Abstract
The increasing of elderly proportion is now being a new challenge in Indonesian population.
It needs further reinterpretation and comprehensive studies which uncover its interrelation
with social organization system, tradition continuity and the dynamic of local community, so
that the impact, of the growing number of the elderly can be explained. In this article the
author explores the problems of elderly without children in Minangkabau society, well known
as an ethnic matrilineal system and strong traditions of migration. The author identifies three
categories of elderly without children in Minangkabau: childless elderly never got married,
childless elderly due to reproductive failure, and the elderly not having children. The author
also describes that elderly without children in Minangkabau face problems socially and
psychologically, specifically relations between man and woman in matrilineal system, marriage relationship problems and migration.
Key words: matrilineal society; children value; migration; socialand economic impact.
Pendahuluan
Studi tentang orang lanjut usia (lansia) di
Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak
mendapat perhatian terutama disebabkan oleh
fakta perubahan struktur demografi selama
beberapa dekade terakhir yang ditandai
kecenderungan peningkatan penduduk berusia
60 tahun ke atas secara cukup menakjubkan.
Dari total penduduk Indonesia yang
diperkirakan sudah mencapai angka 217 juta
jiwa saat ini, 17,3 juta atau hampir 8% di
antaranya adalah penduduk berusia 60 tahun
ke atas. Selama dua dekade terakhir proporsi
penduduk lansia di Indonesia telah mengalami
kenaikan dua kali lipat dan menurut perkiraan
Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 nanti
kelompok penduduk lansia ini diperkirakan akan
69
70
71
72
Tabel 1.
Perkembangan Jumlah Penduduk Lansia (usia 60 tahun ke atas) berdasarkan Sensus
Penduduk 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi Sumatera Barat
Kategori
1980
1990
2000
92.878
(2,73%)
116.695
(2,92%)
118.634
(2,80%)
143.777
(4,22%)
175.235
(4,38%)
224.129
(5,28%)
236.655
(6,95%)
291.930
(7,30%)
342.763
(8,08%)
3.406.132
3.999.764
4.241.605
Sumber: Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980, 1990 dan 2000 (Biro Pusat Statistik).
Tabel 2.
Perkembangan Jumlah Penduduk Lanjut Usia (Lansia) per Jenis Kelamin berdasarkan
Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi Sumatera Barat
1980
1990
2002
Kategori Lansia
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
44.409
(2,67%)
48.469
(2,78%)
55.152
(2,82%)
61.543
(3,02%)
54.786
(2,56%)
63.848
(2,95%)
60.571
(3,64%)
83.206
(4,78%)
74.060
(3,78%)
101.175
(4,95%)
92.984
(4,55%)
131.146
(6,06%)
104.980
(6,31%)
131.675
(7,56%)
129.212
(6,60%)
162.718
(7,97%)
147.770
(7,11%)
194.993
(9,01%)
1.664.169
1.741.963
1.957.815
2.041.949
2.078.572
2.163.033
Sumber: Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980, 1990 dan 2000 (Biro Pusat Statistik).
Keterangan: Lk = Laki-Laki; Pr = Perempuan
73
74
Jenis
Kelamin
1980
1990
2000
Laki-laki
(%)
741,309
(44.5)
807,771
(41.3)
731,578
(35.2)
Perempuan
(%)
704,128
(40.4)
762,610
(37.3)
697,746
(32.3)
1,445,437
(42.4)
1,570,381
(39.3)
1,429,321
(33.7)
Jumlah
(%)
Tabel 4.
Prosentase Perempuan yang Pernah Menikah berdasarkan Kelompok Usia yang Tidak
Pernah Melahirkan atau Tidak Memiliki Anak yang Bertahan Hidup di Provinsi Sumatera Barat
dan Indonesia dari Berbagai Sumber
30+
45+
60+
30+
45+
60+
7.2
9.0
8.0
9.6
4.3
4.9
6.2
5.4
6.4
9.1
3.7
4.2
5.7
5.5
6.8
9.2
4.0
4.6
8.1
4.0
4.6
8.1
4.1
5.0
6.3
5.4
6.9
9.3
4.4
4.3
5.3
5.3
6.0
7.9
2.9
2.8
2.6
4.2
5.3
6.3
6.0
9.5
Sumatera Barat
Sumber: [a] Hull dan Tukiran (1976), berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971. [b] Kalkulasi dari data
hasil Sensus Penduduk tahun 1980 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [c] Kalkulasi dari data
hasil Survey Antarsensus tahun 1985 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [d] Kalkulasi dari
data sensus tahun 1990 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [e] Hasil Survey Rumahtangga
yang dilakukan sendiri oleh penulis bersama tim peneliti di Rao Rao pada tahun 2000-2001.
Catatan: Data Survey Antar Sensus tahun 1985 agaknya kurang akurat (unreliable), karena memperlihatkan
tidak adanya perbedaan antara anak yang tidak pernah dilahirkan dengan anak yang bertahan hidup.
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
pernah berniat untuk menetap bersama anakanaknya di rantau. Bagaimanapun juga Amsidar
tetap merasa lebih betah menetap di kampung.
Tinggal di rumah sendiri dan dapat mengurus
harta pusaka di kampung tetaplah lebih enak
dari pada di rantau, demikian tuturnya.
Satu hal yang membahagiakan Amsidar
karena ia telah memiliki cucu perempuan dari
anak perempuannya. Ingin sekali rasanya ia
dapat mengasuh dan membesarkan cucu
perempuannya itu. Jika tidak ada anaknya yang
kelak dapat menetap di kampung, paling tidak
ia masih dapat berharap mungkin cucunya nanti
mau, karena di dalam masyarakat Minangkabau
perempuanlah pewaris garis keturunan dan
yang seharusnya bertaggungjawab mengelola
harta pusaka.
Meskipun di kampung ia tinggal sendiri di
rumah gadang, pada malam hari Amsidar
biasanya selalu ditemani anak keluarga
tetangganya. Anak perempuan keluarga
tetangganya ini rajin membantu Amsidar
memasak dan merawatnya jika sakit.
Pada saat kunjungan lapangan kami yang
lebih akhir di tahun 2003, kakak perempuan
Amsidar telah meninggal dunia. Ketika kami
kunjungi Amsidar yang sekarang ternyata tidak
seperti keadaan 2-3 tahun sebelumnya. Kini ia
sudah mulai pikun dan sehari-hari tinggal
sendiri di rumah gadang. Anak tetangga yang
dulu sering menemaninya di malam hari, kini
juga telah pergi melanjutkan pendidikan ke luar
desa. Salah seorang anak perempuannya yang
sebelumnya beberja sebagai guru SD di Aceh,
kini juga sudah pindah ke Padang agar lebih
dekat dan lebih mudah merawat ibunya.
Anaknya inilah kini secara berkala mengunjungi
Amsidar di kampung karena Amsidar tetap tidak
mau dibawa tinggal di rantau.
Kasus Amsidar di atas memperlihatkan
bahwa meskipun lansia memiliki anak kandung
dan secara khusus juga memiliki anak perempuan, tetapi tetap saja dapat menjadi d e
87
88
serta ke rantau. Menurut pengakuan keluarganya, selama merantau Abdul juga jarang
mengirim kabar berita maupun uang belanja
untuk keluarganya di kampung. Bahkan ketika
ibu kandung Abdul meninggal dunia pada tahun
1980an Abdul pun tidak sempat menghadiri
pemakamannya di kampung.
Abdul baru pulang dari rantau dan
berencana menetap di kampung halamannya
Balerong Bunta Rao Rao sejak tahun 1990.
Mula-mula ia tinggal bersama istri dan anaknya.
Ketika itu hubungan dengan istri keduanya ini
sudah dirasakan renggang. Istri kedua Abdul
ini tidak berkenan menerima suaminya lagi
karena dianggap selama ini kurang bertanggungjawab kepada keluarga. Akibatnya percekcokan pun cukup sering terjadi dan berakhir
dengan perceraian secara resmi.
Semenjak perceraian dengan istri keduanya
itu Abdul mendirikan rumah gubuk kecil di
tanah warisan ibunya yang telah dibagi untuk
Abdul semasa ibunya belum meninggal dunia
karena tidak memiliki anak dan saudara
perempuan. Mantan istrinya yang kini juga
sudah lanjut usia (72 tahun), tetap tinggal bersama anak perempuan mereka yang sudah
membangun rumah sendiri di lingkungan lokasi
rumah gadang kaumnya.
Pada tahun 1995 Abdul menikah lagi untuk
ketiga kalinya. Kali ini ia menikah dengan
pasangan yang berusia jauh lebih muda dan
berasal dari luar desa. Istri ketiganya ini adalah
warga pendatang yang berasal dari Sungai
Leman di daerah Sungai Tarab yang masih desa
tetangga dengan jarak 3 km dari Rao Rao. Bagi
istri ketiganya ini, perkawinan dengan Abdul
juga merupakan perkawinan ketiga dan dari
perkawinan sebelumnya telah dikaruniai tiga
orang anak. Dari suami pertamanya, diperoleh
sepasang anak. Dari suami keduanya diperoleh
seorang anak laki-laki. Ketiga anaknya itu kini
tinggal menetap di kampung halamannya di
Sungai Leman.
89
Kesimpulan
Secara idealnya, orang lansia di dalam
masyarakat Minangkabau memiliki posisi
tersendiri dan terhormat sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek batanyo,
kok pulang tampek babarito (jika pergi tempat
bertanya, jika pulang tempat mengadu). Dalam
tatanan ideal masyarakat matrilinial Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan
solidaritas sosial dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial
bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak
boleh hidup tersia-sia di hari tuanya. Jika ada
orang lansia yang terlantar, maka hal itu dapat
menjadi aib malu anak-kemenakan, keluarga,
kerabat atau bahkan orang sekampung.
Kendatipun demikian, situasi idel tidak
selalu sesuai dengan situasi faktual yang dapat
90
Referensi
Afrizal
2001 Hubungan Keluarga, Manajemen Kekayaan, Perubahan Sosial dan Kesejahteraan
Lanjut Usia di Minangkabau Matrilinial Kontemporer, dalam Franz von BendaBeckmann dkk. (peny.) Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm.398410.
Benda-Bechmann, F. von.
1979 Proverty in Social Continuity: Continuity and Change in the Maintenance of
Proverty Relations Through Time in Minangkabau, West Sumatra. Erhandelingen:
KITLV.
BPS
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980.
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990.
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2000.
91
Erwin
2001 Dinamika Pengorganisasian Jaminan Sosial dalam Keluarga pada Masyarakat Petani
di Pedesaan Minangkabau: Studi Kasus Masyarakat Desa Sungai Tanang, Kabupaten
Agam, dalam Franz von Benda-Beckmann dkk. (peny.) Sumber Daya Alam dan
Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.379397.
Kato, T.
1982 Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia. Ithaca:
Cornel University Press.
Kompas
2002 Pertambahan Jumlah Lansia Indonesia Terpesat di Dunia, 25 Maret.
Millah, S.
2002 Lansia, Tantangan Baru Kependudukan Indonesia, Media Indonesia, 27 Mei. Hlm.9.
Naim, M.
1984 Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajahmada University
Press.
Saleh, A.A., dkk.
1992 Jaminan Sosial dalam Keluarga Minangkabau di Perkotaan. Laporan Penelitian.
Padang: Pusat Studi Pengembangan Keluarga Universitas Andalas.
Schrder-Butterfill, E.M.
2002 Ageing in Indonesia: A Socio-demographic Approach. Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at the Departement of Social Policy and Social Work at the University of Oxford UK.
Singarimbun, M.
1996 Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
van Reenen, J.
1996 Central Pillar of the House: Sisters, Wifes and Mother in a Rural Community in
Minangkabau, West Sumatra. Leiden, the Netherland: CNWS.
92