Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH SEBELUM KEMERDEKAAN SAMPAI

TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004

A. Otonomi Daerah Sebelum Kemerdekaan sampai masa orde baru


Dari sisi historis, sebenarnya otonomi daerah Indonesia bukanlah hal yang baru,
bahkan mengalami perjalanan yang panjang. Ketika kerajaan-kerajaan di nusantara masih
Berjaya, raja merupakan pusat kekuasaan. Dalam era pemerintahan monarki seperti ini
tidak dikenal konsep desentralisasi sebagai menjawantahan otonomi daerah. Konsep
desentralisasi baru dikenal ketika pemerintahan hindia belanda menginjakkan dan
menancapkan kuku kolonialisme di bumi indonesia
Berbicara tentang otonomi daerah, tidak dapat dipidahkan dengan perjalanan
peraturan undang-undang yang pernah diterpkan di Indonesia peraturan atau undangundang yang pernah diterapkan sejak Indonesia era pemerintahan kolonial belanda sampai
Indonesia merdeka sekarang ini.
Pada tanggal 23 juli 1903 undang-undang mengenal desentralisasi pemerintah di
hindia belanda, bernama de wet houdende decentralisatie van het bestuur in nederlands
indie, berhasil diterima dan di undang dalam staatsblad van het koninkrijk der
nenderlanden tahun 1903 nomor 219. Undang-undang tesebut kemudian di undangkan di
hindia belanda lewat indische staatsblad nomor 329, yang selanjutnya lebih dikenal
dengan sebutan decentralisatie wet 1903. Berdasarkan undang-undang desentralisasi
(decentralisatie wet) pemerintah hindia belanda dimungkinkan membentuk daerah otonom
berikut dewan perwakilan rakyat di daerah otonom tersebut, yaitu di luar otonom yang
sudah ada sebelumnya yaitu swapraja dan desa yang berdasarkan hukum adat.
Dari praktek sejarah kita membaca bahwa pelaksanaan atau praktek desentralisasi
tersebut tidak berjalan dengan baik dan banyak mendapat keritik orang belanda dan
kalangan pemuda Indonesia. Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak 20 mei 1908
muncul pergerakan nasional (yang kemudian terkenal dengan hari kebangkitan nasional
yang menuntut agar kepada hindia belanda diberi status dominion ( seperti praktek
penguasa inggris atas daerah-daerah koloninya), serta diikuti dengan pembentukan dewan
perwakilan rakyat pusat yang mempunyai kekuasaan untuk ikut serta dalam menetapkan
undang-undang mengenai kebijaksanaan pemerintahan pusat.
Berdasarkan keritik tersebut diatas, juga diadakan penilaian bahwa memang
desentralisasi dengan memberikan otonom kedaerah-daerah di nilai gagal atau tidak
memuaskan. Atas alasan kongkret tersebut, sistem desentralisasi berdasar UU
desentralisasi 1903, dianggap ketinggalan zaman perlu perombakan dasar tidak saja atas
pasal 68a, 68b, 68c, R.R., tetapi juga atas pasal-pasal lain yang berkaitan dengan
peraturan dasar (RR) yang disebut: bestuurhervormings wet 1922 (peraturan dasar
ketata negaraan hindia belanda, yang isinya memperbaharui UU desentralisasi 1903.
Masa pasca kekuasaan pemrintahan colonial di Indonesia dapat dibagi kepada dua
priode penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu ketika berlakunya undang-undang No.1
tahun 1945 dan undang-undang No. 22 Tahun 1948. Kedua undang-undang tersebut
mrupakan hasil dari proses politik pada masa peralihan dari kekuasaan pemerintah
kolonial kepeada pemerintah Indonesia. Dalam upaya melaksanakan ketentuan pasal 18
UUD 1945 tersebut. Untuk pertama kalai pemerintah RI mengeluarkan UU No 1 Tahun
1945 jadi sebelum mengatur yang lain terlebih dahulu pemerintah mengeluarkan tentang
bagaimana mengaplikasikan ketentuan pasal 18 tersebut. Tentu UU ini tidak sempurna dan
tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya.
Menyadari kekurangan yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1945 Pemerintah pusat
bersama BP-KNP berupaya melahirkan UU otonomi Daerah yang benar-benar didasarkan
1

atas kedaulatan rakyat dalam rangka itu lahirlah UU No 22 Tahun 1948 tentang
pemerintah Daerah. Satu hal perinsip yang penting dari UU No.22 Tahun 1948 ini adalah
memberikan otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada badan pemerintah
daerah yang tersusun secara demokratis.
Saat indonesia kembali menjadi Negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950,
pemerintah mengeluarkan UU No 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah
UU ini secara garis besar mengandung tiga perinsip dasar desentralisasi, yaitu:
1. Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), akan hanya ada satu bentuk susunan
pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri (daerah otonom).
2. Daerah-daerah di bentuk menurut susunan derajat dari atas kebawah sebanyakbanyaknya tiga tingkat.
3. Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah dimana Indonesia tidak lagi menganut sistem
demokrasi parlementer tetapi menerapkan sistem demokrasi terpimpin melaui dekrit
presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami
kemunduran legge menyebutnya sebagai retreat from autonmy mengapa ini terjadi karena
pemerintah mengambil tindakan drastis yaitu dengan mengubah UU No.1 Tahun 1957 dan
menggatinya dengan penpres No.6 tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui
Penpres No.5 Tahun 1960.
Dalam Penpres No.6 Tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok, yaitu:
1. Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di
bidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu kepala daerah
2. Kedudukan kepala daerah tidak lagi hanya sebagai alat daerah, tetapi sekaligus juga
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3. Dalam kedudukan seperti ini, kepala daerah adalah pegawai Negara, tidak lagi
bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
4. Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif, kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial,
melainkan bersifat tunggal.
5. Kepala daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan keputusan DPRD yang
bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya.
6. Menurut Penpres No.5 Tahun 1960, kepala daerah karena jabatannya adalah ketua
DPRD dan bukan anggota.
Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan UU sebagai penggati penpres No.
6 Tahun 1959, yaitu UU No. 18 tahun 1965. UU ini mencoba merangkum pokok-pokok
pikiran cita desentralisasi dan perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi
yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial, yaitu meletakkan
tanggung jawab yang riil yang seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah. Bersama
dengan di pembentukan UU No.18 tahun 1965, dibentuk pula UU No. 19 tahun 1965
tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat tewujudnya daerah
tingkat III di seluruh tanah air. Namun sayang UU ini tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
Ketika pergatian rezim dari demokrasi terpimpin ke Rezim orde baru, kebijakan
otonom daerah yang juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik
desentralisasi menjadi terhambat. Sebab melaui kebijakan UU No.5 Tahun 1974 selain
menerapkan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam
mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asas dekonsentrasi dan

medebewind. Dalam praktik, kebijakan yang dilakukan lebih mencerminkan pelimpahan


wewenang ketimbang penyerahan wewenang.
Meskipun dalam UU menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan perinsip
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, namun dalam operasional perinsip tersebut
menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekosentrasi. Hal ini
berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan
dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan yang di embannya. Keyataan lain adalah
terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga di
jumpai dalam bidang kepegawaian.
Lengsernya soeharto setelah 23 tahun berada di panggung utama kekuasaan
Indonesia menjadi momen melakukan perbaikan atas visi dan praktik penyelenggaraan
pemerintah termasuk desain hubungan pusat dan daerah yang sentralistik yang sekian lama
diterapkan. Suara-suara memang lugas meminta otonomi yang lebih luas dalam memenuhi
tuntutan reformasi, ditetapkanlah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang
salah satu arahnya adalah mendorong memberdayakan masyarakat dan mengembangkan
peran dan fungsi DPRD. UU ini menggatikan UU No. 5 tahun 1974 dan UU No.5 tahun
1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan
mengakui kehususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan satu
tingkat wilayah administrative tiga jenis daerah otonom adalah daerah propinsi, daerah
kabupaten dan daerah kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian
tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah propinsi berkedudukan juga sebagai wilayah
administratif. Undang-undang menentukan bahwa pemerintah lokal menggunakan
nomenklatur pemerintah daerah pemerintah daerah adalah penyelengaraan pemerintahan
daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi. Daerah
otonom (disebut daerah provinsi/kabupaten/kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara kesatuan republik Indonesia.
Kemudian setelah UU No 22 tahun 1999 dipandang tidak efektif sehingga
dikelurkan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. UU ini menggantikan UU
No 22 tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom
dengan perincian Negara kesatuan rebuplik Indonesia dibagi menjadi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu
Negara juga mengakui kekhususan dan /atau keistimewaan yang ada pada empat daerah
yaitu, aceh, Jakarta, papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (desa atau nama lain) beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara kesatuan.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur pemerintah daerah pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembatuan dengan perinsip dalam sistem dan perinsip Negara kesatuan rebublik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun
1945.
B. Ruang Lingkup Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonom
berasal dari pengalaman dua kata bahasa yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan
nomos yang berarti undang-undang otonomi bermakna membuat perundang-undangan
sendiri (zelfwetgeving) namun dalam perkembangannya, konsep otonomi daerah selain
3

mengandung arti zelfwetgeving (membuat perda-perda), juga utamanya mencakup


zelfbestuur (pemerintahan sendiri). C.W. van der pot memahami konsep otonomi daerah
sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).
Didalam otonomi, hubungan kewenanngan antara pemerintah pusat dan daerah,
antara bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintah atau cara
untuk menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan
suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi
terbatas apabila: pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara
kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua,apabila
system supervisi dan pengawasan dilakukan demikian rupa, sehingga daerah otonom
kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan
asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Otonomi luas bisa bertolak dari perinsip: semua urusan pemerintahan pada
dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebgai urusan
pusat. Dalam Negara modern, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan paham Negara
kesejahteraan, urusan pemerintah tidak dapat dikenali jumlahnya.
Otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenag
tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintah antara pemerintah
pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut yaitu, daerah-daerah akan
memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan
ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah. Otonomi daerah jika dilihat
dari sudut wilayahnya, maka penyelenggaraannya ditentukan dalam batasan-batasan
wilayah yang ditentukan pemerintah pusat. Dilihat dari substansi(materi)
penyelenggaraan otonomi daerah, hal dimaksud ditentukan oleh sistem rumah tangga
(huishuoding) otonomi daerah yang diadopsi.
Dikalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap pembagian urusan antara
pusat dan daerah dalam konteks otonomi teryata tidak sama. R.Tresna menyebut dengan
istilah kewenangan mengatur rumah tangga bagir manan menyebut dengan
istilahsistem rumah tangga daerah Josef riwu kaho memberi istilah sitem
Moh.Mahfud MD., memakai istilah asas otonomi meskipun istilah yang digunakan
berbeda-beda, mereka berpijak pada pengertian yang sama bahwa ajaran-ajaran
(formal,material, dan riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian
kewenangan, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah.
Menurut R.Tresna, Bagir manan dan Moh.mahfud, terddapat beberapa sistem/asas
rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga material
dan sistem rumah tangga nyata atau riil.namun selain tiga sistem rumah tangga daerah
sebagaimana disebutkan oleh Tresna, Bagir manan dan Moh,mahfud tersebut menrut
Josef riwu kaho masih ada sistem rumah tangga sisa (residu) dan sistem rumah tangga
yang nyata, dimanis dan bertanggung jawab. Demikian pula menurut S.H. Sarundajang,
setidaknya terdapat lima macam otonomi yang pernah diterapkan di berbagai Negara
didunia, yakni: (1) otonomi organik (rumah tangga organik. (2) otonomi formal (rumah
tangga formal), (3) otonomi material (rumah tangga material/substantif); (4) otonomi riil
(rumah tangga riil); (5) otonomi yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis.
1. Sistem rumah tangga formal
Pada sistem rumah tangga formal, pembagian wewenang tugas dan tanggung
jawab antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tertentu tidak dapat diterapkan secara rinci
4

Sistem rumah tangga formal berpangkal tolak dari perinsip bahwa tidak ada
perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan
oleh daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat
pula diselenggarakan daerah. Pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab
untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan
pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan lebih berhasil
kalau diatur dan diurus oleh satuan pemerintahan tertentu, dan begitu pula sebaliknya.
Pertimbangan daya guna (dan hasil guna) merupakan titik perhatian untuk
menentukan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut.
Dalam sistem rumah tangga formal tidak secara a priori ditetapkan apa yang
termasuk rumah tangga daerah itu. Tugas-tugas dari daerah itu tidak terinci secara
nominative di dalam undang-undang pembentukannya, melainkan ditentukan dalam
suatu rumus umum saja. Rumusan umum ini hanya mengandung asas-asas saja,
sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada pemerintah daerah. Batasnya
tidak ditentukan secara pasti, tetapi tergantung kepada keadaan, waktu dan tempat.
Secara teoritik sistem rumah tangga formal memberikan keleluasaan yang
seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
menjadikan urusan tersebut sebagai urusan rumah tangga daerah. Satu-satunya
pembatasan terhadap daerah adalah: bahwa daerah tidak boleh mengatur apa yang
telah diatur dengan undang-undang c.q. peraturan daerah yang lebih tinggi
martabatnya. Apabila pihak yang lebih tinggi kemudian mengatur apa yang tadinya
telah diatur oleh daerah, maka peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu tidak lagi
belaku lagi.
Ditinjau dari pespektfi hubungan antara pusat dan daerah, sepintas lalu system
rumah tangga formal memberikan peluang kuatnya kecenderungan desentralisasi,
kuatnya susunan otonomi. Dalam kenyataan tidaklah demikian, bahkan sebaliknya
yang mungkin sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang baik untuk
mendukung kecenderngan sentralisasi. Ketidak pastian urusan rumah tangga daerah,
tidak ada tradisi otonomi, rendahnya insitaif daerah akan menjelmakan daerah yang
serba menunggu dan tergantung kepada pusat. Terlebih lagi apabila keuangan daearah
tidak mampu menompang kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan keuangan
dari pusat.
2. Sistem rumah tangga material
Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang
termasuk dalam urusan rumah tangga daerah di tetapkan dengan pasti. Sistem rumah
tangga material berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan
mendasar antara urusan pemerintah pusat dan daearah. Daerah dianggap memang
mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara material
berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat. Lebih lanjut
sistem ini berangkat dari pemikiran bahwa urusan-urusan pemerintahan itu dapat
dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintah.
Cara ini kurang begitu fleksibel, karena setiap perrubahan tugas dan
wewenang daerah baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus
dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Ini akan menghabat
kemajuan bagi daerah yang mempunyai insiatif/prakarsa, karena mereka harus
menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang setiap suatu
urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh
pemerintah daerah.
5

Sistem rumah tangga material sebenarnya berpangkal tolak pada dasar


pemikiran yang keliru yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan itu dapat dipilahpilah. Memang dalam hal-hal tertentu tanpak sifat atau karakter suatu urusan
pemerintahan misalnya yang menyangkut kepentingan dan ketertiban seluruh Negara
seperti urusan pertahanan, keamanan, urusan luar negeri, urusan moneter tertentu.
Tetapi cukup banyak urusan pemerintahan yang menampakkan sifat atau karakter
ganda. Lebih lanjut dapat pula di utarakan bahwa dalam setiap urusan pemerintahan
mungkin terkandung berbagai dimensi atau bagian-bagian yang perlu diatur diurus
secara berbeda, misalnya urusan pemerintahan dibidang pertanian. Tidak mudah
untuk menentukan urusan pembibitan masuk rumah tangga daerah, sedangkan pasca
panen masuk urusan pusat.
Dari keyataan-keyataan diatas, sangatlah sulit untuk menentukan secara rinci
urusan masing-masing satuan pemerintahan lebih lanjut, sistem rumah tangga material
tidak memberikan peluang untuk secara cepat menyesuaikan suatu urusan
pemerintahan yang semula dianggap sebagai sesuatau yang bersifat setempat atau
lokal, karena perkembangan dapat berubah menjadi suatu urusan yang bercorak
nasional, sehingga perlu diatur dan diurus secara nasional.
Dari analisis diatas Bagir manan menyimpulkan bahwa sistem rumah tangga
material tidak dapat dijadikan patokan obyektif untuk menciptakan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah.
3. Sistem rumah tangga nyata (riil)
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada
daerah didasarkan pada faktor nyata dan riil, sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta
wewenang ini didasarkan pada keadaan yang riil didalam Masyarakat, maka
kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas/urusan yang selama ini
menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepemerintah daerah dengan
melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri.
Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana
dipandang perlu dpat diserahkan kembali kepemerintah pusat atau ditarik kembali dari
daerah.
Sistem rumah tangga ini lazim pula disebut (sitem) otonomi nyata atau
otonomi riil. Disebut nyata karena isi rumah tangga daerah didasarkan kepada
keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Tresna menyebut sistem ini mengambil jalan
tengah. Tentu yang dimaksud dengan jalan tengah antara sistem rumah tangga formal
dan sistem rumah tangga material. Wewenang yang dirumuskan secara umum pada
sistem rumah tangga formal memberikan landasan untuk mewujudkan prinsip
kebebasan dan kemandirian dalam rumah tangga. Di pihak lain, kelemahan sistem
rumah tanga material akan merangsang timbulnya ketidak puasaan daerah dan
spanning hubungan antara pusat dan daerah.
Jadi sistem rumah tangga formal mengandung dasar-dasar yang lebih kokoh
untuk mewujudkan perinsip-perinsip dan tujuan rumah tangga daripada sistem rumah
tangga material. Dalam konteks pemikiran seperti ini dapatlah dipahami apabila
sistem rumah tangga nyata meletakkan asasnya pada sistem rumah tangga
formal.yang disertai dengan unsure-unsur sistem rumah tangga material, tujuan rumah
tangga, khususnya otonomi dapat mewujudkan secara wajar.
Memang benar rumah tangganya nyata mengandung cirri-ciri sistem rumah
tangga formal dan rumah tangga material. Meskipun demikian rumah tangga nyata
6

menunjukkan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan sistem rumah tangga formal
dan sistem rumah tangga material yaitu: Pertama, adanya urusan pangkal yang
ditetapkan pada saat penetapan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai
urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem
rumah tangga formal. Kedua, disamping urusan-urusan rumah tangga yang ditetapkan
secara material daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan
mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah
penting bagi daerahnya sepanjang belum diataur dan diurus oleh pusat atau daerah
tingkat lebih atas. Ketiga, otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan pada faktorfaktor nayata suatu daerah. Hal ini memungkinkan berbedaan isi dan jenis urusanurusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.
Dara ciri-ciri di atas, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa rumah
tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dari sistem
rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material. Sebagai jalan tengah, sistem
rumah tangga nyata diharapkan dapat mengatasi kesulitan atau kelemahan yang
terkandung dalam sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material.
4. Sistem rumah tangga sisa (residu)
Dalam sistem ini, secara umum terlah ditentukan lebih tugas-tugas yang
menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menajdi urusan rumah
tangga daerah.
Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluankeperluan baru, pemerintahan daearah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan
tindakan yang dianggap perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya,
sistem ini dapat menimbulkan kesulitan mengigat kemampuan daerah yang satu
dengan yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang. Akibatnya,
bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi
daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi daerah yang
kemampuanya terbatas.
5. Sistem rumah tangga nyata, dinamis dan bertanggung jawab
Prinsip ini merupakan salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Esensi
otonomi yang nyata (riil) dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus
didasarkan kepada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daearah yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.
Otonomi darah ini harus merupakan otonomi yang bertanggung jawab, dalam
arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu
melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi dan
tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang diberikan didalam garis-garis
besar haluan Negara, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin
hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar kebutuhan
Negara kesatuan serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Tambahan istilah dinamis tidak merubah pengertian otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab, akan tetapi hanyalah merupakan sesuatu penekanan (stressing).
Otonomi daerah merupakan wujud kehidupan demokrasi dalam konteks
penyelenggaraan Negara kesatuan (eenheidstaat). Otonomi daerah merupakan wadah
kehidupan demokrasi. Rakyat melalui para wakil mereka (DPRD), turut serta dalam
penyelenggraan pemerintahan, berdasarkan daerah yang dibangun dalam sistem

pemerintahan desentralisasi. Rakyat mengatur rumah tangga mereka sendiri dalam


ragka penyelenggaraan otonomi daerah.
Suatu Negara kesatuan baru merupakan wujud pemerintahan demokrasi
tatkala otonomi daerah dijalankan secara efektif guna memperdayaan kemaslahatan
rakyat, mencakup kewenagan zelfwetgeving (perda-perda) yang mengakomodir
kepentingan rakyat banyak dan penyelengaraan pemerintahan (zelfbestuur) yang
diemban secara demokratis. Porsi otonomi daerah tidak cukup dalam wujud otonomi
daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format
otonomi daerah yang seluas-luasnya. Adanya pandangan yang tidak menyetujui istilah
otonomi daerah yang seluas-luasnya dikhwatirkan konsep otonomi daerah yang
seluas-luasnya berkonotasi membangun image akan munculnya ide Negara bagian
dalam Negara federasi (federal state). Hal tersebut menurut laica marzuki tidak
beralasan, karena mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya rakyat cenderung
menahan diri membayangkan Negara federal. Otonomi daerah yang seluas-luasnya
tiada lain dari wujud Negara bagian federal dalam format daearh otonom, kecuali
antara lain beberapa kewenangan yang perlu dirumuskan secara limitative. Konsep
otonomi daerah yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya mendukung ide
Negara federal.
C. Terbwntuknya otonomi daerah Era Reformasi di lihat dari UU No.22 Tahun 1999
Memasuki babak baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dibawah UU No. 22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah (UUPD) dan UU No 25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UUPKPD) melaui dua UU
tersebut daerah diberi kesempatan untuk mengatur daerahnya dengan ditompang
pendanaan yang lebih memadai lahirnya undnag-undnag nomor 22 Tahun 1999 yang
diusulkan dengan undang-undnag nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah, sebagai perwujudan dari reformasi dalam bidnag
pemerintahan pada waktu itu yang merupakan koreksi total atas UU Nomor 5 Tahun
1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan
cita-cita UUD 1945. UU Nomor 22 Tahun 1999 mulai berlaku 7 Mei 1999, leih dikenal
dengan nama UU Otonomi Daerah 1999, lahir sebagai pelaksanaan ketetapan MPR RI
Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan juga dibawah
rangka UUD 1845. Seperti proses lahirnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah
sebelumnya, juga UU No 22 Tahun 1999 ini terkesan merupakan pergeseran pendulum
(bandul) dari satu ekstrim yang satu ke ekstrim yang lainnya, sesuai dengan kondisi
politik saat itu. UU Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pergeseran pendulum yang cukup
drastis dari kondisi sentralistis yang lebih luas.
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 secara formal menggunakan asas
desentralisasi, dengan memperkuat fungsi DPRD dalam pembuatan peraturan daerah.
DPR mempunyai kewenangan memilih dan memberhentikan kepala daerah. UU No. 22
tahun 1999 hanya menunjuk gubernur sebagai pelaksanaan dekosentrasi disamping
desentralisasi. Undang-undang ini juga mengatur asas pembantuan hingga pengaturan
tentang pemerintahan Desa.
Sesuai isi UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem
bertingkat dan hanya mengenal dua daerah otonom,yaitu provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk itu, dirumuskan:
a. Wilayah Negara rebuplik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi kabupaten, dan kota
yang bersifat otonom.
b. Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan
hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999)
8

c. Daerah provinsi berkedudukan juga sebagai daerah administrative


Adapun susunan pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:
1) Kepeala daerah provinsi (Gubernur), kepala daerah kabupaten (Bupati), kepala
daearah kota (Walikota), Camat, lurah/kepala desa.
2) Didaerah dibentuk DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah
sebagai badan eksekutif daerah.
3) Pemerintahan daearah terdiri dari atas kepala daerah dan perangkat daerah lainnya.
4) DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan daerah.
5) Dalam menjalankan tugasnya, gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi,
bupati dan wali kota bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten/kota.
Undang-undang nomor 22 tahun 1999, dirumuskan dalam pasal 7-13 tentang
kewenagan daerah dengan rinci dan intinya:
a. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan lain (pasal 7 ayat (1)).
Kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dan perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian
Negara, pemberian dan pemberdayaan sumber daya manusia, pemberdayaan sumber
dayaan alam serta teknologi yang setrategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
b. Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiyaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang
diserahkan tersebut.
c. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
d. Daerah tidak saja berwenang di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut (pasal 10,
ayat (2), (3)).
e. Dalam hal pelaksanaan dekosentrasi: provinsi sebagai wilayah administrative
mendapat kewenangan yang ditempatkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
f. Tugas pembantuan: pemerintah dapat menugaskan kepada daerah tugas-tugas tertentu
dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah.
Undang-undnag nomor 22 tahun 1999 secara tegas mengganti prinsip otonomi
daerah baru dengan.
a. Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab (penjelasan umum I huruf h)
b. Penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek demokrasi, partisipatif, adil dan
merata dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (penjelasan
umum I huruf I (1)).
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh di letakkan kepada daerah kabupaten
dan daerah kota.
d. Otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus menjalankan fungsi dekosentrasi
(penjelasan umum I huruf I (2 dan 3)). Ketentuan tentang keuangan daerah menurut
UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun1999. Undang-undang No 22 Tahun
1999 dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan
kewenangan dan kemamuan meggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh
perimbanagan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Peraturan daerah tidak
lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat.
9

Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (pasal 7).
Sesuai isi pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari:
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), dan penerimaan dari
sumber daya alam;
b. Dana alokasi umum (DAU);
c. Dana alokasi khusus (DAK);
Adapun pembiyaan tugas pemerintah daerah dan DPRD di biayai dari dan atas
beban APBD (pasal 78 ayat 1)).Sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah
dibiayai dari dan atas beban APBN (pasal 78 ayat (2)). Pengesahan APBD dalam bentuk
peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan DPRD.
Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daearah dalam
UU No 5 tahun 1974, yang terdiri dari: pengawasan umum, pereventif dan represif, maka
sebagai koreksi atas sifat otonom yang sentralistik maka UU No. 22 tahun 1999, hanya
mengenal: pengawasan refresif :
Pemerintah pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Daerah yang tidak bisa menerima keputusan
pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Agung setelah
mengajukannya kepada pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda
atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat reformasi yang salah kaprah
dan kurang memahami sistem perundang-undangan yang ada, dengan alasan demi
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Sejak lahirnya UU desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan
UUD 1945, mengakui eksistensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pengaturan otonomi daerah. Kalau pada UU nomor 5 tahun 1974
tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, pengaturan desa di tempatkan dalam undangundang tersendiri, yaitu UU nomor 5 tahun 1979, tetapi kedua UU tersebut merupakan
kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintah daerah.
UU No. 22 tahun 1999, dalam ketenntuan umum pasal 93-111, mengatur tentang
otnomi desa sebagai berikut:
a. Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul adat istiadat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada didaerah kabupaten (ketentuan
umum pasal 1,o).
b. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintahan desa dan badan perwakilan desa (BPD).
c. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat membuat peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan terhadap pemerintah desa.
d. Pemrintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
e. Kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan
laporan pelaksanaan tugasnya kepada bupati.
f. Kewenangan desa mencakup.
1.) Keweanangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2.) Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah

10

3.) Tugas pembatuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau tugas


pemerintah kabupaten.
g. Sumber pendapatan desa terdiri dari atas: pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil
kekayaan desa, hasil swadayan dan partisipasi, hasil gontong royong, dan lain-lain
hasil pendapatan asli desa yang sah); bantuan dari pemerintah kabupaten (bagian dari
perolehan pajak dan retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keunagan
pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kaupaten); bantuan dari pemerintah
dan pemerintah provinsi; sumbangan dari pihak ketiga; dan pinjaman desa (pasal 107
UU Nomor 22 tahun 1999).
Ciri yang menonjol dari UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yaitu:
1. Demokrasi dan demokratisasi, ciri yang meyangkut dua hal, yaitu mengenai
rekrutmen pejabat politik didaerah dan menyangkut proses legislasi di daerah.
Dalam hal rekrumen pejabat politik didaerah menyerahkan kewenangan sepenuhnya
kepada masyarakat melalui DPRD dan tidak ada lagi campur tangan pemerintah
pusat. Sedangkan mengenai proses legislasi dan regulasi di daerah tidak lagi harus
di sahkan oleh pemerintah pusat.
2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Titik berat otonomi ada pada daerah
kabupaten atau kota. Ini dilakukan dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat.
3. Sistem otonomi luas dan nyata. Dengan sistem ini pemerintah daerah berwenang
melakukan apa aja yang meyangkut penyelenggaraan pemerintahan kecuali
dibidang politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan dan keamanan,
peradilan dan agama.
4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat. UU ini tiddak mengenal daerah
tingkat I dan daerah tingkat II juga tidak ada herarki antara provinsi dengan
kabupaten/kota.
5. No mandate without funding. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah
harus dibiayai dari dana anggaran belanja dan pendapatan Negara (APBN)
(gafar,2000).
Salah satu kekuatan UU No.22 Tahun 1999 yang bisa dilihat dari
implementasi UU tersebut adalah adanya keleluasan daerah untuk berprakarsa sendiri
secara relatif mandiri dalam mengatur dan mengurus kepentingan, pertama, daerah
tidak lagi harus menunggu petunjuk pelaksanaan (junlak), petunjuk teknis (juknis), atau
intruksi pusat sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru. Kedua, dimungkinkannya
pemberdayaan DPRD dalam relasi kekuasaan dengan kepala daerah. Perkembangan
positif ini untuk pengawasan politik dan pembatasan kekuasaan monolitik di tangan
kepala daerah yang banyak sekali terjadi dimasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974.
Ketiga,kembalinya sebagian putra daerah kekampung halaman masing-masing untuk
membangun, perlu pula disambut secara positif.
Namun UU No 22 Tahun 199 tentang pemerintahan daerah, baik dari segi
kebijakan maupun aspek implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan. Dari
sisi kebijakan, mengandung sisi kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif
dalam implementasi otonomi daerah adapun kelemahan-kelemahan itu antara lain,
pertama, aspek kelembagaan pemerintahan daerah yang menepatkan posisi DPRD
terlalu dominan, kedua, akuntabilitas DPRD kepada publik. Ketiga, tidak adanya ruang
pastisipasi bublik dalam mengontrol kebijakan publik. Keempat, kebijakan otonomi
daerah hanya mengutungkan daerah-daerah kaya SDA. Kelima, tidak adanya otoritas
lembaga yang kuat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar daerah.
Selain itu sisi implementasi otonomi daerah juga memunculkan dampak
negatif. Pertama terjadi friksi antara kepala daerah dengan DPRD dalam hal laporan
11

pertanggung jawaban kepada daerah. Kedua, perangkat organisasi daerah menjadi


gemuk dan besar. Ketiga, penyediaan pelayanan dasar yang belum memadai. keempat,
munculnya raja-raja kecil di daerah-daerah, kelima, terjadi primodialisme dalam hal
pegangkatan kepala daerah dan jajaran birokrasi. Keenam, terjadinya komflik dalam
merebutkan sumber daya antara daerah. Ketujuh, ekonomi biaya tinggi akibat dampak
upaya meningkatkan sumber PAD dengan meningkatkan tarif dan ekstensifikasi
retribusi dan pajak daerah akibat kelemahan-kelamahan tersebut muncullah desakan
revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999.
D. Terbentuknya otonomi daerah dalam UU No 32 Tahun 2004
Kelahiran UU 32 tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999
nyaris kurang mendapat perhatian publik. Kurangnya perhatian ini disebabkan publik
disibukkan persoalan-persoalan gegap gempita pelaksanaan pemilu legislatif dan
pilpres langsung 2004, sehingga keluarnya UU No 32 tahun 2004 tersebut luput dari
perhatian buplik. Sementara itu, pihak lain, pemerintah dan DPR dalam membahas UU
32/2004 itu tersebut kesan diam-diam dan terburu-buru seperti kejar tayang dimana
revisi terhadap UU No 22 tahun 1999 segera dilakukan.
Sebagaimana dikemukakaan sebelumnya, materi UU 32/2004 selain memuat
materi pengaturan tentang pilkada juga memuat materi tentang pemerintah daerah
pemerintahan daerah atau orang kerap menyebutnya dengan otonomi daerah sebenarnya
hakikat dari UU 32/2004. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perinsip otonomi
daerah menggunakan perinsip otonomi seluas-luasnya dan perinsip otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
otonomi yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah. Daearah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daearah untuk memberi palayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Maka urusan yang menjadi urusan kewenangan daerah terbagi atas urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan pelayanan
dasar, sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang terkait dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah. Urusan wajib pemerintahan yang diberikan kepada
pemerintah daerah sebanyak 16 urusan pemerintahan itu berlaku sama baik bagi
pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota, sedangkan yang
membedakannya adalah sekala berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan
efesiensi.
Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) selain menyelenggarakan
urusan wajib juga dapat meyelenggarakan urusan pilihan. Hanya saja apa itu yang
menjadi urusan pilihan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah tidak disebutkan
secara eksplisit. Satu-satunya kriteria yang menjadi acuan bahwa itu urusan pilihan adalah
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Jenis urusan
pilihan itu baru disebutkan secara eksplisit ada pada penjelasan pasal 13 ayat (2) dan
pasal 14 ayat (2), yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi yang dimilki antara lain
pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.
Dalam UU No 32 tahun 2004 disebutkan juga tentang kawasan khusus, dimana
pemerintahan dapat membentuk kawasan khusus untuk kepentingan nasional. Dalam
pembentukan kawasan khusus ini memang daerah dilibatkan. Adapun bentuk kawasan
khusus itu dapat berbentuk badan otorita, BUMN, dan sebagainya. Sedangkan dalam hal
12

laut disebutkan bahwa laut bukan merupakan wilayah daerah, daerah hanya diberi
kewenangan untuk mengelola SDA yang ada dilaut. Kewenangan dalam mengelola SDA
yang ada dilaut ini, kewenangan provinsi hanya 12 mil dan kabupaten/kota sepertiganya.
Berdasarkan pemaparan diatas, secara umum bahwa UU 32 /2004 tentang
pemerintahan daerah bersifat resentralisasi, sehingga tak sedikit kalangan yang menyebut
bahwa UU 32/2004 sama seperti UU No. 5 tahun 1974. Adanya resentralisasi tersebut
terlihat dari beberapa indikator. Pertama, dihilangkannya atau digantinya kata
kewenangan menjadi urusan. Ini merupakan hal yang fundamental, sebab kata
kewenangan menjadi urusan, ini merupakan hal yang fundamental, sebab kata
kewenangan dan urusan merupakan dua hal yang berbeda secara substansial. Kata urusan
merupakan bagian dari kewenangan, dengan demikian pemerintah daerah
kewenangannya menjadi kecil, hanya sekedar urusan pemerintahan. sedangkan dengan
kewenangan, berarti memiliki authority/power atau kekuasaan yang relatif luas.
Kedua, dalam pembagian kewenangan juga terjadi resentralisasi. Apabila dalam
UU No. 22 tahun 1999 pemerintah daerah memilki kewenangan bagi semua urusan
pemerintah kecuali yang menjadi kewenagan pemerintah, kini pada UU No.32/2004 hal
itu tidak terdapat lagi. Kewenangan pemerintah daerah menjadi terbatas, karena
kewenangan pemerintah daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang bukan
sepenuhnya, tetap dibagi dengan kewenangan pemerintah, dibagi lagi dengan
kewenangan urusan pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.
Ketiga, resentralisasi itu juga terlihat dari posisi gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Apabila pada UU No.22 Tahun 1999, posisi gubernur hanya sebagai
koordinator maka pada UU No. 32 tahun 2004 posisinya begitu kuat sebagai wakil
pemerintah pusat. Posisi dominan gubernur tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Posisi Gubernur dalam UU No.32 tahun 2004


Kewenangan
Bupati/Walikota Menyerahkan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kepada Pemerintah Melalui Gubernur (Pasal 27)
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Bertanggung Jawab Kepada Presiden
(Pasal 38)
Gubernur Melakukan Pegangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Jabatan
Eselon II Pada Pemeritahan Kabupaten/Kota
Gubernur Memiliki Kewenangan Melakukan Pembinaan Dan Pengawasan
Terhadap Manajemen Kepegawaian Dikabupaten/Kota.
Gubernur Mengangkat dan Memberhentikan Sekda Kabupaten/Kota Atas Usul
Bupati/Walikota.
Gubernur dapat Melakukan Evaluasi Terhadap Rancangan Perda
Kabupaten/Kota Tentang APBD setelah ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

Keempat, berkaitan dengan yang ketiga diatas maka DPRD maupun


Bupati/Walikota, tidak memiliki kewenangan apapun dalam pembuatan perda karena
perda yang dibuat dapat dibatalkan oleh pusat manakala bertentangan dengan
kepentingan umum, suatu terminologi yang rancu yang ambigu karena kerap defenisi
kepentingan umum dalam praktik tidak jelas. Pembatalan perda oleh pusat tersebut pada
gilirannya akhirnya meniadakan hak representasi dan hak legislasi DPRD sebagai institusi
pembuat regulasi di tingkat daerah. Sedangkan yang berkaitan dengan kepala daerah yang
dipilih secara langsung dan memiliki legitimasi secara langsung dan memiliki legitimasi
yang kuat tetapi keputusannya dapat dianulir oleh pusat (Mendagri).

13

Kelima, masalah kepegawaian daerah atau perangkat daerah juga mengalami


resentralisasi. Resentralisasi dalam masalah kepegawaian daerah ini terlihat dalam hal
pegangkatan sekretaris daerah yang tidak lagi menjadi kewenangan penuh
Bupati/Walikota tetapi terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan Gubernur.
Pemerintah juga melakukan pembinaan manajemen PNS daerah yang meliputi penetapan
reformasi, pengadaan, pegangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, maupun pengembangan kompetensi
dan pengendalian jumlah. Tentu saja perluasan peranan pusat dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap daerah akhirnya akan mengaburkan hakikat otonomi daerah itu
sendiri.
Keenam, di DPRD terjadi kawin paksa dalam pembentukan fraksi-fraksi. Ini
terjadi karena adanya aturan pembentukan fraksi harus mengacu pada jumlah komisi di
DPRD, sehingga apabila DPRD tersebut ada 4 komisi maka jumlah fraksi yang ada di
DPRD harus pula empat. Mereka yang berhak membentuk fraksi utuh adalah partai-partai
politik yang memilki minimal 5 kursi, bagi partai politik yang kurang dari jumlah tersebut
harus bergabung dalam satu fraksi. Selain itu, hak masing-masing partai politik yang
memperoleh kursi di DPRD untuk merebut unsur pimpinan dewan hanya ada pada partai
politik yang memperoleh suara terbanyak sampai urutan ketiga, kurang dari itu tidak
mendapat hak untuk mencalonkan sebagai unsur pimpinan dewan.
Ketujuh, menurut UU No. 32 tahun 2004, posisi DPRD secara politis cenderung
lebih lemah dalam berhubungan dengan kepala daerah dan dengan pemerintah pusat. Hal
ini karena kepala daerah mempunyai hubungan dengan pemerintahan pusat melalui
gubernur, sementara DPRD tidak ada. Posisi lemah DPRD bertambah karena ia tidak lagi
memilki kewenangan yang sebelumnya ada yaitu pelaporan pertanggung jawaban (LPJ)
kepala daerah. Dalam UU yang baru ketentuan ini di tiadakan, sebagai gantinya berupa
laporan keterangan kemajuan penyelenggaraan pemerintahan. dan tidak adanya LPJ
tersebut, lalu apa bentuk akuntabilitas kepala daerah selama ia memimpin? Tidak ada.
Kedelapan, dalam hal pengaturan masalah pendapatan dan keuangan daerah
tidak ada kemajuan, sama seperti UU No 22 Tahun 1999. Padahal yang selama ini dikritik
salah satunya adalah perlunya perluasan pendapatan dan keuangan daerah. Selama ini
pajak yang diberikan kepada daerah yang kecil-kecil, sedangkan bentuk pajak yang
gemuk-gemuk tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Diantara yang muncul adalah
penyerahan kewenangan dalam hal pengelolaan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Kesembilan, apabila dalam UU No. 22 tahun 1999, daerah memiliki
kewenangan dalam mengelola sumber daya alam (SDA), maka pada UU No. 32 tahun
2004 hal itu dikelola secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini
dapat dilihat dalam pasal 2 ayat (4) dan (5), yang menyatakan, pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan memilki hubungan dengan pemerintah dan
dengan pemerintah daerah lainnya, dimana hubungan tersebut meliputi hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemamfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya. Dalam hal pemamfaatan SDA, pasal 60 ayat (3) menyebutkan bahwa
dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: (1) penerimaan
kehutanan; (2) penerimaan pertambangan umum; (3) penerimaan perikanan; (4)
penerimaan pertambangan minyak; (5) penerimaan pertambangan gas; (6) penerimaan
pertambangan panas bumi.
Kesepuluh, berkaitan dengan badan perwakilan desa (BPD) yang bukan saja
namanya diganti menjadi badan permusyarawatan desa, tetapi fungsi dan pembetukannya
berbeda. Apabila dalam UU 22/1999 BPD dipilih oleh masyarakat desa kini berubah
menjadi dipilih berdasarkan musyawarah-mufakat. Fungsi yang dimilki PBD hanya
terbatas pada menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
14

menyalurkan aspirasi masyarakat. sedangkan yang berkaitan dengan fungsi pengawasan


terhadap kepala desa ditiadakan.
Perbandingan Kebijakan dari UU No 22 Tahun 1999 Ke UU No 32 Tahun 2004
No
1.

Undang-Undang
UU No 22 tahun
1999 dan UU No.25
tahun 1999

Susunan daerah
a. Wilayah negara RI dibagi dalam daerah provinsi,
kabupaten, dan kota bersifat otonom;
b. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri
dan tidak mempunyai hubungan hierarki
c. Daerah provinsi berkedudukan juga sebagai
daerah administratif

2,

UU No 32 tahun
2004 dan UU No 33
tahun 2004

a. Negara kesatuan republik indonesia dibagi atas


daerah-daerah provinsi dan daerah-daearah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.
b. pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan memilki hubungan dengan
pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya,
meliputi
hubungan
wewenang,
keuangan
,pelayanan umum, pemamfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya alinnya

Undang - undang
Susunan pemerintahan daerah
Uu No 22 tahun
a. kepala daerah provinsi (gubernur) kepala daerah
1999 dan UU No.25
kabupaten (bupati), kepala daerah kota (walikota),
tahun 1999
camat, lurah/kepala desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD (sebagai badan
legislatif daerah) dan pemerintah daerah ( sebagai
badan eksekutif daerah)
c. pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan
perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
daripemerintah daerah
e. Dalam menjalankan tugasnya , gubernur
bertanggung jawab kepada DPRD provinsi , bupati
dan walikota bertanggung jawab kepada DPRD
Kabupaten /kota

UU No 32 tahun
a. Pemerintah daerah
2004 dan UU No 33
tahun 2004
1).pemerintahan daerah provinsi yang terdiri dari atas
pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi;
2). pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten
kota/kota
15

b. Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud diatas


terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah
c.

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan


berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah
daerah, dengan memilki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan

Undang-undang
UU No 22 tahuna.
1999 dan UU No.25
tahun 1999

Hubungan keuangan pusat dan daerah


sumber-sumber penerimaan: PAD (hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah); dana
perimbangan, pinjaman daerah; dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah
b. Hak pengelolaan: pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan dekosentrasi,
tugas pembantuan dan desentralisasi dilakukan secara
terpisah. Kepala daerah adalah pejabat pengelola keuangan
daerah (dana desentralisasi) dan pertanggungjawaban
kepada DPRD.
c. pengesahan: pengesahan APBD dalam bentuk peraturan
daerah yang ditetapkan oleh kepala daerahdengan
persetujuan DPRD.

UU No 32 tahun Sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah


2004 dan UU No 33 dan pembiayaan.
tahun 2004
a. Pendapatan daerah bersumber dari: pendapatan asli
daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan
b. pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan
anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dan
dana cadangan daerah, dan hasil penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan.

Undang-undang
UU No 22 tahun
1999 dan UU No.25
tahun 1999

Hubungan pengawasan pusat - daerah


Pengawasan represif: pemerintah pusat melakukan
pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah
keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan
lainnya (daerah yang tidak menerima keputusan
pembatalan dapat mengajukan keberatannya kepada MA
setelah mengajukannnya kepada pemerintah);

UU No 32 tahun Pengawasan meliputi: pengawasan atas penyelenggaraan


16

2004 dan UU No 33 pemrintah di daerah dan pengawasan atas perda dan


tahun 2004
keputusan kepala daerah
a. Pengawasan penyelenggaraan pemerintah di daerah
dilaksanakan oleh aparat pengawas intern
pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
b. Pengawasan perda/keputusan kepala daerah
1.pengawasan represif: perda disampaikan kepada
pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan: perda
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah. Dalam waktu 60 hari;
Provinsi/kabupaten/kota yang tidak dapat menerima
keputusan pembatalan dapat mengajukan keberatan kepada
MA
2. Pengawasan Preventif: Khusus untuk perda meyangkut
pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan tata ruang
(RUTR)

17

Anda mungkin juga menyukai