang dirinya
SINUSITIS
I.
Definisi Sinusitis.
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya, akhiran umum dalam
dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan
sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal
adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap
nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir
yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis.
Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila
kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior
dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus
inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang
penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut
kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran
dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel
etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal
terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak
terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina
(Broek, 2010).Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan,
kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada
sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 1518 tahun (Soetjipto, 2010).
III.
standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2
dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk
oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah
resesus zigomatikus (Stammberger, 2008).
Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010),
yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi
klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan
terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis
maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak
ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan
drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui
infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah
tersebut mengalami inflamasi.
b. Sinus Etmoid.
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul
di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini
dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu
kemudian, lipatan- lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan
sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior
'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur
permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008).
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya
di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang
berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat
suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal
mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di
infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila (Soetjipto, 2010).
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5
sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior
ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang
terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap
sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).
c. Sinus Sfenoid.
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada
sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus
sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2
x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang
sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran
sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya).
Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang
dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi
hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan
Macam-Macam Sinusitis.
Secara klinis, sinusitis dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Sinusitis Akut : Sinusitis akut (acute sinusitis atau acute rhinosinusitis)
merupakan kondisi yang menyebabkan rongga di sekitar hidung
(sinus) menjadi meradang dan bengkak. Kondisi ini akan mengganggu
drainase cairan dan menyebabkan penumpukan lendir. Orang yang
mengalami sinusitis akut lazim mengalami kesulitan bernapas melalui
Etiologi.
a. Sinusitis Akut, yaitu: Infeksi virus (Sinusitis akut bisa terjadi setelah
adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas, misalnya
Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus); Bakteri (di
dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam
Manifestasi Klinis.
a. Sinusitis maksila akut.
Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung
tersumbat,m nyeri tekan, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadangkadang berbau dan bercampur darah.
b. Sinusitis etmoid akut.
Gejala : Sekret kental di hidung dan nasofaring, nyeri di antara dua
mata, dan pusing.
c. Sinusitis frontal akut.
Gejala : Demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari, tetapi
berkurang setelah sore hari, sekret kental dan penciuman berkurang.
d. Sinusitis sphenoid akut.
Gejala : Nyeri di bola mata, sakit kepala, dan terdapat sekret di
nasofaring
e. Sinusitis Kronis.
Patofisiologi.
Pemeriksaan Penunjang.
mikrobiologik
dan
tes
resistensi
dilakukan
dengan
Penatalaksanaan.
Tujuan terapi sinusitis ialah:
a. Mempercepat penyembuhan
b. Mencegah komplikasi
c. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehinggan drenase
dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan maukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotic yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, teroid oral/topical, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS)
merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat;
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif,
adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
X.
Komplikasi.
Asuhan Keperawatan.
a. Pengkajian.
Keluhan Utama.
Keadaan Lingkungan.
b. Observasi
Keadaan Umum (Suhu, nadi, tekanan darah, RR, BB, tinggi badan).
Etiologi
Masalah
Keperawatan
1.
Data subjektif:
Peradangan
2.
Data subjektif:
efektif
Ronkhi
3.
Data subjektif:
Sesak nafas
Inflamasi
Gangguan
pemenuhan nutrisi
kurang dari
Produksi secret meningkat kebutuhan
Data objektif:
Penurunan berat badan dari 63
kg menjadi 62 kg, makanan
yang disajikan tidak pernah
dihabiskan.
Secret terakumulasi
dihidung
Hidung tersumbat
Penciuman terganggu
4.
Data subjektif:
Inflamasi
Gangguan
istirahat; tidur
berhubungan
Rasa tidak nyaman karena dengan hidung
hidung tersumbat (buntu)
tersumbat (buntu)
5.
perhari.
Data Subjektif:
Merangsang pengeluaran
mediator kimia
Prostalglandin
d. Diagnosa
Nyeri: kepala, tenggorokan berhubungan dengan peradangan pada hidung.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya secret yang
mengental.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
nafsu makan menurun.
Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hidung tersumbat.
Hipertermi berhubungan dengan reaksi infeksi.
e. Intervensi
Nyeri (kepala, tenggorokan) berhubungan dengan peningkatan tekanan
sinus sekunder terhadap peradanggan sinus paranasal.
Tujuan: Nyeri yang dirasakan klien berkurang atau menghilang dalam
waktu 1x24 jam.
Kriteria hasil: Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau
menghilang, RR=16-20 x/menit, Nadi=60-100x/menit, ekspresi wajah
klien tidak menyeringai lagi, Skala nyeri 2.
No. Intervensi
Rasional
1.
Kolaborasi:
relaksasi
Mandiri:
No. Intervensi
Rasional
1.
Kolaborasi:
Mandiri:
efektif).
Mandiri:
batuk efektif).
Mandiri:
No. Intervensi
Rasional
1.
Kolaborasi:
klien.
Mandiri:
sering.
Mandiri:
Rasional
1.
Mandiri:
3.
Rasional
1.
Mandiri:
2.
Mandiri:
3.
Kolaborasi:
Berikan antipiretik
FARINGITIS
I.
Pengertian.
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah suatu penyakit
peradangan yang menyerang tenggorok atau faring yang disebabkan oleh bakteri
atau virus tertentu. Kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.
II.
Epidemologi.
Faringitis terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin,
tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak. Faringitis akut jarang
ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan mencapai
puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir masa anakanak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang
terjadi,tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.
III.
Etiologi.
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.Virus penyebab
adalah :
a. Common cold.
b. Flu.
c. Adenovirus.
d. Mononucleosis.
e. HIV.
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah :
a. Streptokokus grup A.
b. Korinebakterium.
c. Arkanobakterium
d. Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia pneumoniae
IV.
Patofisiologi.
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium
awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat
melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu-abu
terdapat pada folikel atau jaringan limfoid.Tampak bahwa folikel limfoid dan
bercak-bercak pada dinding faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi
meradang dan membengkak sehingaa timbul radang pada tenggorok atau
faringitis.
V.
Gejala Klinis.
Penyakit ini cenderung akut dengan disertai demam yang tinggi, sakit
Pemeriksaan.
a. Pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan diagnostik.
Pemeriksaan serologic.
VII.
Tindakan penanganan.
Untuk faringitis virus penanganan dilakukan dengan memberikan
aspirin atau asetaminofen cairan dan istirahat baring. Komplikasi
seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri
karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus sehingga
untuk mengatsi komplikasi ini dicadangkan untuk menggunakan
antibiotika.
VIII.
Komplikasi.
Penyakit ini, jika dibiarkan sampai menjadi berat, dapat
menimbulkan radang ginjal (glomerulonefritis akut).
Sinusitis.
IX.
Klasifikasi.
Berdasarkan lama berlangsungnya
a. Faringitis akut, adalah radang tenggorokan yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yaitu streptkokus grup A dengan tanda dan gejala mukosa dan
tonsil masih berwarna merah, malaise, nyeri tenggerokan dan kadang
disertai demam dan batuk. Faringitis ini terjadi masih baru, belum
berlangsung lama.
b. Faringitis kronik, radang tenggorokan yang sudah berlangsung dalam
waktu yang lama, biasanya tidak disertai nyeri menelan, cuma terasa ada
sesuatu yang menjanggal ditenggerokan. Faringitis kronik umumnya
terjadi pada individu dewasa yang bekerja atau tinggal dalam lingkunga
yang berdebu, menggunakan suara yang berlebihan, menderita batuk
kronik, dan kebiasaaan mengkomsumsi alkohl dan tembakau.faringitis
kronik dibagi menjadi 3 yaitu :
b. Faringitis bakteri
sedang.
Ter apus tenggorokan meberikan hasil positif.
Bakteri tumbuh pada biakan dilaboratorium.
X.
Asuhan Keperawatan.
a. Pengkajian.
stres,
persepsi
pasien
terhadap
penyakitnya,
tugas
Pengkajian
Fisik,
meliputi:
keadaan
umum,
yaitu
dengan
b. Diagnosa Keperawatan.
c. Intervensi
No Diagnosa Kep
1
Nyeri
Tujuan &
Kriteria Hasil
1.
Setelah 1.
Tujuan
Kaji ulang
Rasional
1.
Agar tepat
berhubungan
diberikan
dengan proses
asuhan
inflamasi pada
keperawatan
tenggorokan
diharapkan
2.
3.
nyeri pasien 4.
tingkat nyeri
dalam memilih
Ajarkan
tindakan untuk
teknik relaksasi
mengatasi nyeri
Kaji TTV
2.
Kolaborasi
berkurang
dalam pemberian
Dengan
analgetik
relaksasi dan
mengurangi nyeri
3.
kriteria hasil:
Meningkatkan
Untuk
mengetahui
keaadaan umum
nyeri
pasien
pasien
4.
berkurang
Untuk
mengurangi nyeri
dari skala 5
menjadi 3
Pasien
tidak tampak
meringis
TTV
normal
Nadi:60100 x
permenit
RR:16-20
x permenit
TD:100140/60-90
mmHg
Suhu:36,837,2 C
Bersihan jalan1.
Pasien
1.
Identifikasi
1.
Untuk
napas
tidak
dapat
kualitas atau
mengetahui
efektif
mengeluarkan
kedalaman nafas
keadaan napas
berhubungan
sputum
pasien
pasien
dengan dengan2.
sekret
yang
Pasien
2.
Anjurkan
2.
Untuk
mengatakan
mencairkan
kental ditandai
dapat
hangat.
sputum agar
dengan
bernapas
kesulitan dalam
dengan lancar
3.
Ajari pasien
mudah
untuk batuk
bernafas,
efektif
4.
dikeluarkan
3.
Kolaborasi
melegakan saluran
untuk pemberian
ekspektoran
Untuk
pernapasan
4.
Untuk
mengencerkan
Ketidakseimba 1.
3
ngan
nutrisi
kurang
Pasien
1.
mengatakan
dari
tidak sakit
Kaji intake
makanan pasien
2.
mengetahui
Anjurkan
adanya
kebutuhan
dalam
pasien untuk
peningkatan nafsu
tubuh
menelan
makan makanan
makan
berhubungan
makanan
yang tinggi
dengan
2.
Pasien
kesulitan
makan
menelan
dengan lahap
3.
4.
Kurang
pengetahuan
2.
kebutuhan nutrisi
Nafsu
Untuk
memenuhi
kolaborasi
pasien
3.
Untuk
makan pasien
mendapatkan
meningkat
menu makanan
Pasien
yang sesuai
nampak lebih
4
dahak
1.
Untuk
segar
1.
Pasien
dapat
dengan
1.
Kaji tingkat
pengetahuan
kebutuhannya
1.
Untuk
mengetahui
berhubungan
menyebutkan
dengan
kembali apa 2.
tidak
familiar dengan
yang
sumber
dijelaskan
informasi.
perawat
2.
pasien
Lakukan
pasien akan
BHSP
3.
Pasien
mengangguk 4.
dan nampak
seberapa tahu
Berikan
penyakitnya
2.
Health
percaya terhadap
Education
perawat
Lakukan
3.
evaluas
pengetahuan dan
Pasien
informasi tentang
mengatakan
mengerti
Untuk
menambah
mengerti
3.
Agar pasien
penyakitnya
4.
Untuk
mengetahui daya
tangkap pasien
setelah diberikan
HE