Anda di halaman 1dari 26

HUKUM KONSENTRASI DAGANG

HUKUM PERBANKAN
Laporan Kelompok

Disusun Oleh:
Wahyu Fatriansah

(12/328522/HK/19003)

Tursina F

(12/334302/HK/19190)

Normala Sinta

(12/334339/HK/19208)

Lailia Saras

(12/334425/HK/19264)

Vivi Yanty G

(12/338329/HK/19315)

Jasmine Marva S.P

(13/358063/HK/19776)

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA
2014

SKENARIO 1

Sekitar tahun 2010 yang lalu terdapat kejadian yang cukup mengagetkan
para pihak yang concern terhadap industry perbankan. Pasalnya, berbekal
adanya

masukan dari PPATK,

Anggota

Panitia

Khusus

(Pansus) DPR

melakukan investigasi dadakan ke Bank BC, yang saat itu menjadi sorotan
masyarakat banyak. Dengan berbekal masukan dari PPATK, adanya indikasi
tindak pidana perbankan, para anggota Pansus DPPR menyebar ke beberapa
cabang Bank BC untuk meminta data-data bank tersebut. Di salah satu
cabang BC tersebut, Kepala Bank BC menolak permintaan anggota Pansus
DPR untuk membuka rekening nasabah bank tersebut. Alasan penolakan
tersebut bahwa Bank haruslah merahasiakan data nasabahnya. Sehubungan
dengan penolakan tersebut, Pansus DPR RI meminta bantuan Pengadilan
Negeri setempat untuk melaksanakan penyitaan dan pembukaan rekening
nasabah.

I. Terminologi
Perbankan
Perbankan

(banking)

pada

umumnya

kegiatan-kegiatan

dalam

menjual/membelikan mata uang, surat efek dan instrument-instrumen


yang

dapat

diperdagangkan.

Penerimaan

deposito,

untuk

memudahkan penyimpanannya atau untuk mendapatkan bunga, dan


atau pembuatan, pemberian pinjaman-pinjaman dengan atau tanpa
barang-barang tanggungan, penggunaan uang yang ditempatkan atau

diserahkan untuk disimpan.1


Pansus DPR
Investigasi

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 18.

PPATK
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Tindak Pidana Perbankan
Tindak pidana perbanka adalah suatu jenis perbuatan yang secara
melawan hukum dilakukan, baik dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan
produk perbankan, sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau
immaterial bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau

pihak ketiga lainnya.2


Rekening
Rekening adalah suatu

alat

untuk

mencatat

transaksi-transaksi

keuangan yang bersangkutan dengan aktiva, kewajiban, modal,

pendapatan dan biaya.


Nasabah
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. (Pasal 1 angka
16 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992
tentang Perbankan)

II. Rumusan Masalah


Apakah Bank BC dibenarkan menolak permintaan Pansus DPR untuk
membuka rahasia bank?
III. Hipotesis
Prosesnya memberikan permohonan tertulis kepada Gubernur Bank
Indonesia.
Dibenarkan. Bank memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia nasabahnya
sehingga dalam kasus ini Bank BC dibenarkan untuk menolak permintaan
Pansus DPR untuk membuka rahasia nasabah Bank BC.
IV. Pembahasan

Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditia Bakti,
2004), hlm. 74.

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan


Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup

rakyat

banyak.

Sebuah

bank

mampu

bertahan

untuk

tetap

menjalankan kegiatannya dalam menghimpun dana dari masyarakat dan


menyalurkannya

kembali ke

masyarakat tak

lepas

dari

kepercayaan

masyarakat. Kepercayaan dari masyarakat dapat dikatakan sebagai kunci


utama bagi berkembang atau tidaknya sebuah lembaga perbankan. Berawal
dari titik itulah maka keadaan nasabah wajib dirahasiakan.
Rahasia bank (bank secrecy) dianggap sebagai imbalan dari kepercayaan
yang diberikan oleh nasabah demi kelangsungan hidup sebuah bank. Ini
berarti bahwa bank mempunyai kewajiban untuk tetap merahasiakan
keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of confidentiality).
Menurut Pasal 1 angka 28 UndangUndang Perbankan (UU Nomor 10 Tahun
1998), yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan

dengan

keterangan

mengenai

nasabah

penyimpan

dan

simpanannya. Unsurunsur dari rahasia bank sebagai berikut :


1. Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya.
2. Hal tersebut wajib dirahasiakan oleh bank, kecuali termasuk ke dalam
kategori

perkecualian

berdasarkan

prosedur

dan

peraturan

perundangundangan yang berlaku.


3. Pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah pihak bank sendiri
dan/atau pihak terafiliasi. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi
adalah sebagai berikut :
a. Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya,
pejabat atau karyawan bank yang bersangkutan.
b. Anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat
atau karyawan bank, khusus bagi bank berbentuk badan hukum

koperasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang


berlaku.
c. Pihak pemberi jasa kepada bank yang bersangkutan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada akuntan publik, penilai konsultasi hukum,
dan konsultan lainnya.
d. Pihak yang menurut

penilaian

Bank

Indonesia

turut

serta

mempengaruhi pengelolaan bank, tetapi tidak terbatas pada


pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga
pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
Ada 2 teori tentang kekuatan berlakunya asas rahasia bank, yaitu :
1. Teori Mutlak
Dalam hal ini, rahasia keuangan dari nasabah bank tidak dapat dibuka
kepada siapapun dan dalam bentuk apapun. Dewasa ini, hampir tidak ada
lagi negara yang menganut teori ini.
2. Teori Relatif
Menurut teori ini, rahasia bank tetap diikuti, tetapi dalam halhal khusus,
yakni dalam hal yang termasuk luar biasa, prinsip kerahasiaan bank tersebut
dapat diterobos, misalnya untuk kepentingan perpajakan atau kepentingan
perkara pidana.3
Indonesian menganut teori relative/nisbi dimana rahasia Bank ini dapat
disimpangi dalam beberapa hal. UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998
memberikan pengecualian terhadap rahasia bank, yakni sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada
pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41).
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
3

Adrian Sutedi. Hukum Perbankan.(Jakarta:Sinar Grafika, 2007), hlm.7.

Negara dapat diberikan pengecualian kepada Pejabat Badan Urusan


Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin
Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 41A).
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan
pengecualian kepada polisi, jaksa, atau hakim atas izin Pimpinan Bank
Indonesia (Pasal 42).
4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat
diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank
Indonesia (Pasal 42).
5. Dalam rangka tukarmenukar informasi di antara bank kepada bank
lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin
Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44).
6. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan
secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh
izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44A).4
Dalam kasus ini Pansus DPR menduga ada tindak pidana perbankan di Bank
BC, sehingga Pansus ingin mengetahui data nasabah Bank BC. Berdasarkan
uraian yang telah disebutkan di atas, dalam kasus ini Bank BC dibenarkan
untuk tidak membuka rahasia bank dikarenakan dalam UU Perbankan tidak
diatur mengenai kewenangan Pansus untuk meminta informasi. Melihat
pengecualian diatas yang sudah diatur dalam UU Perbankan, tidak satupun
menyebutkan harus memperoleh izin dari DPR juga.
Meskipun di sini diduga ada tindak pidana perbankan, namun di sini Pansus
DPR tidak diperkenankan untuk mengetahui data nasabah, karena Pansus
DPR tidak memiliki kewenangan untuk melihat data nasabah. Memang untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian
kepada polisi, jaksa, atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia seperti
4

Adrian Sutedi. Hukum Perbankan.(Jakarta:Sinar Grafika, 2007), hlm.13.

yang tertera dalam pasal 42 UU No 10 tahun 1998, namun dalam pasal 42


tersebut tidak disebutkan Pansus DPR. Di dalam pasal 42 tersebut hanya
diperuntukkan untuk polisi, jaksa, atau hakim dimana hal itu dilakukan atas
izin Pimpinan Bank Indonesia.

V. Kesimpulan dan Saran


VI. Daftar Pustaka

SKENARIO 2
Sejak diundangkannya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, maka pada sector pebankan muncullah lembaga independen baru

yang dibentuk berdasarkan amanat dalam Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004


tentang Bank Indonesia. Awalnya kemunculan lembaga ini menuai banyak
kontroversi dari berbagai kalangan.
Secara umum terdapat beberapa Negara yang menyatukan fungsi
pengawasan dalam otoritas Bank Sentral, namun terdapat juga beberapa
Negara yang memisahkan fungsi oengawasan bank dari Bank Sentral.
Monetary Authority of Singapore (MAS) di Singapura misalnya, bertugas
menetapkan perizinan dan pengawasan perbankan., lembaga pembiayaan,
perusahaan asuransi, serta perdagangan valas. Bank of Japan, tidak
melakukan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan, tugas
tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan. The Australian Prudential
Regulation Authority (APRA) bertugas mengawasi perbankan dan beberapa
lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam konteks Indonesia, lahirnya OJK ini
mereduksi kewenangan Bank Indonesia. Selain itu, lahirnya lembaga baru ini
ditengarai akan terjadinya tumpah tindih antara kewenangan Bank Indonesia
dengan Otoritas Jasa Keuangan.

I. Terminologi
Fungsi Pengawasan
Bank Sentral
Bank sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang
untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara,
merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi
perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort.

II.

Otoritas Jasa Keuangan


Valas
Rumusan Masalah

Apakah kewenangan antara Bank Indonesia (BI) dengan Otoritas Jasa


Keuangan (OJK) dalam hal pengawasan terhadap kegiatan perbankan saling
tumpang tindih?

III.Hipotesis
Tidak saling tumpang tindih karena sudah diatur dalam regulasi yang
mengaturnya masing-masing, baik BI maupun OJK. Jadi kewenangan BI
dalam

hal

pengawasan

berbeda

dengan

kewenangan

OJK,

dimana

kewenangan OJK lebih luas dari kewenangan BI.

IV.

Pembahasan
Pembentukan lembaga baru dalam bidang pengawasan tentu akan

berdampak

bagi

Bank

Indonesia

dan

juga

Otoritas

Jasa

Keuangan,

diperkirakan kedua lembaga tersebut akan menghadapi berbagai kendala


yang

dapat

kemampuan

mempengaruhi
untuk

efektivitasnya.

merumuskan

dan

Bank

Indonesia

melaksanakan

memiliki

kebijakan

guna

mengurangi risiko yang dapat menimbulkan ketidakstabilan pasar keuangan


dan sumber daya yang efektif untuk mengelola krisis yang mungkin timbul. 5

Rusli Simanjuntak, Implikasi Pemisahan Fungsi Pengawasan dari Bank Indonesia, Bank
Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 22.

Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan


mengawasi bank, sesuai dengan ketentuan pasal 24 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah
dengan UU No.3 Tahun 2004, berwenang untuk menetapkan peraturan,
memberikan, dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Mengacu pada ketentuan tersebut, sangat jelas bahwa Bank Indonesia
memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh
upaya-upaya, baik yang bersifat preventif maupun represif. Dalam hal
pengawasan dan pengaturan bank, Bank Indonesia selain berpedoman pada
undang-undang Nomor.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, juga mengacu pada Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dan undang-undang
perubahannya, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pengawasan yang dilaksanakan Bank Indonesia terhadap bank dapat
berupa pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul
dengan

tindakan-tindakan

perbaikan.

Juga

berupa

pengawasan

tidak

langsung, yaitu suatu bentuk pengawasan dini melalui penelitian analitis,


dan evaluasi laporan Bank. Dalam rangka pengawasan yang dilakukannya,
Bank Indonesia dapat menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurangkurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan

dapat dilakukan secara insidentil setiap waktu apabila diperlukan untuk


meyakinkan hasil pengawasan tidak lansung dan apabila terdapat indikasi
adanya penyimpangan.6
Dalam perkembangannya, menyangkut tugas pengawasan bank ini
selanjutnya oleh Bank Indonesia akan diserahkan kepada Otoritas Jasa
Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan ini merupakan lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen atau bebas dari campur tangan
pemerintah. Lembaga (supervisory board) ini dalam menjalankan tugas dan
kedudukannya berada diluar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan
laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal melakukan pengawasan perbankan, OJK tetap melakukan
koordinasi dan kerja sama dengan Bank Indonesia yang merupakan Bank
Sentral di Indonesia yang tata cara koordinasinya diatur bersama antara OJK
dan Bank Indonesia.7 Artinya walaupun sebagian wewenang dari Bank
Indonesia telah beralih kepada OJK, masih ada hubungan secara terintegrasi
antara Bank Indonesia selaku Bank Sentral dengan Otoritas jasa Keuangan
selaku lembaga pengawas di sektor jasa keuangan mengenai kewenangan
pengawasan di sektor perbankan. Di dalam pasal 39 undang-undang nomor
21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
6

Muhammad Djumhana. 2002. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hal. 129-130.
7
Penjelasan pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;


b. sistem informasi perbankan yang terpadu;
c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan
dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank
lainnya;
e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically
important bank; dan
f. data

lain

yang

dikecualikan

dari

ketentuan

tentang

kerahasiaan informasi.
Ditambah dengan penjelasan isi dari Pasal 40 Undang-Undang nomor
21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menjelaskan bahwa:
(1) Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank
tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih
dahulu

kepada

sebagaimana

OJK;

dimaksud

(2)

Dalam

pada

ayat

melakukan

kegiatan

pemeriksaan

(1),

Indonesia

tidak

Bank

dapat

memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank; (3) Laporan hasil


pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil
pemeriksaan.

Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisory board) atau Otoritas


Jasa Keuangan tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang
perbankan saja, tetapi juga mengawasi perusahan-perusahan sektor jasa
keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal
ventura,

dan perusahaan pembiayaan,

serta

badan-badan lain

yang

menyelenggarakan pengelolaan dan masyarakat.8


Apabila kita melihat UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indoensia
sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, kewenangankewenangan yang beralih tersebut adalah:
1) Mengatur dan mengawasi bank;
2) Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,melaksanakan
pengawasan bank dan menenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku;
3) Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip
kehati-hatian;
4) Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24:
a. Memberikan dan mencabut izin usaha bank;
b. Memberikan izin pembukaan,penutupan,dan pemindahan kantor
bank;
c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan
bank;
d. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatankegiatan usaha tertentu.
5) Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud pasal 24,
yaitu pengawasan langsung dan tidak langsung;
8

Ibid.

6) Mewajibkan bank untuk:


a. Menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai
dengan tata cara yang ditetapkan oleh bank Indonesia;
b. Apabila diperlukan, kewajiban tersebut di atas dikenakan pula
terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan
pihak terafiliasi data bank.
7) Melakukan pemeriksaan:
a. Terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila
diperlukan;
b. Apabila

diperlukan,

pemeriksaan

dimaksud

di

atas

dapat

dilakukan terhadap perusahaan anak, pihak terkait, pihak


terafiliasi, dan debitur bank;
c. Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud di atas, wajib
memberikan kepada pemeriksa:
-

Keterangan dan data yang diminta;


Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan

sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya;


Hal-hal yang diperlukan.

8) Menugasi pihak lain:


a. Untuk

dan

atas

nama

Bank

Indonesia

melaksanakan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1)


dan (2).
b. Pihak

lain

yang

melaksanakan

pemeriksaan

sebagaimana

dimaksud pada ayat(1), wajib merahasiakan keterangan dan


data yang diperoleh dalam pemeriksaan.

c. Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi pada ayat (1)


ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
9) Memerintahkan bank untuk:
a.

Menghentikan

sementara

sebagian

atau

seluruh

kegiatan

transaksi tertentu apabila menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan


terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana
di bidang perbankan.
b. Berdasarkan penilaian di atas, Otoritas Jasa Keuangan wajib
mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan
tersebut.
c. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas
tidak diperoleh bukti yang cukup, Otoritas Jasa Keuangan pada hari
itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
10)

Mengatur:

a. Serta mengembankan sistem informasi antar bank.


b. Sistem informasi tersebut dapat diperluas dengan menyertakan
lembaga lain dibidang keuangan.
c. Penyelenggaran sistem informasi tersebut dapat dilakukan sendiri
dan atau oleh pihak dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
11)

Dalam hal keadaan suatu bank menrut penilaian Otoritas Jasa

Keuangan

membahayakan

kelangsungan

usaha

bank

yang

bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau

terjasi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian


nasioanal, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang perbankan yang
berlaku.
Jadi, berdasarkan uraian diatas, Setelah lahirnya undang-undang
nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka kewenangan
pengawasan perbankan beralih dari Bank Indonesia ke lembaga Otoritas Jasa
Keuangan.
Ketentuan peralihan pada Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa: (1) Sejak tanggal
31

Desember

2012,

fungsi,

tugas,

dan

wewenang

pengaturan

dan

pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian,


Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke OJK. (2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
Bank Indonesia sebagai bank sentral meskipun telah terbentuk
lembaga pengawasan tersebut, perannya tidak bisa dikesampingkan dalam
pengawasan bank karena lembaga tersebut (OJK) tetap harus mempunyai
hubungan koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia, di antaranya
menyangkut keterangan dan data makro perbankan yang ada.9

Djumhana, Op-cit, hlm. 132-133.

Setelah otoritas jasa keuangan terbentuk, Bank Indonesia akan fokus


kepada kewenangan dalam hal kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang
dimaksud adalah kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah yang dilakukan, antara lain melalui pengendalian jumlah uang
beredar dan atau suku bunga.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam melakukan
tugasnya, otoritas jasa keuangan melakukan koordinasi dan kerja sama
dengan bank Indonesia sebagai bank sentral yang akan diatur dalam
undang-undang

pembentukan

otoritas

jasa

keuangan.

Otoritas

jasa

keuangan ini nantinya dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan


dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dan koordinasi dengan bank
Indonesia mengenai keterangan dan data makro yang diperlukan (penjelasan
pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004). Tugas dan wewenang
otoritas jasa keuangan dalam hal pengawasan perbankan hanya berkaitan
dengan aspek micro-prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha dan
penilaian

tingkat

kesehatan.

Sementara

itu,

aspek

macro-prudential

berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran seperti


ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi
Pasar Terbuka (OPT), dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait
dengan pelaksanaan tugas dibidang moneter dan sistem pembayaran
merupakan kewenangan otoritas moneter Bank Indonesia.
Tugas micro-prudential banking regulation yang menjadi kewenangan
otoritas jasa keuangan meliputi kewenangan membuat dan menetapkan

pengaturan

yang

berkaitan

dengan

pelaksanaan

pembinaan

dan

pengawasan bank serta ketentuan kehati-hatian yang dikenal individual


bank dalam rangka menjaga bank tetap aman dan sehat.10
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang dimaksud dengan
ketentuan kehati-hatian yang dikenal sebagai micro-prudential banking
regulation meliputi:11
1) Pengaturan kelembagaan, antara lain mengenai perizinan untuk
pendirian bank, pembukaan kantor bank dalam negeri, kepemilikan
dan kepengurusan, merger, konsolidasi, dan akusisi bank;
2) Pengaturan kegiatan usaha dan pengelolaan bank,antara lain
mengenai sumber dana, penyediaan dana, aktivitas di bidang jasa;
3) Pengaturan

pembinaan

dan

pengawasan

bank,

antara

lain

mengenai penilaian tingkat kesehatan bank; dan


4) Pengaturan likuidasi bank, antara lain mengenai pencabutan izin
usaha, pembubaran dan likuidasi bank.
Selama

masa

transisi,

yakni

saat

Otoritas

Jasa

Keuangan

mempersiapkan organisasi, struktur dan infrastruktur internalnya tugas,


fungsi, dan wewenang pembinaan serta pengawasan bank didelegasikan
kepada otoritas pembina dan pngawas yang lama yaitu Bank Indonesia.
Pendelegasian pelaksanaan tugas serta wewenang dimaksud dilakukan
paling lama dua tahun sejak persetujuan dan pengesahan Rancangan
Undang-undang otoritas jasa keuangan oleh DPR dan Presiden. Hal ini sesuai
10

Sila Saktiana, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan,
Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, Depok, 2004, hlm. 77-78.
11
Ibid. hlm.78.

dengan penjelasan pasal 34 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004


yang menyebutkan bahwa Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank
Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan
secara

bertahap

setalah

dipenuhinya

syarat-syarat

yang

meliputi

infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi,


sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat
hukum serta dilaporkan kepada DPR.
Terlepas dari institusi apa yang akan mengawasi industri perbankan
yang pasti tidak ada model yang universal. Seluruhnya berpulang kepada
keputusan politik dan tentu saja keputusan politik dan tentu saja keputusan
politik tersebut berada diluar kekuasaan bank sentral. Namun demikian,
beberapa faktor dibawah dapat menjadi bahan renungan dalam menyusun
suatu struktur kelembagaan badan pengawas yang efektif. Pertama, badan
tersebut

harus

membutuhkan

memiliki
akses

atas

reputasi

baik.

informasi

Kedua,

pengawasan

bank

sentral

bank

agar

tetap

mampu

menjalankan tugasnya di bidang moneter dan lender of the last resort.


Paul Volker mantan Chairman Federal Reserve Bank mengatakan
bahwa kebijakan moneter ataupum keuangan tidak dapat dilakukan dengan
baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi kegiatan
sektor perbankan. Ketiga, pembagian tugas antara bank sentral, otoritatas
jasa keuangan dan pemerintah harus tegas dan transparan. Terakhir, harus

ada bentuk kerja sama formal yang mengatur masalah koordinasi dan
sebaiknya bentuk kerja sama itu diatur dalam undang-undang.12
Lembaga pengawas otoritas jasa keuangan harus proaktif menjalin
kerja sama dengan Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan
Menteri Keuangan. Otoritas jasa keuangan harus senantiasa melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:13
1)

Memberikan informasi keuangan kepada Bank Indonesia dan


Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan tugas dan wewenang
masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya dapat berjalan
aktif dan baik. Informasi tersebut harus lengkap dan bersifat
Updated yang diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi
yang dipelihara otoritas jasa keuangan;

2)

Otoritas jasa keuangan wajib bertukar informasi dengan Bank


Indonesia dalam rangka menyelenggarakan financial stability
analysis;

3)

Otoritas Jasa Keuangan selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan


bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan bank
Indonesia;

4)

Secara berkala, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan laporan ke


Menteri keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual
bank;

12

Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars


Zulkarnain+Sitompul%2C+Menyambut+Kehadiran+Otoritas+Jasa+Keuangan+%28OJK
%29%2C+Pilars+No.+02%2FTh.VII, Diakses tanggal 30 November 2014.
13
Sila Saktiana, Op-cit, hlm. 79.

Untuk mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap


perekonomian nasional yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu
mekanisme (aturan main) yang menciptakan kerja sama antara Otoritas Jasa
keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian
Keuangan. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam joint-comitte yang
dipimpin Menteri Keuangan dengan anggota-anggotanya yang terdiri atas
pimpinan

tertinggi

dari

masing-masing

institusi

tersebut.

Dalam

hal

ditemukan indikasi resiko yang dapat meluas ke dalam skala nasional,


Otoritas Jasa Keuangan segera melaporkan ke Menteri Keuangan untuk
mengadakan pembahasan tentang itu dan membuat langkah-langkah
antisipasi ataupun koreksi terhadap resiko tersebut.
Ada dua dampak utama yang dapat timbul dengan terbentuknya
Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Dampak pertama, yang akan terasa adalah
kesulitan

atau

hambatan

dalam

melakukan

koordinasi

dengan

Bank

Indonesia. Dalam UU No. 23 Tahun 1999 dijelaskan bahwa tujuan Bank


Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam
pencapaian

tujuannya,

Bank

Indonesia

diberikan

tugas,

antara

lain

menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga


kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank.
Dalam pelaksanaannya, ketiga tugas tersebut saling berkaitan dan memberi
dukungan satu dengan yang lain.
Tugas

menetapkan

dan

melaksanakan

kebijaksanaan

moneter

dilakukan dengan pengendalian jumlah uang yang beredar dan suku bunga.

Efektifitas pelaksanaan tugas tersebut membutuhkan dukungan sistem


pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran
pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut memerlukan sistem perbankan yang
sehat yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank.
Sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter,
mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui
sistem perbankan. Apalagi tugas pengawasan bank dipisahkan dari Bank
Indonesia, akan dapat menimbulkan kesulitan atau paling tidak akan
menimbulkan hambatan dalam melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia
dalam pelaksanaan tugas lainnya. Pada akhirnya kemungkinan besar juga
berpengaruh dalm keberhasilan tujuan Bank Indonesia. Di samping itu,
dalam perumusan kebijakan ataupun penilaian dampak kebijakan moneter
yang diterapkan dalam sistem perbankan akan sulit terpantau dan artinya
akan menimbulkan masalah baru.
Dampak kedua adalah kesulitan dalam penerapan fungsi Bank sentral
sebagai lender of the last resort. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, bank
sentral memerlukan informasi yang akurat dan terkini mengenai kedaan
perbankan. Dengan pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral.
Berdampak tidak adanya akses langsung terhadap bank. Bank sentral tidak
dapat segera mendapat informasi yang akurat dan terkini sehingga akan

mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian apakah yang dihadapi bank


masalah likuiditas atau masalah insolvensi.14
Pemindahan fungsi pengawasan kepada lembaga baru, yaitu Otoritas
jasa keuangan karena ada penilaian bahwa pengawasan bank yang
dilakukan oleh bank sentral kurang efektif. Agar fungsi pengawasan menjadi
efektif, setidaknya harus ada peningkatan efisiensi fungsi pengawasan.
Selain itu, dalam melakukan pengawasan harus dilakukan secara adil
terhadap semua institusi yang diawasi. Jika cara-cara pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas jasa keuangan sama dengan yang dilakukan
sebelumnya oleh Bank Indonesia (yang menyebabkan pengawasan menjadi
tidak efektif), dalam hal ini tidak menyelesaikan masalah. Yang terjadi
akhirnya adalah memindahkan masalah yang sama ke lembaga lain. 15
Jadi,

dengan

terbentuknya

lembaga

otoritas

jasa

keuangan

berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011, maka kita mempunyai Otoritas Fiskal,


yaitu Menteri Keuangan yang akan mengurusi masalah penerimaan dan
pengeluaran negara serta mengelola kekayaan negara dan piutang negara,
Otoritas Moneter, yaitu Bank Indonesia, dan Otoritas Pengawas Jasa
Keuangan, yaitu Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam hal beralihnya kewenangan pengawasan perbankan setelah
lahirnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan, ada perbedaan pandangan terkait
dengan kewenangan OJK tersebut. Gatot Dwi Purwanto mengemukakan
bahwa Bank Indonesia memandang mestinya kewenangan OJK tersebut
14

Appie Yudana Antono, Pembinaaan dan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian
Terhadap Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Depok, 2004. hlm. 101-103.
15
Ibid, hlm. 104-105.

harus sesuai amanat yang dialihkan, yaitu hanya fungsi pengawasannya


saja. Tetapi pihak lain berpendapat,selain fungsi pengawasan termasuk juga
fungsi regulasinya atau fungsi pengaturan. Bank Indonesia selain mengawasi
dan mengatur, juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan
Bank Indonesia (PBI). Bank Indonesia keberatan jika fungsi pengaturan
tersebut dilepaskan karena fungsi pengaturan terkait dengan fungsi Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter. Jika fungsi pengawasan mungkin tidak
terlau bermasalah karena sifatnya pengawasan menerima laporan bank,
melakukan pemeriksaaan langsung ke bank, atau konteks pengawasan
dalam arti sempit. Namun, jika kemudian ditarik lagi ke dalam konteks
pengawasan dalam arti yang luas, yaitu termasuk fungsi pengawasan, maka
Bank Indonesia keberatan dengan hal tersebut.16

V. Kesimpulan:
Kesimpulan dari pembahasan permasalahan dalam bab-bab sebelumnya
adalah :
1) Peran Bank Indonesia pasca lahirnya undang-undang nomor 21
tahun 2011 tentang Otoritas jasa keuangan adalah sebagai badan
pembuat kebijakan moneter, sebagai pengontrol kredit kepada
bank-bank, bertindak sebagai penerbit mata uang rupiah, bertindak
sebagai lender of the last resort, yaitu pemberi pinjaman kepada

16

Gatot Dwi Purwanto, Penasihat Hukum YuniorPada Direktorat Hukum Bank


Indonesia,dilihatpadahttp//www.google.com/search=gatot+dwi+purwanto
%2C+penaihat+hukum+yunior+pada+direktorat+hukum+Bank+Indonesia&utf-8&oe,
Diakses pada tanggal 30 November 2014.

bank dalam keadaan yang memaksa untuk menjaga likuiditas dari


bank, dan sebagai bank Negara (the banker of the state).
2) Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam pengawasan Perbankan
di

Indonesia

adalah

dilakukan

dengan

pendekatan

melalui

koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan


melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang
independen yaitu antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank
Indonesia.
3) Kewenangan

pengawasan

Perbankan

pasca

lahirnya

undang-

undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Tugas dan
wewenang otoritas jasa keuangan dalam hal pengawasan di sektor
perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro-prudential seperti
kelembagaan, kegiatan usaha dan penilaian tingkat kesehatan
perbankan.
VI. Daftar Pustaka
Buku:
Djumhana, Muhammad. 2002. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Saktiana Sila. 2004. Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan, Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah,
Depok.
Simanjuntak, Rusli. 2000. Implikasi Pemisahan Fungsi Pengawasan dari
Bank Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Antono, Appie Yudana. 2004. Pembinaaan dan Pengawasan Lembaga
Perbankan Suatu Kajian Terhadap Rancangan Undang-undang Otoritas
Jasa Keuangan. Depok.
Peraturan Perundang-Undangan:

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang


Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.

Internet:
Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa
Keuangan
(OJK),
Pilars
Zulkarnain+Sitompul
%2C+Menyambut+Kehadiran+Otoritas+Jasa+Keuangan+%28OJK
%29%2C+Pilars+No.+02%2FTh.VII, Diakses tanggal 30 November 2014.
Gatot Dwi Purwanto, Penasihat Hukum YuniorPada Direktorat
Hukum
Bank
Indonesia,http//www.google.com/search=gatot+dwi+purwanto
%2C+penaihat+hukum+yunior+pada+direktorat+hukum+Bank+Indone
sia&utf-8&oe, Diakses pada tanggal 30 November 2014.

Anda mungkin juga menyukai