Anda di halaman 1dari 5

Belum lama ini saya dihadapkan dengan sebuah percakapan yang pada akhirnya membuat saya berpikir dan

menjadi
lebih peka melihat fenomena disekitar saya. Kurang lebih percakapan tersebut berisikan penyesalan beberapa teman
saya yang mempunyai banyak kesempatan untuk berkembang dan menggunakan potensinya akan tetapi tidak bisa
mereka lakukan.
Sudah mempunyai banyak kesempatan dan peluang akan tetapi tidak dapat diwujudkan menyebabkan mereka
menyesal saat ini. ya mungkin memang benar penyesalan selalu terjadi belakangan, sudah barang tentu bukan
penyesalan namanya jika terjadi duluan. Lalu apakah yang membuat banyak kesempatan itu lepas begitu saja?
Percakapan ini berlanjut, ternyata kebanyakan dari mereka mempunyai jawaban yang yaitu takut untuk mencoba.
Alasan ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya memang, karena seberani-beraninya manusia pasti masih mempunyai
rasa takut. Akan tetapi jika rasa takut ini menjalar keberbagai bidang kehidupan manusia sudah tentu akan
menyusahkan si manusia itu sendiri. Karena ketakutan yang tidak berarti dan tidak seberapa malah menghambat
potensi diri yang seharusnya dapat digali dan dikembangankan.
Takut bertanya, takut bergaul dan bersosialisasi, takut berbicara, takut bergerak menuju sumber ilmu, takut..takut...dan
masih banyak ketakutan lain yang tidak penting. Ketakutan yang ditumpuk dan pada akhirnya menjadi kebiasaan akan
sulit dihilangkan. Ketakutan dimata saya seperti sebuah rokok atau zat psikotropika yang menyebabkan ketagihan.
Ketagihan atas rasa takut. Konyol memang.
Munculnya rasa takut memang tidak bisa dilihat dari satu sisi, karena banyak faktor yang mempengaruhi seseorang
mempunyai rasa takut. Bisa jadi pengalaman masa kecil, budaya dan adat, lingkungan tempat tinggal dan bergaul,
maupun bawaan sejak lahir. Akan tetapi apakah ketakutan tersebut tidak dapat dihilangkan? Dan bagaimana caranya
menghilangkan ketakutan tersebut?
Saya sampai saat ini belum tau cara yang paling efektif untuk menghilangkan rasa ketakutan. Akan tetapi cara-cara
konvensional mungkin dapat dicoba dengan cara les kepribadia, hadir diacara motivator, meniru teman sebaya,
ataupun belajar melawan diri sendiri yang memunculkan ketakutan tersebut.
Fenomena disekitar saya sejak saya kecil sampai dewasa menunjukkan bahwa terlalu banyak orang-orang yang
merasa takut, yang menjadi lebih parah adalah karena ketakutan tersebut sungguh sangat tidak berarti. Saya sendiri
juga turut ikut dalam generasi takut ini. mungkin ketakutan saya ini karena terlalu intens bergaul dengan kelompok yang
juga termasuk generasi takut.
Pada akhirnya generasi takut sudah tentu akan kalah oleh segelintir generasi pemberani yang jumlahnya sangat sedikit.
Mereka (generasi pemberani) sudah tentu berani mengambil langkah antimainstream dikala banyak orang-oang yang
mainstream dengan ketakutan mereka. Mungkin ini juga yang menyebabkan jumlah orang-orang superkaya didunia
hanya 5% dari total keseluruhan penduduk dunia. Mungkin juga inilah yang menyebabkan banyak warga negara
terpuruk karena takut melawan kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat serta melawan koruptor yang bergerak bebas
dinegerinya. Atau juga inilah yang membuat negara semakin terpuruk karena takut melawan kaum kapitalis yang berani
dan nyata menggrogoti SDM dan SDA banyak negara.

Kepercayaan
Karena nila setitik, rusak susu sebelangga
Mungkin itulah pribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi penjaga Konstitusi di Indonesia belakangan ini.
Lembaga yang bertugas sebagai penguji undang-undang tersebut seperti kehilangan kewibawaan dan kepercayaan
ditengah-tengah publik saat ini. Bagaimana tidak, dengan tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar
karena terlibat kasus suap, lembaga ini seperti berjalan dengan beban berat dipundaknya karena berusaha untuk
mengembalikan kepercayaan publik yang menurun.
Dikutip dari koran Kompas edisi Jumat 10 Januari 2014 melalui jajak pendapat, terlihat begitu signifikannya angka
penurunan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Bulan Juni 2012 dimana kepercayaan publik terhadap MK
mencapai angka tertingginya yaitu 65,2% setelah penangkapan Akil Mochtar karena kasus suap yang menyeret juga
sejumlah nama seperti Atut Choisyah dan Chairun Nisa, angka kepercayaan publik terhadap lembaga penguji UndangUndang tertinggi itu menurun menjadj 8,8% di bulan Oktober 2013 atau berukurang 56,4%.
Untuk mengembalikan Citra Positif MK di masyarakat, terjadinya pergantian kepemimpinan di tubuh MK dengan
terpilihnya Hamdan Zoelva yang dulunya sebagai wakil MK dan Arif Hidayat yang sekarang menemani Hamdan Zoelva
sebagai wakil MK. Dengan pergantian pucuk kepemimpinan di badan MK diharapkan dapat memperbaiki citra MK
dimata publik yang kian tergerus. Apakah hal ini berhasil? Seperti yang dikutip di koran Kompas, statistik menunjukkan
peningkatan kepercayaan publik terhadap MK menjadi 27,7%, akan tetapi angka ini masih jauh dibawah angka 50%
dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pucuk kepemimpinan Hamdan Zoelva pun hanya berkisar 40,1% bahwa
beliau dapat memperbaiki kepercayaan publik terhadap MK.
Hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa kepercayaan itu nilainya sangat tinggi. Jika kita bisa menjaga
kepercayaan orang lain yang diamanatkan kepada kita, maka niscaya kepercayaan dan keuntunganlah yang kita
dapatkan. Begitu juga sebaliknya, jika kepercayaan yang diamanatkan kepada kita diruntuhkan, maka cacian dan cap
orang yang tidak dapat dipercayalah yang akan melekat kepada kita. Dan begitu amat sulitnya memperbaiki
kepercayaan orang lain kepada kita. Mungkin saja kita bisa memperbaiki kepercayaan orang lain kepada kita, tetapi
akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan besarnya tantangan yang harus kita hadapi untuk memperbaiki hal
tersebut sama halnya seperti yang sedang diusahakan oleh MK.
Netralitas
Dosen Pancasila di semester satu, pak Ayub, pernah mengatakan untuk membuat suatu Undang-undang atau
peraturan yang bersikap Netral terhadap siapapun itu sangat sulit, karena setiap orang dalam membuat suatu peraturan
atau Undang-Undang pasti mempunyai kepentingan dan mencari keuntungan atau setidaknya dapat memberi
keuntungan bagi dirinya maupun kelompoknya. Jika ditelaah lebih lanjut, pernyataan tersebut benarlah adanya. Sangat
sulit untuk mencari orang yang membuat undang-undang untuk menguntungkan semua pihak atau merugikan dirinya
sendiri dan kelompoknya. Karena hampir semua pemangku jabatan mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi
maupun kelompok.
Hal ini dapat dilihat dari dinasti Ratu Atut di Banten, begitu besarnya kekuasaan beliau disana, membuat para
penguasa-penguasa kecil didaerah Banten berasal dari sanak keluarga Ratu Atut. Dilihat dari sisi konstitusi, hal ini
tidak bertentangan karena memang tidak ada undang-undang yang mengatur bahwa tidak diperbolehkan hal seperti
ini. Akan tetapi jika dilihat dari nilai-nilai yang ada, maka jelaslah hampir semua bilang hal ini tidak etis. Karena
dikhawatirkan dapat memperkuat kekuatan kekuasaan Atut di Banten dan mungkin saja menghilangkan nilai-nilai
demokrasi serta melemahkan pihak oposisi yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan. Dan terbuktilah hal ini
dengan tertangkapnya Atut sebagai tersangka suap Pilkada Lebak dan suap pengadaan alat kesehatan yang juga
melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar sebagai tersangka kasus suap oleh KPK. Dengan tertangkapnya Atut, maka
terbongkarlah kekuasan Atut di Banten.
kamu tidak dapat membahagiakan semua orang, yang dapat kamu lakukan adalah memilih siapa yang akan kamu
bahagiakan.-TomaLalu bagaimana caranya untuk membuat segala sesuatunya bersikap Netral ?, upaya untuk mendapatkan segala
sesuatu bersikap Netral itu sulit tapi bukan berarti tidak mungkin. Sulit karena darimanapun seseorang berasal baik
berasal dari Parpol maupun nonparpol pun mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Begitu juga
dalam kehidupan disuatu organisasi, pasti semuanya mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok.
Yang mungkin dapat dilakukan adalah menangkap keseluruhan besar kepentingan tersebut yang tentunya baik bagi
sebagian besar para pemangku kepentingan. Karena tidak mungkin manusia dapat membuat sesuatu yang sempurna.
Asalkan kepentingan tersebut tidak melanggar undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi dan dapat
menguntungkan banyak pihak baik pribadi, kelompoknya maupun kelompok lain.
Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan dari dua pembahasan diatas tentang kepercayaan dan Netralitas, maka
Kepercaayaan dan Netralitas adalah hal mutlak yang wajib dimiliki dan dipertahankan oleh pemimpin. Dengan

mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan orang lain kepada dirinya, maka pemimpin tersebut telah
meninggalkan jejak atas nama dirinya sendiri dikemudian hari yang mungkin akan dikenang dan menjadi contoh bagi
pemimpin-pemimpin selanjutnya. Lalu Netralitas pun tidak lepas dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin selain
diberikan kepercayaan oleh sebagian besar orang juga harus bersikap netral dalam menentukan setiap kebijakannya
baik untuk orang-orang yang mempercayainya maupun tidak mempercayainya. Jangan sampai seorang pemimpin
mencederai orang-orang yang dipimpinnya dengan bersikap tidak netral dan hanya memihak yang mendukung
kekuasaan dirinya.

tulisan ini sengaja dibuat menggantung, karena memang pembahasan tentang pemuda tidak akan pernah dapat
mencapai hakikat yang pasti, akan banyak perdebatan jika kita membahas tentang pemuda, setidaknya didalam tulisan
ini dapat membuat kita sadar terutama pemuda bahwa ada masalah yang harus kita benahi dalam diri kita sebelum kita
membenahi lingkungan kita. enjoy!!!
Mengutip sebuah quote tentang pemuda dari pemimpin pergerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna, mengatakan,
Sejak dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia
kekuatannya. Dalam setiap pemikiran, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.
ya menjadi fitrah pemuda bahwa mereka adalah pilar kebangkitan, tidak akan pernah bisa kita ingkari bahwa pemuda
adalah generasi yang membawa kebangkitan terutam di lingkungan sekitarnya. Bahkan sosok pendiri Negara Indonesia
yaitu Ir. Soekarno mengatakan dalam sebuah orasinya,
berikan aku 10 orang tua, maka akan kucabut gunung dari akarnya. Namun berikan aku 1 orang pemuda, maka akan
kuguncangkan dunia.
Pernyataan dari founding father Indonesia itu menyadarkan kita bahwa kekuatan dari pemuda ini sangatlah besar.
Potensi-potensi yang ada didalam diri setiap pemuda mempunyai potensi yang sangat luar biasa. Pemuda ibarat
matahari di jam 12, yaitu saat dimana matahari memancarkan sinarnya yang begitu terang dan panas. Begitu juga
pemuda, pemuda mempunyai kekuatan, pemikirannya yang kritis, rasa mau tau yang besar,idealis, selalu bisa
melahirkan inovasi-inovasi baru, bahkan di Indonesia bukti nyata dari kekuatan pemuda telah terbukti disaat pemuda
berhasil menduduki gedung MPR dan meruntuhkan Rezim Orde Baru di zaman Pak Harto tahun 1998.
Masih teringat di benak kita belum lama ini bagaimana kekuatan pemuda akan dapat selalu meruntuhkan sebuah
rezim, tepatnya di Mesir, saat itu rezim yang dipimpin oleh Mohamed Morsi berhasil di gulingkan oleh para pemudanya
yang menuntut sebuah reformasi. Selain itu jika kita kilas balik dizaman dulu, ada sejumlah nama pemuda yang pandai
memimpin strategi dan berperang yaitu khalid bin walid, salahudin al-ayubi, Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan
masih banyak lagi.
Begitu kuatnya kekuatan dan pengaruh pemuda dalam memegang peranan di dunia ini. Oleh karena itu kata-kata dari
hasan al-bana cukuplah mewakili bagaimana pemuda itu sebenarnya. Walaupun seribu tahun mendatang tidaklah
pernah berubah peranan dan fungsi pemuda ini.
Namun ada fenomena di zaman sekarang ini yang biasa disebut zaman post-modern, zaman globalisasi, alam pikiran
hiperrealita (bahasa antropologi budaya), atau apapun itu orang menyebutnya, yaitu pemuda dan wacananya. Lalu
mengapa pemuda dikaitkan dengan wacana? Bukankah hal wajar jika seorang pemuda akan selalu mempunyai
wacana sebagai hasil dari pemikiran-pemikirannya atau dalam bahasa ilmu filsafat sebagai hasil dari proses berfilsafat?
Jawabannya tentu saja tidak akan pernah salah pemuda dalam berwacana, karena hal itu merupakan hakikat pemuda
itu sendiri yang akan selalu berfikir dan melakukan perubahan seperti yang dikutip dalam kata-kata Hasan Al-bana
diatas. Ibarat ilmu psikologi, ilmu psikologi akan selalu ada selama objek yang dipelajarinya yaitu manusia tetap eksis
(pernyataan ini belum menjawab jika saja suatu saat terjadi pemberontakan oleh robot-robot yang diciptakan manusia),
begitu juga halnya dengan pemuda, wacana akan selalu ada selama pemuda-pemuda selalu berfikir untuk memenuhi
rasa ingin tahunya, memenuhi sikap kritisnya, idealismenya.
Akan tetapi fenomena pemuda dan wacana ini sudah mencapai tahap yang hampir memprihatinkan, saya mengutip
sebuah kata-kata dari Presiden BEM UNS dalam sesi diskusi di bulan oktober lalu, yaitu,
kelemahan pemuda di zaman sekarang ini ada 2, terlalu banyak wacana tetapi jarang terlaksana, satu lagi pujian dan
tepuk tangan."
Mengapa wacana dizaman sekarang menjadi kelemahan bagi pemuda? (kembali kita berfilsafat), ya seperti kata-kata
diatas, bahwasanya sekarang ini pemuda terlalu banyak membuat wacana-wacana bahkan wacana tersebut sudah
matang dan hampir tidak ada celah untuk menjatuhkan wacana tersebut. Tetapi dalam pelaksanaannya atau
eksekusinya bisa saja nol, dan fenomena ini banyak sekali terjadi.

Saya mengambil contoh simpel dimana menjelang liburan semester, teman-teman saya mengajak saya untuk
berpergian ke bandung, jogja, surabaya, semarang, gunung semeru, tawamangu dan banyak kawasan wisata lainnya.
Akan tetapi pelaksaannya kalian tahulah, pasti jarang terlaksana. Atau contoh lain di sebuah organisasi, salah seorang
pemuda dalam organisasi membuat sebuah proker yang luar biasa mempunyai kemanfaatan banyak bagi orang lain,
akan tetapi karena terhalang oleh faktor internal dan eksternal sebuah proker hanyalah sebuah proker, proker yang
hanya tertulis di sebuah kertas yang nantinya akan hilang, tersobek atau bahkan menjadi sampah atau bahkan yang
lebih buruknya lagi proker tersebut hanya tertanam di otak sang pemuda.
Saya sadar betul tidak semuanya contoh diatas terjadi kepada para pembaca sekalian, tetapi inilah fenomena yang
saya lihat dari keadaan disekitar saya baik sewaktu SMP, SMA, sampai di saat kuliah ini. Dosen antropologi budaya di
prodi tempat saya belajar menuntut ilmu pernah menyatakan dalam kuliahnya, bahwa fenomena ini terjadi atas
akumulasi dari budaya-budaya sebelumnya dan dipengaruhi oleh karakter dasar manusia serta pola perkembangan
manusia itu sendiri. Oleh karena itu saya tidak menyatakan semua pemuda hanya berwacana saja, akan tetapi
Fenomena yang terjadi seperti itu.
Assisten AAI saya mengatakan kepada saya tentang penyebab terjadi nya fenomena tersebut, salah satunya
adalah ketakutan dari para pemudanya sendiri untuk mengimplementasikan wacana nya. saya rasa betul juga bahwa
ketakutan berperan penting dalam seberapa besar wacana dijalankan atau tidaknya. Namun hal itu akan menjurus
kepertanyaan apakah pemuda zaman sekarang ini penakut? Lho, sampai saat ini saya masih berfikir tentang hal ini,
akan tetapi saya yakin seyakin yakinnya bahwa pemuda takkan pernah gentar ataupun takut menghadapi apapun.
Menurut ilmu dari antropologi budaya yang saya pelajari adalah yang membuat sebuah Kebudayaan itu hancur
disebabkan oleh 3 hal, yaitu jiwa pemalas, mental penerobos, dan bukan jiwa penantang. Jika kita mengkaji satu
persatu dari 3 penyebab diatas saya rasa kita dapat menarik garis yang menunjukkan mengapa pemuda zaman
sekarang kebanyakan hanya dapat berwacana.

Anda mungkin juga menyukai