atas kedaulatan rakyat dalam rangka itu lahirlah UU No 22 Tahun 1948 tentang
pemerintah Daerah. Satu hal perinsip yang penting dari UU No.22 Tahun 1948 ini adalah
memberikan otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada badan pemerintah
daerah yang tersusun secara demokratis.
Saat indonesia kembali menjadi Negara kesatuan dan berdasarkan UUDS 1950,
pemerintah mengeluarkan UU No 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah
UU ini secara garis besar mengandung tiga perinsip dasar desentralisasi, yaitu:
1. Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), akan hanya ada satu bentuk susunan
pemerintahan, yaitu pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri (daerah otonom).
2. Daerah-daerah di bentuk menurut susunan derajat dari atas kebawah sebanyakbanyaknya tiga tingkat.
3. Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya, dengan menganut system otonomi riil.
Ketika konstelasi politik berubah dimana Indonesia tidak lagi menganut sistem
demokrasi parlementer tetapi menerapkan sistem demokrasi terpimpin melaui dekrit
presiden 5 juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, otonomi daerah mengalami
kemunduran legge menyebutnya sebagai retreat from autonmy mengapa ini terjadi karena
pemerintah mengambil tindakan drastis yaitu dengan mengubah UU No.1 Tahun 1957 dan
menggatinya dengan penpres No.6 tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui
Penpres No.5 Tahun 1960.
Dalam Penpres No.6 Tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok, yaitu:
1. Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di
bidang ekonomi daerah, diletakkan pada satu tangan, yaitu kepala daerah
2. Kedudukan kepala daerah tidak lagi hanya sebagai alat daerah, tetapi sekaligus juga
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
3. Dalam kedudukan seperti ini, kepala daerah adalah pegawai Negara, tidak lagi
bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
4. Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif, kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial,
melainkan bersifat tunggal.
5. Kepala daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan keputusan DPRD yang
bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya.
6. Menurut Penpres No.5 Tahun 1960, kepala daerah karena jabatannya adalah ketua
DPRD dan bukan anggota.
Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan UU sebagai penggati penpres No.
6 Tahun 1959, yaitu UU No. 18 tahun 1965. UU ini mencoba merangkum pokok-pokok
pikiran cita desentralisasi dan perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi
yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial, yaitu meletakkan
tanggung jawab yang riil yang seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah. Bersama
dengan di pembentukan UU No.18 tahun 1965, dibentuk pula UU No. 19 tahun 1965
tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat tewujudnya daerah
tingkat III di seluruh tanah air. Namun sayang UU ini tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
Ketika pergatian rezim dari demokrasi terpimpin ke Rezim orde baru, kebijakan
otonom daerah yang juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politik
desentralisasi menjadi terhambat. Sebab melaui kebijakan UU No.5 Tahun 1974 selain
menerapkan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam
mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asas dekonsentrasi dan
Sistem rumah tangga formal berpangkal tolak dari perinsip bahwa tidak ada
perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan
oleh daerah. Apa saja yang dapat diselenggarakan oleh pusat pada dasarnya dapat
pula diselenggarakan daerah. Pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab
untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan
pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan lebih berhasil
kalau diatur dan diurus oleh satuan pemerintahan tertentu, dan begitu pula sebaliknya.
Pertimbangan daya guna (dan hasil guna) merupakan titik perhatian untuk
menentukan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut.
Dalam sistem rumah tangga formal tidak secara a priori ditetapkan apa yang
termasuk rumah tangga daerah itu. Tugas-tugas dari daerah itu tidak terinci secara
nominative di dalam undang-undang pembentukannya, melainkan ditentukan dalam
suatu rumus umum saja. Rumusan umum ini hanya mengandung asas-asas saja,
sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada pemerintah daerah. Batasnya
tidak ditentukan secara pasti, tetapi tergantung kepada keadaan, waktu dan tempat.
Secara teoritik sistem rumah tangga formal memberikan keleluasaan yang
seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
menjadikan urusan tersebut sebagai urusan rumah tangga daerah. Satu-satunya
pembatasan terhadap daerah adalah: bahwa daerah tidak boleh mengatur apa yang
telah diatur dengan undang-undang c.q. peraturan daerah yang lebih tinggi
martabatnya. Apabila pihak yang lebih tinggi kemudian mengatur apa yang tadinya
telah diatur oleh daerah, maka peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu tidak lagi
belaku lagi.
Ditinjau dari pespektfi hubungan antara pusat dan daerah, sepintas lalu system
rumah tangga formal memberikan peluang kuatnya kecenderungan desentralisasi,
kuatnya susunan otonomi. Dalam kenyataan tidaklah demikian, bahkan sebaliknya
yang mungkin sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang baik untuk
mendukung kecenderngan sentralisasi. Ketidak pastian urusan rumah tangga daerah,
tidak ada tradisi otonomi, rendahnya insitaif daerah akan menjelmakan daerah yang
serba menunggu dan tergantung kepada pusat. Terlebih lagi apabila keuangan daearah
tidak mampu menompang kegiatannya dan tergantung pula pada bantuan keuangan
dari pusat.
2. Sistem rumah tangga material
Dalam sistem rumah tangga material ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang
termasuk dalam urusan rumah tangga daerah di tetapkan dengan pasti. Sistem rumah
tangga material berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan
mendasar antara urusan pemerintah pusat dan daearah. Daerah dianggap memang
mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara material
berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat. Lebih lanjut
sistem ini berangkat dari pemikiran bahwa urusan-urusan pemerintahan itu dapat
dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintah.
Cara ini kurang begitu fleksibel, karena setiap perrubahan tugas dan
wewenang daerah baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan, harus
dilakukan melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Ini akan menghabat
kemajuan bagi daerah yang mempunyai insiatif/prakarsa, karena mereka harus
menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang setiap suatu
urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh
pemerintah daerah.
5
menunjukkan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan sistem rumah tangga formal
dan sistem rumah tangga material yaitu: Pertama, adanya urusan pangkal yang
ditetapkan pada saat penetapan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai
urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem
rumah tangga formal. Kedua, disamping urusan-urusan rumah tangga yang ditetapkan
secara material daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan
mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah
penting bagi daerahnya sepanjang belum diataur dan diurus oleh pusat atau daerah
tingkat lebih atas. Ketiga, otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan pada faktorfaktor nayata suatu daerah. Hal ini memungkinkan berbedaan isi dan jenis urusanurusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.
Dara ciri-ciri di atas, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa rumah
tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dari sistem
rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material. Sebagai jalan tengah, sistem
rumah tangga nyata diharapkan dapat mengatasi kesulitan atau kelemahan yang
terkandung dalam sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material.
4. Sistem rumah tangga sisa (residu)
Dalam sistem ini, secara umum terlah ditentukan lebih tugas-tugas yang
menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menajdi urusan rumah
tangga daerah.
Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluankeperluan baru, pemerintahan daearah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan
tindakan yang dianggap perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya,
sistem ini dapat menimbulkan kesulitan mengigat kemampuan daerah yang satu
dengan yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang. Akibatnya,
bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi
daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi daerah yang
kemampuanya terbatas.
5. Sistem rumah tangga nyata, dinamis dan bertanggung jawab
Prinsip ini merupakan salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Esensi
otonomi yang nyata (riil) dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus
didasarkan kepada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daearah yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.
Otonomi darah ini harus merupakan otonomi yang bertanggung jawab, dalam
arti bahwa pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu
melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi dan
tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang diberikan didalam garis-garis
besar haluan Negara, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin
hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar kebutuhan
Negara kesatuan serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Tambahan istilah dinamis tidak merubah pengertian otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab, akan tetapi hanyalah merupakan sesuatu penekanan (stressing).
Otonomi daerah merupakan wujud kehidupan demokrasi dalam konteks
penyelenggaraan Negara kesatuan (eenheidstaat). Otonomi daerah merupakan wadah
kehidupan demokrasi. Rakyat melalui para wakil mereka (DPRD), turut serta dalam
penyelenggraan pemerintahan, berdasarkan daerah yang dibangun dalam sistem
Sumber pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (pasal 7).
Sesuai isi pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, dana perimbangan terdiri dari:
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), dan penerimaan dari
sumber daya alam;
b. Dana alokasi umum (DAU);
c. Dana alokasi khusus (DAK);
Adapun pembiyaan tugas pemerintah daerah dan DPRD di biayai dari dan atas
beban APBD (pasal 78 ayat 1)).Sedangkan penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah
dibiayai dari dan atas beban APBN (pasal 78 ayat (2)). Pengesahan APBD dalam bentuk
peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan DPRD.
Berbeda dengan sistem pengawasan pemerintah pusat terhadap daearah dalam
UU No 5 tahun 1974, yang terdiri dari: pengawasan umum, pereventif dan represif, maka
sebagai koreksi atas sifat otonom yang sentralistik maka UU No. 22 tahun 1999, hanya
mengenal: pengawasan refresif :
Pemerintah pusat melakukan pengawasan berupa pembatalan peraturan daerah
dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Daerah yang tidak bisa menerima keputusan
pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Agung setelah
mengajukannya kepada pemerintah.
Dari pengalaman kita mencatat bahwa ribuan peraturan daerah terpaksa ditunda
atau dibatalkan karena bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Hal itu timbul karena semangat reformasi yang salah kaprah
dan kurang memahami sistem perundang-undangan yang ada, dengan alasan demi
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
Sejak lahirnya UU desentralisasi 1903, hingga ketika Indonesia merdeka dengan
UUD 1945, mengakui eksistensi desa atau dengan nama lain, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pengaturan otonomi daerah. Kalau pada UU nomor 5 tahun 1974
tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, pengaturan desa di tempatkan dalam undangundang tersendiri, yaitu UU nomor 5 tahun 1979, tetapi kedua UU tersebut merupakan
kondisi yang saling melengkapi sebagai pengaturan pemerintah daerah.
UU No. 22 tahun 1999, dalam ketenntuan umum pasal 93-111, mengatur tentang
otnomi desa sebagai berikut:
a. Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul adat istiadat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada didaerah kabupaten (ketentuan
umum pasal 1,o).
b. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintahan desa dan badan perwakilan desa (BPD).
c. BPD berfungsi mengayomi adat istiadat membuat peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi, melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan terhadap pemerintah desa.
d. Pemrintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
e. Kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan
laporan pelaksanaan tugasnya kepada bupati.
f. Kewenangan desa mencakup.
1.) Keweanangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
2.) Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah
10
laut disebutkan bahwa laut bukan merupakan wilayah daerah, daerah hanya diberi
kewenangan untuk mengelola SDA yang ada dilaut. Kewenangan dalam mengelola SDA
yang ada dilaut ini, kewenangan provinsi hanya 12 mil dan kabupaten/kota sepertiganya.
Berdasarkan pemaparan diatas, secara umum bahwa UU 32 /2004 tentang
pemerintahan daerah bersifat resentralisasi, sehingga tak sedikit kalangan yang menyebut
bahwa UU 32/2004 sama seperti UU No. 5 tahun 1974. Adanya resentralisasi tersebut
terlihat dari beberapa indikator. Pertama, dihilangkannya atau digantinya kata
kewenangan menjadi urusan. Ini merupakan hal yang fundamental, sebab kata
kewenangan menjadi urusan, ini merupakan hal yang fundamental, sebab kata
kewenangan dan urusan merupakan dua hal yang berbeda secara substansial. Kata urusan
merupakan bagian dari kewenangan, dengan demikian pemerintah daerah
kewenangannya menjadi kecil, hanya sekedar urusan pemerintahan. sedangkan dengan
kewenangan, berarti memiliki authority/power atau kekuasaan yang relatif luas.
Kedua, dalam pembagian kewenangan juga terjadi resentralisasi. Apabila dalam
UU No. 22 tahun 1999 pemerintah daerah memilki kewenangan bagi semua urusan
pemerintah kecuali yang menjadi kewenagan pemerintah, kini pada UU No.32/2004 hal
itu tidak terdapat lagi. Kewenangan pemerintah daerah menjadi terbatas, karena
kewenangan pemerintah daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang bukan
sepenuhnya, tetap dibagi dengan kewenangan pemerintah, dibagi lagi dengan
kewenangan urusan pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.
Ketiga, resentralisasi itu juga terlihat dari posisi gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Apabila pada UU No.22 Tahun 1999, posisi gubernur hanya sebagai
koordinator maka pada UU No. 32 tahun 2004 posisinya begitu kuat sebagai wakil
pemerintah pusat. Posisi dominan gubernur tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
13
Undang-Undang
UU No 22 tahun
1999 dan UU No.25
tahun 1999
Susunan daerah
a. Wilayah negara RI dibagi dalam daerah provinsi,
kabupaten, dan kota bersifat otonom;
b. daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri
dan tidak mempunyai hubungan hierarki
c. Daerah provinsi berkedudukan juga sebagai
daerah administratif
2,
UU No 32 tahun
2004 dan UU No 33
tahun 2004
Undang - undang
Susunan pemerintahan daerah
Uu No 22 tahun
a. kepala daerah provinsi (gubernur) kepala daerah
1999 dan UU No.25
kabupaten (bupati), kepala daerah kota (walikota),
tahun 1999
camat, lurah/kepala desa.
b. Di daerah dibentuk DPRD (sebagai badan
legislatif daerah) dan pemerintah daerah ( sebagai
badan eksekutif daerah)
c. pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan
perangkat daerah lainnya.
d. DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra
daripemerintah daerah
e. Dalam menjalankan tugasnya , gubernur
bertanggung jawab kepada DPRD provinsi , bupati
dan walikota bertanggung jawab kepada DPRD
Kabupaten /kota
UU No 32 tahun
a. Pemerintah daerah
2004 dan UU No 33
tahun 2004
1).pemerintahan daerah provinsi yang terdiri dari atas
pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi;
2). pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten
kota/kota
15
Undang-undang
UU No 22 tahuna.
1999 dan UU No.25
tahun 1999
Undang-undang
UU No 22 tahun
1999 dan UU No.25
tahun 1999
17