Anda di halaman 1dari 9

KINERJA USAHA TANI DAN PEMASARAN JAGUNG

DI SENTRA PRODUKSI
IG.P. Sarasutha
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jl. Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90514, Sulawesi Selatan

ABSTRAK
Peningkatan produksi jagung di Indonesia terus diupayakan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan
dalam negeri terutama untuk pangan dan pakan. Penggunaan benih jagung varietas unggul bersari bebas dan hibrida
telah meningkatkan produksi sebesar 11,62%, dari 8.245.902 ton pada tahun 1995 menjadi 9.204.036 ton pada
tahun 1999 dengan laju pertumbuhan 3,39%/tahun dalam kurun waktu 19951999. Pada dekade terakhir, penggunaan
varietas unggul terutama hibrida telah meningkat. Pada awal tahun 1995, areal pertanaman jagung hibrida baru
sekitar 7,50% dan pada tahun 1999 meningkat menjadi 24%. Kendala utama dalam memproduksi jagung di
Indonesia adalah penanganan pascapanen dan pemasaran hasil karena saat panen bersamaan dengan musim hujan.
Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan fasilitas pengeringan posisi rebut-tawar petani pada saat menjual hasil
menjadi lemah. Fasilitas pengering mekanis sangat diperlukan petani terutama bila jagung tidak langsung dijual di
lapangan.
Kata kunci: Jagung, usaha tani, pemasaran, produksi

ABSTRACT
Farming and marketing management of maize at production center
Increasing maize production in Indonesia has been promoted by the government to meet domestic demand
especially for food and feed. The use of improved hybrid and open pollinated varieties has increased maize
production of 11.62%, from 8.25 in 1995 to 9.20 million ton in 1999 with the growth rate of 3.39% per year
during the period of 19951999. In the last decade, the use of improved varieties especially hybrid maize has been
increased. In the early 1995, about 7.50% of maize area were planted to these hybrids, while in 1999 it became
24%. One important constraint in producing maize is postharvest handling and grain marketing. This is
particularly critical during the wet season. This condition coupled with limited drying facilities weaken farmers
bargaining position in selling the grain. It is suggested that mechanical dryer facilities are necessary for farmers
who do not sell their maize directly in the field.
Keywords: Maize, farm management, marketing, production

agung merupakan komoditas palawija


utama di Indonesia ditinjau dari aspek
pengusahaan dan penggunaan hasilnya,
yaitu sebagai bahan baku pangan dan
pakan. Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan bahan baku pakan. Komposisi bahan baku pakan ternak unggas
membutuhkan jagung sekitar 50% dari
total bahan yang diperlukan.
Untuk meningkatkan produksi
jagung, pemerintah telah mencanangkan
program percepatan peningkatan
produksi jagung hibrida dan komposit.
Program tersebut menekankan pada
perluasan areal tanam/panen dan
peningkatan Intensitas Pertanaman (IP),
karena pada daerah-daerah penghasil
jagung di Indonesia masih terdapat
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

potensi lahan cukup luas untuk pengembangan usaha tani jagung. Upaya ini mulai
dirintis pada MT 1996/97 (Sekretariat Badan
Pengendali Bimas, 1996) yang kemudian
dilanjutkan dengan program Gerakan
Mandiri Peningkatan Produksi Padi,
Kedelai, dan Jagung (Gema Palagung 2001)
pada MT 1998/99. Program Gema Palagung
2001 diaktualisasikan dalam Upaya Khusus
Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional
(UPSUS PKPN) melalui pemberdayaan
masyarakat termasuk petani (Sumarno et al.,
1998).
Melalui upaya ini produksi secara
nasional mulai menunjukkan peningkatan,
meskipun masih belum mampu memenuhi
permintaan dalam negeri. Rata-rata
kebutuhan jagung dalam negeri selama
kurun waktu tujuh tahun (19901996) ada-

lah 7.846.360 ton, lebih besar dari rata-rata


produksi jagung 7.409.621 ton (Subandi
et al., 1998a; 1998b). Meskipun demikian,
tidak berarti bahwa Indonesia tidak pernah
mengekspor jagung. Berdasarkan Pusat
Data Pertanian (2000), Indonesia
mengekspor jagung tiap tahun meskipun
jumlahnya lebih kecil dibanding impor,
kecuali pada tahun 1998 ekspor jagung
adalah 604.559 ton sedangkan impornya
298.236 ton (Tabel 1).
Krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan menyebabkan terhambatnya
upaya peningkatan produksi jagung.
Penyediaan sarana produksi terutama
pupuk yang sangat dibutuhkan petani
mulai terganggu akibat naiknya harga
pupuk, sehingga penggunaan pupuk oleh
petani tidak sesuai dengan rekomendasi.
39

Tabel 1. Jumlah ekspor dan impor jagung di Indonesia, 19951999.


Tahun

Ekspor (t)

Impor (t)

1995
1996
1997
1998
1999

79.000
21.819
14.399
604.559
80.957

1.300.000
616.888
1.098.013
298.236
591.056

Neraca (t)*
(1.221.000)
(595.069)
(1.083.614)
(306.323)
(510.099)

*Angka dalam kurung menunjukkan neraca negatif


Sumber: Pusat Data Pertanian (2000).

Benih jagung terutama varietas hibrida


juga belum tersedia secara kontinu dan
harganya mahal sehingga tidak terjangkau
petani. Hal ini menyebabkan sebagian
besar usaha tani jagung menggunakan
benih kurang bermutu atau benih hasil
seleksi petani dari musim tanam sebelumnya atau menggunakan benih generasi
lanjut (F 2, F 3 , dan seterusnya) yang
awalnya adalah benih hibrida.
Fenomena lemahnya posisi rebut
tawar petani ("bargaining position") dalam
pemasaran hasil menyebabkan harga yang
diterima petani berfluktuasi sesuai ketentuan pedagang. Ini menyebabkan motivasi
petani untuk mengusahakan jagung
berubah-ubah sehingga terjadi fluktuasi
luas panen setiap musim tanam, terutama
pada sentra-sentra produksi jagung di
Indonesia. Masalah lain yang sering
terjadi pada pengusahaan jagung di lahan
sawah tadah hujan adalah terjadinya
kepentingan yang saling mengalahkan
("trade-off") pada penggunaan tenaga
kerja keluarga. Hal ini terjadi karena selama
ini jagung dianggap sebagai komoditas
inferior, sehingga sebagian besar petani
masih enggan mengorbankan biayanya
dalam upaya meningkatkan produksi.
Tulisan ini merupakan tinjauan
tentang kinerja pengelolaan usaha tani dan
pemasaran jagung pada sentra produksi
di Indonesia. Informasi yang disajikan
diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam penyusunan
perencanaan dan kebijakan pembangunan di masa datang.

KINERJA USAHA TANI


JAGUNG
Pengelolaan usaha tani merupakan
pemilihan usaha antara berbagai alternatif
40

penggunaan sumber daya yang terbatas


yang meliputi lahan, tenaga kerja, modal,
dan waktu. Pemilihan usaha tani secara
efisien memerlukan berbagai informasi
untuk dijadikan pedoman, baik informasi
hasil-hasil penelitian, maupun informasi
sesaat/insidentil dari pemerintah dan
swasta yang bergerak dalam bidang
pertanian (Soekartawi et al., 1984).
Usaha tani jagung yang dilakukan
petani merupakan pengelolaan usaha
yang mempertimbangkan kemampuan
sumber daya yang dikuasainya ("resources endowment") yang meliputi
lahan, tenaga kerja, modal, dan waktu.
Tujuannya adalah menghasilkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan
keluarga dan memperoleh pendapatan
tunai untuk membiayai keperluan seharihari lainnya. Kemampuan sumber daya
yang dikuasai ini sangat menentukan jenis
usaha tani yang akan dilaksanakan. Jenis
usaha tani pada dasarnya ditentukan oleh
tujuan usaha tani yang dapat digolongkan
menjadi lima tingkatan yaitu: 1) subsisten
penuh, 2) subsisten fakultatif, 3) prakomersial, 4) semikomersial, dan 5)
komersial (Sumarno dan Suwasik, 1995).
Di Indonesia, tingkatan pengelolaan
usaha tani jagung masih tergolong semikomersial. Jagung yang dihasilkan petani
masih digunakan/dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan petani dan
keluarganya terutama di beberapa daerah
sentra produksi jagung seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan
Nusa Tenggara Timur, di samping
dipasarkan untuk bahan baku pakan dan
industri pengolahan lainnya. Meskipun
demikian, tidak ada usaha tani yang tidak
mengalami perubahan karena usaha tani
pada dasarnya merupakan suatu proses
biologi, fisik, dan kimia yang dapat
berubah secara dinamis. Reeves (1998)
mengemukakan bahwa perubahan-

perubahan tersebut dipengaruhi oleh


perubahan ekonomi, sosial, dan lingkungan politik. Oleh karena itu, dalam
kenyataannya tidak akan ada usaha tani
yang berkelanjutan ("sustainable
agriculture") pada tiap lokasi. Usaha tani
yang berkelanjutan harus memiliki kriteria
layak secara ekonomi ("economically
viable"), ramah lingkungan ("environmentally sound"), diterima petani dan
masyarakat ("socially acceptable"), dan
didukung secara politis ("politically
supportable").
Sistem produksi jagung di Indonesia
berdasarkan atas tipe lahan, sistem pertanaman, produktivitas, dan pilihan budi
daya. Sistem pertanaman di lahan tegalan
mencakup 55% dari total luas areal,
dengan penanaman secara monokultur
satu sampai dua kali setahun atau ditanam
secara tumpang sari dengan tanaman
palawija lainnya yang meliputi areal
sekitar 24% (Mink, 1984 Dalam Baco et
al., 2000).
Pada dekade terakhir, terdapat lima
propinsi penghasil jagung terbesar di
Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah,
Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Timur. Luas pertanaman jagung
di Indonesia pada tahun 1999 mencapai
3.456.357 ha (Tabel 2) dengan laju
pertumbuhan rata-rata 0,83%/tahun. Laju
pertumbuhan luas panen terbesar dicapai
Propinsi Lampung dengan rata-rata
2,76%/tahun. Produktivitas jagung di
Indonesia adalah 2,66 t/ha pada tahun
1999 dengan laju pertumbuhan rata-rata
4,23%/tahun. Tiga propinsi terbesar
penghasil jagung di Indonesia yang
mempunyai laju pertumbuhan produktivitas melebihi rata-rata 6%/tahun, yaitu
berturut-turut Nusa Tenggara Timur,
Lampung, dan Sulawesi Selatan. Laju
pertumbuhan produksi jagung di
Indonesia rata-rata 3,39%/tahun dengan
total produksi 9.204.036 ton pada tahun
1999 (Tabel 2). Pingali (2001) menyatakan
bahwa pertumbuhan produksi jagung
dalam kurun waktu 12 tahun (19881999)
merupakan hasil peningkatan produktivitas dengan laju pertumbuhan rata-rata
2,70%/tahun.
Di Sulawesi Selatan, pertanaman
jagung pada akhir tahun 1989 hingga
awal tahun 1990 didominasi oleh varietas
lokal (75%) (Sarasutha et al., 1997). Pada
musim tanam (MT) 1995/96, pertanaman
jagung didominasi oleh varietas Arjuna
(75.896,50 ha) yang lebih luas dibanding
penggunaan varietas lokal (74.005,05 ha)
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Tabel 2. Luas panen, produktivitas, dan produksi jagung di lima propinsi utama penghasil jagung di Indonesia, 1995
1999.
Uraian

1995

1996

1997

1998

1999

Laju
pertumbuhan
(%/tahun)

Luas panen (ha)


Jawa Timur
Jawa Tengah
Lampung
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur

1.185.239
672.250
363.438
343.691
253.879

1.270.442
614.762
402.745
336.933
253.144

1.100.376
461.545
359.034
321.791
249.981

1.348.462
648.268
374.840
338.263
231.981

1.132.407
543.994
399.827
241.176
237.383

0,08
2,28
2,76
7,51
1,60

INDONESIA

3.648.629

3.737.921

3.360.479

3.847.813

3.456.357

0,83

Produktivitas (t/ha)
Jawa Timur
Jawa Tengah
Lampung
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur

2,38
2,54
2,32
2,15
1,64

2,69
2,77
2,33
2,50
2,18

2,77
2,80
3,01
2,71
2,23

2,79
2,75
2,97
2,71
2,08

2,78
2,80
2,94
2,70
2,08

0,87
2,53
6,82
6,08
7,12

INDONESIA

2,26

2,49

2,61

2,64

2,66

4,23

Produksi (t)
Jawa Timur
Jawa Tengah
Lampung
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur

2.820.868
1.707.516
843.177
738.935
416.362

3.417.489
1.702.890
938.395
842.332
551.855

3.048.041
1.292.325
1.080.691
872.070
557.457

3.765.141
1.781.846
1.111.832
916.585
483.793

3.150.869
1.525.281
1.176.489
652.223
493.535

4.39
0,23
8.79
1,55
5,59

INDONESIA

8.245.902

9.307.423

8.770.851

10.169.488

9.204.036

3,39

Sumber: Biro Pusat Statistik (1996, 1997, 1998, 1999); Pusat Data Pertanian (2000).

(Baco et al., 1996). Ini berarti bahwa


penggunaan varietas lokal di Sulawesi
Selatan cenderung menurun, meskipun
masih mendekati 50% (Baco et al., 1996;
Sarasutha et al., 1997; 1999a). Pada MT
1996/97 penggunaan varietas unggul bersari bebas mencapai 31,83%, hibrida 25%,
dan varietas lokal 14,81% (Margaretha et
al., 1998; 1999b).
Pada tahun 1994, sebagian besar
(93%) pertanaman jagung di Indonesia
masih didominasi varietas lokal dan
komposit dengan produktivitas secara
nasional rata-rata 2,20 t/ha (Sekretariat
Badan Pengendali Bimas, 1998). Pada
tahun 1995, pertanaman jagung hibrida
baru mencapai 7,50% dari luas panen
jagung (275.000 ha) dan pada tahun 1996
mencapai 10,30% (380.000 ha) dengan
produktivitas rata-rata 5 t/ha. Pada tahun
1997, pertanaman jagung hibrida mencapai
22,86% dari total luas areal pertanaman
jagung (Sekretariat Badan Pengendali
Bimas, 1998). Pada tahun 1998, pertanaman
jagung hibrida terluas terdapat di Jawa
Timur yaitu 450.66 ha (Ditjen TPH, 1999
Dalam Maamun et al., 1999). Pada tahun
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

1999, penggunaan varietas unggul telah


mencapai 80% dari total luas pertanaman
jagung dengan perincian 24% varietas
hibrida dan 56% varietas komposit/bersari
bebas (Pingali, 2001).
Di Indonesia, pertanaman jagung
terluas terdapat di lahan kering dan saat
panen raya bertepatan dengan musim
hujan. Hal ini ditunjukkan oleh luas panen
periode empat bulanan (JanuariApril,
MeiAgustus, SeptemberDesember)
dengan luas panen terbesar pada periode
JanuariApril (Biro Pusat Statistik, 1996).
Periode ini merupakan musim hujan bagi
sebagian besar wilayah Indonesia
termasuk di lima propinsi penghasil
jagung. Namun demikian, masih terbuka
peluang mengatur waktu tanam sehubungan dengan program perluasan
areal dan peningkatan IP. Di Sulawesi
Selatan, pengaturan waktu tanam dapat
diupayakan dengan memanfaatkan
kelebihan agroekosistem wilayah tersebut, yaitu wilayah pantai barat dan
pantai timur yang berbeda musimnya pada
saat yang bersamaan. Peningkatan IP
diarahkan pada daerah-daerah yang masih

berpeluang untuk menanam palawija


setelah padi atau palawija II setelah
palawija I dipanen (Baco dan Sarasutha,
1998). Di Sulawesi Selatan, seluas 241.989
ha sawah tadah hujan masih perlu
ditingkatkan pengelolaannya untuk
meningkatkan IP (Sarasutha et al.,
1998b).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa: penawaran jagung sampai saat
ini masih belum dapat mengimbangi
permintaan jagung dalam negeri.
Pertanaman jagung di Indonesia cukup
luas, yang berarti minat petani untuk
mengusahakan jagung cukup besar, dan
masih terdapat peluang meningkatkan
produksi jagung nasional melalui
perluasan areal (ekstensifikasi) dan
intensifikasi, terutama di wilayah-wilayah
yang sesuai dan menguntungkan bagi
petani. Pertanyaan yang muncul adalah:
apakah memproduksi jagung di dalam
negeri lebih menguntungkan dibandingkan dengan mengimpor jagung dari luar
negeri? Pertanyaan ini dapat dijawab
dengan melakukan analisis keunggulan
komparatif jagung bila diproduksi di dalam
41

negeri dibanding dengan mengimpornya,


dengan menggunakan indikator biaya
Sumber Daya Domestik (BSD) atau
"Domestic Resource Cost" (DRC).
Soekartawi et al. (1984) menyatakan
bahwa keunggulan komparatif menjelaskan lokasi produksi berdasarkan persyaratan secara fisik/teknis sesuai dan secara
ekonomis menguntungkan. Prinsip
keunggulan komparatif berlaku untuk
wilayah yang luas (negara) dan dapat
juga untuk membandingkan antar usaha
tani.
Di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
tanaman jagung mampu bersaing (memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif)
dengan komoditas kedelai, kacang tanah,
dan kacang hijau di lahan kering. Di Sulawesi Selatan, jagung mampu bersaing
dengan kedelai dan kacang tanah di lahan
kering (Adnyana dan Kariyasa, 1998;
Kariyasa dan Adnyana, 1998).
Hasil penghitungan BSD dan DRC
usaha tani jagung di lahan kering pada
beberapa sentra produksi jagung di
Indonesia menunjukkan bahwa mengusahakan jagung di dalam negeri lebih
menguntungkan dibanding mengimpornya, dengan nilai DRC <1 (Kariyasa
dan Adnyana, 1998). Di Jawa Timur, nilai
DRC mencapai 0,88, di Jawa Tengah 0,83,
dan di Sulawesi Selatan 0,77. Di
Kabupaten Jeneponto dan Bulukumba,
sebagai sentra produksi jagung di propinsi
Sulawesi Selatan, mengusahakan jagung
di lahan kering menghasilkan nilai DRC
0,15 (Sarasutha et al., 1999a).
Gonzales et al. (1993) menyatakan
bahwa sistem produksi jagung bersari
bebas dan hibrida di Indonesia mempunyai
nilai "Resource Cost Ratio" (RCR) lebih
besar dari satu, yang mengindikasikan
bahwa memproduksi jagung tidak memiliki
keunggulan komparatif. Namun dari hasil
analisis sensitivitas Indonesia dapat
memiliki keunggulan komparatif dalam
mengekspor jagung terutama dengan
perbaikan teknologi. Target ini dapat
dicapai untuk usaha tani jagung hibrida
di luar Jawa yang memiliki keunggulan
komparatif lebih tinggi dibanding jagung
bersari bebas di Jawa atau luar Jawa.
Dibandingkan dengan komoditas
padi, jagung memiliki potensi yang lebih
besar sebagai komoditas ekspor. Untuk
mewujudkannya, diperlukan perbaikan
distribusi input dan penanganan pascapanen yang meliputi pengeringan,
pengolahan, fasilitas penyimpanan, dan
pemasaran (Gonzales et al., 1993).
42

Berdasarkan data minggu II Desember 1996 sampai dengan minggu I


September 1998 (Subandi et al., 1998b),
diketahui bahwa harga jagung di tingkat
petani (faktual) pada umumnya lebih
rendah dibanding harga indikasi di tingkat
petani. Fakta yang terjadi pada minggu I
September 1998 adalah harga jagung di
tingkat petani Rp 950/kg, lebih rendah
dibanding harga indikasi di tingkat petani
berdasarkan perhitungan yang dilakukan
oleh Badan Agribisnis, Departemen
Pertanian (Tabel 3).
Pingali (1998) menyatakan bahwa
apabila permintaan jagung untuk pangan
dan pakan makin meningkat pada abad 21,
maka produksi dan produktivitas jagung
di dalam negeri perlu dipacu melalui
penerapan teknologi budi daya dan
kebijakan seperti perlunya investasi dari
sektor publik dan sektor swasta di bawah
koordinasi pemerintah.
Kendala yang dihadapi petani pada
pengusahaan jagung di lahan kering dan
sawah tadah hujan adalah saat panen yang
bertepatan dengan musim hujan. Untuk
mengantisipasi kendala tersebut, Balai
Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia
Lain (Balitjas) telah menghasilkan alat/
mesin pengering tenaga surya dan/atau
tungku dengan bahan bakar limbah jagung
(tongkol kering) atau kayu. Alat pengering ini berkapasitas 5 ton, dan dapat
juga digunakan untuk mengeringkan

Tabel 3.

komoditas lain seperti padi dan kakao.


Secara ekonomis, alat ini tidak menguntungkan jika dioperasikan oleh petani
perorangan, sehingga harus dioperasikan
dalam kelompok petani (petani berkelompok), KUD, dan pengusaha/swasta.
Alat pengering ini lebih unggul dibandingkan alat pengering yang ada di
tingkat petani, seperti lantai jemur dan
"flat-batch dryer". Laju pengeringan
("drying rate") adalah 0,83%/jam, lebih
baik dari pengeringan menggunakan "flatbatch dryer" (0,58%/jam) dan lantai jemur
0,32%/jam dengan biaya pengeringan
yang lebih murah (Rp. 91/kg) dibanding
"flat-batch dryer" (Rp. 102/kg). Biaya
pengeringan dengan lantai jemur adalah
Rp 90/kg, namun laju pengeringannya
lebih kecil dibanding alat pengering
Balitjas (Prabowo et al., 2000). Apabila
pengembangan komoditas jagung akan
dilaksanakan, maka alat pengering ini perlu
disosialisasikan penggunaannya terutama
bila petani tidak langsung menjual jagung
dalam bentuk tongkol kering di lapangan.
Dengan alat ini maka kendala pengeringan
jagung pada musim hujan dapat diatasi.
Analisis usaha tani jagung varietas
lokal dan hibrida pada empat sentra
produksi jagung di Indonesia disajikan
pada (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisis
biaya produksi jagung hibrida lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas lokal. Hal
ini disebabkan varietas hibrida responsif

Perkembangan harga jagung di Indonesia, 19961998.

Minggu, bulan,

Harga tunai di

tahun

USA (US$/t)

II Desember 1996
II Januari 1997
I Februari 1997
II Februari 1997
I Maret 1997
II Maret 1997
III Maret 1997
I April 1997
III April 1997
I Mei 1997
II Mei 1997
III Maret 1998
III Mei 1998
III Juni 1998
III Juli 1998
III Agustus 1998
I September 1998

121.360
123.160
121.600
122.960
129.200
128.000
127.200
123.600
127.600
124.600
122.200
116.800
107.000
101.600
104.600
90.600
86.800

Harga indikasi di
pabrik pakan
(Rp/kg)
401.058
407.950
403.040
407.016
429.274
423.219
421.880
412.900
424.798
418.260
412.260
1.541.330
1.317.320
1.732.240
1.827.200
1.608.950
1.314.330

Harga indikasi di Rata-rata


tingkat petani harga jagung
(Rp/kg)
(Rp/kg)*
351.058
357.950
353.040
357.016
379.274
373.219
371.880
362.900
374.798
368.260
362.260
1.501.330
1.277.320
1.692.240
1.787.200
1.568.950
1.574.330

250
275
316
320
325
320
350
325
310
320
345
600
600
900
700
1.100
950

*Sinar Tani (rata-rata harga jagung di beberapa kota di Indonesia, tidak termasuk Jakarta).
Sumber: Badan Agribisnis (1998).

Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Tabel 4. Biaya produksi dan pendapatan usaha tani jagung di sentra-sentra


produksi, 19971998.

Propinsi

Varietas

Jawa
Timur

Lokal
Hibrida
Kenaikan
Lokal
Hibrida
Kenaikan
Lokal
Hibrida
Kenaikan
Lokal
Hibrida)
Kenaikan

Jawa
Tengah
Lampung

Sulawesi
Selatan

Produksi Nilai produksi Biaya produksi


(t/ha)
(Rp/ha)
(Rp/ha)
2,50
5,50
3
2,60
5,50
2,90
2,40
5,50
3,10
1,39
4,50
3,11

1.125.000
2.475.000
1.350.000
1.170.000
2.475.000
1.305.000
1.080.000
2.475.000
1.395.000
486.500
1.575.000
1.088.500

756.000
1.241.000
485.000
702.000
1.216.000
514.000
735.000
1.196.000
461.000
183.447
688.867
505.420

Pendapatan
usaha tani
(Rp/ha)

R/C

MBCR

369.000
1.234.000
865.000
468.000
1.259.000
791.000
345.000
1.279.000
934.000
303.053
886.133
583.080

1.49
1.99

1.67
2.04

1.47
2.06

2.65
2.29

1,78

1.54

2.03

1.16

Sumber: Sekretariat Badan Pengendali Bimas (1998); Margaretha et al. (1999b); Najamuddin
et al. (1998).

terhadap pupuk dan perlu pemeliharaan


yang lebih intensif. Peningkatan
pendapatan (nilai nominal) usaha tani
terbesar terdapat di Lampung yaitu
Rp 934.000/ha. Meskipun produksi
varietas hibrida di Sulawesi Selatan paling
rendah dibandingkan propinsi lainnya,
tingkat efisiensi usaha tani di Sulawesi
Selatan adalah yang paling tinggi dengan
nilai R/C 2,29. Hal ini karena untuk
menghasilkan jagung 4,50 t/ha diperlukan
biaya produksi yang jauh lebih kecil
dibandingkan di propinsi lainnya. Usaha
tani jagung varietas hibrida di Lampung
memiliki nilai MBCR terbesar yaitu 2,03.
Ini berarti bahwa setiap penambahan satu
unit biaya produksi akan mampu memberikan tambahan pendapatan 2,03 unit.
Meskipun jagung hibrida mampu
memberikan keuntungan yang lebih besar
dibanding varietas lokal, sampai saat ini
belum seluruh petani menanam jagung
hibrida. Adopsi teknologi untuk peningkatan produksi jagung masih cukup
lambat, meskipun 24 % pertanaman jagung
di Indonesia sudah menggunakan varietas
hibrida. Hal ini disebabkan harga benih
jagung hibrida sangat mahal (Rp 16.500
22.500/kg), sementara varietas lokal sekitar
Rp 1.500/kg dan varietas bersari bebas
seperti Bisma seharga Rp 3.500/kg. Petani
umumnya beranggapan bahwa menanam
jagung hibrida yang benihnya mahal tidak
seimbang dengan harga jagung yang
dihasilkan, terlebih lagi varietas hibrida
sangat responsif terhadap pemupukan
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

yang saat ini harganya mahal. Lambannya


adopsi teknologi ini menurut Schutjer dan
Marlin (1976) disebabkan teknologi yang
cukup kompleks dan adanya divisibilitas
yaitu unit teknologi yang bisa dipakai agak
sulit terjangkau petani.
Di sentra-sentra produksi jagung di
Indonesia, jagung masih mampu mengungguli komoditas palawija lainnya
(Adnyana dan Kariyasa, 1998; Kariyasa
dan Adnyana, 1998; Sarasutha et al.,
1995). Pengusahaan jagung hibrida yang
mampu memberikan hasil lebih dari 5 t/ha
akan dapat membantu percepatan
peningkatan produksi dan keunggulan
jagung terhadap komoditas palawija
lainnya.
Hasil analisis usaha tani jagung lokal
dibandingkan dengan hibrida (Tabel 4)
mengindikasikan bahwa pengusahaan
jagung hibrida membutuhkan biaya
produksi jauh lebih besar dibanding
jagung lokal terutama untuk pupuk. Pada
kondisi harga pupuk yang mahal, upaya
peningkatan produksi akan bergantung
pada keadaan sosial ekonomi petani.
Status kesuburan tanah pun berbedabeda sesuai dengan kondisi agroekologi
(spesifik lokasi). Di Kabupaten Jeneponto
sebagai salah satu sentra produksi jagung
di Sulawesi Selatan sebagian wilayahnya
berjenis tanah Vertisol. Penggunaan
pupuk urea dengan dosis 102 kg N/ha
dapat menghasilkan 4,06 t jagung pipilan
/ha. Pemberian N dengan takaran lebih
tinggi tidak dianjurkan karena tidak meng-

untungkan lagi bagi petani (Momuat dan


Momuat, 1999). Survai yang dilakukan pada MT 1998 dan 1998/99 di Kabupaten
Jeneponto menunjukkan bahwa pada saat
pupuk langka dan mahal harganya,
penggunaan pupuk urea tunggal (98112
kg/ha) atau dicampur dengan pupuk
kandang (96 105 kg urea /ha dan 95 98
pupuk kandang kg/ha) memberikan hasil
cukup tinggi (3 t/ha) dengan biaya pupuk
minimal (Sarasutha et al., 1999b).
Berdasarkan pertimbangan spesifik lokasi,
Kariyasa dan Adnyana (1998), dan
Adnyana dan Kariyasa (1998) menyatakan
bahwa potensi dan peluang pengembangan jagung terdapat di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan
pada lahan kering dan sawah tadah hujan.
Pada kedua lahan tersebut, usaha tani
jagung cukup menguntungkan dan tingkat
persaingan penggunaan lahan kering dan
sawah tadah hujan tidak seberat pada
lahan sawah beririgasi.
Program peningkatan produksi
jagung akan berhasil jika dipadu dengan
program bantuan modal bagi petani,
seperti Kredit Usaha Tani (KUT). Pada
umumnya petani Indonesia berlahan
sempit sehingga kurang memiliki modal
sendiri. Namun, kredit program atau KUT
yang selama ini ditujukan untuk membantu
modal petani belum berjalan dengan baik.
Banyaknya tunggakan pengembalian
kredit pada umumnya terkait dengan
masalah klasik seperti pembagian bonus
atau "fee" antara penyuluh dan aparat
terkait lainnya atau adanya pemilikan lahan
fiktif sebagai dasar perolehan kredit
(Sarasutha dan Najamuddin, 1999).
KUT adalah kebijakan kredit program
yang dirancang untuk membantu petani
yang belum mampu membiayai sendiri
usaha taninya agar dapat meningkatkan
produksi dan pendapatan. Semula KUT
mempunyai bunga 14%/tahun, namun
setelah berjalan beberapa tahun, pada
Desember 1998 bunganya diturunkan
menjadi 10,50%/tahun. Kredit usaha tani
diatur berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 486/KMK. 017/
1999 tanggal 13 Oktober 1999 tentang
pendanaan KUT, Keputusan Menteri
Keuangan No. 487/KMK.017/1999 tanggal
13 Oktober 1999 tentang penunjukkan
badan usaha milik negara sebagai
koordinator penyaluran kredit program,
dan Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas
dengan Menteri Koperasi, Pengusaha
Kecil dan Menengah Nomor 1081/KPTS/
43

BM.530/10/1999 tentang petunjuk pelaksanaan kredit usaha tani, yang mengatur


pembagian "fee" bagi pelaksana sampai
di tingkat desa (Satuan Penggerak di
tingkat desa). Surat-surat keputusan ini
diharapkan dapat memperlancar penyiapan, penyaluran, dan pengembalian kredit
usaha tani termasuk untuk komoditas
jagung, padi, dan kedelai. Selanjutnya pemerintah meluncurkan Kredit Ketahanan
Pangan (KKP) dalam rangka peningkatan
produksi dan kesejahteraan petani. KKP
yang dimulai pada tahun 2001mempunyai
bunga modal bersubsidi 10%. Kebutuhan
indikatif KKP per hektar untuk tanaman
jagung periode Oktober 2000September
2001 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kebutuhan indikatif kredit
ketahanan pangan (Rp/ha)
untuk tanaman jagung,
2000.
Komponen

Jagung
Bersari bebas

Benih
Pupuk
Pestisida
Biaya garapan
dan pemeliharaan
Biaya panen
dan pascapanen
Jumlah

Hibrida

200.000
850.000
350.000
200.000

250.000
950.000
350.000
200.000

250.000

250.000

1.850.000

2.000.000

Sumber: Departemen Pertanian Dalam Mar


(2000).

KINERJA PEMASARAN
JAGUNG
Suhariyanto (2001) menyatakan
bahwa sebagian besar rumah tangga
penghasil jagung (62,20%) tidak mengkonsumsi jagung, namun mereka menjualnya ke pasar (25%), pedagang besar
(32%), KUD (0,60%), dan lainnya (4,60%).
Ini mengindikasikan bahwa latar belakang
utama petani menanam jagung adalah
untuk mendapatkan uang tunai. Petani
yang tidak menjual hasil jagungnya
(37,80%) terdiri atas 19,10% petani yang
memiliki lahan kurang dari 0,50 ha, 8,60%
memiliki lahan antara 0,50 0,90 ha, dan
10,10% lebih dari 1 ha. Menurut
Suhariyanto (2001), data ini mengindikasikan bahwa sebagian rumah tangga petani
yang tidak menjual hasil jagungnya adalah
petani miskin yang memanfaatkan jagung
untuk konsumsi.
44

Mengingat proyeksi kekurangan


jagung di Indonesia selama kurun waktu
1999 2003 rata-rata 1.354.000 t/tahun
(Sudaryanto et al., 1998) serta impor
jagung yang cenderung meningkat
dengan laju 10.48%/tahun dan pernah
mencapai 1.300.000 ton pada tahun 1995
(Sekretariat Badan Pengendali Bimas,
1998), maka seharusnya petani memiliki
motivasi tinggi untuk berusaha tani dan
meningkatkan produksi jagung. Namun,
kenyataannya peningkatan luas pertanaman jagung di Indonesia sangat
lamban bahkan cenderung fluktuatif.
Kadang luas panen menurun dibanding
luas panen MT sebelumnya (Tabel 2). Hal
ini disebabkan sulitnya memasarkan
jagung, terlebih lagi saat panen raya
bersamaan dengan musim hujan.
Produksi, kualitas hasil, serta penanganan
pascapanen secara bersama-sama akan
mempengaruhi harga jual jagung.
Di Sulawesi Selatan, umumnya petani
menjemur jagung dalam bentuk tongkol.
Jagung dijemur di halaman rumah atau
pinggir jalan dengan menggunakan tikar
atau terpal (fasilitas pengeringan
sederhana). Perontokan dilakukan secara
manual dengan menggunakan besi
berbentuk pipih atau sistem ban mobil
yang dibuatkan alur untuk perontokan.
Jarang sekali dijumpai petani yang
menggunakan mesin pemipil ("corn
sheller") kecuali petani/kelompok tani
yang termasuk dalam proyek-proyek berbantuan. Di Nusa Tenggara Timur, petani
membiarkan jagung di lahan sampai kering
dengan memotong bagian tanaman di atas
tongkol. Setelah jagung kering, baru
petani memanennya. Hal ini dilakukan
karena iklim di daerah tersebut memungkinkan untuk dilakukan pengeringan di lahan, dan saat panen tidak bersamaan dengan musim hujan (periode
musim hujan di Nusa Tenggara Timur
cukup singkat). Perontokan juga dilakukan
secara manual.
Di Kabupaten Gorontalo (Sulawesi
Utara), jagung dipanen pada kadar air
antara 18 24%. Kadar air tersebut cukup
rendah dibandingkan dengan yang umum
dilakukan petani di Sulawesi Selatan yaitu
lebih dari 30%. Kadar air yang cukup
rendah tersebut dapat dicapai karena
jagung tetap dipertahankan di pertanaman
dengan memotong batang di atas tongkol
dan baru dipanen setelah tongkol kering
dengan kadar air hampir mencapai 20%.
Sebagian hasil panen disimpan dengan
cara menggantungkannya di dalam

lumbung yang terdapat di sekitar rumah


penduduk. Jagung yang akan dijual
langsung dipipil/dirontokkan menggunakan mesin perontok. Sebagian petani
masih menjemur jagung dalam bentuk
tongkol, dan setelah kering dirontokkan
dengan mesin perontok. Tongkol yang
hancur dipisahkan dari biji dengan
menggunakan kipas angin atau "blower"
(Sarasutha et al., 1998a).
Berdasarkan sistem pemasaran atau
frekuensi penjualan hasil di Sulawesi
Selatan, orientasi usaha tani jagung dapat
dibagi menjadi dua kelompok. Pertama,
orientasi semikomersial, yaitu petani
menjual hasil dalam jumlah relatif kecil/
sedikit dan frekuensinya tidak teratur
sesuai dengan kebutuhan uang tunai
untuk kebutuhan sehari-hari atau acara
seremonial. Pada orientasi semikomersial,
petani menjual jagung pipilan kering
langsung ke pasar lokal. Kedua, orientasi
komersial, yaitu petani menjual jagung
pipilan kering ke pedagang pengumpul
tingkat desa/kecamatan yang datang ke
rumah petani. Jarang dijumpai pemasaran
hasil dengan tujuan memperkuat posisi
rebut tawar petani (Margaretha et al.,
1999a). Penentuan harga didominasi oleh
pedagang berdasarkan kadar air jagung
pada saat jual beli. Oleh karena itu, kadar
air jagung harus mencapai 18% agar mendapat harga standar di pedagang besar
(di tingkat propinsi). Apabila kadar air di
atas 18%, harga diturunkan dengan
mengurangi jumlah/volume fisik jagung
dengan menggunakan tabel rafaksi.
Menurut penjelasan PT. Budi Makassar
Jaya Abadi (1997), jika kadar air jagung
yang akan dijual sebesar 20% maka
volume fisik jagung dikurangi 2% (20
18%). Mink et al. (1987) berpendapat
bahwa harga yang lebih tinggi dapat
diperoleh apabila petani menjual hasil
secara bersama-sama langsung ke
pedagang besar.
Di Sulawesi Selatan, seperti di
kabupaten Jeneponto (Kecamatan
Tamalatea) dan Takalar (Kecamatan
Polobangkeng Utara), ada juga petani
memasarkan jagung secara berkelompok.
Kelompok tani berusaha mencari informasi
pasar di Makassar dan menjual hasilnya
langsung ke kota. Namun, hal itu hanya
dapat dilakukan oleh kelompok tani yang
sudah maju.
Jalur (mata rantai) pemasaran jagung
kuning yang umum terjadi di Sulawesi
Selatan disajikan pada Gambar 1. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa petani
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Jagung
pipilan

Pakan
ayam

Pedagang besar
(eskportir/antarpulau)

Konsumen
(Rumah tangga
dan/atau industri)

Jagung
pipilan

Jagung
pipilan

Jagung
pipilan

Pedagang pengumpul
(Desa/Kecamatan)

Pengecer komponen
pakan ternak

Pasar (Desa, Kecamatan,


Kota Kabupaten)
Jagung
pipilan

Kelompok
tani

Jagung
pipilan

Jagung
pipilan

Jagung
pipilan

Petani
Jagung

Gambar 1. Jalur pemasaran jagung kuning di Sulawesi Selatan, 1999


(Margaretha et al., 1999a).

dapat menjual jagung dengan berbagai


cara, yaitu: 1) petani menjual jagung
pipilan langsung ke konsumen di pasar
desa, kecamatan atau kabupaten, 2) petani
menjual jagung ke pengecer pakan ayam
di kota kabupaten. Toko pengecer ini
biasanya menjual komponen pakan secara
terpisah seperti konsentrat dan jagung
pipilan. Peternak membeli komponen
pakan di pengecer tersebut kemudian
mencampurnya sesuai kemampuan dana
dan pengalamannya atau kebiasaannya,
3) petani menjual jagung pipilan ke
pedagang pengumpul yang berasal dari
desa atau kecamatan tempat tinggal
petani. Pedagang mendatangi rumahrumah petani, kemudian mengangkut
jagung tersebut menggunakan truk ke
pedagang besar di Sungguminasa
(Kabupaten Gowa) atau Makassar.
Pedagang besar ini berfungsi sebagai
eksportir sekaligus pedagang antar pulau,
4) pengurus kelompok tani atas nama
anggotanya menjual jagung pipilan ke
pedagang besar di Sungguminasa atau
Makassar.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Marjin pemasaran jagung kuning di


Sulawesi Selatan adalah Rp 117/kg pada
tahun 1997/98, dan Rp 160/kg pada tahun
1998/99 jika jalur pemasaran sampai
dengan pedagang besar. Jika jalur
pemasaran sampai ke penjual makanan
ternak (pengecer pakan ayam) di
Bulukumba, maka marjin pemasarannya
adalah Rp 250/kg. Petani menjual jagung
ke pedagang pengumpul (desa atau
kecamatan) di rumah. Selanjutnya
pedagang pengumpul menyewa truk dan
melakukan pekerjaan bongkar muat
dengan biaya Rp 40/kg. Pedagang besar/
eksportir di kota Sungguminasa atau
Makassar membeli jagung seharga
Rp 750/kg (Tabel 6).
Informasi pasar di Sulawesi Selatan
tahun 19881994 menunjukkan bahwa
pada periode JanuariApril terjadi kelebihan penawaran jagung dibanding permintaan sebesar 232.278 ton. Pada periode
MeiAgustus, terjadi kelebihan permintaan jagung 40.033 ton, dan pada periode
SeptemberDesember terjadi kelebihan
permintaan 136.985 ton (Najamuddin et al.,

1996). Jika hal ini dijadikan pedoman maka


pengaturan waktu tanam atau panen akan
sangat membantu dalam menstabilkan
harga jagung. Peralatan pascapanen yang
sesuai dengan kemampuan petani sangat
diperlukan, pada saat-saat panen raya,
sehingga petani/kelompok tani atau
swasta dapat menyimpan jagung dan
memasarkannya pada saat suplai jagung
di pasaran berkurang.
Di Jawa Timur, umumnya petani
menjual jagung kepada pedagang
pengumpul/pedagang besar dalam bentuk
tongkol kering. Petani tidak perlu
menyiapkan fasilitas pengeringan, karena
pedagang membeli jagung dengan kadar
air berapa pun dengan harga standar
berdasarkan kadar air yang dikehendaki
pedagang. Jika kadar air melebihi kadar
air standar maka harga akan disesuaikan
dengan cara mengurangi volume fisik
jagung seperti yang terjadi di Sulawesi
Selatan. Cara ini memudahkan petani
karena tidak perlu menjemur dan memipil
jagung sebelum dijual. Dalam keadaan
seperti itu, posisi rebut tawar petani lebih
kuat karena harga agregat relatif sama
(Prastowo et al., 1999). Hal ini bisa
berlaku di Jawa Timur karena adanya
perusahaan besar yang mengolah jagung
menjadi pakan ternak atau makanan
lainnya. Pengusaha ini memiliki fasilitas
pengeringan dan pemipilan secara
mekanis.
Rahmanto dan Yusdja (1997) juga
menginformasikan bahwa secara umum
transaksi pemasaran jagung terjadi di rumah petani atau di sawah/tegalan. Mayoritas petani di kabupaten Kediri (Jawa
Timur) melakukan transaksi di lahan
usaha taninya karena penjualan biasanya
dilakukan secara tebasan dalam bentuk
tongkol kering di lapangan. Di Kabupaten
Lampung Tengah, transaksi penjualan
hasil umumnya dilakukan di rumah petani
karena jagung dijual dalam bentuk jagung
pipilan, sama seperti yang terjadi di
Sulawesi Selatan.

KESIMPULAN
Upaya peningkatan produksi jagung
perlu dilakukan secara terus menerus
melalui program peningkatan produksi
dan pemberdayaan pemasaran hasil untuk
mengurangi impor. Program perluasan
areal tanam, peningkatan IP, dan penggunaan varietas unggul, baik yang bersari
45

Tabel 6.

Marjin pemasaran jagung kuning di Sulawesi Selatan, 1997/98


98/99.
Uraian

1997/98

1. Harga rata-rata di tingkat petani


2. a. Pedagang pengumpul desa/kecamatana)
Ongkos muat
Ongkos angkut
Ongkos bongkar
Keuntungan
Marjin pemasaran
b. Pedagang pengumpul desa/kecamatanb)
Ongkos muat
Ongkos angkut
Ongkos bongkar
Keuntungan
Marjin pemasaran
3. a. Pedagang besar (eksportir/antarpulau) c)
Biaya EMKL, OPP
Keuntungan
Marjin pemasaran
b. Poultry shop (Bulukumba)d)
Biaya giling
Keuntungan
Marjin pemasaran
MARJIN PEMASARAN :
1 2a 3a (tahun 1997/98 dan tahun 1998/99)
1 2b 3b (tahun 1998/99)

Biaya (Rp/kg)
1998/99

683

650

5
30
5
27
67

5
30
5
60
100

2,50
10
2,50
35
50

15
35
50

15
45
60

5
195
200

117

160
250

a) dan b) berbeda sampelnya, sesuai dengan jalur pemasaran dan tahun di penelitian,

c)

terdapat beberapa pedagang besar di kota Sungguminasa dan Makassar.yang bertindak sebagai
eksportir dan pedagang antar pulau, d) pengecer pakan ayam.

bebas maupun hibrida, perlu lebih


digalakkan. Upaya diharapkan dapat
mempercepat swasembada dan menyeimbangkan jumlah permintaan dan
penawaran. Hal ini perlu dilakukan karena
jagung memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif terhadap kedelai, kacang
tanah, dan kacang hijau sebagai tanaman
alternatif di lahan kering. Pertimbangan
lain adalah karena komoditas jagung lebih
menguntungkan jika diproduksi di dalam
negeri dibanding mengimpornya.
Pemasaran jagung seperti yang
dilakukan petani di Jawa Timur perlu
diadopsi untuk daerah-daerah penghasil
utama jagung di Indonesia. Penjualan
jagung dalam bentuk tongkol kering di
lapangan lebih menguntungkan karena
petani tidak perlu melakukan penanganan
pascapanen yang umumnya sulit bagi
petani. Peralatan pascapanen terutama
alat pengering yang dihasilkan Balitjas
memiliki keunggulan dibanding lantai
jemur dan tipe "flat-batch dryer". Alat ini
perlu direkomendasikan dan disosialisasikan kepada swasta yang berminat dalam
agribisnis jagung atau Usaha Pelayanan
Jasa Alsintan (UPJA). Namun hal ini
masih perlu diteliti dan dikaji secara
mendalam di sentra-sentra produksi
jagung di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa. 1998. Sumber
pertumbuhan produksi dan tingkat keuntungan kompetitif usaha tani jagung
dalam agribisnis tanaman pangan. Prosiding
Semiloka Nasional Jagung. Ujung Pandang,
Maros, 1112 November 1997.
Baco, D., Djamaluddin, IG.P. Sarasutha, S.
Saenong, dan H. Palloge. 1996. Kesiapan
daerah Sulawesi Selatan dalam upaya
swasembada jagung dan kedelai. Pertemuan
Bimas se Indonesia di Jakarta, 30 September
1 Oktober 1996.
Baco, D. dan IG.P. Sarasutha. 1998. Pengaturan
pola tanam tahunan dengan peningkatan IP
di berbagai tipologi lahan. Makalah disajikan
pada Pertemuan Bimbingan Massal Penerapan Teknologi Indonesia di Bandung,
2830 Oktober 1998.
Baco, D., F. Kasim, M.Y. Maamun, dan
Zubachtirodin. 2000. Status dan hasil-hasil
penelitian dan pengembangan jagung.
Makalah Disajikan pada Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Banjarmasin, 45 Juli 2000. Pusat Penelitian

46

dan Pengembangan Tanaman Pangan,


Bogor.
Badan Agribisnis. 1998. Harga Indikasi Jagung.
Pusat Pengembangan dan Informasi Pasar.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1996. Statistik Indonesia
1995. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1997, 1998, dan 1999.
Statistik Indonesia 1996, 1997, dan 1998.
Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Gonzales, L.A., F. Kasryno, N.D. Perez, and
M.W. Rosegrant. 1993. Economic incentives
and comparative advantage in Indonesian
Food Crop Production. IFPRI-Research
Report (93).
Kariyasa, K. dan M.O. Adnyana. 1998. Analisis
keunggulan komparatif, dampak kebijaksanaan harga, dan mekanisme pasar terhadap
agribisnis jagung di Indonesia. Prosiding
Semiloka Nasional Jagung. Ujung Pandang
Maros, 1112 November 1997.
Maamun, M.Y., O. Suherman, M. Dahlan, D.
Baco, and R.V. Gerpacio. 1999. Impact of

maize breeding on seed production and


distribution in Indonesia: A Country Report.
Paper Presented at the Second Annual
Workshop of the Maize Socioeconomics
Working Group, in Chiang Mai University.
Thailand, May 2528, 1999.
Margaretha, S.L., IG.P. Sarasutha, A. Najamuddin,
dan H.A. Dahlan. 1998. Analisis sosial
ekonomi petani jagung di Sulawesi Selatan.
Jurnal Sosial Ekonomi Universitas
Hasanuddin, (4).
Margaretha S.L., IG.P. Sarasutha, A. Najamuddin,
dan H.A. Dahlan. 1999a. Analisis pemasaran jagung di Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial
Ekonomi Universitas Hasanuddin, (5).
Margaretha, S.L., IG.P. Sarasutha, dan A.
Najamuddin. 1999b. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap proses adopsi
teknologi jagung. Makalah disajikan pada
Seminar Regional Revitalisasi Teknologi
Spesifik Lokasi Menunjang Pengembangan
Ekonomi Kerakyatan. Kendari, 56 Juli
1999.

Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Mar. 2000. Setelah Bimas, KUT, KKP. Harian


Kompas 12 September: 30 kolom 19.
Mink, S.D., P.A. Dorosh, and D.H. Penny. 1987.
Corn production systems In C.P. Timmer
(Ed). The Corn Economy of Indonesia.
Cornell University Press, Ithaca, New York.
Momuat, C.J.S. dan E.O. Momuat. 1999. Dosis
optimum pemupukan jagung di sentra
produksi jagung di Sulawesi Selatan: Entisol
Takalar dan Vertisol Jeneponto. Seminar
Mingguan Balai Penelitian Tanaman Jagung
dan Serealia Lain. Maros. Sabtu, 29 Mei
1999.
Najamuddin, A., M. Najib Noor, IG.P. Sarasutha,
Bahtiar, O. Suherman, dan H.A. Dahlan.
1996. Analisis permintaan dan penawaran
jagung. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian.
Universitas Hasanuddin. (1).
Najamuddin, A., IG.P. Sarasutha, dan S.B.
Langgara. 1998. Petani jagung hibrida dan
bersari bebas untuk meningkatkan pendapatan petani. Prosiding Semiloka
Nasional Jagung di Ujung Pandang Maros,
1112 November 1997.
Pingali, P. 1998. The Asian economic crisis:
implications for the maize sector In Vasal,
S.K., F. Gonzalez C., and Fan Xingming
(Technical Editors). Proceeding of the
Seventh Asian Regional Maize Workshop.
PCARRD. Los Banos, Philippines, Feb. 23
27, 1998.
Pingali, P. 2001. CIMMYT 1999/2000 World
Maize Fact and Trends. Meeting World
Maize Needs: Technological Opportunities
and Priorities for the Public Sector. Mexico,
D.F.
Prabowo, A., Y. Sinuseng, dan IG.P. Sarasutha.
2000. Evaluasi alat pengering jagung dengan
sumber panas sinar matahari dan pembakaran
tongkol jagung. Hasil Penelitian Kelompok
Peneliti Fisiologi Hasil. Tahun X-2000.
Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia
Lain, Maros.
Prastowo, B., A. Prabowo, Zubachtirodin, B.
Abidin, I.U. Firmansyah, M. J. Mejaya, dan
S. Widyotomo. 1999. Analisis sistem
mekanisasi produksi jagung dan pengelolaan
pascapanennya di Indonesia. Makalah
Disajikan pada Seminar Hasil Penelitian/
Perekayasaan T.A. 1998/99. Bogor, 67
April 1999.
Pusat Data Pertanian. 2000. Data Tahunan.
www.deptan.go.id. Jakarta. 10 April 2001.
Rahmanto, B. dan Y. Yusdja. 1997. Profil
perdagangan komoditas jagung di Indonesia.

Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002

Prosiding Agribisnis. Dinamika Sumber Daya


dan Pengembangan Sistem Usaha Pertanian.
Buku II. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Reeves, T.G. 1998. Sustainable Intensification
of Agriculture In S.K. Vasal, F. Gonzalez C.,
and Fan Xingming (Technical Editors).
Proceeding of the Seventh Asian Regional
Maize Workshop. PCARRD. Los Banos,
Philippines, Feb. 2327, 1998.
Sarasutha, IG.P., M.S. Lalu, S. Singgih, Sriwidodo,
M. Rauf, A.F. Fadhly, dan M.S. Pabbage.
1995. Sumber pertumbuhan produksi dan
keunggulan komparatif jagung di propinsi
Sulawesi Selatan. Monograf, Balai Penelitian
Tanaman Jagung dan Serealia Lain (8).
Sarasutha, IG.P. , M.S. Lalu, dan A. Najamuddin.
1997. Peluang dan kendala pengembangan
jagung di Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Universitas Hasanuddin (2).
Sarasutha, IG.P., Subandi, M.S. Pabbage, dan B.
Abidin. 1998a. Keunggulan komparatif dan
kompetitif usaha tani palawija di lahan
berlereng di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi
Utara. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan
Kehutanan. Universitas Hasanuddin, (4).
Sarasutha, IG.P., Zubachtirodin, dan D. Baco.
1998b. Peluang dan tantangan pengembangan jagung dan kedelai di Sulawesi Selatan.
Makalah Disajikan pada Pertemuan Tim
Pembina Program Nasional Pengendalian
Hama Terpadu Propinsi Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang, 9 Desember 1998.
Sarasutha, IG.P., M.S. Lalu, dan A. Najamuddin.
1999a. Analisis keunggulan komparatif dan
kompetitif jagung. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian
Teknologi Pertanian Menghadapi Era
Otonomi Daerah. Palu, Sulawesi Tengah,
34 November 1999. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sarasutha, IG.P., M. Tahir, Syuryawati, C.J.S.
Momuat, dan E.O. Momuat. 1999b. Prescriptive farming: Hubungan penggunaan
pupuk terhadap produksi dan pendapatan
petani. Prosiding Seminar Nasional Hasil
Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah.
Palu, Sulawesi Tengah, 34 November 1999.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Sarasutha, IG.P. dan A. Najamuddin. 1999.
Dinamika kelembagaan produksi dalam
usaha tani tanaman pangan. Risalah

Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Balai


Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia
Lain. Vol. 3.
Schutjer dan Martin. 1976. Analisis UT Training
P3MT di Maros, Sulawesi Selatan. 35 hlm.
Sekretariat Badan Pengendali Bimas. 1996.
Gerakan kemitraan petani jagung dengan
pengusaha pakan ternak. Terobosan percepatan peningkatan produksi jagung hibrida
dan komposit MT. 1996/97. Jakarta.
Sekretariat Badan Pengendali Bimas. 1998.
Intensifikasi jagung di Indonesia. Peluang
dan tantangan. Prosiding Semiloka Nasional
Jagung. Ujung Pandang, 1112 November
1997.
Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon, dan J.B.
Hardaker. 1984. Ilmu Usaha tani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. DGHE-AUIDP. UI-Press. Jakarta.
Subandi, I.G. Ismail, dan Hermanto. 1998a.
Jagung. Teknologi Produksi dan Pascapanen.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Subandi, IG.P. Sarasutha, A. Prabowo, F. Kasim,
M.S. Pabbage, W. Wakman, dan D. Baco.
1998b. Peningkatan produksi dan mutu hasil
jagung untuk pangan, pakan, dan perolehan
devisa. Makalah disajikan pada Evaluasi
Hasil-Hasil Penelitian Tanaman Pangan,
Maros, 2021 Oktober 1998.
Sudaryanto, T., A. Suryana, dan Erwidodo. 1998.
Penawaran, permintaan, dan konsumsi
jagung di Indonesia: Pengalaman Pelita VI
dan proyeksi Pelita VII. Prosiding Semiloka
Nasional Jagung. Ujung Pandang Maros, 11
12 November 1997.
Suhariyanto, K. 2001. Policy analysis of maize
in Indonesia: A Summary Paper Presented
at the Fourth Annual Meeting of the Asian
Maize Social Sciences Working Group, Held
in Kathmandu, Nepal, June 48, 2001.
Sumarno dan Suwasik. 1995. Pengembangan
usaha tani berdasarkan sosio-ekonomi dan
agroklimat. Edisi khusus Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian (2): 142154.
Sumarno, I. Las, A.K. Makarim, S. Purba, S.
Rochayati, M. Mardiharini, I.N. Widiarta,
Baehaki, Hendarsih, Suwarno, Sudarmadji, A.
Djulin, dan S. Kartaatmadja. 1998. Panduan
pelaksanaan model pengembangan sistem
usaha pertanian MH. 1998/99. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.

47

Anda mungkin juga menyukai