Anda di halaman 1dari 10

Indonesia (Parpol Islam); sebuah kebutuhan?

Partai politik Islam di Indonesia (Parpol Islam);


sebuah kebutuhan?[1]

Oleh : Ahmad Syaukani[2]

Sungguh mengherankan, umat Islam pada masa lampau mampu bersatu padu dan sehati dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Namun umat Islam hari ini, justru mengisi kemerdekaan dengan
perpecahan antar golongan dan konflik kepentingan

I. Pendahuluan.
Sejak lama para pemimpin Islam di Indonesia berusaha menemukan jalan keluar dari persoalan
yang membelit sebagian besar umatnya, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Setelah sekian
lama terkungkung oleh kebijakan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memang memberi
peluang umat Islam untuk mengembangkan diri. Namun sampai lebih dari enam puluh tahun
sesudah proklamasi kemerdekaan, citra tentang kemiskinan dan keterbelakangan itu masih juga
belum terhapus. Sebagian besar umat Islam Indonesia jauh tertinggal dalam berbagai hal:
pendidikan yang rendah, bidang pekerjaan yang secara materil kurang menguntungkan, skor
kualitas hidup fisik yang rendah, dan status sosial ekonomi yang juga rendah.

Sejak awal, para pemimpin dan aktivis Muslim itu sadar bahwa perbaikan kondisi yang
memprihatinkan itu memerlukan perjuangan politik, yaitu berurusan dengan upaya memperoleh
kekuasaan. Sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi tindakan dan pikiran orang lain serta
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik, kekuasaan dinilai sangat penting. Apapun
tujuan akhir yang hendak diperjuangkan, setiap aktivis harus mencapai tujuan antara
memperoleh kemampuan mempengaruhi orang dan proses kebijakan. Dengan kata lain, harus
memiliki otoritas dan legalitas. Cita-cita seperti mengurangi kemiskinan rakyat pasti
memerlukan kemampuan mempengaruhi proses kebijakan publik.

II. Data fakta dan sejarah singkat dinamika Parpol Islam di Indonesia

a. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan Belanda, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia,
bukan saja berhadapan dengan pihak penjajah, tetapi juga dengan orang-orang Cina. Berdirinya
Sarekat Dagang Islam (SDI tahun 1911, kemudian Sarekat Islam, SI tahun 1912) mulanya
diarahkan kepada orang-orang Cina di Solo. Penyebarannya ke segenap penjuru tanah air pada
waktu itu, dengan meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas, lebih karena
didorong oleh perasaan seagama.

Akan tetapi dalam lapangan politik, kalangan Islam tidak berhasil bersatu. Pemetaan umat Islam
ke dalam dua kelompok, tradisionalis dan modernis mulai berkembang pada masa ini. Dan dalam
bidang politik, kalangan tradisionalis belum menjadi penting sehingga kalangan pembaharulah
yang lebih banyak terlibat dalam politik. Oleh sebab itu, perbedaan dalam politik di zaman
Belanda tidak terjadi antara kalangan modernis dengan kalangan tradisionalis, melainkan antara
kalangan modernis sendiri. Perbedaan itu lebih disebabkan oleh pertimbangan politik daripada
pertimbangan agama.

Dalam bidang sosial, Partai-Partai Islam dapat bekerjasama dan dengan organisasi sosial Islam
dalam federasi MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yang didirikan pada tahun 1935, tetapi
dalam bidang politik, masing-masing kelihatan bergerak sendiri-sendiri. Ketika Gabungan
Politik Indonesia (Gapi) didirikan pada tahun 1939, PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) hanya
bersedia masuk di dalamnya setelah mendapat jaminan bahwa kelompok Salim (Anggota yang
sudah dipecat) tidak akan diajak. Sedangkan Komite Kebenaran dari Kartosuwirya berada di luar
Gapi dan MIAI.

Pada masa pendudukan Jepang, MIAI kembali didirikan di Jakarta tanggal 5 September 1942,
federasi ini kemudian diubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi) pada akhir
tahun 1943. Namun baik MIAI maupun Masjumi pada zaman jepang ini tidak meliputi
organisasi-organisasi di Luar Jawa karena pemisahan administrasi pemerintahan ketika itu.
Anggota anggota MIAI di Jawa pun terbatas pada organisasi-organisasi Islam yang diakui.

Satu perkembangan menarik pada masa ini adalah peluang yang diberikan Jepang terhadap
ulama untuk berkiprah dalam bidang politik. Pemerintah juga mendirikan kantor administrasi
agama yang berusaha melakukan semua kegiatan tentang Islam. Sejak itu, ulama mulai tertarik
untuk bekerja di kantor pemerintahan (pusat dan daerah). Akibat negatifnya adalah berkurangnya
jumlah ulama yang memusatkan perhatiannya pada usaha menjaga keperluan rohani umat karena
pindah ke kota-kota.

b. Kelahiran Partai Politik Islam


Dari gambaran di atas, terlihat bahwa organisasi Islam yang bergerak di bidang politik telah ada
sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Namun untuk menyebut organisasiorganisasi itu sebagai Partai Politik Islam mungkin tidak terlalu tepat, sebab kala itu negara
Indonesia belum merdeka.

Sesaat setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan
pengumuman yang mendorong rakyat untuk mendirikan Partai. Meskipun pada awalnya,
kalangan Islam menyesalkan pengumuman tersebut dan dianggap tidak tepat waktunya, sebab
menurut mereka, pada masa itu yang dikehendaki adalah persatuan rakyat, dan pendirian PartaiPartai dapat memecah belah rakyat, namun akhirnya mereka dapat menerima alasan pemerintah
bahwa dengan berdirinya Partai-Partai maka berbagai aliran dalam masyarakat mendapat
penyaluran dan dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Oleh sebab itu umat Islam merasa
berkewajiban mengorganisasikan kekuatan dan tenaganya dalam satu wadah politik sehingga
dapat melaksanakan tugasnya dalam bidang politik.

1. Masjumi
Atas dasar itu, diadakanlah Muktamar Islam di Yogyakarta tanggal 7 8 November 1945 yang
dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam. Muktamar memutuskan untuk
mendirikan majelis Syura pusat bagi umat Islam Indonesia (Masjumi) yang dianggap sebagai
satu-satunya Partai politik bagi umat Islam. Pada awalnya, hanya empat organisasi yang masuk
Masjumi: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Muhammadiyah termasuk pembaru (modernis) sedang NU tradisional. Dua organisasi lainnya

bersifat tradisional dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap modern dalam soal-soal
dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. Pada tahun
1951 kedua organisasi ini berfusi menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.

Organisasi-organisasi Islam bergabung dengan Masjumi segera setelah mereka didirikan


kembali. Di Jawa, Persatua Islam (PI, Bandung) bergabung pada tahun 1948 dan Al-Irsyad pada
tahun 1950. sedangkan dua organisasi dari Sumatera, yaitu al-Jamiatul Washliyah dan alIttihadiyah menjadi anggota Masjumi kemudian, setelah hubungan antara Yogyakarta dan
Sumatera Utara secara politis pulih.

Pada akhirnya semua anggota istimewa Masjumi putus hubungan dengan Partai. Ini terjadi pada
puncak perpecahan antara Soekarno dan Masjumi, Sekurang-kurangnya pada saat
ketidakpercayaan Soekarno terhadap Masjumi dan juga sebaliknya meningkat. Masjumi dilihat
oleh Presiden pada tahun 1958 bersimpati dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia; sebaliknya Soekarno dilihat Masjumi sebagai penguasa yang ingin
menegakkan kediktatoran dan yang memberi angin bagi Partai Komunis Indonesia.

Setelah pimpinan Partai masjumi bermusyawarah dengan pimpinan anggota-anggota Istimewa,


melepaskan ikatan antara anggota istimewa dan Masjumi (8 September 1959). Kebijakan ini
diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan organisasi, sekiranya Masjumi mendapat hambatan
dalam geraknya. namun, pada tahun 1960 Masjumi terpaksa dibubarkan oleh perintah Soekarno.

2. Perti.
Partai Politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, yang
berpusat di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu Pesantren di
Candung dekat Bukittinggi pada tanggal 20 Mei 1930. Ia merupakan benteng pertahanan
golongan tradisionalis terkenal di Minangkabau terhadap penyebaran dan gerakan modern.

Pada masa pendudukan Jepang, Perti banyak terlibat dalam bidang pendidikan dan sosial. Pada
tahun 1944, Perti bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi
Islam di seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.

Sehubungan dengan pengumuman pemerintah agar rakyat mendirikan Partai politik, pimpinan
Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka sebagai sebuah Partai politik. Keputusan
ini diamil pada tanggal 22 November 1945 dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22
24 Desember 1945. Berbagai alasan Perti berjalan adalah : pertama, kelihatannya mereka tidak
cocok berada dalam MIT (yang juga berubah bentuk menjadi Partai politik) dan kemudian
dengan Masjumi (sebagai transformasi dari MIT) oleh karena dominasi kalangan modernis yang
kurang memperhatikan perasaan dan aspirasi kalangan tradisional di daerah itu. Kedua, para
pemimpin Perti cepat melihat pentingnya politik dalam mempertahankan paham agama mereka,
dan ini menurut mereka lebih mudah dilakukan dengan mengubah organisasi menjadi Partai
daripada berjuang dalam MIT dan Masjumi.

3. Partai Syarikat Islam Indonesia.


Partai Syarikat Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia,
karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat Islam (SI, 1912).
Tetapi sebab langsung Partai tersebut didirikan kembali padahal sebelumnya telah ada kebulatan
tekad untuk melihat Masjumi sebagai satu-satunya Partai Islam, ialah usaha formatir Amir
Syarifuddin membentuk kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi
ditolak oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin; mereka
bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.

Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan
pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak ada hubungan atau ikatan dengan Masjumi.
PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara yang sedang
menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga Partai merasa perlu
menanggulanginya.

4. Nahdlatul Ulama
Organisasi ini didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 sebagai usaha menahan
perkembangan paham pembaru dalam Islam di tanah air, serta usaha mempertahankan ajaran
tradisional dan mazhab di tanah suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul
Aziz ibn Saud.

Perhatian NU dalam bidang politik terlihat kentara pada masa revolusi. Organisasi ini
mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal
wajib bagi tiap muslim. Pada tahun 1949 ketika mulai tampak jelas bahwa Belanda akan
meninggalkan Indonesia, NU memperlihatkan kekurangserasiannya dengan Masjumi. Adanya

perubahan dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Masjumi dijadikan alasan bagi
penarikan diri NU dari Masjumi. Menurut kalangan NU, Masjumi sejak kongresnya di Jogjakarta
pada akhir tahun 1949 diubah sedemikian rupa, di mana majelis Syuro yang merupakan tempat
penting bagi para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam menjadi anggotanya tidak lagi dijadikan
sebagai badan legislatif di samping DPP, melainkan hanya dijadikan badan penasihat saja.
Segala persoalan hanya dari jurusan politik saja dengan tidak lagi mengambil pedoman agama.

Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh, pengunduran diri NU dari Masjumi ini lebih terkait
dengan perebutan jabatan Menteri Agama antara Muhammadiyah (modernis) dengan NU
(tradisional). NU bersikeras agar jabatan itu menjadi miliknya yang tidak disetujui oleh pimpinan
Masjumi. Ketika akhirnya jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan Muhammadiyah, NU
memisahkan diri dari Masjumi dan mendirikan Partai politiknya sendiri. Hal ini terjadi pada
kongres di Palembang akhir April 1952.

Pada Pemilu tahun 1955, NU mendapat sukses yang luar biasa; dari 8 kursi di DPRS meningkat
menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, tepat dibelakang Masjumi (20,9%), Partai Nasional
Indonesia (22,3%) dan berada didepan Partai Komunis (16,4%). Partai-Partai Islam lainnya
hanya mendapat kurang dari 3% suara.

Pada periode antara tahun 1960 sampai tahun 1965 kekuatan Islam terlibat konfrontasi yang
sengit dengan kekuatan PKI yang sejak era Demokrasi terpimpin menjadi lebih agresif dalam
mengganggu musuh-musuhnya, terutama umat Islam.

c. Masa Orde Baru.


Pada periode awal pemerintahan orde Baru, kekuatan Partai Islam di tingkat nasional
memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969
Partai-Partai Islam mensponsori program-program hari peringatan Piagam Jakarta yang
diselenggarakan tiap 22 Juni. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan
kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan Masyumi), yang kedudukannya
sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami
keretakan.

Namun, keinginan para pemimpin Partai Islam untuk merehabilitasi kembali Masyumi mulai
mengambang setelah Soeharto menolaknya pada tanggal 6 Desember 1967. Berbagai usaha
dilakukan oleh pemimipin Islam untuk melakukan konsolidasi Partai Islam, Namun mereka

mulai merasakan justru mulai mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Keadaan itu tentu
saja menyengat perasaan umat Islam, terutama kalangan aktifis politik Islam, karena berbagai
tekanan dan larangan itu justru berasal dari pemerintah Orde Baru yang tokoh-tokohnya telah
mereka bantu dalam masa penumbangan Orde Lama. Terjadinya kesenjangan harapan dan
kenyataan yang mereka hadapi itulah yang menjadi salah satu sebab meluasnya konfrontasi
kekuatan politik Islam dengan negara pada dua dekade pertama Orde Baru.

Sebagai bagian dari desain restrukturisasi politik Orde Baru, negara memandang perlu
meneruskan pengendalian Partai politik melalui penyederhanaan jumlah Partai politik yang ada.
Penyederhanaan dilakukan dengan cara pengelompokan (regrouping) dari sepuluh kontestan
Pemilu menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok spritual-material; kedua, kelompok material
spritual; dan ketiga adalah kelompok karya.

Setelah sempat mendapat ganjalan karena penolakaan dari PKI dan Parkindo untuk masuk dalam
kelompok sprituil, akhirnya disepakati pada tahun 1970 terbentuk dua koalisi di DPR. Pertama,
kelompok Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, PKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik,
dan kedua, kelompok sprituil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Setelah melalui serangkaian perundingan dan musyawarah, pada tanggal 5 Januari 1973, di
Jakarta berhasil disepakati pendirian Partai dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dalam
konfederasi Partai-Partai Islam yang baru itu terlihat adanya kompromi maksimal dari unsurunsur yang berfusi, ditandai dengan upaya pengalokasian kekuasaan Partai berdasarkan
perolehan suara pada pemilu 1971.

Pada awal dekade 1980-an, rezim Orde Baru memaksa NU mengambil pilihan yang jelas antara
oposisi atau akomodasi. Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1982 untuk pertama
kalinya mengemukakan gagasannya untuk menerapkan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia.

Muncul reaksi yang beragam dari berbagai kalangan umat Islam atas rencana tersebut. PB HMI
pada awalnya melakukan penolakan, namun akhirnya melunak setelah KAHMI yang dikontrol
oleh Nurkholis Majid Cs. mengimbau kongres HMI tahun 1986 agar tidak berbenturan dengan
masyarakat dan pemerintah. Muhammadiyah bersikap menunggu hingga RUU Parpol dan Ormas
disahkan, dan hanya mengusulkan penegasan bahwa Pancasila bukan Agama dan Agama tidak
diPancasilakan. Sementara reaksi penolakan muncul dari pemimpin-peminpin masyarakat di

kota-kota besar, terutama di Jakarta. Tragedi Tanjung Priok yang hingga kini belum dapat
diselesaikan secara penuh merupakan ekses dari penolakan ini.

Di tengah meluasnya keragu-raguan dan penolakan sebagian umat Islam, NU membuat kejutan
dengan menerima azas tunggal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerimaan ini.
Pertama, terjadinya kemelut internal PPP di sekitar Pemilu 1982 telah merembet ke tubuh NU
hingga masing-masing fraksi yang bertikai saling memperebutkan dukungan pemerintah. Kedua,
munculnya tantangan yang luas di masyarakat terhadap rencana azas tunggal mengakibatkan
kelompok mana yang lebih dulu menerima, memiliki bobot politis yang besar, ini berarti
merupakan kesempatan gerakan pemikiran baru di NU untuk memperoleh kepercayaan
kembali negara terhadap NU.

Akhirnya, munas NU di Situbondo berhasil mengambil keputusan strategis menyangkut


kembalinya NU sebagai organisasi sosial secara penuh yang berarti melepaskan dirinya secara
organisatoris dengan PPP. Langkah ini kemudian dikenal sebagai kembali ke Khittah 1926.
Dengan diterimanya Pancasila sebagai azas tunggal oleh Partai-Partai politik Islam, maka dapat
dikatakan parta-Partai Islam sudah tidak ada lagi sejak saat itu.

III. Fenomena menarik


Salah satu isu menarik dalam perkembangan Islam di Indonesia di masa modern adalah kembali
berkiprahnya Partai-Partai politik Islam dalam pemilihan umum. Ada dua macam Partai yang
dapat disebut sebagai Partai Islam, yaitu; pertama, Partai yang berazaskan Islam. Termasuk
dalam kelompok ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK, yang
kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan
Partai Nahdatul Ummah (PNU, yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Nahdatul
Ummah Indonesia, PPNUI), kedua, Partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai azaznya
tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituennya adalah warga NU, dan Partai Amanat Nasional
(PAN) yang konsituan utamanya adalah warga Muhammadiyah.

Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam ini sangat menarik, sebab hampir
selama masa rezim Orde Baru, Praktik politik selama rezim orde baru sangat didominasi oleh
pendekatan refresif. Sepanjang periode ini, rezim orde baru memberikan pengawasan ketat
terhadap pergerakan dan Partai politik Islam.

Fenomena munculnya kembali Partai-Partai politik Islam dalam dua Pemilihan Umum terakhir
(sebelum 2008) menarik perhatian banyak kalangan, apalagi kehadiran mereka di kancah
perpolitikan nasional ternyata tidak hanya menjadi penggembira saja, tetapi justru menjadi
pendulang suara rakyat yang patut diperhitungkan. Terbukti dalam dua kali pemilihan umum
1999 dan 2004, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, tetapi kursi ketua MPR selalu
menjadi milik Partai-Partai Islam, pertama oleh Amin Rais dari PAN dan kedua Hidayat
Nurwahid dari PKS. Kita tentu masih akan terus menanti-nanti gerakan apalagi yang akan
dilakukan oleh Partai-Partai politik Islam di masa-masa akan datang. Mungkinkah Partai-Partai
ini akan menjadi saluran aspirasi dan dipilih oleh mayoritas umat Islam di negeri ini, ataukah
Partai-Partai ini hanya akan menjadi penggembira saja di kancah perpolitikan Nasional.[3]

IV. Soekarno dan Parpol Islam


Pada periode pemerintahan soekarno, dikenal sebuah peristiwa dekrit dimana pada dasarnya
Partai-Partai Islam yang ada menentang dikeluarkannya dekrit tersebut. Namun pada tanggal 5
juli 1959 secara resmi dekrit tersebut dikeluarkan dengan terpaksa dan dimulailah periode
demokrasi terpimpin. Dekrit tersebut menyatakan berlakunya kembali UUD 45 sebagai
pengganti UUD 1950 yang dinyatakan telah habis masa berlakunya. Melalui dekrit itu juga,
majelis konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu merampungkan tugas, terutama
dalam menetapkan dasar pancasila ataupun Islam. berakhirnya era demokrasi parlementer dan
dimulainya suatu tatanan politik yang disebut era Demokrasi terpimpin, pada gilirannya
memberikan peluang terjadinya konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soekarno.

Sekalipun dekrit tersebut dikeluarkan untuk menembus jalan buntu konstitusional, pada
kenyataannya lebih menguntungkan kelompok pendukung pancasila ketimbang kelompok Islam,
sekalipun kelompok terakhir sampai pada batas tertentu masih didengar tuntutannya. Spontan
setelah dikeluarkannya dekrit tersebut, mereka terpecah menjadi dua kelompok, Masjumi menilai
bahwa sistem demokrasi terpimpin otoriter, sistem demikian merupakan bentuk penyimpangan
dari ajaran Islam. Kelompok kedua, NU, PSII dan Perti yang tergabung dalam Liga Muslimin
menilai dukungan terhadap sistem ini sebagai sikap yang realistik dan pragmatik.

Dr. Syafii Maarif membenarkan bahwa, Pendekatan akomodatif Partai-Partai Islam terhadap
sistem politik demokrasi terpimpin ditafsirkan oleh sebagian pemimpin Islam sebagai
penyimpangan dari prinsip-prinsip perjuangan dalam Islam. Tapi pemimpin muslim yang turut
dalam sistem tersebut berpendapat bahwa partisipasi mereka bila dilihat dari sisi pandangan
politik, hanyalah suatu sikap realistis dan pragmatis dalam menghadapi sistem otoriter.

Secara serius atau sebaliknya posisi politik Islam selama periode (soekarno) relatif lemah,
(minoritas) meskipun pemeluk Islam di Indonesia adalah mayoritas.[4]

Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan
dalam tubuh Partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan
politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi
dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan untuk
melemahkannya.

Anda mungkin juga menyukai