Anda di halaman 1dari 24

Problematika Orang Lansia tanpa Anak di dalam

Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat


Edi Indrizal
(Universitas Andalas Padang)

Abstract
The increasing of elderly proportion is now being a new challenge in Indonesian population.
It needs further reinterpretation and comprehensive studies which uncover its interrelation
with social organization system, tradition continuity and the dynamic of local community, so
that the impact, of the growing number of the elderly can be explained. In this article the
author explores the problems of elderly without children in Minangkabau society, well known
as an ethnic matrilineal system and strong traditions of migration. The author identifies three
categories of elderly without children in Minangkabau: childless elderly never got married,
childless elderly due to reproductive failure, and the elderly not having children. The author
also describes that elderly without children in Minangkabau face problems socially and
psychologically, specifically relations between man and woman in matrilineal system, marriage relationship problems and migration.
Key words: matrilineal society; children value; migration; socialand economic impact.

Pendahuluan
Studi tentang orang lanjut usia (lansia) di
Indonesia akhir-akhir ini semakin banyak
mendapat perhatian terutama disebabkan oleh
fakta perubahan struktur demografi selama
beberapa dekade terakhir yang ditandai
kecenderungan peningkatan penduduk berusia
60 tahun ke atas secara cukup menakjubkan.
Dari total penduduk Indonesia yang
diperkirakan sudah mencapai angka 217 juta
jiwa saat ini, 17,3 juta atau hampir 8% di
antaranya adalah penduduk berusia 60 tahun
ke atas. Selama dua dekade terakhir proporsi
penduduk lansia di Indonesia telah mengalami
kenaikan dua kali lipat dan menurut perkiraan
Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2015 nanti
kelompok penduduk lansia ini diperkirakan akan

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

meningkat lagi menjadi sekitar 24,5 juta jiwa atau


kira-kira 10% dari total penduduk Indonesia
saat itu (Millah, 2002). Sebelumnya, Kinsella
(1992) juga pernah memperkirakan kenaikan
jumlah penduduk lansia Indonesia antara tahun
1990-2025 mencapai 414%, tertinggi di dunia,
dengan memproyeksikan peningkatannya
menjadi 25,5 juta pada tahun 2020, atau sebesar
11,37 % dari jumlah penduduk dan akan berada
di peringkat empat dunia di bawah Cina, India
dan Amerika Serikat (Schrder-Butterfill, 2002;
dan Lihat juga: Harian Kompas, 25 Maret 2002).
Bagaimanapun, mengingat keberadaan
keanekaragaman sukubangsa dan kemajemukan
masyarakat di Indonesia, perkembangan
statistik penduduk lansia seperti dikutip di atas
membutuhkan reinterpretasi serta kajian yang

69

lebih komprehensif dalam hubungannya


dengan kondisi daerah dan kekhasan lokal. Ini
perlu dilakukan agar pemahaman terhadap
dampak yang sejatinya (the true impact) dari
perkembangan penduduk lansia itu hendaknya
juga dapat dijelaskan. Berkenaan dengan hal
tersebut, tulisan ini mempresentasikan
sebagian temuan dan analisis awal hasil
penelitian berdasarkan sebuah studi komparatif
antropologi dan demografi tentang jaringan
bantuan terhadap orang lansia di tiga daerah
di Indonesia, yaitu di Sumatera Barat, Jawa
Barat dan Jawa Timur. Di dalam artikel ini secara
khusus penulis memfokuskan pemaparan
tentang problematika orang lansia tanpa anak
di dalam masyarakat Minangkabau, sebuah
kelompok suku bangsa dengan populasi
terbesar di Sumatera Barat. Sebagaimana
dilakukan di ketiga daerah penelitian, strategi
penelitian telah dilaksanakan melalui:
wawancara semi-struktur dan wawancara
mendalam dengan orang lansia and keluarga
mereka; pengumpulan data riwayat hidup (life
history) dan diagram silsilah keluarga (kin mapping) pada sekelompok sampel orang lansia;
pengamatan langsung; dan dua buah survey
random, sebuah survey kesehatan lansia dan
yang lainnya adalah survey ekonomi
rumahtangga dan pertukaran (bantuan) antar
rumahtangga.
Penelitian di daerah Sumatera Barat
khususnya, telah dilaksanakan di sebuah
kampung tradisional Minangkabau bernama
Balerong Bunta di Kenagarian Rao Rao,
Kabupaten Tanah Datar. Menurut hasil
pendataan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintahan desa Rao Rao pada tahun 1997,
jumlah penduduk di kampung Balerong Bunta
655 jiwa dan 108 jiwa atau 16% dari total jumlah
penduduk itu adalah golongan lansia. Di
samping jumlah penduduk lansianya yang
tergolong tinggi, sejak dahulu daerah ini juga
cukup terkenal dengan tradisi merantau yang

70

kuat pada kalangan orang mudanya. Daerah


Rao Rao bahkan juga cukup dikenal sebagai
salah satu daerah asli Minangkabau yang
memiliki banyak orang muda sukses di rantau.
Hal-hal inilah yang menjadi alasan kami memilih
lokasi studi kasus dengan melakukan penelitian
lapangan secara intensif di daerah ini yang telah
dilaksanakan antara bulan Desember 1999
sampai Juli 2000 dan dilanjutkan dengan
sejumlah kunjungan insidental pada tahun
2001, 2002 dan 2003 untuk mengetahui lebih
jauh perkembangan relevan yang terjadi.1

Diskursus nilai orang lansia dan anak


dalam keluarga di Indonesia
Dalam program kependudukan di Indonesia terdapat satu semboyan yang sangat
terkenal yakni: keluarga kecil keluarga bahagia,
cukup punya anak dua, anak laki-laki dan
perempuan sama saja. Semboyan ini
dipopulerkan sebagai bagian dari program
Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan
Pemerintah secara nasional sejak tahun 1970an
dengan tujuan untuk menekan laju angka
kelahiran dan mengendalikan pertumbuhan
jumlah penduduk.
Setelah tiga dekade, hingga kini semboyan
tersebut masih terus diinternalisasikan agar
menjadi bagian sistem nilai dan norma
kehidupan keluarga di Indonesia. Hal itu
berlangsung seiring dengan derap modernisasi
yang secara umum membawa akibat terhadap
1

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof.


Dr. Philip Kreager dan Dr. Elisabeth Mary SchrderButterfill (Oxford University) atas dukungan, masukan
dan komentar yang mereka berikan selama kerjasama
penelitian Ageing in Indonesia maupun dalam
menyelesaikan penulisan naskah ini. Ucapan terima
kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Imran Manan,
MA. (Universitas Negeri Padang), Afrida (Universitas
Andalas) dan Vita Priantina Dewi (Universitas Indonesia) atas berbagai diskusi dalam studi tentang orang
lansia ini. Secara khusus, penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada T. Syawila Fhitry yang tekun
membantu pengumpulan data lapangan dan entri data.

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

penurunan angka kelahiran, meskipun pada


saat bersamaan berkat kemajuan dalam bidang
pembangunan kesehatan, angka kematian pun
telah menurun sedangkan harapan hidup
meningkat. Dengan kata lain, walaupun di satu
sisi upaya menekan laju angka kelahiran
terbukti cukup sukses, namun di sisi lain terjadi
pula peningkatan jumlah dan proporsi
penduduk lansia, sebuah fenomena efek balik
pembangunan yang dapat menjadi tantangan
baru kependudukan di Indonesia.
Millah (2002) menyatakan kendati angka
kelahiran di Indonesia sudah tidak lagi dilihat
sebagai sebuah ancaman yang menghawatirkan, tidak berarti bahwa tidak ada lagi masalah
kependudukan berat dan pelik yang akan
dihadapi bangsa Indonesia. Sebagai dampak
semakin meningkatnya derajat kesehatan, saat
ini rata-rata usia harapan hidup bangsa Indonesia meningkat dari hanya 45,7 tahun pada
tahun 1970 menjadi 61,3 tahun pada tahun 1990.
Bahkan menurut data Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat Depertemen Kesehatan
RI (2003) usia harapan hidup orang Indonesia
terus meningkat menjadi 68,2 tahun pada tahun
2002 atau 22,5 tahun lebih panjang dibandingkan rata-rata usia harapan hidup manusia Indonesia 32 tahun sebelumnya. Kendati akurasi
perkiraan peningkatan rata-rata usia harapan
hidup ini masih dapat dipertanyakan, namun
implikasi demografis dari kecenderungan
perubahan yang terjadi tetaplah penting untuk
dicermati di mana perkembangan jumlah
maupun proporsi penduduk lansia mempunyai
korelasi yang negatif dengan perkembangan
penduduk usia muda sebagaimana pernah
dinyatakan oleh Singarimbun (1996:182),
apabila proporsi penduduk usia muda (<15
tahun) menurun secara mantap, maka
sebaliknya proporsi penduduk lansia meningkat
pula secara mantap.
Seiring meningkatnya proporsi penduduk
lansia yang berbanding terbalik dengan

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

menurunnya proporsi penduduk usia muda itu,


berlangsung pula berbagai perubahan dalam
kehidupan masyarakat yang membawa dampak
terhadap pergeseran-pergeseran dalam peranan
sosial, politik dan ekonomi penduduk lansia.
Kecenderungan menurunnya proporsi
penduduk usia muda yang ditandai keadaan
kecilnya jumlah anak dalam keluarga, agaknya
juga dapat menjadi masalah besar bagi orang
lansia. Dengan kata lain, keadaan sedikit anak,
terlebih lagi dalam keadaan tidak punya anak,
dapat menjadi ancaman dan sumber kerentanan
hidup bagi orang tua yang memasuki usia
lanjut.
Pasalnya, sampai saat ini keberadaan anak
dalam keluarga di Indonesia umumnya masih
dipandang memiliki nilai yang amat penting
sebagai tumpuan harapan orang tua. Arti
keberadaan anak itu bahkan cenderung makin
dirasakan maknanya pada saat lansia. Anakanaklah yang biasanya paling diharapkan dapat
memberikan bantuan materil maupun moril
terhadap orang tua mereka yang sudah lansia
sampai ajal tiba. Bahkan terdapat ungkapan
yang menyatakan sebaik-baiknya orang lain,
tetaplah lebih menyenangkan apabila di hari
tua ada anak sendiri yang memelihara atau
merawat orang tua. Tanpa bermaksud
melakukan generalisasi, barangkali sewaktu
anak-anak masih berusia muda, kondisi banyak
anak menjadi beban bagi sebagian orang tua.
Namun ketika memasuki masa lansia, banyaknya jumlah anak agaknya juga lebih memberikan harapan atau pilihan dibandingkan orang
lansia yang tidak punya anak. Ada pandangan
dalam masyarakat bahwa makin besar jumlah
anak, semakin banyak pilihan dan harapan orang lansia untuk mempunyai jaminan hari tua
dari anak-anak mereka. Menurut pandangan ini
setidak-tidaknya para lansia yang mempunyai
banyak anak tidak akan kesepian hidupnya di
hari tua. Sebaliknya, orang lansia yang mempunyai sedikit anak, apalagi jika tidak mempunyai

71

anak, dipandang bernasib malang, kesepian dan


terancam rentan hidupnya. Oleh sebab itu,
semboyan banyak anak banyak rezeki dan
keyakinan bahwa anak adalah amanah
sekaligus anugerah Tuhan masih bermakna
dan akan lebih dirasakan oleh para lansia.
Di antara kelompok masyarakat dan daerah
di Indonesia bahkan persoalan yang dihadapi
orang lansia tidak sekedar punya sedikit anak
atau tidak punya anak sama sekali. Selain itu,
adakalanya dijumpai pula persepsi tidak netral
tentang nilai anak antara yang berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan bagi orang lansia. Isu
gender seputar kehidupan orang lansia dan
keberadaan anak bagi mereka juga penting
ditelusuri secara saksama dalam kaitannya
dengan struktur sosial dan nilai budaya lokal.
Di Minangkabau contohnya, meskipun orang
lansia mempunyai anak, akan tetapi jika tidak
punya anak perempuan, mereka tetap merasa
tidak punya anak. Begitu pula antara orang lansia
laki-laki dan perempuan yang hidup tanpa anak
mungkin juga menghadapi kerentanan hidup
(vulnerabilities) secara berbeda. Akibatnya
pilihan dan strategi orang lansia tanpa anak pun
dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Perkembangan penduduk lansia di


Sumatera Barat
Sumatera Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia yang juga dikenal sebagai
negeri asalnya orang Minangkabau. Di daerah
dengan mayoritas penduduknya adalah orang
Minangkabau ini kecenderungan kenaikan
proporsi penduduk lansia juga terus
berlangsung. Selama tiga dekade terakhir
perkembangan penduduk lansia di daerah ini
bahkan menunjukkan kecenderungan kenaikan
lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.
Berdasarkan data hasil sensus, pada tahun 1980
jumlah penduduk usia 60 tahun ke atas (lansia)
di Provinsi Sumatera Barat 236.655 jiwa (6,9%),
meningkat menjadi 291.930 jiwa (7,3%) pada

72

tahun 1990 dan 342.763 jiwa (8,18%) pada tahun


2000 lebih tinggi dari angka rata-rata nasional
(7,97%) pada tahun 2002.
Dengan membuat penggolongan penduduk
lansia muda (kelompok usia 60-64 tahun) dan
lansia tua (kelompok usia 65 tahun ke atas),
antara periode tahun 1980-2000 golongan
penduduk lansia muda di Sumatera Barat telah
mengalami kenaikan 21,6% dari 92.878 jiwa pada
tahun 1980 menjadi 118.534 jiwa pada tahun
2000. Trend peningkatan yang lebih pesat
terlihat pada perkembangan penduduk lansia
tua yang mengalami kenaikan 35,8% dari
143.777 jiwa pada tahun 1980 menjadi 224.129
pada tahun 2000.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan
proporsi lansia antar periode sensus ini,
ditemukan bahwa kenaikan proporsi penduduk
lansia muda maupun tua antara periode tahun
1990-2000 besarnya 2,3 kali lebih besar
dibandingkan kenaikan proporsi penduduk
lansia periode 1980-1990. Jika dibatasi pada
golongan penduduk lansia tua saja, terlihat
bahwa kenaikan proporsi golongan penduduk
lansia ini pada periode tahun 1990-2000 bahkan
3,8 kali lebih besar dibandingkan kenaikan yang
terjadi antara periode tahun 1980-1990. Secara
terperinci perkembangan jumlah penduduk
lansia berdasarkan hasil Sensus Penduduk
tahun 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi Sumatera
Barat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Sementara itu jika dilihat dari perbedaan
jenis kelamin, proporsi lansia perempuan di
Sumatera Barat ternyata lebih besar dengan
kenaikan yang juga konsisten dibandingkan
proporsi lansia laki-laki. Adapun perkembangan
jumlah penduduk lansia per jenis kelamin
berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1980, 1990
dan 2000 di Provinsi Sumatera Barat secara
terperinci dapat dilihat dari Tabel 2.
Keadaan ini sebenarnya tidaklah spesifik
sebagaimana halnya kecenderungan perkembangan proporsi penduduk menurut

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

Tabel 1.
Perkembangan Jumlah Penduduk Lansia (usia 60 tahun ke atas) berdasarkan Sensus
Penduduk 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi Sumatera Barat

Kategori

1980

1990

2000

Penduduk Lansia Muda


(%)

92.878
(2,73%)

116.695
(2,92%)

118.634
(2,80%)

Penduduk Lansia Tua


(%)

143.777
(4,22%)

175.235
(4,38%)

224.129
(5,28%)

Jumlah Penduduk Lansia


(%)

236.655
(6,95%)

291.930
(7,30%)

342.763
(8,08%)

Total Jumlah Penduduk

3.406.132

3.999.764

4.241.605

Sumber: Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980, 1990 dan 2000 (Biro Pusat Statistik).

Tabel 2.
Perkembangan Jumlah Penduduk Lanjut Usia (Lansia) per Jenis Kelamin berdasarkan
Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi Sumatera Barat

1980

1990

2002

Kategori Lansia
Lk

Pr

Lk

Pr

Lk

Pr

Penduduk Lansia Muda


(%)

44.409
(2,67%)

48.469
(2,78%)

55.152
(2,82%)

61.543
(3,02%)

54.786
(2,56%)

63.848
(2,95%)

Penduduk Lansia Tua


(%)

60.571
(3,64%)

83.206
(4,78%)

74.060
(3,78%)

101.175
(4,95%)

92.984
(4,55%)

131.146
(6,06%)

Jumlah Penduduk Lansia


(%)

104.980
(6,31%)

131.675
(7,56%)

129.212
(6,60%)

162.718
(7,97%)

147.770
(7,11%)

194.993
(9,01%)

1.664.169

1.741.963

1.957.815

2.041.949

2.078.572

2.163.033

Total Jumlah Penduduk

Sumber: Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980, 1990 dan 2000 (Biro Pusat Statistik).
Keterangan: Lk = Laki-Laki; Pr = Perempuan

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

73

perbedaan jenis kelamin dalam data-data


demografi di berbagai negara yang umumnya
menunjukkan proporsi penduduk perempuan
hampir selalu lebih besar dari pada proporsi
penduduk laki-laki. Singarimbun (1996)
mengungkapkan bahwa usia penduduk
perempuan rata-rata lebih panjang dari pada
usia laki-laki dan selisih sebesar 3-6 tahun lazim
dijumpai. Proporsi penduduk lansia perempuan
yang lebih besar dari pada laki-laki juga sering
dipahami sebagai sebuah fenomena alamiah
konsekwensi Rasio Jenis Kelamin (sex ratio)
penduduk.
Namun demikian menarik untuk membandingkan kenaikan proporsi penduduk lansia ini
dengan kecenderungan menurunnya proporsi
penduduk usia muda (<15 tahun). Sebagaimana
diperlihatkan pada tabel 3, berdasarkan hasil
sensus tahun 1980, 1990 dan 2000, perkembangan jumlah penduduk usia muda di
Provinsi Sumatera Barat antara ketiga periode
sensus di Sumatera Barat ternyata menunjukkan perubahan yang fluktuatif. Jika dilihat dari
segi perubahan proporsinya, terjadi penurunan
di bawah 50% yaitu 42% pada tahun 1980, 39%
pada tahun 1990 dan 34% pada tahun 2000. Trend
perubahan yang terjadi menunjukkan rasio
penduduk usia muda terus semakin menurun di
bawah rasio penduduk lansia pada pertengahan
abad ini. Selain itu, hasil ketiga sensus ini juga
memperlihatkan bahwa ternyata proporsi
penduduk usia muda jenis kelamin laki-laki selalu
lebih besar dibandingkan perempuan yang
menunjukkan gambaran alamiah rasio kelahiran
jenis kelamin laki-laki lebih dominan. Walaupun
proporsi kelompok usia muda masih jauh lebih
besar dibandingkan kelompok lansia, namun
penurunan jumlah penduduk usia muda
berlangsung demikian cepat sebagai akibat dari
penurunan angka kelahiran yang tentu saja juga
berkaitan dengan pengaruh perubahan dramatis
dari program Keluarga Berencana dan penurunan
tingkat kematian bayi lahir. Seperti halnya juga

74

diperlihatkan pada tabel 3 proporsi penduduk


usia <15 tahun di Sumatera Barat yang semula
lebih dari 40% pada tahun 1980 telah menurun
sepertiganya menjadi 34% pada tahun 2000.
Tabel 3.
Perkembangan Penduduk Usia Muda
( < 15 tahun ) berdasarkan Sensus
Penduduk 1980, 1990 dan 2000 di Provinsi
Sumatera Barat

Jenis
Kelamin

1980

1990

2000

Laki-laki
(%)

741,309
(44.5)

807,771
(41.3)

731,578
(35.2)

Perempuan
(%)

704,128
(40.4)

762,610
(37.3)

697,746
(32.3)

1,445,437
(42.4)

1,570,381
(39.3)

1,429,321
(33.7)

Jumlah
(%)

Sumber: Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat


Tahun 1980, 1990 dan 2000 (Biro Pusat Statistik).

Tidak diragukan lagi, dalam waktu singkat,


transformasi struktur usia penduduk secara
signifikan terjadi di Sumatera Barat yang
cenderung membawa ke arah keseimbangan
proporsi penduduk berdasarkan kelompok usia.
Hal ini secara spesifik juga dapat dilihat dalam
kaitannya dengan fenomena keluarga tanpa
anak. Menurut Hull dan Tukiran (1976), pelopor
studi keluarga tanpa anak di Indonesia,
berdasarkan data sensus tahun 1971 hampir satu
dari sepuluh perempuan yang menikah di usia
30 tahun ke atas di daerah pedesaan Sumatera
Barat diperkirakan tidak mempunyai anak yang
bertahan hidup. Perempuan yang tidak pernah
melahirkan anak ternyata juga tidaklah jauh lebih
rendah jika dibandingkan yang tidak mempunyai
anak bertahan hidup. Secara terperinci hal ini
diperlihatkan pada tabel 4.

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

Tabel 4.
Prosentase Perempuan yang Pernah Menikah berdasarkan Kelompok Usia yang Tidak
Pernah Melahirkan atau Tidak Memiliki Anak yang Bertahan Hidup di Provinsi Sumatera Barat
dan Indonesia dari Berbagai Sumber

Tidak ada anak yang


dilahirkan
(No children ever born)
Kelompok Usia

Tidak ada anak yang bertahan


hidup
(No children surviving)

30+

45+

60+

30+

45+

60+

1971 perkotaan [a]

7.2

9.0

1971 perdesaan [a]

8.0

9.6

1980 perkotaan [b]

4.3

4.9

6.2

5.4

6.4

9.1

1980 perdesaan [b]

3.7

4.2

5.7

5.5

6.8

9.2

1985 perkotaan [c]

4.0

4.6

8.1

4.0

4.6

8.1

1985 perdesaan [c]

4.1

5.0

6.3

5.4

6.9

9.3

1990 perkotaan [d]

4.4

4.3

5.3

5.3

6.0

7.9

1990 perdesaan [d]

2.9

2.8

2.6

4.2

5.3

6.3

Rao Rao, 2000 [e]

6.0

9.5

Sumatera Barat

Sumber: [a] Hull dan Tukiran (1976), berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971. [b] Kalkulasi dari data
hasil Sensus Penduduk tahun 1980 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [c] Kalkulasi dari data
hasil Survey Antarsensus tahun 1985 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [d] Kalkulasi dari
data sensus tahun 1990 di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pusat Statistik. [e] Hasil Survey Rumahtangga
yang dilakukan sendiri oleh penulis bersama tim peneliti di Rao Rao pada tahun 2000-2001.
Catatan: Data Survey Antar Sensus tahun 1985 agaknya kurang akurat (unreliable), karena memperlihatkan
tidak adanya perbedaan antara anak yang tidak pernah dilahirkan dengan anak yang bertahan hidup.

Data pada tabel 4 menunjukkan adanya


hubungan antara tingkat usia perempuan yang
telah menikah dengan tingkat kemandulan dan
keadaan tidak mempunyai keturunan. Pada
kelompok perempuan yang berusia lebih tua,
tingkat kemandulan dan ketidak-punyaan anak
cenderung lebih tinggi. Keadaan ini juga

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

berkaitan dengan adanya pengaruh keadaan


jarangnya kelahiran, tingkat kematian anak dan
kematian orang dewasa yang juga tinggi di
masa lalu akibat faktor kemiskinan, kekurangan
gizi, perceraian dan perpisahan pasangan
sebagaimana juga akan disinggung di dalam
pembahasan artikel ini. Tingkat kemandulan

75

dan keadaan tidak punya anak yang bertahan


hidup selanjutnya cenderung menurun
sebagaimana diharapkan karena pengaruh
peningkatan taraf kesehatan, kemajuan
pelayanan kesehatan dan perbaikan
kesejahteraan hidup. Walaupun gambaran
Provinsi Sumatera Barat secara konsisten
berada di bawah rata-rata Indonesia secara
keseluruhan, namun fakta menunjukkan bahwa
kekurangan anak tetaplah merupakan sebuah
masalah yang serius bagi lansia. Berdasarkan
studi kami di Sumatera Barat, 6% lansia ternyata
tidak pernah mempunyai anak, dan hampir
sepersepuluhnya tidak mempunyai anak yang
bertahan hidup. Gambaran ini walau
bagaimanapun haruslah ditelaah secara lebih
mendalam melalui kombinasi studi etnografi
dan demografi khususnya di daerah pedesaan.
Penelitian kami juga menunjukkan bahwa
statistik penduduk pada tingkat provinsi
barulah lebih bermakna jika dilengkapi dengan
gambaran variasi lokal, termasuk isu gender
yang menjadi dimensi penting dalam kajian
lansia yang tidak mempunyai anak.
Sebagaimana diperlihatkan dalam hasil survei
pedesaan bahwa proporsi lansia yang tidak
mempunyai anak perempuan tumbuh 23%.
Signifikansi dari hampir satu dalam empat
keluarga tidak mempunyai anak perempuan di
dalam masyarakat Minangkabau ini juga akan
disinggung dalam diskusi berikutnya.

Sekilas tentang masyarakat matrilinial


Minangkabau
Minangkabau merupakan sebuah kelompok
suku bangsa keempat terbesar di Indonesia.
Meskipun tidak tersedia data absolut terkini
tentang besarnya populasi suku bangsa ini,
namun berdasarkan hasil sensus tahun 1990
diperlihatkan bahwa terdapat 2,4% orang Indonesia menggunakan bahasa ibu (mother
tongue) Minangkabau dan 89% penduduk yang
menggunakan bahasa ibu Minangkabau itu

76

terdapat di Provinsi Sumatera Barat. Di dalam


berbagai literatur antropologi kelompok suku
bangsa Minangkabau ini sering juga disebut
sebagai sebuah masyarakat matrilinial terbesar
di dunia. Tradisi merantau yang kuat pada orang Minangkabau juga terkenal di antara
kelompok suku bangsa di Indonesia dan di
kawasan Asia Tenggara.
Struktur keluarga pada masyarakat
Minangkabau tidak terbentuk atas dasar ikatan
perkawinan (conjugal), melainkan atas dasar
garis keturunan menurut garis ibu (matrilinial
system). Dalam tatanan masyarakat matrilinial
Minangkabau, perempuan memiliki kedudukan
yang sentral. Selain sebagai penerus garis
keturunan keluarga, perempuan juga
berkedudukan sebagai pewaris harta pusaka
komunal serta sekaligus penjamin eksistensi
dan kontinuitas kebudayaan matrilinial suku
bangsa itu.
Masyarakat Minangkabau memiliki sistem
sosial khas dengan susunan masyarakat yang
terdiri atas kesatuan organisasi sosial yang juga
berkaitan erat dengan kekerabatan matrilinial.
Setiap anak yang dilahirkan dalam keluarga
Minangkabau secara otomatis menjadi anggota
dari keluarga kelompok kerabat ibunya atau
keluarga matrilinial (matrilinial family). Setiap
keluarga matrilinial adalah merupakan kelompok
keluarga luas (extended family) mulai dari
kesatuan keluarga yang lebih kecil hingga yang
lebih luas, meliputi: kelompok orang yang
samande, saparuik, sapayuang dan sasuku.
Kelompok samande merupakan kesatuan
keluarga matrilinial terkecil tetapi tidak sama
dengan keluarga batih (nuclear family ).
Keluarga samande merupakan kelompok
keluarga matrilinial yang biasanya terdiri dari
tiga generasi atau senenek (van Reenen, 1996).
Kelompok yang lebih besar atau kesatuan dari
beberapa keluarga samande disebut saparuik,
yang bisa terdiri dari empat sampai lima
generasi. Keluarga-keluarga matrilinial inilah

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

yang biasanya mendiami rumah gadang, rumah


tradisional yang dimiliki secara komunal oleh
keluarga luas terdiri dari beberapa keluarga inti
yang memiliki hubungan samande atau
saparuik .
Kelompok yang lebih besar dan merupakan
kesatuan dari beberapa kelompok orang yang
saparuik disebut sapayuang atau sakaum.
Kesatuan kelompok keluarga atau kerabat yang
sapayuang atau s a k a u m ini biasanya
merupakan kelompok keluarga matrilinial dari
orang-orang yang saharato pusako dan
sapandam pakuburan yakni orang-orang
yang secara komunal memiliki hak atas harta
pusaka dan tanah pemakaman. Sedangkan
kelompok keluarga yang lebih luas atau
kesatuan dari beberapa kelompok keluarga
saparuik disebut sasuku.
Di dalam struktur keluarga matrilinial
Minangkabau juga dikenal adanya pemimpin
atau disebutkan dalam pengungkapan nan d idahulukan selangkah, ditinggikan sarantiang
(yang didahulukan selangkah, ditinggikan
seranting) oleh keluarga atau kaumnya. Jabatan
pemimpin kaum ini dipegang oleh kaum lakilaki atau biasa disebut ninik mamak . Kelompok
keluarga samande atau saparuik dikepalai oleh
seorang pemimpin yang disebut mamak
tungganai. Kelompok keluarga dan kerabat
yang sapayuang atau sakaum dipimpin oleh
seorang penghulu andiko yang bergelar
datuak (the cief of kaum). Sedangkan
kelompok keluarga atau kerabat s a s u k u
dikepalai oleh datuak penghulu pucuk (the
chief of suku). Di antara orang-orang sekeluarga
(sekerabat
matrilinial)
biasanya
mengidentifikasi diri sebagai sadunsanak atau
menyebutkan keluarga awak (keluarga saya
atau keluarga kami) dan memiliki semacam
perasaan bersama atau solidaritas kelompok
(solidarity group) karena merasa saino samalu
(satu kehormatan), saharato (kepemilikan harta
atau kekayaan bersama) dan sapusako (satu

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

warisan) (Afrizal, 2001).


Di daerah asal mereka yang sebagian besar
termasuk wilayah Provinsi Sumatera Barat, orang Minangkabau tradisional mendiami
kesatuan wilayah permukiman atau perkampungan yang tersebar menurut pembagian
jorong dan nagari yang merupakan kesatuan
wilayah setara desa di Indonesia. Di pedesaan
Minangkabau ini biasanya ditemukan kantongkantong permukiman menurut suku masingmasing, misalnya ada kampung Bodi Caniago,
Koto Piliang, Pitopang Kutianyia, Bendang
Mandailiang dan sebagainya. Di antara orangorang yang sekampung biasanya juga dijumpai
solidaritas kelompok yang didasarkan atas
perasaan sakampuang (sekampung).
Selanjutnya mengenai pola perkawinan.
Urusan perkawinan bukanlah urusan pribadi
orang yang hendak menikah saja, melainkan
merupakan urusan keluarga. Menurut adat
istiadat Minangkabau, perkawinan hanya boleh
dilakukan antara orang yang berbeda sukunya.
Perkawinan antara orang sesuku (satu kesatuan
keluarga atau satu keluarga matrilinial) dilarang
secara adat. Perkawinan tidak merubah status
suami sebagai anggota kaum atau suku asalnya.
Dalam hal ini para suami dan keluarga suami
disebut oleh keluarga istrinya sebagai urang
sumando.
Biasanya saudara laki-laki dari ibu (mamak)
paling bertanggungjawab mencarikan jodoh
kemenakan (sebutan mamak kepada anak dari
saudara perempuannya). Perkawinan ideal
adalah pulang ka bako yaitu seorang anak
akan menikah dengan kemenakan ayahnya atau
anak yang berasal dari keluarga matrilinial
(suku) ayah. Implikasi dari pola perkawinan
seperti ini menyebabkan terjadinya kecenderungan perkawinan endogami antara orang sekampung dan perkawinan antar kerabat yang
dilakukan atas perjodohan oleh keluarga seperti
yang banyak dijumpai di masa lalu.

77

Jika terjadi perkawinan, pola menetap


setelah menikah lazimnya suami akan ikut istri
dan menetap di rumah atau lingkungan
keluarga istrinya. Pola menetap seperti ini oleh
sebagian para ahli dikategorikan ke dalam pola
menetap matrilokal dan ada pula yang
menyebutnya pola menetap uxorilokal. Namun
demikian untuk memahami pola menetap
setelah menikah dalam masyarakat Minangkabau, perlu juga mengaitkannya dengan tradisi
merantau dalam masyarakat Minangkabau. Ada
pepatah adat Minangkabau yang menyatakan,
ka ratau madang di ulu babuah bangungo
balun, ka rantau bujang dahulu di kampuang
baguno balun (ke ratau madang di hulu
berbuah berbunga belum, ke rantau bujang
dahulu di kampung berguna belum). Tradisi
merantau pada kalangan kaum laki-laki sejak
usia muda di Minangkabau ini juga memiliki
implikasi yang khas terhadap pola menetap
setelah menikah, di mana di masa lalu juga lazim
dijumpai para suami yang tinggal di rantau
berpisah dari istri yang menetap di kampung.
Pengertian mengenai tatanan sosial, sistem
nilai dan adat kebiasaan dalam masyarakat
Minangkabau seperti diuraikan di atas menjadi
kunci utama untuk memahami kedudukan dan
peranan lansia dalam kehidupan masyarakat
bersangkutan. Dalam masyarakat Minangkabau
tradisional, orang lansia memiliki posisi
tersendiri dan dihormati sebagaimana
dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek
batanyo, kok pulang tampek mangadu (Jika
pergi tempat bertanya, jika pulang tempat
mengadu).
Dalam tatanan masyarakat matrilinial
Minangkabau idealnya hubungan struktur
keluarga dan ikatan komunitas merupakan
institusi paling penting dan fungsional sebagai
jaminan sosial bagi orang lansia. Manifestasi
perasaan bersama atau solidaritas kelompok
(solidarity group) yang didasarkan atas ikatan
keluarga dan komunitas juga ditujukan untuk

78

menjamin kehidupan orang lansia agar tidak


terabaikan. Hal ini tercermin dari adanya
ungkapan yang menyatakan, orang lansia
tidak boleh hidup tersia-sia di kampung. Jika
ada orang lansia yang terlantar, maka hal itu
dapat menjadi aib malu anak kemenakan,
keluarga atau kerabat dan bahkan orang
sekampung.
Kendatipun demikian, perubahanperubahan pesat juga telah berlangsung dalam
masyarakat Minangkabau. Berbagai hasil
penelitian tentang masyarakat Minangkabau
kontemporer umumnya memperlihatkan bahwa
hubungan struktur keluarga luas telah mengalami perubahan. Seiring pertambahan penduduk, modernisasi, kontinuitas dalam pemeliharaan harta pusaka, perkembangan tradisi
merantau, kecenderungan perubahan pola
menetap menjadi neolokal, kesemuanya secara
kompleks memiliki konsekuensi terhadap
perubahan fungsi dan hubungan struktur
keluarga dalam masyarakat Minangkabau.
Fungsi keluarga samande menjadi semakin
penting, sedangkan fungsi keluarga lebih luas
seperti saparuik , sapayuang dan sasuku
cenderung memudar (Benda-Beckmann, 1979;
Kato, 1982; Naim, 1984; Saleh et.al., 1992; van
Reenen, 1996; Afrizal, 2001 dan; Erwin, 2001).
Walaupun berbagai perubahan yang terjadi
tidak sampai menghancurkan susunan
organisasi sosial dan prinsip-prinsip sistem
matrilinial, namun perubahan-perubahan fungsi
dan hubungan struktur keluarga membawa
implikasi terhadap kehidupan orang lansia,
termasuk implikasinya terhadap orang lansia
tanpa anak.
Fenomena orang lansia tanpa anak di
Minangkabau
Di tengah-tengah tingginya minat para
peneliti sosial melakukan studi masyarakat
matrilinial Minangkabau selama ini, ternyata
kajian antropologi tentang orang lansia dalam

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

masyarakat ini relatif masih terbatas. Studi


orang lansia dalam masyarakat Minangkabau
baru mulai mendapatkan perhatian dalam satu
dekade terakhir dan itupun masih sangat minim
yang menitik-beratkan perhatiannya pada studi
tentang orang lansia tanpa anak.
Secara umum konsep orang lansia tanpa
anak biasanya didefinisikan sebagai realitas
demografis dan manifestasi fisiologis (biological sphare ) yang dihubungkan dengan
kategori umur dan keadaan reproduktifitas
manusia, yaitu penduduk berusia lanjut (60
tahun ke atas) yang tidak mempunyai anak
kandung. Namun demikian fenomena orang
lansia tanpa anak sesungguhnya juga memiliki
dimensi sosio-demografis yang tidak mungkin
diabaikan karena berhubungan erat dengan
sistem konsepsi, nilai, norma, hubungan dalam
struktur sosial dan perubahan sosial.
Berdasarkan hasil studi orang lansia dalam
masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat,
kami menjumpai adanya konsepsi dan
kategorisasi orang lansia tanpa anak yang khas.
Lebih lanjut hal ini kami diskusikan satu per
satu pada bagian berikut.
Orang lansia tanpa anak disebabkan tidak
pernah menikah
Di Minangkabau dikenal adanya istilah
bujang lapuak sebagai sebutan terhadap lakilaki lansia yang tidak pernah menikah atau terus
membujang sampai usia tua dan gadih gadang
indak balaki sebagai sebutan terhadap
perempuan lansia perawan tua atau tidak
pernah menikah sampai usia tuanya. Dalam
penilaian masyarakat Minangkabau sesungguhnya status bujang lapuak maupun gadih
gadang indak balaki tidaklah mengenakkan
dan sering dipandang sebagai kekurangan.
Biasanya hal ini terjadi karena seseorang
memiliki kekurangan kesehatan (seperti cacat
genetis bawaan atau cacat mental sejak muda)
atau karena sifat kepribadian individual yang

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

buruk. Akhirnya keadaan ini sering juga


diterangkan sebagai Takdir dari Tuhan yang
tidak memberikan jodoh istri atau suami kepada
seseorang hingga di usia tuanya.
Secara umum golongan lansia tanpa anak
disebabkan tidak pernah menikah ini relatif
lebih jarang dijumpai dibandingkan kategori
lansia tanpa anak yang lainnya. Khusus pada
kalangan perempuan, kategori orang lansia
seperti ini biasanya lebih jarang lagi
dibandingkan laki-laki. Hal ini berhubungan
dengan kedudukan sentral kaum perempuan
dalam masyarakat matrilinial Minangkabau.
Tanggung jawab keluarga untuk mencarikan
jodoh bagi anak perempuan biasanya lebih
besar. Jika di rumah gadang ada gadih gadang
indak balaki (perawan tua), maka hal ini dapat
menjadi masalah besar dan dikategorikan
sebagai salah satu aib atau malu keluarga. Pada
tingkat tertentu, menurut adat bahkan harta
pusaka kaum pun boleh digadaikan untuk
mencarikan jodoh bagi perempuan agar tidak
sampai menjadi gadih gadang indak balaki.
Namun bagaimanapun juga fenomena ini sama
saja halnya dengan bujang lapuak, dapat
terjadi karena Kehendak Tuhan dan di luar
kekuasaan manusia untuk mengaturnya.
Orang lansia pernah menikah tetapi tidak
punya anak
Kendati suatu pasangan sudah membentuk
ikatan pernikahan, namun mereka dapat saja
tidak dikaruniai anak sampai tua. Keadaan orang lansia tidak punya anak meskipun pernah
menikah ini dapat terjadi disebabkan berbagai
hal, seperti ketidak-mampuan, kegagalan atau
gangguan kesehatan reproduktif (penyakit
genetis, ketidak-suburan dan penyakit seksual
lainnya) yang dialami suami ataupun istri
sebagai bagian dari fenomena fisiologis. Tetapi
sekalipun suatu pasangan lansia tidak
mempunyai anak karena alasan fisiologis, dalam
masyarakat Minangkabau masih ada alternatif

79

sumber bantuan bagi orang lansia dari generasi


muda khususnya apabila mereka memiliki anak
saudara perempuan (sisters children) yang
secara normatif memiliki arti penting dalam
sistem matrilineal. Seorang perempuan lansia
yang tidak punya anak kandung, oleh anakanak saudara perempuannya juga diklasifikasikan sebagai ibu dan tetap mendapat tempat
yang positif dengan kedudukan sama
pentingnya seperti ibu kandung (Lihat juga:
van Reenen, 1996). Demikian pula pada lakilaki lansia yang tidak punya anak, anak-anak
dari saudara perempuannya juga memiliki
tanggung jawab yang khas berdasarkan
hubungan mamak dengan kemenakan dalam
masyarakat matrilineal Minangkabau. Sebaliknya masalah akan muncul manakala lansia
tanpa anak kandung, tidak pula memiliki anak
saudara perempuan. Masalahnya bahkan
menjadi lebih serius apabila tidak pula ada
keturunan perempuan penerus keluarga dan
pewaris harta pusaka yang merupakan ancaman
terhadap terjadinya suatu keadaan yang
disebut keluarga punah . Sebagaimana
diungkapkan van Reenen (1996), ditemukan
adanya kasus laki-laki melakukan poligini atas
izin istri dengan alasan ingin mendapat anak
dari istri yang lain, dan ia menjumpai adanya
hubungan antara para istri maupun anak-anak
yang positif dan penuh keharmonisan dalam
keluarga seperti ini. Agaknya cara ini dapat
menjadi sebuah solusi bagi perempuan tanpa
anak di dalam masyarakat matrilineal.
Suatu faktor penyebab ketidakpunyaan
anak yang juga ditunjukkan dalam temuan
penelitian kami ialah terdapatnya pola umum
pasangan suami istri pernah hidup berpisah
dalam kurun waktu relatif lama karena suami
pergi merantau sedangkan istri menetap di
kampung halaman sehingga frekwensi
hubungan seksual suami istri menjadi rendah.
Keadaan yang dapat mempengaruhi fertilitas
ini menarik dianalisis karena berhubungan

80

secara kompleks dengan pola perkawinan, pola


menetap dan tradisi merantau dalam masyarakat
Minangkabau.
Hasil survei random terhadap kurang lebih
150 orang lansia dari 53 keluarga di daerah
penelitian kami menunjukkan bahwa
perkawinan endogami dan perkawinan yang
dijodohkan keluarga sangat umum dijumpai.
Perkawinan di usia muda juga cukup banyak
terjadi terutama pada kalangan perempuan yang
menikah pada usia 1520 tahun. Hingga
sekarang pola perkawinan seperti ini cenderung
masih dipertahankan dan masih berlaku umum
meskipun ada juga penolakan. Berdasarkan
pengamatan kami selama tahun 2000 di
Balerong Bunta Rao Rao terdapat tiga kasus
pemuda menolak dijodohkan keluarganya meski
keluarga kedua belah pihak sudah merencanakan penyelenggaraan pernikahan jauh hari
sebelumnya di kampung. Biasanya pemuda
yang menolak dijodohkan akan lari dari
kampung (kembali ke rantau), sedangkan
perempuan yang dijodohkan seringkali tidak
berani menolak walaupun ia berada dalam
posisi dipermalukan akibat calon jodohnya
menunjukkan ketidak-setujuan secara terbuka.
Walaupun konflik ini seringkali tidaklah sampai
membawa pengaruh permanen terhadap konflik
antar keluarga, tetapi bagi pasangan yang
mengalami kegagalan dalam rencana perkawinan pertamanya mungkin saja terpengaruh
secara psikologis dalam mengarungi kehidupan
perkawinan yang sesungguhnya kelak.
Keadaan pasangan suami istri hidup
berpisah untuk waktu yang relatif lama, juga
memiliki hubungan erat dengan kontinuitas
tradisi merantau. Temuan penelitian kami
menunjukkan umumnya orang lansia laki-laki
pernah mengalami saat ketika usia muda (sejak
remaja ataupun sudah menikah) merantau ke
luar desa yang tersebar di berbagai penjuru di
Sumatera Barat hingga berbagai daerah lainnya
seperti Riau, Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu,

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

Pulau Jawa, dan berbagai penjuru lainnya. Bagi


laki-laki muda yang baru memasuki jenjang
perkawinan, tidak lama setelah pernikahan
biasanya mereka kembali ke rantau sedangkan
istrinya tetap tinggal di kampung. Khusus bagi
laki-laki sudah menikah, maka pada saat pulang
kampung itulah mereka biasa berkumpul
bersama istri dan keluarga. Biasanya para
perantau mengusahakan pulang kampung
sekali setahun untuk merayakan Idul Fitri
bersama keluarga, kerabat dan handai taulan.
Pola menetap dan mobilitas akibat merantau ini
tentu saja dapat menyebabkan frekwensi
hubungan seksual suami istri menjadi rendah
dan bisa mempengaruhi ketidak-adaan anak.
Bahkan tidak jarang para istri di masa lalu
sulit menentukan kapan suami mereka yang
hidup terpisah di rantau akan pulang kampung.
Jika suami mereka tidak pulang, mungkin mereka
hanya memperoleh berita, dikirimi surat atau
menerima kiriman uang melalui perantau lain
yang pulang kampung. Dalam beberapa kasus
kisah hidup orang lansia yang kami pelajari
dijumpai cukup banyak suami yang merantau
tidak pernah pulang kampung setelah bertahuntahun lamanya. Kalaupun pulang kampung
biasanya suami hanya menetap sementara,
misalnya antara satu atau dua bulan. Ada juga
yang pulang kampung pada saat lebaran Idul
Fitri dan baru kembali ke rantau setelah lebaran
haji (Idul Adha) sehingga masa tinggal
sementara di kampung menjadi kurang lebih
tiga bulan. Jarak tempuh yang jauh antara rantau
ke kampung halaman, keadaan perhubungan
transportasi yang sulit serta gejolak politik turut
menjadi penyebab kurangnya intensitas
berkumpul pasangan suami istri di masa lalu.
Perilaku poligini, di lain sisi, juga dapat
menjadi faktor penyebab kompleksitas keadaan
ketidak-punyaan anak yang dialami lansia. Hasil
penelitian kami menunjukkan cukup sering lakilaki lansia melakukan poligini dan sebagian
melakukannya tanpa menceraikan istri-istri

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

mereka terdahulu. Pada sejumlah kasus


ditemukan bahwa poligini telah menjelma
menjadi faktor penyebab utama terjadinya
perceraian akibat istri pertama menolak dimadu
atau tidak senang karena suami tidak
memberitahu bahwa telah menikah lagi. Kami
menemukan beberapa kisah pasangan lansia
yang bercerai karena sang istri tidak menerima
kenyataan suami menikah lagi di rantau dan
kabar pertama tentang pernikahan itu diperloleh
dari orang lain, bukan dari suami sendiri. Dalam
beberapa kasus lainnya ditemukan juga
perempuan lansia yang menyimpan dendam
sampai usia tua akibat poligini yang dilakukan
suaminya. Sebagaimana dinyatakan SchrderButterfill (2002), poligini dan perceraian dapat
mempengaruhi kesehatan seksual dan
reproduktifitas sehingga juga mempengaruhi
ketidak-punyaan anak.
Di dalam studi kasus yang ditampilkan
berikut ini akan diperlihatkan bahwa kombinasi
faktor perpisahan pasangan, tradisi merantau
dan perceraian mempengaruhi ketidakpunyaan anak pada lansia dan selanjutnya
berimplikasi pula terhadap kehidupan lansia
tanpa anak.
Kasus 1: Darmala
Darmala (70 tahun) adalah seorang
perempuan lansia tanpa anak, anak bungsu dari
3 bersaudara, seorang laki-laki dan dua orang
perempuan. Ketika muda Darmala dikenal selalu
dimanjakan keluarga. Saudara laki-laki dan
saudara perempuannya selalu memberi
perhatian lebih padanya. Darmala menikah pada
tahun 1955 dijodohkan oleh saudara laki-lakinya
dengan orang sekampung. Selama masa
perkawinannya Darmala lebih banyak berpisah
dengan suaminya karena suami merantau di
Rantau Perapat, Sumatera Utara. Semenjak
menikah, suaminya tak lama langsung kembali
pergi ke rantau. Setelah lama tidak pernah
pulang kampung, ketika masa pergolakan PRRI

81

pada tahun 1958, suaminya sempat pulang


kampung. Tetapi tidak lama di kampung,
kembali lagi ke rantau. Pada waktu itu
rencananya Darmala akan dibawa oleh
suaminya ke rantau, tetapi mandeh (ibu)
Darmala tidak mengizinkan. Karena terlalu
disayang dan dimanja, berat bagi ibu Darmala
mengizinkan anaknya ikut merantau.
Kendati telah menikah, Darmala masih tetap
dimanjakan keluarganya. Ibunya tetap saja suka
melarang Darmala bekerja, tidak terkecuali
untuk pekerjaan di rumah. Kalaupun Darmala
bekerja, biasanya hanya sedekar membantu
ibunya memasak. Saudara laki-lakinya juga
demikian, tetap membantu Darmala dengan
memberi bantuan keuangan secara rutin
meskipun Darmala sudah bersuami.
Berbeda halnya dengan perhatian sang
suami, selama di rantau suami Darmala jarang
berkirim kabar berita. Suaminya juga jarang
sekali mengirim uang. Ketika 10 tahun usia
perkawinannya, sang suami pulang kampung
lagi dan ternyata tidak pula sendirian. Suaminya
ternyata telah menggandeng istri baru. Melihat
suaminya punya istri baru, Darmala tidak
senang hati. Ia segera menyampaikan kepada
orangtua dan ninik mamaknya untuk minta
diceraikan. Akhirnya perceraian pun terjadi. Dari
perkawinannya itu Darmala tidak dikaruniai
anak. Sejak perceraian tersebut Darmala juga
tidak pernah menikah lagi sampai di hari tuanya
ini.
Setelah bercerai Darmala tetap tinggal di
kampung bersama ibunya, sampai akhirnya
ibunya meninggal dunia karena sudah tua.
Menurut Darmala kematian ibunya adalah
musibah paling besar yang ia rasakan
sepanjang hidup seperti dituturkannya,
Ketika ayah meninggal, Mandeh (demikian
Darmala menyebut ibunya) masih ada, tapi
setelah Mandeh meninggal kemana harus
pergi. Berhari-hari Amak (demikian Darmala
menyebut dirinya) menangis, tetapi harus

82

bagaimana lagi, musibah ditinggal pergi


Mandeh harus dihadapi juga walaupun amat
berat, tambahnya. Kesedihannya bertambah
ketika beberapa tahun kemudian saudara lakilakinya juga meninggal dunia.
Kini di masa tuanya Darmala hidup sendiri
di sebuah rumah gadang warisan keluarga di
kampung halamannya Balerong Bunta Rao Rao.
Darmala mengakui bahwa ia masih mampu
mengurus diri sendiri. Kegiatan seperti memasak, berbelanja dapur dan mencuci pakaian
masih dapat dilakukannya sendiri. Kendati
semakin tua, selama ini ia merasa jarang mendapat penyakit. Satu-satunya keadaan yang
mulai dikeluhkannya adalah masalah penglihatan matanya yang kini semakin rabun dan
gampang perih jika terkena sinar matahari.
Saudara perempuannya tinggal di Medan
dibawa anak perempuannya yang merantau di
sana. Darmala sendiri memilih tetap tinggal di
kampung karena tidak ingin menyusahkan orang. Padahal anak-anak perempuan dari saudara
perempuannya itu, masing-masing merantau di
Medan (Sumatera Utara) dan Tembilahan (Riau),
sering menawarkan Darmala agar bersedia
dibawa ke rantau.
Walaupun tidak mempunyai anak, Darmala
tetap merasa semua anak saudara perempuannya bertanggungjawab dan penuh perhatian
kepada dirinya. Anak laki-laki saudara
perempuannya yang menetap di Padang paling sering mengunjungi Darmala ke kampung.
Sekali limabelas hari ia pulang kampung dan
selalu memberi uang berkisar Rp.15.000,00 dan
Rp. 25.000,00 anak laki-laki saudara perempuannya yang tinggal di Bukittinggi juga sering
menjenguk Darmala ke kampung dan biasanya
juga memberi uang dan kadang-kadang sabun,
gula, sirup atau bahan pakaian. Salah seorang
anak perempuan saudara perempuannya yang
merantau ke Tembilahan secara tetap sekali tiga
bulan juga mengirim uang untuk Darmala
berkisar antara Rp25.000,00 sampai Rp.

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

100.000,00. Kadang-kadang anak saudara


perempuannya yang satu ini juga mengirim
bantuan berupa bahan makanan, pakaian dan
keperluan sehari-hari. Pada setiap Idul Fitri
saudara perempuannya dan segenap anak-anak
saudara perempuannya biasanya juga pulang
kampung. Anak saudara laki-laki Darmala yang
juga menetap di rantau pun mengunjungi
Darmala secara berkala, paling tidak sekali
setahun pada lebaran Idul Fitri. Sudah tradisi
bagi perantau Rao Rao pulang kampung untuk
merayakan Idul Fitri bersama keluarga luasnya.
Biasanya kesempatan itu digunakan untuk
menjenguk sanak saudara, khususnya para
lansia yang merupakan keluarga dekat.
Selain bantuan dari anak-anak saudaranya,
Darmala juga memperoleh uang dari hasil parak.
Parak, merupakan kebun campur yang terletak
di sekitar rumah gadang (di dalam kampung).
Di Rao Rao, seperti halnya di Minangkabau
umumnya, parak beserta rumah gadang
biasanya merupakan kesatuan dari tanah
komunal yang dimiliki kaum menurut garis ibu.
Di parak itu, masih ada pohon pisang dan kulit
manis yang masih bisa diambil hasilnya. Setiap
tahun Darmala juga menerima sumbangan
bantuan perantau yang dikelola pengurus
masjid Rao Rao.
Di usia tuanya ini tidak banyak lagi yang
bisa dikerjakan Darmala. Pada pagi atau sore
hari kadang-kadang ia jalan-jalan ke kedai yang
tidak begitu jauh dari rumahnya. Sekedar untuk
mengisi waktunya, di pagi hari kadang-kadang
ia bekerja sebentar membersihkan parak di
belakang rumahnya, sekedar untuk menggerakkan badan. Pukul 10.00 ketika matahari beranjak
naik ia sudah memerlukan istirahat karena
terpaan sinar matahari membuat matanya yang
mulai rabun terasa sakit. Darmala sudah sulit
mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di kampung,
seperti acara perkawinan, kenduri kematian,
selamatan dan sebagainya karena merasa makin
tua dan tidak bisa berjalan jauh lagi.

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

Walaupun tinggal sendiri di rumah gadang,


Darmala terkesan pasrah dan tidak khawatir jika
terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Ia
masih percaya dirinya mampu mengurus diri
sendiri. Kalaupun sakit, anak-anak saudaranya
yang tinggal di rantau cepat akan datang
menjenguk. Darmala merasa lebih senang
tinggal di rumah gadang dan ingin menghabiskan hari tuanya hingga ajal di kampung.
Kasus Darmala di atas memperlihatkan
bahwa jaringan keluarga memiliki peranan
penting dalam memberikan bantuan materil
maupun emosionil bagi orang lansia tanpa anak
ini, dan secara khusus anak-anak saudara
perempuan tetap menunjukkan perhatian dan
tanggung jawab lebih besar kepadanya. Di
Minangkabau kewajiban dan tanggung jawab
setiap anak kepada setiap saudara perempuan
ibunya secara normatif memang sama saja
dengan kewajiban dan tanggung jawab anak
kepada ibu kandungnya. Sebuah contoh yang
kontras selanjutnya akan diperlihatkan
berkaitan dengan adanya potensi dampak
perpisahan pasangan, tradisi merantau dan
perceraian terhadap kehidupan laki-laki lansia
tanpa anak. Dampak bersifat negatif bahkan
cenderung akan lebih dirasakan oleh laki-laki
lansia tanpa anak yang gagal merantau, seperti
pada kasus Jamaan. Dalam situasi hidup miskin,
hanya punya seorang saudara perempuan dan
tidak mempunyai kemenakan, maka jaminan
sosial di hari tuanya pun menjadi lebih rentan.
Kasus 2: Jamaan
Jamaan (70 tahun) penduduk asli Balerong
Bunta Rao Rao adalah profil seorang laki-laki
lansia tanpa anak yang hidup rentan di masa
tuanya. Menurut penggolongan sosial
ekonomi di Rao Rao, Jamaan tergolong berlatar
belakang keluarga miskin. Jamaan dan dua orang saudaranya (seorang perempuan dan
seorang laki-laki) sudah menjadi yatim ketika
mereka masih berusia muda. Sejak ditinggal

83

ayahnya, Jamaan bersaudara dibesarkan oleh


ibunya. Kini Jamaan hidup sendiri di rumah
gubuknya di pinggiran perbatasan desa Rao
Rao sebelah utara.
Sebagaimana laki-laki Rao Rao umumnya,
semasa muda Jamaan juga pernah merantau. Ia
merantau ke Bengkalis bekerja dengan orang
sekampungnya berjualan kain. Tetapi Jamaan
tidak betah hidup di rantau dan tak lama ia
kembali lagi ke kampung. Menurut penilaian
orang-orang di kampungnya Jamaan memang
dari kecil dikenal sebagai anak pemalas.
Jamaan pernah dua kali menikah, tetapi tidak
pernah dikaruniai anak. Jamaan menikah
pertama kali pada usia 20 tahun. Pernikahan
pertamanya dilakukan dengan perempuan
sekampung dijodohkan oleh mamaknya.
Perkawinan itu hanya bertahan dua tahun dan
kemudian bercerai karena sering cekcok. Jamaan
menikah kedua dengan perempuan pilihan
sendiri yang berasal dari luar kampung.
Perkawinan tanpa perundingan dengan
keluarga ini juga tidak bertahan lama, kandas
akibat tidak ada kecocokan. Diperoleh informasi
dari warga lainnya bahwa istri kedua Jamaan
mengidap keterbelakangan mental. Sejak
perceraian keduakalinya itu Jamaan tidak
pernah menikah lagi dan hidup sendiri sampai
usia tuanya.
Pada saat penelitian ini, Jamaan sebenarnya
masih mempunyai seorang saudara perempuan
yang tinggal di rumah gadangnya di pusat
kampung. Saudara perempuannya ini juga tidak
mempunyai anak dan kehidupannya pun
miskin. Saudara laki-lakinya yang lebih tua telah
lama meninggal dunia di Lumbuang Bapereang,
kampung tetangga yang masih satu kenagarian
Rao Rao. Sejak saudaranya itu meninggal
dunia, hubungan silaturrahmi dengan anakanak saudaranya ini pun tidak berlanjut lagi.
Guna memenuhi kebutuhan hidup seharihari, kini Jamaan masih bekerja mengolah lahan
di sekitar gubuknya. Ia menanam sedikit ta-

84

naman pisang, ubi kayu dan memetik hasil buah


kelapa di lahan itu. Akan tetapi hasil taninya
itu tidaklah mencukupi, sehingga ia juga sering
datang ke pusat kampung meminta-minta dan
mengharap belas kasihan orang yang biasanya
ia lakukan pada hari balai di Rao Rao (pasar
periodik mingguan setiap hari Rabu). Ia silih
berganti mengunjungi keluarga kaya dan
meminta uang. Orang kampung pun ada yang
rajin memberi dan ada juga yang tidak bersedia
memberi. Beberapa orang tua di kampung
menyatakan Jamaan sebagai orang pemalas
sejak muda, kurang bergaul dan tidak banyak
terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.
Walaupun Jamaan merupakan penduduk asli
Rao Rao, tetapi ia dikategorikan sebagai
pengecualian atau warga yang menyimpang
(deviant people) yang merendahkan
martabatnya sendiri sehingga kurang dihargai
di mata orang kampung.
Secara berkala Jamaan juga mengunjungi
saudara perempuannya yang kini sudah sakitsakitan di rumah gadang asal mereka.
Kadangkala Jamaan mengunjungi adiknya itu
untuk mengambil beras hasil sawah keluarga
yang dikelola saudara perempuannya. Saudara
perempuannya itu sendiri jarang mengunjungi
Jamaan ke gubuknya. Jika ada keperluan,
Jamaanlah yang datang berkunjung ke rumah
saudara perempuannya.
Setiap tahun pada waktu Hari Raya Idul Fitri,
seperti orang lansia lainnya yang hidup miskin
di Rao Rao Jamaan juga mendapatkan santunan
berupa uang atau pakaian hasil penghimpunan
dana perantau yang dikelola pengurus masjid.
Pada setiap kari raya kurban (Idul Adha) Jamaan
biasanya juga mendapat pembagian daging
kurban.
Karena ekonominya yang sulit, Jamaan
telah menjual tanah bangunan gubuk tempat
tinggalnya sejak 5 tahun yang lalu kepada
keluarga tetangganya yang tinggal di seberang
jalan. Jadi tanah tempat tinggalnya sekarang

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

sebenarnya bukan miliknya lagi. Tetapi antara


Jamaan dengan tetangganya itu ada
kesepakatan perjanjian bahwa Jamaan tetap
boleh tinggal di situ dan diperkenankan
mengambil hasil buahan dari pohon yang ada
di atas lahan itu sampai Jamaan wafat. Alasan
Jamaan menjual tanah itu semula adalah untuk
keperluan operasi matanya yang semakin kabur.
Sayangnya operasi itu tidak juga dapat
dilakukan sampai sekarang karena secara
keseluruhan biaya itu tidaklah mencukupi.
Kini sehari-harinya keluarga tetangganya
itulah yang menjadi tumpuan utama Jamaan
mendapatkan bantuan. Apalagi tetangganya itu
dinilai Jamaan memang baik hati, rajin
mengantar makanan atau memperhatikan
Jamaan kalau sedang sakit. Walaupun tidak
memiliki hubungan kerabat, tetangganya
tersebut kasihan kepada Jamaan karena tidak
ada sanak keluarga dekat Jamaan yang dapat
diharapkan membantunya. Bagi keluarga
tetangga terdekatnya itu ada juga rasa ikatan
tanggung jawab moral untuk membantu Jamaan
yang hidup sendiri dan berkesusahan di masa
tuanya.
Selain kasus seperti Jamaan yang
dipaparkan di atas, hasil peneltian kami juga
menunjukkan adanya indikasi bahwa masalah
kerentanan hidup laki-laki lansia tanpa anak
memang dapat menjadi lebih serius dibandingkan perempuan lansia tanpa anak apabila lakilaki lansia sudah tidak punya istri dan tidak
pula memiliki saudara perempuan atau
kemenakan. Di satu sisi, secara adat laki-laki
lansia yang sudah tidak punya istri lagi karena
cerai hidup atau cerai meninggal dunia secara
normatif tidak berhak lagi untuk tetap tinggal
di rumah keluarga istrinya. Di sisi lainnya, lakilaki lansia yang kembali ke rumah asal keluarga
matirilinialnya sering merasa kurang nyaman
dan janggal, apalagi jika di rumah asalnya itu
ada orang sumando (para suami dari saudarasaudara perempuannya). Akibatnya laki-laki

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

lansia seperti ini menghadapi dilemma. Bahkan


bagi orang lansia dari keluarga punah, kembali
ke rumah asal keluarga matrilinialnya pun juga
akan berarti menghadapi hidup sendiri.
Orang lansia de facto tidak mempunyai
anak
Menurut Schrder-Butterfill (2002) orang
lansia dapat dikategorikan secara de facto tidak
mempunyai anak oleh karena meskipun punya
anak tetapi tidak mendapat dukungan baik
secara moril maupun materil dari anak-anak
mereka. Biasanya orang lansia seperti ini
menjalani hidup sendiri tanpa ada anak yang
tinggal bersama mereka dan tidak mempunyai
anak yang dapat memberi bantuan secara lokal.
Di dalam masyarakat Minangkabau
fenomena orang lansia de facto tanpa anak juga
dapat terjadi. Akan tetapi kita masih perlu
mendiskusikan secara hati-hati mengingat lebih
rumit membuat batasan tegas yang dapat
disepakati bersama tentang konsep orang lansia
de facto tanpa anak dalam masyarakat yang
menganut sistem keluarga luas matrilinial ini
dibandingkan pada masyarakat yang menganut
sistem keluarga batih (nuclear family).
Hubungan antara individu dengan keluarga
matrilinial atau kerabat luasnya yang kompleks
di Minangkabau ikut memberi corak terhadap
fenomena orang lansia de facto tanpa anak
pada masyarakat ini. Di samping itu perlu juga
untuk memperhatikan dimensi subjektif
berdasarkan pengakuan diri orang lansia
tentang keadaan de facto tanpa anak tersebut.
Di satu sisi ditemui kenyataan bahwa meskipun
orang lansia secara reproduktif sebenarnya
memiliki anak, tetapi de facto menganggap
dirinya tidak punya anak. Di sisi lainnya dapat
pula terjadi orang lansia yang secara reproduktif
tidak memiliki anak, tetapi menganggap dirinya
punya anak.
Di dalam keluarga matrilinial Minangkabau
juga sering ditemui pengakuan belum punya

85

anak jika di dalam keluarga tidak ada anak


perempuan. Di satu sisi meskipun secara
reproduktif orang lansia di Minangkabau
memiliki anak laki-laki, akan tetapi menganggap
dirinya tidak punya anak karena tidak memiliki
anak perempuan. Data hasil survei random kami
menunjukkan 23% lansia tidak memiliki anak
perempuan. Di sisi lainnya, dapat pula dijumpai
lansia tanpa anak karena tidak pernah menikah
ataupun tidak punya anak dari perkawinan
mereka, tetapi secara sosiologis ia tidak dapat
begitu saja dikategorikan sebagai orang lansia
tanpa anak. Misalnya jika perempuan lansia
tanpa anak memiliki saudara perempuan yang
mempunyai anak, maka lansia perempuan tanpa
anak tadi secara normatif tetap harus memperlakukan anak-anak saudara perempuannya
seperti anak sendiri.
Meskipun demikian keadaan de facto tanpa
anak tetap saja mungkin dihadapi lansia karena
prevalensi tempat tinggal antara orang tua yang
menetap di kampung dengan semua anak
mereka menetap di rantau. Hal dimaksud dapat
dilihat pada ilustrasi kasus berikut ini.
Kasus 3: Amsidar
Amsidar (75 tahun) adalah seorang
perempuan lansia anak bungsu dari delapan
orang bersaudara. Amsidar berasal dari keluarga
kaya dan keturunan salah seorang datuk
(penghulu pucuk) di Rao Rao. Amsidar juga
adalah seorang veteran pejuang yang menerima
gaji pensiun dari negara. Dari semua saudaranya
saat ini kini tinggal Amsidar dan seorang
saudara perempuannya yang masih hidup.
Saudara-saudaranya yang lain sudah
meninggal dunia. Kini Amsidar tinggal sendiri
di rumah gadang berdekatan rumah dengan
saudara perempuannya di pusat kampung
Balerong Bunta Rao Rao.
Amsidar menikah dijodohkan keluarga
dengan pria sekampungnya dan memiliki
sembilan orang anak, terdiri dari tujuh laki-laki

86

dan dua perempuan. Ketika anaknya yang


bungsu masih kecil, suaminya menikah lagi
dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan
dan izin darinya. Sejak itu ia membenci suaminya dan tidak bersedia menerima suaminya itu
lagi. Saat ini status perkawinannya tidak jelas,
karena secara resmi perceraian juga tidak pernah
diurus.
Di hari tuanya sebagian waktu Amsidar
dicurahkan untuk mengurus harta pusaka di
kampung atau pergi menjenguk anak cucu di
rantau. Secara finansial Amsidar tidak perlu
risau, karena menerima kiriman dari anakanaknya, menerima gaji pensiunan veteran dan
menerima pendapatan bagi hasil dari petani
yang menggarap sawah ladang keluarganya.
Walaupun demikian bukan berarti kehidupannya menjadi tenang. Seluruh anak kandungnya
sudah menikah dan tinggal menetap di rantau.
Kedua anak perempuannya menikah dengan
orang yang berasal dari luar Minangkabau. Bagi
Amsidar ini merupakan suatu yang sering
menjadi pikiran. Ia khawatir kelak tidak ada anak
perempuan yang dapat menetap di kampung
yang diperlukan untuk mengurus harta pusaka
keluarga. Hal yang sering dipikirkannya adalah:
siapa kelak yang akan mengurus harta pusaka
jika dirinya meninggal dunia? Sekarang ini
memang masih ada dirinya dan saudara
perempuannya yang mengurus. Tetapi, kakak
perempuannya juga tidak memiliki anak
perempuan. Oleh sebab itu Amsidar berharap
kiranya kelak ada salah satu anak perempuannya yang mau menetap di kampung. Walaupun
ia sadari pula bahwa hal ini sulit terlaksana.
Sebab, kedua anak perempuannya telah memiliki
pekerjaan tetap di rantau. Ditambah lagi kedua
menantunya bukan berasal dari Minangkabau.
Sebaliknya, Amsidar sering ditawarkan anakanaknya untuk ikut tinggal menetap di rantau.
Tetapi hingga sekarang Amsidar tidak mau.
Kalaupun ada kalanya Amsidar pergi
mengunjungi anak-anak ke rantau, namun ia tidak

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

pernah berniat untuk menetap bersama anakanaknya di rantau. Bagaimanapun juga Amsidar
tetap merasa lebih betah menetap di kampung.
Tinggal di rumah sendiri dan dapat mengurus
harta pusaka di kampung tetaplah lebih enak
dari pada di rantau, demikian tuturnya.
Satu hal yang membahagiakan Amsidar
karena ia telah memiliki cucu perempuan dari
anak perempuannya. Ingin sekali rasanya ia
dapat mengasuh dan membesarkan cucu
perempuannya itu. Jika tidak ada anaknya yang
kelak dapat menetap di kampung, paling tidak
ia masih dapat berharap mungkin cucunya nanti
mau, karena di dalam masyarakat Minangkabau
perempuanlah pewaris garis keturunan dan
yang seharusnya bertaggungjawab mengelola
harta pusaka.
Meskipun di kampung ia tinggal sendiri di
rumah gadang, pada malam hari Amsidar
biasanya selalu ditemani anak keluarga
tetangganya. Anak perempuan keluarga
tetangganya ini rajin membantu Amsidar
memasak dan merawatnya jika sakit.
Pada saat kunjungan lapangan kami yang
lebih akhir di tahun 2003, kakak perempuan
Amsidar telah meninggal dunia. Ketika kami
kunjungi Amsidar yang sekarang ternyata tidak
seperti keadaan 2-3 tahun sebelumnya. Kini ia
sudah mulai pikun dan sehari-hari tinggal
sendiri di rumah gadang. Anak tetangga yang
dulu sering menemaninya di malam hari, kini
juga telah pergi melanjutkan pendidikan ke luar
desa. Salah seorang anak perempuannya yang
sebelumnya beberja sebagai guru SD di Aceh,
kini juga sudah pindah ke Padang agar lebih
dekat dan lebih mudah merawat ibunya.
Anaknya inilah kini secara berkala mengunjungi
Amsidar di kampung karena Amsidar tetap tidak
mau dibawa tinggal di rantau.
Kasus Amsidar di atas memperlihatkan
bahwa meskipun lansia memiliki anak kandung
dan secara khusus juga memiliki anak perempuan, tetapi tetap saja dapat menjadi d e

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

facto hidup tanpa anak sebagai dampak dari


situasi semua anak menetap di rantau. Di satu
sisi, kontinuitas tradisi merantau pada kalangan
orang muda diakui sebagai faktor penting
sebagai sumber bantuan materil paling utama
bagi generasi tua di kampung. Kemajuan
pembangunan di bidang transportasi dan
komunikasi juga sering dinyatakan telah
mempermudah kelancaran hubungan antara
orang di rantau dengan di kampung. Namun di
lain sisi, absennya anak-anak (terutama anak
perempuan) di kampung tetaplah dapat
menyebabkan keadaan lansia de facto hidup
tanpa anak. Kasus seperti ini tidak dialami
Amsidar sendiri. Sebagaimana ditunjukkan oleh
hasil survei random dalam penelitian kami,
34,6% dari keluarga yang ada orang lansianya
ternyata tidak mempunyai anak yang tinggal
menetap di kampung.
Sementara itu, laki-laki lansia juga dapat
menghadapi keadaan de facto hidup tanpa anak
akibat perceraian. Apalagi jika laki-laki lansia
berasal dari keluarga punah. Problematika ini
dapat dilihat pada ilustrasi kasus berikut ini.
Kasus 4: Abdul
Abdul (78 tahun) adalah seorang laki-laki
lansia penduduk asli Balerong Bunta Rao Rao.
Abdul merupakan anak kedua dari enam orang
bersaudara. Saudara-saudaranya yang lain, dua
orang perempuan dan tiga orang laki-laki semua
telah meninggal dunia dan tidak satu pun yang
sempat menikah. Berbeda halnya dengan Abdul
yang telah menikah tiga kali.
Ibu Abdul juga tidak memiliki saudara
perempuan. Begitu pula neneknya. Menurut
sistem matrilineal, keluarga seperti ini disebut
punah karena tidak ada seorang generasi
perempuan pun dari keluarga semande
(senenek) yang meneruskan garis keturunan
keluarga.
Seperti laki-laki Rao Rao umumnya, sejak
remaja Abdul sudah pergi merantau. Daerah

87

perantauan yang pernah ia kunjungi meliputi:


Riau, Aceh dan Sumatera Utara. Rantau paling
lama ia jejaki adalah Sumatera Utara. Ia pernah
menetap puluhan tahun di Padang Sidempuan.
Setelah memasuki usia tua barulah Abdul
kembali ke kampung. Karena sekian lama
merantau di Sumatera Utara, Abdul juga mahir
berbahasa Batak Mandailing. Tutur bahasa Rao
Raonya pun kini tidak terlalu pas dan kentara
terpengaruh dialek bahasa Batak Mandailing.
Abdul pernah menikah tiga kali. Perkawinan
pertamanya dengan warga sekampung
dijodohkan keluarga dan membuahkan satu
orang anak laki-laki. Istri pertamanya telah lama
meninggal dunia, sedangkan anak dari istri
pertamanya itu telah menikah sejak puluhan
tahun dan sampai sekarang belum juga
dikaruniai anak. Ketika mengarungi perkawinan
dengan istri pertamanya, Abdul hanya sekalikali pulang kampung. Seperti kebanyakan
perantau Rao Rao di masa lalu, Abdul tidak
pernah membawa istri dan anaknya ke rantau.
Bahkan ketika istri pertamanya meninggal akibat
sakit, Abdul sedang berada di rantau. Beberapa
bulan setelah itu baru ia pulang kampung.
Menurut Abdul alasan sulitnya komunikasi,
tidak lancarnya transportasi dan pergolakan
yang banyak terjadi di masa itu menjadi
penyebab ia terlambat mengetahui musibah
keluarganya sehingga tidak dapat segera
pulang kampung.
Abdul menikah untuk kedua kalinya dengan
orang sekampung juga. Pernikahan kedua itu
berlangsung tidak lama setelah istri pertamanya
meninggal dunia. Dari perkawinan kedua ini
diperoleh sepasang anak. Anak perempuannya
kini juga sudah menikah dan tinggal di kampung,
sedangkan anak laki-lakinya telah meninggal
dunia sewaktu masih bayi. Selama mengarungi
kehidupan perkawinan kedua ini, Abdul juga
tetap merantau dan hanya sekali-kali pulang
kampung sedangkan istri dan anaknya tinggal
menetap di kampung, tidak pernah dibawa ikut

88

serta ke rantau. Menurut pengakuan keluarganya, selama merantau Abdul juga jarang
mengirim kabar berita maupun uang belanja
untuk keluarganya di kampung. Bahkan ketika
ibu kandung Abdul meninggal dunia pada tahun
1980an Abdul pun tidak sempat menghadiri
pemakamannya di kampung.
Abdul baru pulang dari rantau dan
berencana menetap di kampung halamannya
Balerong Bunta Rao Rao sejak tahun 1990.
Mula-mula ia tinggal bersama istri dan anaknya.
Ketika itu hubungan dengan istri keduanya ini
sudah dirasakan renggang. Istri kedua Abdul
ini tidak berkenan menerima suaminya lagi
karena dianggap selama ini kurang bertanggungjawab kepada keluarga. Akibatnya percekcokan pun cukup sering terjadi dan berakhir
dengan perceraian secara resmi.
Semenjak perceraian dengan istri keduanya
itu Abdul mendirikan rumah gubuk kecil di
tanah warisan ibunya yang telah dibagi untuk
Abdul semasa ibunya belum meninggal dunia
karena tidak memiliki anak dan saudara
perempuan. Mantan istrinya yang kini juga
sudah lanjut usia (72 tahun), tetap tinggal bersama anak perempuan mereka yang sudah
membangun rumah sendiri di lingkungan lokasi
rumah gadang kaumnya.
Pada tahun 1995 Abdul menikah lagi untuk
ketiga kalinya. Kali ini ia menikah dengan
pasangan yang berusia jauh lebih muda dan
berasal dari luar desa. Istri ketiganya ini adalah
warga pendatang yang berasal dari Sungai
Leman di daerah Sungai Tarab yang masih desa
tetangga dengan jarak 3 km dari Rao Rao. Bagi
istri ketiganya ini, perkawinan dengan Abdul
juga merupakan perkawinan ketiga dan dari
perkawinan sebelumnya telah dikaruniai tiga
orang anak. Dari suami pertamanya, diperoleh
sepasang anak. Dari suami keduanya diperoleh
seorang anak laki-laki. Ketiga anaknya itu kini
tinggal menetap di kampung halamannya di
Sungai Leman.

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

Sementara itu bagi Abdul alasan penting


mengawini istri yang ketiga ini adalah agar
dapat merawatnya di masa tua. Dengan
berlangsungnya perkawinan ini, salah satu
persoalan yang mencemaskan Abdul selama ini
sudah teratasi. Jika ia sakit atau meninggal di
rumah gubuknya, kini sudah ada istri yang
tinggal bersamanya dan dapat diharapkan
merawat atau mengurusnya. Abdul tidak
mengharapkan keturunan lagi dari perkawinan
ketiganya ini. Bagi Abdul, dengan perkawinan
ini berarti hubungan keluarga juga bertambah.
Di Rao Rao Abdul punya dua orang anak dari
para istrinya terdahulu meskipun hubungan di
antara mereka tidak begitu baik. Dari istri
ketiganya Abdul juga menjadi ayah dari tiga
orang anak tirinya yang menetap di Sungai
Leman.
Namun demikian saat ini Abdul merasa
kurang betah tinggal menetap di kampungnya
sendiri. Ia berencana pindah ke luar desa dan
ingin menghabiskan sisa hidupnya di kampung
istri barunya. Untuk itu ia bermaksud menjual
tanahnya di Rao Rao. Skenario hidup yang akan
dijalaninya dinilai Abdul sebagai yang terbaik
dan paling adil untuk anak-anaknya di Rao Rao
maupun untuk istri dan anak-anak tirinya di
Sungai Leman. Harapannya, andai istri
ketiganya ini kelak meninggal dunia lebih
dahulu, anak-anak tirinya di Sungai Leman
masih dapat diharapkan menjaga dan merawat
dirinya hingga akhir hayat. Ia juga masih dapat
berharap kepada anak-anaknya di Rao Rao,
khususnya anak perempuan untuk merawatnya.
Walaupun sampai saat ini harapan itu dinilainya
tidak mungkin selagi mantan istri keduanya
masih hidup dan masih tinggal bersama
anaknya. Seperti dituturkan Abdul, selagi
mantan istri keduanya masih hidup dan tinggal
bersama anak perempuannya, tidak mungkin
secara agama maupun adat bagi dirinya untuk
tinggal serumah dengan anaknya perempuannya.

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

Kasus Abdul ini menjadi lebih menarik


untuk dicermati lebih jauh karena keadaan de
facto tidak punya anak yang dialami laki-laki
lansia ini terkait dengan beberapa alasan:
pertama, di dalam keluarganya sudah tidak ada
lagi keturunan perempuan yang melanjutkan
garis matrilineal sehingga keluarga seperti ini
lazim disebut keluarga punah; kedua, meskipun
memiliki harta warisan pusaka, namun tidak
dapat diwariskan kepada generasi berikutnya
karena tidak ada generasi perempuan yang
berhak mewarisi sedangkan jika harta pusaka
dijual juga janggal; ketiga, meskipun memiliki
anak kandung namun hubungan mereka kurang
harmonis akibat peristiwa perceraian; dan
keempat, di usia tuanya lansia menikah lagi
dengan pasangan yang lebih muda usia dan
warga pendatang dengan harapan agar dapat
merawatnya, namun alternatif strategi ini dinilai
tidaklah pas dengan norma masyarakat
setempat. Sebagaimana dituturkan H. Nasir
salah seorang tokoh masyarakat Rao Rao,
apabila lansia itu punya rasa kewargaan yang
tinggi sebagai orang asli Rao Rao, semestinya
tidak perlu menjual tanah yang berasal dari
harta pusaka, apalagi bermaksud keluar dari
kampung. Seharusnya ia bisa saja menyumbangkan sebagian dari hartanya untuk kepentingan
masyarakat dan kampung halaman. Seperti
halnya orang kampung yang juga tidak boleh
membiarkan adanya orang lansia hidup terlantar
di kampung sendiri. Setiap Hari Raya Idul Fitri
ada santunan dari mesjid yang bersumber dari
zakat dan bantuan orang rantau. Setiap hari
raya Idul Adha juga selalu ada pembagian
daging kurban. Jika ada orang lansia yang
hidup tersia-sia di kampung, kampung juga
yang akan mendapat malu. Oleh sebab itu jika
seseorang merasa hidupnya rentan di masa tua,
hal itu sesungguhnya turut disebabkan karena
ia tidak yakin akan diperhatikan orang kampung
sebagai akibat pengalaman sikapnya sendiri di
masa muda yang kurang memperhatikan ikatan

89

sosial sesama orang sekampung. Tetapi


keadaan sebenarnya masih dapat diperbaiki jika
dimulai dari kesadaran yang tulus dari dalam
diri seseorang untuk kembali ke masyarakat.
Sebagai pilihan strategi lansia tanpa anak
dalam mengantisipasi kerentanan hidupnya di
hari tua, di beberapa daerah di Indonesia
dijumpai juga lansia tanpa anak yang
melakukan adopsi untuk mempunyai anak
angkat. Sebagian orang lansia tanpa anak ada
pula yang menempuh pilihan menikah lagi
dengan pasangan yang memiliki anak. Dengan
pilihan dan strategi seperti ini maka orang lansia
tanpa anak akan mendapatkan anak angkat atau
anak tiri yang diharapkan dapat menjadi
tumpuan mengatasi kerentanan hidupnya di hari
tua (Schrder-Butterfill, 2002). Akan tetapi
pilihan dan strategi orang lansia tanpa anak
melakukan adopsi ataupun kembali menikah
dengan pasangan punya anak guna mengantisipasi hidup rentan di usia tua, keduanya
sama-sama tidak populer di daerah penelitian
kami karena juga tidak sinkron dengan kaidah
sistem matrilineal Minangkabau.

Kesimpulan
Secara idealnya, orang lansia di dalam
masyarakat Minangkabau memiliki posisi
tersendiri dan terhormat sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan kok pai tampek batanyo,
kok pulang tampek babarito (jika pergi tempat
bertanya, jika pulang tempat mengadu). Dalam
tatanan ideal masyarakat matrilinial Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan
solidaritas sosial dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial
bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak
boleh hidup tersia-sia di hari tuanya. Jika ada
orang lansia yang terlantar, maka hal itu dapat
menjadi aib malu anak-kemenakan, keluarga,
kerabat atau bahkan orang sekampung.
Kendatipun demikian, situasi idel tidak
selalu sesuai dengan situasi faktual yang dapat

90

ditemukan di dalam kenyataan empiris. Berbagai


hasil penelitian tentang masyarakat Minangkabau kontemporer umumnya memperlihatkan
bahwa hubungan struktur keluarga luas telah
mengalami perubahan. Seiring pertambahan
penduduk, modernisasi, kontinuitas dalam
pemeliharaan harta pusaka, perkembangan
tradisi merantau, kecenderungan perubahan
pola menetap menjadi neolokal, kesemuanya
secara kompleks memiliki konsekwensi
terhadap perubahan fungsi struktur keluarga
dan hubungan sosial dalam masyarakat
Minangkabau. Fungsi-fungsi keluarga
samande menjadi semakin penting, sedangkan
fungsi-fungsi keluarga lebih luas seperti
saparuik , sapayuang dan sasuku cenderung
memudar (Benda-Beckmann, 1979; Kato, 1982;
Naim, 1984; Saleh et.al., 1992; van Reenen, 1996;
Afrizal, 2001 dan; Erwin, 2001). Perubahanperubahan fungsi struktur keluarga, hubungan
sosial dan kontinuitas tradisi merantau ternyata
juga dapat membawa implikasi terhadap
kehidupan orang lansia, termasuk implikasinya
terhadap situasi dan problematika orang lansia
tanpa anak.
Ada tiga kategori yang menyebabkan
situasi orang lansia tanpa anak di dalam
masyarakat Minangkabau, yakni: orang lansia
tanpa anak karena tidak pernah menikah, orang lansia tanpa anak karena kendati menikah
tetapi tidak mempunyai keturunan dan orang
lansia secara de facto tidak mempunyai anak.
Hasil temuan penelitian kami menunjukkan
bahwa salah satu faktor penyebab utama
situasi lansia tidak mempunyai anak ternyata
berkaitan dengan terdapatnya pola umum
pasangan suami istri pernah hidup berpisah
dalam kurun waktu relatif lama karena suami
pergi merantau sedangkan istri menetap di
kampung halaman sehingga frekwensi
hubungan seksual suami istri menjadi rendah.
Keadaan yang mempengaruhi fertilitas ini
ternyata juga memiliki hubungan secara

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

kompleks dengan riwayat pembentukan


perkawinan dalam tradisi dijodohkan keluarga,
masalah poligini dan perceraian. Dalam hal
yang berkaitan dengan keadaan di satu sisi
kontinuitas tradisi merantau di kalangan orang
muda, sementara di sisi lain para lansia
cenderung lebih memilih untuk tetap tinggal
dan menghabiskan sisa usianya di kampung,
ternyata keduanya secara simultan berpotensi
menyebabkan situasi orang lansia secara d e
facto tidak mempunyai anak. Problematika orang lansia de facto tidak mempunyai anak
dijelaskan di sini dengan tidak adanya anak
yang secara permanen tinggal menetap di
kampung, atau karena tidak ada anak
perempuan yang dapat diharapkan sebagai
penerus garis keturunan dan pewaris harta
pusaka kaum yang merupakan manifestasi paling penting dalam budaya Minangkabau.
Orang lansia tanpa anak di dalam
masyarakat Minangkabau ternyata juga
menghadapi beberapa masalah kerentanan
sosial dan psikologis, di antaranya bersifat khas
antara lansia laki-laki dan perempuan, yang erat
kaitannya dengan karakteristik struktur
keluarga dan hubungan sosial di dalam sistem

matrilineal. Masalah kerentanan tersebut


biasanya dapat lebih dirasakan orang lansia
tanpa anak dalam lima situasi, seperti: pertama,
kenyataan hidup sendiri dalam keadaan status
sosial ekonomi keluarga miskin; kedua, ketidakpunyaan anak perempuan (bagi kaum
perempuan) atau ketidak-punyaan saudara
perempuan dan kemenakan (bagi kaum lakilaki); ketiga, punahnya generasi penerus garis
matrilineal, seiring dengan ketidak-punyaan
anak laki-laki yang bisa diandalkan; keempat,
keputusan semua anak dalam suatu keluarga
untuk merantau dan menetap secara permanen
di rantau yang jauh dari kampung halaman; dan
kelima, kegagalan menjaga ikatan sosial dan
hubungan moral di dalam kehidupan komunal
perdesaan sehingga reputasi sosialnya dinilai
rendah oleh masyarakat sekitar.
Berdasarkan temuan dan analisis penelitian
yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi
orang lansia tanpa anak di dalam masyarakat
Minangkabau tampaknya lebih dominan
merupakan masalah sosial dibandingkan
masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia
yang bertambah tua.

Referensi
Afrizal
2001 Hubungan Keluarga, Manajemen Kekayaan, Perubahan Sosial dan Kesejahteraan
Lanjut Usia di Minangkabau Matrilinial Kontemporer, dalam Franz von BendaBeckmann dkk. (peny.) Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm.398410.
Benda-Bechmann, F. von.
1979 Proverty in Social Continuity: Continuity and Change in the Maintenance of
Proverty Relations Through Time in Minangkabau, West Sumatra. Erhandelingen:
KITLV.
BPS
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1980.
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 1990.
Sensus Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2000.

Indrizal, Problematika Orang Lansia tanpa Anak

91

Erwin
2001 Dinamika Pengorganisasian Jaminan Sosial dalam Keluarga pada Masyarakat Petani
di Pedesaan Minangkabau: Studi Kasus Masyarakat Desa Sungai Tanang, Kabupaten
Agam, dalam Franz von Benda-Beckmann dkk. (peny.) Sumber Daya Alam dan
Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.379397.
Kato, T.
1982 Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia. Ithaca:
Cornel University Press.
Kompas
2002 Pertambahan Jumlah Lansia Indonesia Terpesat di Dunia, 25 Maret.
Millah, S.
2002 Lansia, Tantangan Baru Kependudukan Indonesia, Media Indonesia, 27 Mei. Hlm.9.
Naim, M.
1984 Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajahmada University
Press.
Saleh, A.A., dkk.
1992 Jaminan Sosial dalam Keluarga Minangkabau di Perkotaan. Laporan Penelitian.
Padang: Pusat Studi Pengembangan Keluarga Universitas Andalas.
Schrder-Butterfill, E.M.
2002 Ageing in Indonesia: A Socio-demographic Approach. Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy at the Departement of Social Policy and Social Work at the University of Oxford UK.
Singarimbun, M.
1996 Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
van Reenen, J.
1996 Central Pillar of the House: Sisters, Wifes and Mother in a Rural Community in
Minangkabau, West Sumatra. Leiden, the Netherland: CNWS.

92

ANTROPOLOGI INDONESIA Januari 2005, Vol. 29, No. 1

Anda mungkin juga menyukai