Anda di halaman 1dari 16

KONSEP

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

A. Pengertian
Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Manjoer Arief[et al];Kapita selekta
kedokteran;2000;329).
BPH adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar
prostate yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan
proses penuaan;kelenjar prostate mengintari leher kandung kemih dan uretra
sehingga hipertrofi prostate sering kali menghalangi pengosongan kandung
kemih (Susan Martin Tucker[et al];Proses Keperawatan;1998:605)
B. Etiologi/Penyebabnya
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia
sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang
mempengaruhi terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia
lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa
yang diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen
dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat
menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia
stroma dan epitel.

4. Penurunan sel yang mati


Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
(Roger Kirby, 1994 : 38).
6. Teori kebangkitan kembali
Reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital/berproliferasi dan
membentuk jaringan prostate.
(Susan Martin Tucker[et al];Proses Keperawatan;1998:605)
C. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami
hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan
ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap
tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih
kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada
saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS
(Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh
muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari
miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat
Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi
berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya
kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah
urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat
Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan
intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia
dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya

melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih
akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan
terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa
dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena
buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan
menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan
kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)
D. Gejala Benign Prostatic Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia
disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi
dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

E. Pathway
Proliferasi sel
transit

Hipotesis
Dihidrotestosteron
(DHT)

Peningkatan sel
stem

Peningkatan
usia

Peningkatan epidermal
growth dan penurunan
transforming growth
faktor beta

Ketidakseimbangan
estrogen-testosteron

Epitel dan stroma


kelenjar prostat
hiperplasi

Perluasan ke bladder
Penyempitan saluran uretra
prostatika
Penyumbatan aliran urine
Pe tek. intravesikal
Pe

Prostat hyperplasi kompensata,


kualitas dan pola miksi normal

kontraksi otot detrusor & buli2


Perubahan anatomi VU

Hipertropi otot
detrusor

Trabekulasi

Terbentuknya sekula dan


divertikel VU

Obstruksi perkemihan

Inadekuat kontraksi otot detrusor

Dysfungsi seksual

Adanya residu urine


pada VU saat miksi

Resiko injury & infeksi


Kompensasi (mengejan)
Prostat hyperplasia
dekompensata
G3an rasa nyaman (nyeri)
Pemasangan dower
kateter

Kegagalan ekspulsi urine

Rasa nyeri saat miksi (akut)

Tanpa penekanan

Ketidakmampuan otot
detrusor memompa urine

Kronik
Pe fungsi ginjal

Retensi urine
G3an eliminasi urine

F. Derajat Benigne Prostat Hyperplasia


Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan
gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 2 cm,
sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 100 cc dan beratnya + 20
40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba,
sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada
penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
G. Penatalaksanaan

((Manjoer

Arief[et

al];Kapita

selekta

kedokteran;2000:330).
1. Observasi
a. Pada px dengan keluhan ringan
b. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam
u/mengurangi

nokturia,

mengurangi

obat-obatan

dekongestan,mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum


alkohol
c. Tiap 3 bulan lakukan control keluhan,sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur
2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergic
- Obat yang sering dipakai prazosin,doxasozin,terazosin
- Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemiukan
pada otot polos trigonum,leher servik,prostate,dan kapsul prostate
sehingga menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika
b. Penghambat enzim 5--reduktase
- Obat yang dipakai adalah finesteride dosis 1x5 mg/hr
- Obat ini dapat menghambat DHT shg prostate yang membesar akan

mengecil
c. Fitoterapi
yang ada di Indonesia adalah eviprostat,supstasinya misalnya: Pygem
afrikanum, saw palmetto, serenea repeus dll
3. Therapy bedah
a. Trans Uretral Reseksi Prostat

: 90

- 95 %

b. Open Prostatectomy

: 5

- 10 %

BPH yang besar (50 - 100 gram) Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
Mortalitas Pembedahan BPH
0 - 1 % KAUSA : Infark Miokatd
Septikemia dengan Syok
Perdarahan Massive
Kepuasan Klien : 66 95 %
Indikasi Pembedahan BPH
Retensi urine akut
Retensi urine kronis
Residual urine lebih dari 100 ml
BPH dengan penyulit
Hydroneprosis
Terbentuknya Batu Buli
Infeksi Saluran Kencing Berulang
Hematuri berat/berulang
Hernia/hemoroid
Menurunnya Kualitas Hidup
Retensio Urine
Gangguan Fungsi Ginjal
Terapi medikamentosa tak berhasil
Sindroma prostatisme yang progresif
Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
Flow. Max kurang dari 10 ml
Kurve berbentuk datar

Waktu miksi memanjang


Kontra Indikasi
IMA
CVA akut
Tujuan :
Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
Memperbaiki kualitas hidup.
4. Macam-macam prostatectomy :
a. Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95 %
adalah pengangkatan sebagian/seluruh kelenjar prostate melalui
sitoskop/resetoskop yang dimasukan melalui uretra.
Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.
Keuntungan :
Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
Tak perlu insisi pembedahan
Hospitalisasi dan penyebuhan pendek
Kerugian :
Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
Kemungkinan trauma urethra strictura urethra.
b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Adalah pengangkatan kelenjar prostate melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostate anterior tanpa memasuki kandung
kemih Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih.
c. Perianal Prostatectomy
Pembesaran prostat disertai batu buli-buli
Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif
Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat
d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
e. Prostatektomy retropubis radikal

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.


pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi TUR-P
dan pengkajian post operasi TUR-P.
A. PENGKAJIAN PRE OPERASI TUR-P
Pengkajian ini dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang
meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan
diagnosa medis.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis
miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya
menjadi retensio urine.
3. Riwayat penyakit dahulu .
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya
ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang
pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah
dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
4. Riwayat penyakit keluarga .
Adanya riwayat keturunan

dari salah satu anggota keluarga yang

menderita penyakit BPH Anggota keluargayang menderita DM, asma, atau


hipertensi.

5. Riwayat psikososial
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang
prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku
klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau,
penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa
dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan
kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat )
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan,
jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia
dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau
masalah.
c. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya,

ragu

ragu, menetes - netes, jumlah klien harus bangun pada malam hari
untuk berkemih, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya
apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih.
Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi
akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
d. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan
tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu
ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.

e. Pola aktifitas .
Klien ditanya aktifitasnya sehari hari, aktifitas penggunaan waktu
senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit
dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak
mengalami

gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi

kebutuhan sehari hari sendiri.


f. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga,
pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam
keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana seharusnya.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau
dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan
dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya
dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam menghadapi
sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
h. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran
dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya
ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau
masalah pada pola ini.
i. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,
pengetahuannya tantangsek sualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual
yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang ( masalah
kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual.
j. Pola penanggulangan stress
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,
mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan
masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme
penanggulangan stressor positif atau negatif.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan


Klien menganut agama apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya.
Kebiasaan klien dalam menjalankan ibadah.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus,
echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
b. Distensi kandung kemih
c. Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik retensi urine
d. Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan
pasien ingin buang air kecil retensi urine
e. Perkusi : Redup residual urine
f. Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain
misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
g. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) posisi knee chest
Syarat : buli-buli kosong/dikosongkan
Tujuan : Menentukan konsistensi prostate dan Menentukan besar prostat
8.

Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
a. Menentukan volume Benign Prostatic Hyperplasia
b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benign
Prostatic Hyperplasia atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi
a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual
urine post miksi, dipertikel buli.
Indikasi

: disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai

urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada
tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan

menilai pembesaran prostat jinak/ganas


e. Pemeriksaan Endoskopi.
f. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi
leher buli-buli
Q max

: > 15 ml/detik non obstruksi


10 - 15 ml/detik border line
< 10 ml/detik obstruktif

9. Pemeriksaan Laborat
a. Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit,
Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)
b. Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel
Darah Merah atau PUS.
c. RFT evaluasi fungsi renal
d. Serum Acid Phosphatase Prostat Malignancy.
Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon
fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan
pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan
keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap
tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan
takut dan ansietas pada tingkat tertentu.

B. KEMUNGKINAN

DIAGNOSA

KEPERAWATAN

BPH

POST

OPERASI
1.

Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik


(bekuan darah,odem,karena tindakan pembedahan), tekanan dan iritasi
kateter/balon kateter kehilangan tonus vesika urinary yang disebabkan
distensi yang berlebihan pre op/dekompresi yang berlanjut.

2.

Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan iritasi mukosa


vesika urinary, spasme otot, teakanan balon kateter vesika urinary.

3.

Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobata berhubungan dengan kurang mengerti, salah interprestasi

informasi.
C. RENCANA TINDAKAN
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik (bekuan
darah,odem,karena

tindakan

pembedahan),

tekanan

dan

iritasi

kateter/balon kateter kehilangan tonus vesika urinary yang disebabkan


distensi yang berlebihan pre op/dekompresi yang berlanjut.
Kriteria hasil : Berkemih dengan jumlah yang normal tanpa retensi,
menunjukkan perilaku yang meningkatkan control vesika urinary.
Intervensi :
a. Kaji haluan urine dan system kateter/ drainase khususnya selama irigasi
kandung kemih
R/ rentensi terjadi karena odem area bedah, karena darah dan spasme
kandung kemih
b. Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih. Contoh :
berkemih, berjalan ke kamar mandi dengan frekwensi sering setelah
kateter dilepas
R/ mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas
c. Perhatikan waktu,jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter
dilepas
R/ kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih
dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena odema
uretra dan kehilangan tonus
d. Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada
malam, setelah kateter dilepas.
R/ mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran
urine penjadwalan masukan menurunkan kebutuhan berkemih/
gangguan tidur selama malam hari.
e. Kolaborasi : Pertahankan irigasi kandung kemih continue sesuai
indikasi pada periode pasca operasi dini
R/ mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan potensi kateter/aliran urine

2. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan iritasi mukosa


vesika urinary, spasme otot, teakanan balon kateter vesika urinary.
Kriteria hasil :
- Nyeri terkontrol
- Px dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi
Intervensi :
a. Kaji tingkat nyeri, lokasi, intensitas ( sakal 1-10 )
R/ Nyeri tajam, passase urine sekitar kateter menunjukkan spasme
kandung kemih yang cenderung lebih berat pada pembedahan
suprapubik
b. Berikan tindakan untuk meningkatkan rasa nyaman seperti sentuhan
terapeutik, perubahan posisi, back rub, dan anjurkan tehnik relaksasi,
latihan nafas dalam
R/ Menurunkan tonus otot, memfokuskan perubahan dan meningkatkan
kemampuan koping
c. Pantau Px pada interfal yang teratur selam 48 jam untuk mengenal
gejala-gejala dan spasme kandung kemih
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat-obatan dapat
diberikan.
d. Katakan pada Px bahwa intensitas dan frekwensi akan berkurang dalam
24 jam sampai 48 jam
R/ Memberitahu Px bahwa ketidaknyamanan hanya temporer
e. Kolaborasi : berikan antispasmotik spt oksybutimin Chlorida,
belladonna da opium supositoria
R/ Menurunkan spasme otot dan mengurangai nyeri

3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobata berhubungan dengan kurang mengerti, salah interprestasi
informasi.
Kriteria hasil :
- Menyatakan pemahaman prosedur bedah
- Melakaukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan

tindakan
- Melakukan perubahan perilaku yang baik
- Berpartisipasi dalam program pengobataN
Intervensi :
a. Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana Px dapat membuat pilihan
informasi
b. Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah,
meningkatkan diet tinggi serat
R/ Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi
c. Diskusikan pembatasan aktifitas awal, contoh menghindari mengangkat
berat, latihan keras, duduk/mengendarai mobil terlalu lama, memanjat
lebih dari 2 tingkat sekaligus
R/ Peningkatan tekanan abdomen yang meningkatkan stress pada
kandung kemih dan prostate menimbulkan resiko perdarahan
d. Dorong kesinambungan latihan perineal
R/ Membantu control urine dan menghilangkan incontinensia
e. Instruksikan perawatan kateter urine bila ada identifikasi sumber
alat/dukungan
R/ Meningkatkan kemandirian dan kopetensi dalam perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.


Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 3 (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Long,

Barbara

C.

(1996).

(terjemahan).Yayasan

Perawatan
Ikatan

Medikal

Alumni

Bedah.

Pendidikan

Volume

I.

Keperawatan

Pajajaran. Bandung.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral
Pada Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu
bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai