Chapter II 10
Chapter II 10
TINJAUAN PUSTAKA
dulu
tembakau dikenal
dan
sudah
diolah
oleh
penduduk
pribumi Amerika, tetapi penemuan tembakau diklaim juga oleh beberapa kultur
di berbagai penjuru dunia (Von Gernet, 1995).
Pada tahun 600 Masehi, seorang filosof Cina bernama Fang Yizhi mulai
menyebutkan bahaya kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama akan
dapat merusak paru. Tahun 1729 tercatat sebagai tahun pertama tentang adanya
aturan tertulis melarang merokok di tempat-tempat ibadah di negara Bhutan. Pada
tahun 1761, dilakukan studi pertama tentang dampak merokok dan di tahun 1950
diterbitkan dua publikasi utama tentang hasil penelitian dampak merokok bagi
kesehatan, serta di tahun 1981 dilakukan penelitian besar tentang dampak
merokok pasif oleh Hirayama di Jepang (Aditama, 2000).
2.1.3. Kandungan rokok konvensional
Rokok menghasilkan bahan-bahan kimia yang bersifat toksis, baik yang
bersifat gas maupun bukan gas. Sebagian zat kimia bentuk gas yang bersifat toksis
dalam asap rokok antara lain : karbon monoksida, asetaldehida, nitrogen oksida,
hidrogen sianida, akrolein, amoniak, formaldehid, piridina, akrilonitril, 2nitripropan, hidrazina, uretan, dimentilnitrosamina, vinil klorida, dan berbagai
senyawa nitrosamin lainnya (Fajriwan, 1999).
Karbon monoksida merupakan salah satu komponen gas hasil pembakaran
rokok yang paling berbahaya. Daya ikatnya dengan hemoglobin 230 kali lebih
kuat dibandingkan daya ikat zat asam sehingga dengan sejumlah besar ikatan
COHb yang beredar, maka sel-sel jaringan dan organ tubuh menjadi kekurangan
zat asam (Fajriwan, 1999).
Partikel bukan gas dalam asap rokok antara lain tar, nikotin, uap air (Fajriwan,
1999), benzopiron, fenol, dan cadmium (Zavos et all., 1998). Tar merupakan
komponen padat dalam asap rokok setelah dikurangi nikotin dan uap air, terdiri
dari zat kimia, diantaranya golongan nitrosamin, amin aromatik, senyawa alkan,
asam karboksilat, logam (NI, As, Ra, Pb), selain itu juga sisa insektisida dan
bambu-bambu tembakau dimana keseluruhan zat-zat di atas bersifat karsinogenik
sehingga para perokok menghadapi resiko lebih besar menderita kanker
(Fajriwan, 1999).
2.1.4. Efek rokok konvensional terhadap kesehatan
Efek farmakologi nikotin terhadap berbagai sistem antara lain, sistem
kardiovaskuler : meningkatkan tekanan darah, vasokonstriksi di kulit, takikardia;
efek farmakologi nikotin terhadap sistem saraf otonom : stimulasi singkat yang
diikuti depresi seluruh ganglia; efek farmakologi nikotin terhadap kelenjar adrenal
: pengeluaran adrenalin; efek farmakologi nikotin terhadap susunan saraf pusat :
stimulasi pusat muntah, vasomotor dan respirasi; efek nikotin juga akan
berpengaruh terhadap pelepasan ADH, meninggalkan asam lemak bebas dalam
serum serta meninggikan daya pengelompokan trombosit (Subroto, 1990).
Nikotin juga dapat mengiritasi faring dan bronkus, menyebabkan bronkitis
kronik dan emfisema, kekerapan pneumoni pasca bedah yang meninggi, infark
miokard, iskemia oleh karena sklerosis koroner dini, penyakit Buerger, mortalitas
ulkus peptikum meningkat, gangguan pertumbuhan janin, meningkatkan
mortalitas prenatal, dan berbagai insiden terhadap timbulnya karsinoma (Subroto,
1990).
Efek bahan kimia rokok terhadap sistem reproduksi menunjukkan adanya
gangguan spermatogenesis pada mencit (Bizzaro et all., 2003), menghambat sel
Leydig sehingga menghambat sekresi hormon testosteron (Pacifici et all., 1993),
merupakan suatu baterai yang dapat diisi ulang kembali (Westenberger, 2009) dan
saat dioperasikan, akan timbul panas yang dihasilkan oleh tenaga baterai yang
selanjutnya akan memanaskan sejumlah cairan yang tersimpan di dalam cartridge
untuk memproduksi asap yang akan dihisap oleh pengguna (Wollsheid dan
Kremzner, 2009).
Terdapat beberapa jenis rokok elektrik yang mempunyai kandungan
konsentrasi nikotin yang berbeda-beda, antara lain : 16 mg nikotin, 11 mg nikotin,
6 mg nikotin dan 0 mg nikotin (European Commision, 2008) dan
dikarakteristikkan pula berbagai kandungan nikotin tersebut dalam beberapa
tingkatan, yaitu nol, rendah, sedang dan tinggi (Wollsheid dan Kremzner, 2009).
beta-nycotyrine)
juga
terdeteksi
pada
kandungan
rokok
elektrik
(Westenberger, 2009).
Observasi yang dilakukan oleh Alliance Technologies untuk melihat
komposisi utama rokok elektrik dan konsentrasi relatif lainnya yang tersimpan di
dalam cartridge termasuk juga asap yang diproduksi oleh rokok elektrik dengan
menggunakan alat GC-FID (gas chromatography with a flame ionization
detector) menemukan bahwa propilen glikol, nikotin dan gliserin dijumpai pada
cairan dan asap rokok elektrik (Alliance Technologies, 2009). Tergantung dari
jenis cartridge rokok elektrik tersebut, setiap cartridge dapat memiliki kandungan
antara 0 16 mg nikotin dengan variasi rasa yang dimiliki seperti rasa rokok
konvensional dan dengan rasa buah-buahan, seperti apel, cherry, coklat, rasa
permen, dan kopi (Westenberger, 2009; American Legacy Foundation, 2009).
Berikut disampaikan hasil analisa kandungan kimiawi rokok elektrik seperti
terlihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Hasil Analisa Cartridge Rokok Elektrik (Westenberger, 2009)
Tabel 1. Lanjutan
20090399-01
Instead Zero
Vapor
20090399-02
Instead High
Liquid
20090399-02
Instead High
Vapor
72.9%
99.6%
69.6%
81.0%
Propylene
Glycol
Diethylene
nd
nd
nd
nd
Glycol
3.9%
0.8%
Ethylene
nd
nd
Glycol
3.9%
0.8%
Nicotine
nd
nd
27.1%
0.4%
26.5%
18.2%
Glycerin
nd = not detected
Method Detection level : Propylene Glycol = 1000ppm, Diethylene Glycol =
20ppm, Ethylene Glycol = 20ppm and Nicotine = 0.1% (1000ppm)
Pada mencit jantan, gonad sewaktu embrio berdiferensiasi menjadi testis yang
akan dibungkus oleh skrotum. Fungsi testis ini untuk menghasilkan hormon seks
jantan yang disebut andogen dan juga menghasilkan gamet jantan yang disebut
sperma. Di dalam testis terdapat dua komponen penting yaitu komponen
spermatogenesis dan komponen interlobular. Komponen spermatogenesis terdiri
dari sel germinal dan sel sertoli pada tubulus semineferus. Komponen interlobular
terdiri dari sel interstesial Leydig dan jaringan peritubular serta sistem vascular
dan limfatik (Russel et all., 1990).
Lebih dari 90% testis terdiri dari tubulus semineferus yang merupakan tempat
menghasilkan sperma. Tubulus tersebut tersusun berliku-liku di dalam testis dan
sangat panjang. Pada mencit jantan muda struktur tubulus terdiri dari epithelium
lembaga yang menghasilkan sel-sel spermatogonia dan sel sertoli. Pada jantan
yang lebih tua spermatogonia tumbuh menjadi spermatosit primer yang setelah
pembelahan meiosis pertama tumbuh menjadi spermatosid sekunder haploid.
Spermatosid sekunder akan menjadi spermatid yang menjalani spermatogenesis
yang akhirnya akan menjadi sperma yang terdiri dari kepala, tubuh dan ekor
(Nalbandov, 1990).
2.3.2. Struktur sel spermatozoa
Sel sperma yang normal terdiri dari kepala, leher, bagian tengah dan ekor.
Kepala ditutupi oleh tudung protoplasmik (galea kapitis). Galea kapitis biasanya
larut bila sperma diberi pelarut lemak yang biasanya digunakan untuk pengecatan.
Bila bergerak, sperma berenang dalam cairan suspensinya seperti ikan dalam air.
Bila mati, sperma akan terlihat datar dengan permukaan. Pada mencit, ujung
kepala sperma berbentuk kait. Leher dan ekor tersusun dari flagellum tunggal
yang padat tetapi tersusun dari 9-18 fibril yang dibungkus oleh satu selubung.
Pada ujung ekor, selubung menghilang, fibril menyembul dalam bentuk sikat yang
telanjang (Nalbandov, 1990).
2.3.3. Spermatogenesis
Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan dengan
jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan
dirpoduksi dan masih berada di daerah ekstra gonad. Karena sel germinal kaya
akan alkalin fosfatase untuk mensuplai energi pergerakannya melalui jaringan
embrio, maka sel germinal dapat dikenal dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke-9
dan ke-10 kehamilan, sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain
mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke-11 dan ke-12) ke daerah
genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan proses identifikasi
testis dapat dilakukan. Proses proliferasi dan diferensiasi berlangsung di daerah
medulla testis. Menuju akhir masa fetus, aktivitas mitosis sel germinal primordial
dalam bagian genitalia berkurang dan beberapa sel mulai degenerasi menjelang
hari ke-19 kehamilan. Tidak berapa lama setelah kelahiran, sel tampak lebih
besar, yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada spermatogonia dalam testis
mencit sepanjang hidupnya dan terdapat 3 jenis spermatogonia : tipe A, tipe
intermediate dan tipe B (Rugh, 1976).
Tipe A adalah induk stem cell yang mampu mengalami mitosis sampai menjadi
spermatozoa. Spermatogonia tipe A yang paling besar dan mengandung inti
kromatin yang mirip partikel debu halus dan nukleolus kromatin tunggal terletak
Tidak ada pembentukan DNA terjadi pada tahap akhir spermatogenesis. Proses
spermatogenesis mencit pada dasarnya sama dengan mamalia lain. Satu siklus
epitel semineferus selama 2076 jam, dan 4 siklus yang mirip terjadi antara
spermatogonia A dan spermatozoa matur. Testis dan khususnya spermatozoa
matur, merupakan sumber hyaluronidase terkaya dan enzim ini efektif
membubarkan sel cumulus sekitar ovum matur pada saat fertilisasi. Setiap
spermatozoa membawa enzim yang cukup untuk membersihkan jalan melalui sel
cumulus menuju matriks sel ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung
bergabung ke sel granulosa cumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan
enzim melimpah (Rugh, 1976).
hydroxyl radicals (OH), dan peroxyl radicals (RO 2 ). Yang nonradikal misalnya
(Tremallen, 2008). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO 2 ),
alkoxyl (RO ), carbonate (CO 3 ), carbon dioxide (CO 2 ), atomic chlorine (Cl ),
2.5. Malondialdehyde
Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh pemecah lipid peroksida adalah
malondialdehyde (MDA) yang terbentuk akibat degradasi radikal bebas OH
terhadap asam lemak tak jenuh yang nantinya ditransportasi menjadi radikal bebas
yang sangat reaktif (Suryohudoyo, 2000). Peroksidasi lipid ini dapat ditentukan
secara tidak langsung dengan mengukur kadar MDA yaitu produk akhir
peroksidasi lipid berupa senyawa dialdehida yang dapat diukur mengikuti tes
standar Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test). (Slater, 1984;
Winarsi, 2007; Powers dan Jackson, 2008).
2.6..Mekanisme
Kerja
Radikal
Bebas,
Peroksidasi
Lipid,
dan
Malondialdehyde
Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sistem model dan dengan
material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat
menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak,
karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di
dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai
gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat
dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa
terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan
nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen
biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan
aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran
sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal
bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di
membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat
pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan
komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan
perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti
antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran sel melalui
ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak
polyunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung
terhadap asam lemak polyunsaturated dinding sel. Radikal bebas akan