Anda di halaman 1dari 67

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Kata Pengantar:
Prof. Dr. Conny R. Semiawan

1. DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI UNDANG-NDANG


OTONOMI DAERAH
A. Pendahuluan
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinankemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih
kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di
dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang
pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan
pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat
desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu
keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi
pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi;
(b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa.' Ketiga hal
tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi
pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Ketika bendungan kekuasaan Negara Orde Baru (NOB) yang sangat bersifat
hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan, ke mana
arah air tersebut "muncrat" atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang
sangat sentralistik tersebut, tiba-tiba karena alasan tertentu, lalu berubah
menjadi desentralistik.2 Pada kenyataannya, kita akan menemukan berbagai sikap
yang ditunjukkan oleh pemerintahan daerah, ada yang "muncrat" tidak
terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran tersendiri,
ada yang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat,
sebagai pihak eksekutif, yang ditugaskan DPR RI untuk menjalankan undangundang otonomi di atas, berusaha agar tidak terdapat daerah yang menyikapi
kondisi ini, secara "muncrat" liar tidak terkendali, atau mengalir dengan derasnya
di luar jalur yang ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang

dijelaskan terakhir, sering disebut dengan istilah reformasi yang "kebablasan".


Kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya, masih banyak daerah di
Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk menerima berbagai kewenangan,
termasuk menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini. Alasan yang sering
terdengar yang digunakan oleh daerah tersebut, di antaranya; (a) sumber daya
manusia (SDM) mereka belum memadai; (b) sarana dan prasarana mereka belum
tersedia; (c) anggaran pendapatan ash daerah (PAD) mereka sangat rendah; (d)
secara psikologis, mental mereka
2

Kata "tiba-tiba" dimaksudkan untuk menunjukkan betapa cepatnya

perubahan saat itu.


terhadap sebuah perubahan belum siap, (e) mereka juga gamang atau takut
terhadap upaya pembaruan.3

B. Permasalahan
Dengan memerhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai
pertanyaan permasalahan berikut ini.
1. Mengapa

masih

terdapat

beberapa

daerah

(pemerintahan

provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi


pendidikan?
2. Bagaimana pemerintahan provinsi/kota/kabupaten menyikapi konsep
desentralisasi pendidikan ini?
3. Masih berapa besarkah keinginan pemerintah pusat mempertahankan
kewenangan di dunia pendidikan ini?
4. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desentralisasi pendidikan
ini?

C . Realitas di Lapangan
Setelah memerhatikan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, berikut
ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan tersebut.

1. Kesiapan Daerah
Secara empiris dan realitas di lapangan, harus diakui bahwa masih
terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima kewenangan dari
pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Pada bagian
latar

belakang

telah

dijelaskan

berbagai

kemungkinan

yang

menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi


pendidikan ini.
a. Sumber Daya Manusia (SDM) belum memadai. Maksud SDM yang
kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas.
Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat
dengan baik memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan
konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula halnya yang
berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah
tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka masih sangat
terbatas. Kalaupun ada

yang telah menyelesaikan program

magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.


b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal
ini berhubungan erat dengan ketersediaan dana yang ada di setiap
daerah. Selama ini, mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena
dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat.
Mereka sangat terkejut (future shock) ketika tiba-tiba memperoleh
kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan
pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap dengan
segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam
waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala
sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan
besar. Kecuali, jika pemerintah pusat masih bersedia membantu
atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi

pendidikan tersebut.
c. Anggaran Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka sangat rendah.
Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah
tertinggal, merasa berkeberatan untuk langsung menerima beban
kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pem-biayaan
pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh
pusat atau provinsi. Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka tergolong
masih sangat rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, mereka
masih

berharap

dapat

diberi

kesempatan

untuk

menunda

pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah mereka. Bila


memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah
lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat mereka
bisa mendapatkan sistem subsidi silang.
d. Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah
perubahan. Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak
semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap
sebuah perubahan. Sebagian di antara mereka melihat perubahan
sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan
sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi
pada sebagian aparat atau masyarakat di daerah tertentu. Ketakutan
akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi,
membuat

mereka

tidak

siap

secara

mental

menghadapi

perubahan tersebut.
e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan. Salah satu
bentuk perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaruan.
Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan
sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaruan
kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan,
seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme, sosialisasi

kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu ditangkap oleh sebagian


personil guru kita sebagai sebuah `malapetaka' atau setidaknya
menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.

2. Sikap Daerah
Berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa pemda dalam
menghadapi

implementasi

kebijakan

desentralisasi

pendidikan,

di

antaranya sebagai berikut.


a. Sebagian di antara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu
sudah lama mereka tunggu-tunggu.
b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.
Mereka menganggap konsep

desentralisasi merupakan sebuah

konsekuensi dari perubahan sistem politik atau pemerintahan,


c. Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap
pesimistis. Mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai wujud
ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat
daerah.
d. Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau
masyarakat memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud
baik pemerintah pusat. Mereka melihat dan masih membaca adanya
keinginan-keinginan tersembunyi dari pemerintah pusat. Mereka juga
masih merasakan ketidakikhlasan pemerintah pusat dalam melepaskan
sebagian wewenangnya kepada pemda.
e. Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap
khawatir dan rasa takut. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan
ketersediaan dana, prasarana, dan sarana yang mendukung,
kurang mereka miliki. Apabila hal ini dipaksakan pada daerah mereka,
hanya akan menambah banyak orang yang kurang bahagia. Rasa takut
ini juga berhubungan dengan ketidakyakinan

mereka

akan

kemampuan

mereka

dalam

mengimplementasikan

kebijakan

tersebut.

3. Bentuk Kewenangan Pusat


Pemerintah

pusat

masih

saja

mempertahankan

bentuk-bentuk

kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi,
khususnya pada Pasal 2, butir 11, bidang pendidikan tercantum 10 butir
kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya
terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pusat.
Kewenangan lainnya berhubungan dengan pemanfaatan hasil penelitian,
pengaturan dan pengembangan pendidikan jarak jauh, serta sekolah
internasional. Termasuk pula di dalamnya melakukan pembinaan dan
pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mengenai tujuh hal yang
penetapannya masih di bawah kewenangan pusat, di antaranya
berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan
kurikulum nasional dan penilaian secara nasional; standar materi
pelajaran pokok; gelar akademik; biaya penyelenggaraan pendidikan;
penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa; benda cagar
budaya; dan kalender akademik.

4. Dampak Kebijakan
Dampak

yang

ditimbulkan

dari

kebijakan

desentralisasi

pendidikan adalah sebagai berikut.


a. Kemungkinan daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk
mendapatkan atau memperoleh pendapatan daerah. Tentu saja, hal
ini sangat riskan dilakukan karena berhubungan langsung dengan
masyarakat atau rakyat kecil "akar rumput" (grass roots) yang

semestinya mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.


b. Desentralisasi pendidikan ini memberi peluang kekuasaan yang
cukup kuat dan besar bagi para kepala dinas pendidikan. Hal ini
membuka peluang bagi terciptanya raja-raja kecil di daerah,
khususnya ketika kontrol pemerintah provinsi dan pusat tidak lagi
berperan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, para
kepala dinas pendidikan pemerintahan kota atau kabupaten
tersebutlah yang secara individual memiliki kekuasaan dan
kewenangan dalam pengambilan keputusan decision making.
c. Kebijakan ini juga ada kemungkinan akan menimbulkan jurang
yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa terjadi
karena daerah-daerah dengan PAD besar akan memberikan porsi dana
pendapatannya itu untuk kesejahteraan guru-gurunya. Sementara
daerah lainnya tidak mungkin melaksanakannya. Hal itu sampai
terjadi karena mereka tidak memiliki dana yang cukup besar untuk
menambah insentif bagi para guru-guru mereka.
d. Desentralisasi pendidikan ini juga bisa berdampak negatif terhadap
pemerataan pendistribusian tenaga guru. Dengan kata lain, daerahdaerah kaya akan menyedot tenaga guru yang berkualitas,
sekaligus secara kuantitas guru-guru itu akan berkumpul di daerah
yang kaya tersebut. Bagaimana halnya dengan daerah-daerah yang
PAD-nya sangat kecil? Mereka akan ditinggalkan oleh guru-guru
mereka. Akhirnya tempat-tempat tertentu di Indonesia ini akan
kelebihan tenaga guru, sementara daerah lainnya akan mengalami
kekurangan tenaga guru.
e. Ada juga yang mengatakan bahwa desentralisasi ini hanya akan
memindahkan praktik-praktik kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) dari pusat ke daerah. Praktik KKN di bidang pendidikan
yang selama ini banyak dilakukan oleh para penguasa orde baru,

ada kemungkinan akan bergerak secara perlahan, tetapi pasti


menuju daerah-daerah yang 'basah' dan kaya. Bila daerah-daerah
tersebut membuka peluang untuk mereka menjalankan misi dan visi
malingnya, tidak akan mustahil KKN akan menjadi semakin "sukses"
berkembang di daerah tersebut
f. Selain penjelasan di atas, kita dapat juga memprediksi tentang
kemungkinan beragamnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan
pembuatan

silabus

materi

pembelajaran

dibuat

berdasarkan

kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Perbedaanperbedaan tersebut memberi kemungkinan terjadinya keberagaman
hasil belajar siswa. Kalau kondisi sudah menjadi begini rupa,
akan sulit bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat
berbicara dalam skala nasional. Pada akhirnya, kondisi ini akan
mengarah pada tidak meratanya mutu/kualitas hasil belajar/tamatan
siswa kita.

D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Kebijakan Desentralisasi
Kekuatan-kebijakan desentralisasi pendidikan adalah:
a. sudah merupakan kebijakan yang populis;
b. mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari
para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;
c. Sebagai hal yang telah lama ditunggu tunggu menyusul adanya
perubahan sosial politik;
d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tahun 2003;
e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.
Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis,
desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan

masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lain


yang juga amat mendukung bagi lahirnya kebijakan ini adalah dukungan
dari pihak legislatif. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi
dari masyarakat untuk mengbadapi perubahan. Termasuk dalam hal
ini adalah kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan.
Anggota masyarakat amat dituntut partisipasinya dalam menjalani
perubahan tersebut.
Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran
pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu
kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20%
dari APBN dijadikan prioritas utama sebelum penganggaran bidang
lainnya.

2. Kelemahan Kebijakan Desentralisasi


Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi
kebijakan desentralisasi'pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah:
a. Kurang siapnya SDM daerah terpencil;
b. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerahdaerah miskin;
c. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging;
d. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus;
e. Dijadikan komoditas;
f. Belum

jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan

cukup

merepotkan Depdiknas dalam mengalokasikannya. Walhasil akan


menguntungkan departemen-departemen lain yang mengelola
pendidikan

atau

pelatihan,

padahal

departemen

lain

telah

memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya masih diragukan


karena ditangani bukan oleh para ahli/ profesional pendidikan.
Kelemahan-kelemahan di atas tentu harus dicarikan jalan keluarnya

agar dapat diminimalisasi keberadaannya.


3. Peluang Implementasi Kebijakan
Setelah melihat kekuatan sekaligus kelemahan dari kebijakan
desentralisasi pendidikan, harus dicarikan celah peluang keberhasilan
dalam pelaksanaannya. Mengingat kebijakan ini lahir dari arus paling
bawah (grass roots), walaupun baru terlaksana sekarang di era
reformasi, kebijakan ini memiliki peluang yang cukup signifikan
dalam hal keberhasilan pelaksanaannya karena telah menjadi fokus
perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol
dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini digunakan.
4. Tantangan Implementasi
Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam pengimplemetasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/
lembaga-lembaga

serakah

yang

mencari

kesempatan

dalam

kesempitan. Sekali lagi bagaimanapun harus diwaspadai mentalmental


korup haus uang.
Tantangan lainnya adalah memberi pengertian kepada lembaga di
luar Depdiknas yang selama ini memperoleh budget dari Depdiknas
untuk kepentingan kegiatan pelatihan/pendidikan. Hal

ini

harus

dipertegas sehingga tidak terjadi dualisme dalam anggaran pendidikan


yang pada akhirnya merugikan Depdiknas. Tentu ini akan mengurangi
jatah

bagi

biaya

pendidikan

yang

akan

merugikan

sekaligus

mempengaruhi proses pembangunan masyarakat madani.

E. Temuan-temuan
Implem ntasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui undangundang otonomi daerah, pada kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat
proses implementasi kebijakan yang tidak melibatkan seluruh stakeholders,
khususnya

daerah-daerah

yang

secara

finansial

belum

memiliki

kemampuan untuk turut mengimplementasikan kebijakan tersebut. Daerahdaerah tertinggal ini harusnya menjadi bagian integral dalam proses
pengimplementasian kebijakan.

1. Sampai Kapan jadi Parasit?


Memang, dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 telah
ditegaskan bahwa bagi daerah yang belum memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini, dapat bekerja
sama dengan pemerintahan kota/kabupaten lainnya, atau dengan
pemerintahan provinsi, atau menyerahkan kewenangan itu kepada
pemerintahan provinsi.' Pasal ini memang membuka peluang bagi daerah
yang belum memiliki kesanggupan melaksanakan kebijakan ini.
Temuan dalam tulisan ini, dan patut dipermasalahkan terus yaitu
sampai kapan daerah itu akan "menyusu" terus? Atau dalam batas
waktu berapa lama suatu daerah menjadi "parasit" bagi daerah
lainnya? Dalam bilangan satuan waktu apakah suatu daerah masih
tetap ikhlas "ditebengi" atau "digelayuti" oleh daerah lain yang belum
memiliki kemampuan tersebut? Sistem subsidi silang yang seperti apakah
yang dijadikan pegangan dalam kerja sama kedua pemerintahan daerah
tersebut? Selama pertanyaanpertanyaan tersebut tidak mendapat
kejelasan, selama itu pula salah satu dari kedua belah pihak yang
bekerja sama itu merasa senantiasa menjadi pihak yang dirugikan,
menjadi pihak yang terus-menerus dikorbankan.

2. Kontrol Pusat Belum Efektif


Selain itu, kontrol dan monitoring yang diberikan atau
dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang
sedang melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini dapat
dikatakan belum berjalan dengan baik. Daerah daerah yang melakukan

pelanggaran atau menyimpang dari aturan main yang ada tidak pernah
mendapat teguran, bahkan terkesan pemerintah pusat "takut", hingga
akhirnya, membiarkan saja perbuatan pelanggaran itu terjadi. Mengapa
pemerintah pusat terlihat seperti "takut"? Apakah teguran-teguran yang
akan diberikan itu menjadi sesuatu yang tidak lagi populis? Apakah ada
unsur-unsur politis yang berada di belakang tindakan pemerintah
pusat tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapat jawaban,
hal itu dibuat bukan untuk sekadar hiasan retorika, tetapi berangkat dari
suatu pemikiran.

3. Masih Ada Agenda Tersembunyi


Di samping itu, kalau dicermati lebih lanjut, terutama yang
berhubungan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, khususnya
bidang pendidikan, terlihat dengan jelas bahwa pemerintah pusat masih
memiliki agenda agenda lain yang tersembunyi. Dari sepuluh butir
kewenangan pusat tersebut, sebenarnya, sudah sepantasnya tidak lagi
harus digenggam atau dikangkangi oleh pusat, terutama bagi daerahdaerah yang telah memiliki kemampuan untuk itu. Dalam hal ini, dapat
diibaratkan, pemerintah pusat hendak memberi seekor kambing kepada
pemerintah daerah, tetapi ekornya masih tetap dipegang olehh pusat.

F. Kesimpulan
1. Harus diakui bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan ini merupakan
suatu keniscayaan. Hal itu harus diimplementasikan pada tataran
praktis, tidak hanya sebagai sebuah wacana.
2. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini
kekuatan

dan

sekaligus

kelemahan

dalam

memiliki
proses

pengimplementasiannya.
3. Konsep desentralisasi pendidikan, dapat dikatakan "agak terganggu"

dengan adanya PP No. 25 Tahun 2000, tentang kewenangan pemerintah


dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Ada kesan
mendalam yang terbaca bahwa pemerintah belum ikhlas memberikan
kewenangannya kepada pemerintah provinsi/kota/kabupaten.
4. Pemerintah

belum

dapat

berlaku

tegas

terhadap

bentukbentuk

pelanggaran yang dilakukan pemerintah provinsi/ kota/ kabupaten yang


melakukan pelanggaran/penyimpangan dari aturan main yang ada.

G. Saran dan Rekomendasi


1. Harus ada kerja sama dari seluruh stakeholders dalam implementasi
kebijakan desentralisasi pendidikan.
2. Pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan presiden yang
mengatur lebih jelas pelaksanaan tentang desentralisasi pendidikan.
3. Pemerataan SDM, khususnya guru ke desa-desa terpencil dan miskin,
dengan memberikan insentif yang memadai dan wajar.
4. Pemerintah harus memprioritaskan bantuan dana kepada daerahdaerah tertinggal dan terpencil.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Syukur. 2 Mei 2002. "Kurikulum dan Manusia di Balik Senjata"


Kompas.
6 September 2002. "Otonomi Guru Harus Diperjuangkan" Kompas.
Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Alih Bahasa: Muhajir
Darwin). Yogyakarta: Hannindita.
Eric, Lanerjan. 1991. The Public Sector: Concepts, Modls, and Aproaches.
London: Sage Publication.
Gunawan, Ary H. 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyasa, E. 2002. Manajamen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Balitbang Depdiknas.
. Mei 2002. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Jakarta:
Balitbang Depdiknas.
Juni 2002. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Balitbang Depdiknas.
. Mei 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu
Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.
Sihombing, Umberto. 2002. Menuju Pendidikan Bermakna melalui
Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Multiguna.

2. PROBLEMATIKA SEPUTAR PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI


PEKERTI

A. Pendahuluan
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas
merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur.' Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.2
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita
sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang
dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.
Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi
pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hat ini
terbukti pada kurikulum sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah
menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah.
Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi
kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali.
Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah
cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya.
Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang
salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal
tersebut pasti memperoleh porsi yang amat kecil. Hal ini mengingat cukup
banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama .dengan alokasi waktu
yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan
aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat kurang. Demikian pula,

sentuhan agama yang salah satu cabang kecilnya adalah akhlak/budi pekerti
menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus
berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi manta negara bagai tidak
berbatas.
Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang
cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat
ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran menjadi budaya baru yang dianggap
dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada di mana-mana, emosi
meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi
bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita
sendiri.
Hal lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti/moral
yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang
dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur.3 Dalam hal ini, bisa saja terjadi
pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak anak. Tindak kejahatan
mencuri, menodong, bahkan membajak bus umum semua pelakunya adalah
pelajar sekolah.
Fenomena-fenomena seperti dipaparkan di atas tentu tidak boleh dibiarkan.
Akan menjadi generasi seperti apa kelak anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi
tersebut. Jika tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang
bermoral/berbudi pekerti rusak. Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan
pemimpin bangsa di masa mendatang.
Oleh karena itulah, penulis merasa tertarik untuk membahas akibat-akibat
yang ditimbulkan dari kurang/minimnya penanaman moral/budi pekerti/akhlak.
Khususnya dalam kurikulum sekolah sebagai benteng penangkal hal-hal negatif.
Termasuk juga usaha yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan di
seputar penanaman budi pekerti tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah:
1. Ingin mendeskripsikan lebih jauh tentang peran pemerintah dalam

menangani permasalahan budi pekerti anak, khususnya anak sekolah;


2. Ingin mendeskripsikan peran orang tua dalam pembentukan budi pekerti yang
baik bagi anak;
3. Ingin mendeskripsikan peran masyarakat dalam menyikapi budi pekerti
anak.

B. Realitas di Lapangan
1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan
dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai.
Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin
bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian
siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di
Indonesia.
Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah
juga sampai ke pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya
tradisi, budaya, tata nilai kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti
luhur merambah ke desa-desa.4
Krisis yang terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah
kegagalan dari dunia pendidikan baik pendidikan formal, nonformal,
maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut memegang peranan
yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti
luhur. Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut
menanamkan nilai-nilai tata krama budi pekerti luhur. Jika ketiga lembagaini
Baling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk anak yang berbudi pekerti
luhur.5
Untuk memaparkan ketiga lembaga yang berkaitan dengan pltnbentukan
budi pekerti luhur ini, berikut ini akan dijelaskan Utu per satu. Sebagai

tempat awal seorang anak memperoleh pendidikan, berikut ini akan


disajikan realita pendidikan budi pekerti di rumah sebagai lembaga
pendidikan informal.
Untuk memaparkan pendidikan budi pekerti di rumah/ keluarga, harus
dilihat dahulu kenyataan bahwa di Indonesia tsrdapat lebih dari 11 juta
anak putus sekolah dan 6 juta di Mltaranya menjadi pekerja anak. Dari 6
juta pekerja anak, sekitar 1 Juta anak bekerja dalam kondisi yang sangat
membahayakan, bilk fisik maupun mentalnya.
Jika dilihat dari persentase jumlah anak yang ada di Indonesia, Wu sekitar
12 persen yang dapat mengikuti program wajib `elajar. Selebihnya tidak
memperoleh kesempatan belajar yang flelayaknya. Dapat dibayangkan
jumlah yang tersisa masih sekitar 18% justru menjadi pekerja anak untuk
membantu ekonomi keluarga. Jika mereka membantu orang tua berarti
mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di rumah, khususnya
belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak,
jangankan memberi pendidikan bagi anak, masalah kesehatan dan
keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal yang dlabaikan orang tua. Orang
tua tidak peduli jika anaknya dieksploitasi dengan upah yang sangat murah,
bahkan yang sangat parah, orang tua justru kadang melanggar HAM anak
dengan menyiksa anak kandung sendiri jika bekerja tidak mencapai target.
Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya
adalah para orang tua yang bekerja. Orang tua bekerja dengan waktu
yang cukup panjang meninggalkan anaknya di rumah di bawah asuhan
para pembantu rumah tangga yang juga', sering kali sangat rendah tingkat
pendidikannya. (RCTI, November': 2002).
Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anak
pun sudah tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang
tua/keluarga semacam ini pun tak pernah sempat menanamkan nilai-nilai

positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur.


Kalaupun ada keluarga yang memiliki kesadaran yang cukup tinggi
dengan menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai-nilai agama sejak dini
yang notabene sudah termasuk nilai akhlak/budi pekerti di dalamnya,
dapat dikatakan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Anak-anak
yang berbahagia memperoleh kesempatan seperti ini di keluarganya
dibandingkan dengan yang tidak memperolehnya bagai segelas air di
danau. Sudah barang tentu problematika yang muncul dari danaulah yang
mencuat. Padahal sudah seharusnya ataupun merupakan hak anak untuk
memperoleh itu semua.'

2. Pendidikan Budi Pekerti di Masyarakat


Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat
kurang sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan
pemenuhan kebutuhan hidup. Kontrol sesame pasyarakat menjadi kurang,
bahkan tidak ada. Semua serba lpdividualistis.
Kondisi kacau di masyarakat seperti ini justru yang sangat berpengaruh
pada penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur. KIluarga yang anaknya
terbebas/tak terpengaruh sisi negatif tunturnya nilai-nilai budi pekerti
seperti narkoba, tawuran, seks Was, dan lain-lain tidak peduli pada
tetangga/keluarga lain yang 1 Cara kebetulan mengalaminya, yang terpenting
keluarga sendiri pflcbih dahulu.

3. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah


Sementara itu, penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, Mntuk saat
ini memang sudah mengalami kemunduran. Data IMpiris membuktikan
bahwa para guru pun sudah merasa enggan menegur anak didik yang
berlaku tidak sopan di sekolah. Anak didik sering kali berperilaku tidak
sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman, bahkan ada sekolah

yang tidak berani mengeluarkan anak didik yang sudah jelas-jelas


menggunakan 1larkoba.
Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kUrikulum
mulok9 sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Mated tersebut
diintegrasikan ke dalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn clan agama.10
Kalaupun pada akhirnya diintegrasikan pula k0 dalam enam mata pelajaran
lainnya, yaitu matematika, IPA, IPS, Kesenian, Bahasa Indonesia, dan
Olahraga, rasanya masi'' kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah
amat mahal d. langka di masa kini.

C. Permasalahan
Berdasarkan realitas di lapangan, penulis merumuskaii, identifikasi
masalah sebagai berikut.
1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak
demikian merosot?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nliai moral dan
budi pekerti yang baik?
3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?
4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang
bermoral dan berbudi pekerti yang baik?
5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan
merosotnya moral dan budi pekerti yang baik pada anak?
Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih
dikonsentrasikan pada permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut.
1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan
budi pekerti yang baik?
2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?

3. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang


bermoral dan berbudi pekerti yang baik?

D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro
Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat
dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaltu: di samping
telah dituangkan dalam Sistem Pendidikan Nwional UU No. 2/89. Bab 11
Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan Ortakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan ltohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Juga terdapat pada
rundang-undangan yang lain, yaitu: TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang
pokok-pokok reformasi pembangunan pada Bab IV huruf D.
a. Butir 1 F: Peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur
dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah.
b. Butir 2 H : Meningkatkan pembangunan akhlak mulia dan moral
luhur

masyarakat

melalui

pendidikan

agama

untuk

mencegah/menangkal tumbuhnya akhlak tidak terpuji.


1. TAP MPR NO. IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV Huruf D mengenai
agama butir 1:
a. Menetapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan
moral, spiritual, dan etika dalam penyeleng garaan negara.
Perundang-undangan tidak bertentang. dengan moral agama.
b. Meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependi C; dikan
sehingga

mampu

berfungsi

secara

optimal

terutama'

meningkatkan pendidikan watak dan budi peke


mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga.

dalam

agar dapat

2. UU No. 2/1989 Penjelasan Pasal 39 ayat (2): menyatakan' bahwa


pendidikan pancasila mengarahkan perhatian padg; moral yang
diharapkan diwujudkan ke dalam kehidupar sehari-hari.
3. Komitmen

masyarakat

dalam

berbagai

lapisan

terhadap

etika

bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, ditengarai budi pekerti


sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan' nasional yang perlu
diintegrasikan ke mata pelajaran yang relevan.

2. Kelemahan Implementasi: Krisis di Segala Bidang


Kelemahan yang muncul dalam rangka upaya memecahkan atau
menanggulangi masalah kemerosotan moral dan budi pekerti anak di
antaranya adalah sebagai berikut.
a.

Pada tataran pemerintah, baru hanya sebatas membuat peraturan,


belum

sampai

pada

upaya

optimal

dalam

menanggulangi

kemerosotan moral dan budi pekerti anak.


b.

Kondisi ekonomi di Indonesia yang terpuruk menimbulkan krisis di segala


bidang termasuk bidang pendidikan.

c.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga memberi dampak yang


cukup signifikan dalam tuntutan ekonomi keluarga sehingga para
orang tua walaupun mengerti tentang pentingnya menanamkan nilainilai moral dan budi pekerti pada anak, kurang dapat menerapkannya
pada anak.

d.

Era globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilaiii, nilal


moral dan budi pekerti anak. Hal ini diiringi oleh tingkat kemajuan
teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik. Pada
era ini, kejadian di belahan dunia yang satu akan dapat langsung
diikuti dan diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi tanpa
pembatas ruang atau waktu. Pada kondisi inilah anak globalisasi
hidup. Dia menjadi tahu segala. Batas-batas moral menjadi demikian

tipis. Anak menjadi demikian kritis akan nilai-nilai moral yang


diajarkan oleh keluarga atau yang diperlihatkan oleh para elit birokrat
atau pemerintahnya.
e.

Teladan para birokrat atau elit politik terasa demikian kurang.


Nilai-nilai moral yang mereka pertunjukan di depan mata anak-anak
bangsa sedemikian riskan dan vulgar diketahui oleh para anak tersebut.
Kondisi ini menjadi titik lemah yang cukup fatal bagi usaha para pendidik
baik di sekolah maupun di rumah untuk menanamkan nilai-nilai moral
atau budi pekerti yang agung.

3. Peluang: Munculnya Kesadaran Kolektif


Peluang yang diharapkan dapat digunakan dalam rangka
mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak di Indonesia, di
antaranya adalah pada dasarnya tingkat kesadaran masyarakat iudah
cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti
anak.
Para orang tua pada umumnya berlomba-lomba menanamkan nllainilai moral dan budi pekerti luhur melalui pendidikan agama sejak usia
dini. Penanaman pendidikan agama sejak usia dini akan secara otomatis
tertanam nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur yang akan berdampak
sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Ini
terjadi karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari
pendidikan agama yang disebut pendidikan akhlak.
Hal ini sejalan dengan pendapat pemikir Islam sekaligus
pendidik Al-Ghazali yang dalam salah satu bukunya menyoroti sistem
pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa budi pekerti itu akan kuat jika
banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan
direstui.
Jika saja kesadaran menanamkan nilai-nilai agama muncul pada

setiap orang tua di masyarakat, dengan menyingkirkan jauhjauh rasa


pesimistis dalam menghadapi tantangan dari luar,

diharapkan

kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi
sedikit namun serempak. Dalam agama Islam ada beberapa kata
mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap orang untuk memulai
suatu kebaikan, di antaranya:
a. mulailah dari dirimu sendiri terlebih dahulu (Ibda' binafsika);
b. berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan (fastabiqul
khairat);
c. janganlah menunda-nunda berbuat kebaikan.
Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision maker)
pun sangat populis, artinya mengena di hati masyarakat. Menteri
Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin mengatakan
bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan antisipasi teknis
dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar anak didik yang
diyakini dapat menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti. Di
antaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi pekerti luhur sejak
tingkat sekolah dasar (SD).

4. Tantangan Pendidikan Budi Pekerti


Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi
kemerosotan moral dan budi pekerti anak antara lain sebagai berikut.
a. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat
merupakan tantangan tersendiri di mana informasi baik positif maupun
negatif dapat langsung diakses dalam kamar atau rumah. Tanpa adanya
bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang telah tercakup di
dalamnya nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan berdampak negatif
Jika tidak disaring dengan benar.
b. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya

di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak


dapat diabaikan.
c. Moral para pejabat/birokrat yang memang sudah amat melekat seperti
"koruptor", curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan orang
lain, dan lain-lain, ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila
mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusannya
mengimplementasikan secara benar.
d. Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya materi moral dan budi
pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi
karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model
integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sedang
diajarkannya atau yang diampunya.
e. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, bagaimanapun, setiap ada
kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.

E. Temuan: Kondisi Objektif


Berdasarkan pada masalah yang timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai
moral dan budi pekerti anak dan setelah dianalisis berdasarkan realitas di
lapangan, dijumpai beberapa temuan sebagai berikut.
1. Perhatian pemerintah dapat dikatakan cukup serius, terutama bagi
pembentukan manusia yang utuh, yaitu manusia yang agamis dan mandiri
sebagaimana termaktub dalam Tap MPR/1999 dan didukung oleh
peraturan dan ketetapan yang lainnya. Namun, pelaksanaan tidak semudah
perencanaannya. Kondisi ekonomi di Indonesia yang sedang terpuruk saat
ini sangat berpengaruh dalam menanggulangi kemerosotan nilai nilai moral
dan budi pekerti bangsa Indonesia, khususnya anak.
2. Arus globalisasi yang hampir menjangkau seluruh dunia juga ikut
berpengaruh pada perilaku anak yang sering bertentangan dengan nilai-nilai

atau norma-norma adat istiadat, agama, dan nilai-nilai ketimuran anak di


Indonesia.

F. Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya
menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
2. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini
secara terpadu (integrated) ke dalam setiap mata c pelajaran. Namun,
tentu saja hal ini masih belum efektif dan belum maksimal, mengingat
tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.
3. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama
sekali untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti
anak, terutama, dalam bentuk kontrol. Namun, upaya penanaman agama
sejak usia dini telah disiapkan oleh masing-masing keluarga.
4. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan
moral dan budi pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi atau
ekonomi negara saat ini.
5. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut
memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

G. Saran dan Rekomendasi


1. Pemerintah diharapkan lebih serius menangani kemerosotan moral dan
budi pekerti anak, tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan. Hal ini
dapat dilakukan dengan (a) mengalokasikan anggaran pelatihan bagi para
guru dalam melakukan integrasi materi moral dan budi pekerti ke dalam
setiap mata pelajaran, (b) memasukkan kembali materi moral dan
budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
2. Bagi orang tua yang berkecukupan diharapkan tidak hanya mengejar

materi dan karier, tetapi diharapkan lebih memberikan perhatian


kepada anak-anak mereka, yaitu dengan cara ,memberikan penanaman
nilai-nilai agama sejak dini. Sementara itu, bagi orang tua yang
kurang mampu diharapkan tidak terlalu membebani anak dengan
tuntutan bekerja, sementara mengabaikan hak mereka untuk
mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan moral dan budi
pekerti.
3. Kepada organisasi keagamaan diharapkan turut peduli dengan upaya
penanggulangan kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
4. Seluruh

lapisan

masyarakat

melakukan

kontrak

sosial

kemerosotan moral dan budi pekerti tidak semakin bertambah.

agar

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Syukur. Jumat, 24 Mei 2002. "Kurikulum" dan "Manusia di Balik


Senjata," Kompas.
Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Disadur Oleh Muhadjir
Darwin). Jogjakarta: Hanindita.
Eric, Lanerjan.1991. The Publik Sector: Concepts, Models, and Approaches.
London: Sage Publication.
Gunawan, Ary H. Mei 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang
Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Harsono, Eko B. 2 Mei 2001. "Membawa Pendidikan Budi Pekerti ke
Sekolah". Suara Pembaharuan.
Muthohor, M. Aris. 2001. Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.
Jakarta: SIC.
Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Salam, Barhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik).
Jakarta: Rineka Cipta.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan menurut AlGhazali:
Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Dea Pers. Tarwiyah, Tuti, dkk.
2002. "Masalah Hak Azasi Anak dalam Pendi
dikan" Makalah Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana Univer-sitas
Negeri Jakarta.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka
Cipta.
. April 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Widodo. 2 Mei 2002. "Reaktualisasi Pendidikan Budi Pekerti" Suara
Pembaharuan.

3. ISU SEPUTAR EVALUASI PENDIDIKAN SECARA NASIONAL

A. Pendahuluan
Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang berani dan inovativ menghapus
ebtanas secara bertahap, SD tahun 2002 dan ILTP/SMU tahun 2003
mendatang, menunjukkan kemauan emerintah (political will) untuk memutus
persoalan-persoalan filosof dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas
dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi,
serta untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ditemui dalam sistem
ebtanas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan peran sumber
daya manusia lebih efektif.'
Hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran dihapuskannya sistem
evaluasi pendidikan melalui ebtanas, salah satunya adalah dalam rangka
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemui dalam sistem ebtanas.
Di samping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih
realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Panduan ujian akhir sekolah sebagai ganti ebtanas merupakan langkah
pertama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, diikuti
dengan sosialisasi ke tingkat daerah. Kepala Pusat Pengujian Departemen
Pendidikan Nasional, Sunardi mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang
menjadi prinsip pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN), yaitu prinsip
memberdayakan sekolah dan prinsip desentralisasi. Satu hal yang paling
mendasar dalam UAN ini terkandung filosofi bahwa nilai ujian akhir berfungsi
sebagai alat seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi. 2 Tentu saja, dalam hal
ini, dari tingkat SD ke SLTP atau dari tingkat SLTP ke SMU.
Dengan mengikutsertakan daftar nilai UAN yang tertera dalam sertifikasi
"tamat" yang dapat dijadikan alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih
tinggi terutama ke SLTP/SMU, menunjukkan bahwa sistem UAN, prosesnya

cukup efisien dari segi waktu. Selain itu objektivitas nilai yang ada pada UAN
pun sangat terkontrol. Artinya, nilai yang diperoleh anak benar-benar menggambarkan kemampuannya. Hal ini terjadi karena UAN sangat menekankan
objektivitas dan kejujuran sebagaimana Mendiknas menyatakan bahwa dunia
pendidikan harus berani menegakkan prinsip kebenaran kepada masyarakat
secara jujur. Jujur kepada diri sendiri, kepada masyarakat, kepada anak-anak.
Dengan tegas pemerintah akan menghapus praktik-praktik mark up nilai yang
selama ini terjadi.3
Berkaitan dengan penilaian yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi 2004 yang sedang diujicobakan, terdapat ketentuan penilaian yang
disebut dengan benchmarking. 4 Benchmarking merupakan suatu penilaian
terhadap proses dan hasil untuk menuju ke suatu unggulan yang memuaskan.
Untuk ukuran keunggulan ini dapat ditentukan di berbagai tingkat, yaitu sekolah,
daerah, atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan
sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan pembelajaran yang
sesuai dengan kemampuan, usaha, dan keuletannya mulai dari tingkat
sekolah, daerah, dan pada akhirnya tingkat nasional.
Untuk

dapat

memperoleh

data

dan

informasi

tentang

pencapaian

benchmarking tertentu, dapat diadakan penilaian secara nasional yang


dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan. Hasil dari penilaian itu bermanfaat
ganda, yaitu pertama, dapat dipakai untuk menilai kompetensi siswa dan kedua,
dapat dipakai untuk memberikan peringkat sekolah, yaitu untuk dasar
pembinaan guru dan kinerja sekolah. Jadi, selalu ada monitor sekaligus umpan
balik (feed back).
Kurikulum Berbasis Komptensi (KBK) 2004 juga memberikan peluang untuk
melakukan penilaian program secara berkala dan terus-menerus oleh
Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan Nasional. Penilaian
program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar,
fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan tuntutan

perkembangan yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Jadi, sekolah tidak


seperti menara gading.
Pukur Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kesenjangan kompetensi mutu
antara sekolah di Jawa dan luar Jawa, pemerintah memiliki batas toleransi.
Pemerintah ke depan akan menjadi fasilitator untuk menjembataninya.
Caranya adalah dengan membantu pihak sekolah memberikan pelajaran
matrikulasi tambahan sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas pendidikan
yang memadai.
Berkaitan dengan penilaian, dalam KBK 2004 dikenal ada penilaian Akhir
Satuan Pendidikan dan Sertifikasi. Pada setiap akhir semester dan tahun
pelajaran, diselenggarakan kegiatan penilaian guna mendapatkan gambaran
secara utuh dan menyeluruh pencapaian ketuntasan belajar siswa dalam satuan
waktu tertentu. Di dalam lingkungan sekolah, penilaian ini Bering
dikenal dengan nama Ujian Akhir Sekolah (UAS). Hal seperti di atas
merupakan bagian dari program manajemen berbasis sekolah
(school based management).
Berdasarkan pada latar belakang di atas, ditetapkan tujuan dalam penulisan
ini sebagai berikut.
Pertama, mencari tahu alasan dihapuskannya ebtanas.
Kedua, mencari tahu tentang kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak
dan kewenangannya untuk menilai siswanya sendiri, di mana sekolah
dan guru bertanggung jawab terhadap proses pendidikan mulai dari
penerimaan siswa, proses pembelajaran, sampai dengan penentuan
kelulusan. Untuk hal ini tidak ada campur tangan pusat.
Ketiga, mencari tahu apakah ada keterkaitan antara evaluasi pendidikan secara
nasional dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK 2004), terutama
mengenai normanorma penilaian pendidikan.
Keempat, mencari tahu apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu

pendidikan

nasional,

penyelenggaraan

UAN,

dan

pedoman

pengembangan tes standar dalam rangka evaluasi pendidikan secara


nasional.

B. Realitas di Lapangan
1. Kelemahan Ebtanas
Penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional adalah untuk
menyempurnakan ebtanas yang sarat dengan berbagai kekurangan, baik
segi akademis maupun segi teknis penyelenggaraan. Selama ebtanas
digunakan banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Sebagaimana yang penulis kemukakan di atas bahwa sistem penilaian
pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antaralain:
1) ebtanas tidak mampu mengukur pencapaian prestasi akademik secara
komprehensif, tetapi hanya terhadap sejumlah tujuan instruksional
tertentu;
2) pengujiannya hanya dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang
singkat;
3) hanya mampu mengumpulkan informasi yang terkait dengan kemampuan
kognitif sementara yang nonkognitif tidak dapat dievaluasi;
4) validitas dan reliabilitas instrumen rendah (seperti bidang studi PPKn);
5) banyak menimbulkan bias perlakuan terhadap skor; dan
6) banyak nuruting effect yang menyebabkan tereduksinya proses1, misalnya
proses pembelajaran yang berorientasi pada ebtanas,"> persekolahan yang
didominasi oleh transfer of knowladge, dan tidak transfer of values,
siswa hanya terajar bukan terdidik.' Siswa hanya terlatih menghafal,
tanpa memahami apalagi mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Siswa
bagai robot.

2. Ebtanas: Proyek Pejabat?


Secara teknis terdapat kesan bahwa selama ini penyelenggaraan ebtanas
lebih sarat dengan muatan proyek memperkaya diri pejabat. Hal ini
tampak pada pos-pos pembiayaan pelaksanaaa ebtanas yang hares
mendapatkan

"jatah"

melalui

kabupaten/kota/kecamatan/rayon,

dan

pos

pemerintahan

sekolah.

Selairn',

provinsi,
itu,

untuk

penggandaan naskah, pengiriman sampai pengamanan soal ebtanas hingga


ke tangan peserta di masing-masing sekolah. Kebocoran lebih sering
dijumpai daripada keamanan, manipulasi koreksi yang dilakukan oleh
oknum evaluator ebtanas, daftar' NEM aspal (asli tetapi palsu). Pendek
kata pelaksanaan ebtanas selama ini dikategorikan sebagai ekonomi berbiaya
tinggi.

3. Ebtanas: Proses Pengerdilan


Secara akademis, tujuan ebtanas untuk menyeragamkan kualitas tidak
tercapai. Hal yang terjadi dalam pelaksanaan ebtanas selama ini terkesan
sekadar main-main dan tidak bersungguhsungguh. Proses pembelajaran di
sekolah bukan lagi penguasaan dan pendalaman ilmu, melainkan proses
pengerdilan supaya dapat mengerjakan soal-soal ebtanas sehingga orientasi
sekolah hanya mengejar NEM. Hasil analisis ebtanas yang dilakukan oleh Oey
Gardiner dan Peter Gardiner menemukan bahwa jumlah peserta ebta, ratarata nilai yang diperoleh, jumlah pengeluaran, dan rasio kelulusan siswa
SD/MI negeri dan swasta 1998/1999. )Ymlah peserta ebtanas 2.346.326
siswa, lulus 2.315.116 siswa, rata-rata nilai yang diperoleh 5,48 dan rasio
kelulusan 98,5 persen. limpulan analisis ini adalah bahwa selama ini
pendidikan di donesia mengalami sucsess story dalam kualitas karena
dari 1,346.326 siswa yang mengikuti ebtanas, hanya 31.210 yang tidak
lulus (15%). Namun, yang dinyatakan lulus pun sebenarnya tidak lulus
semuanya karena nilai yang diperoleh rata-rata 5,8, padahal patokan nilai

6,0. Dan bahkan kenyataan di lapangan pienunjukkan bahwa semua siswa


yang mengikuti ebtanas dijamin jujus asal ikut ebtanas.s Tidak ada
sejarahnya selama ini siswa yang ikut ebtanas tidak lulus selama
persyaratan administrative penuhi.

4. Ujian Akhir Nasional Masih Relevan


Soal mutu pendidikan, Tubagus Surahmad menilai bahwa V Ian akhir
nasional masih sangat dibutuhkan dan relevan dengan >kenyataan.
Masalahnya

sekarang,

output

pendidikan,nasional

masih

sangat

memprihatinkan. Pada desakan globalisasi dan pasar babas dituntut lahirnya


manusia profesional dari berbagai sekolah yang ada. Sentralisasi pendidikan
masa lalu ternyata melahirkan 1ambodohan dan pemasungan kreativitas anak.
Terbukti berdasarkan j#urvei UNDP tahun 2000 bangsa Indonesia berada pada
peringkat A dari 47 negara untuk kategori daya saing. Sementara itu, Human
yDevelopment Indeks (HDI) Indonesia berada pada urutan 109 dari
174 negara. Angka pengangguran pun mencapai 40 juta dan 35 persen
terdidik
BPS memprediksikan angka pengangguran tahun 2000 akan naik
menjadi 6,7 hingga 7 persen di tahun 2001.' Sejak awal krisis ekonomi
pada tahun 1997 hingga tahun 2001 hampir seluruh sumber daya manusia dan
upaya pembangunan terkonsentrasi pada penanganan masalah jangka pendek.
Padahal, untuk penyelamatan pendidikan nasional perlu komitmen seluruh
stakeholders pendidikan, tidak dapat mengandalkan hanya pada satu atau dua
instansi.
Kebijakan pemerintah menghapus evaluasi tahap akhir nasional
(ebtanas) pada tahun 2002 merupakan terobosan baru dalam inovasi
pendidikan. Tujuan utamanya adalah untuk menghapus kelemahankelemahan akademis dan praktik penyelenggaraan EBTA yang tidak terpuji.
Kekuatan-kekuatan apakah yang dimiliki oleh sistem penyelenggaraan Ujian

Akhir Nasional yang diluncurkan pemerintah sebagai pengganti sistem ebtanas.


Kelemahan apa yang mungkin dimiliki oleh sistem Ujian Akhir Sekolah,
tantangan dan peluang apakah yang akan didapatkan di masa mendatang.
Berikut ini analisisnya.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan realitas sosial, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
Pertama, mengapa ebtanas dihapuskan?
Kedua, apakah ada kaitan antara evaluasi pendidikan secara nasional dengan
kurikulum KBK 2004, khususnya mengenai norma-norma penilaian
pendidikan?
Ketiga, apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu pendidikan
nasional, penyelenggaraan UAN, dan pengembangan tes standar
dalam rangka evaluasi pendidikan secara nasional?
Keempat, bagaimana kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak dan
kewenangannya dalam menilai siswanya sendiri sesuai dengan sistem
UAN sebagaimana yang diterapkan sekarang?
Masalah-masalah tersebut akan dianalisis tidak dibagi satu per satu,
melainkan akan dianalisis secara keseluruhan yang tidak terpisahkan dengan
selalu mengacu pada harapan dan kenyataan yang sebenarnya terjadi di
lapangan. Juga akan selalu dicermati mengenai kekuatan, kelemahan, peluang,
dan hambatannya.

D. Analisis SWOT
1. Desentralisasi Pendidikan: Sebuah Alternatif
Pada latar belakang di awal telah dikatakan bahwa mutu pendidikan
pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan
proses desentralisasi. Berbagai studi di negara berkembang, terutama di

Amerika Latin, menunjukkan keberhasilan desentralisasi bagi peningkatan


mutu pendidikan meskipun di beberapa negara lain dilaporkan terjadi
kegagalan desentralisasi pendidikan. Untuk hal ini tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia apabila ingin menerapkannya.
Proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep utama. Pertama,
pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke
pemerintahan daerah. Untuk hal ini telah jelas, bahkan dalam kurikulum
1994 pun telah ada. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan
berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada
masyarakat. Gagasan dasar yang melandasi konsep kedua ini adalah bahwa
masyarakat sebagai penerima manfaat pendidikan seyogyanya memiliki
kemampuan untuk memutuskan pendidikan seperti apa yang mereka inginkan.
Menurut Fiske, Burnet, dan Word Bank, sebagaimana dikutip Pokja
Anggaran Pendidikan, desentralisasi pendidikan merupakan kegiatan politis.
Pasalnya, pendidikan merupakan hajat hidup orang banyak yang melibatkan
kebijakan dari berbagai tingkat pemerintahan. Di negara maju anggota OECD,
sekolah biasanya memiliki kewenangan dalam sistem pembelajaran seperti
penentuan buku teks, metode belajar, sistem pemberian nilai siswa, dan
sebagainya. Namun, keputusan mengenai manajemen personalia, khususnya
guru, biasanya dipegang oleh pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan kerap
mengemuka dalam konteks desentralisasi yang lebih besar. Hal ini sekarang
menjadi kenyataan di Indonesia, namun masih ada saja tarik-menarik antara
berbagai kepentingan. Akibatnya proses desentralisasi di bidang pendidikan
menjadi begitu alot dan belum sepenuhnya memenuhi kriteria desentralisasi
pada umumnya sebagaimana terjadi di negara lain.

2. Kekuatan Ujian Akhir Nasional dalam KBK 2004


Kekuatan yang ada bagi terlaksananya desentralisasi pen didikan
khususnya mengenai pelaksanaan Ujian Akhir Nasional yang menjadi ciri khas

Kurikulum KBK 2004 antara lain sebagai berikut.


Pertama, persiapan yang cukup matang dengan menekankan penilaian
berbasis kelas. Berbasis kelas, maksudnya adalah penilaian yang dilakukan
oleh guru untuk mengetahui kemajuan hasil belajar (kompetensi) siswa,
mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan (feed back)
proses belajar mengajar dan menentukan kenaikan kelas. Penilaian kelas terdiri
dari ulangan harian, pemberian tugas, dan ulangan umum yang semua
bahan/materinya dikembangkan berdasarkan pada kompetensi anak. Di
samping berbasis kelas, penilaian juga didasarkan pada basis reformasi.
Dikatakan

berbasis

reformasi

karena

penilaian

dimaksudkan

untuk

memperoleh informasi hasil belajar dari keberagaman atau dari hal yang multi.
Kedua, UAN, merupakan instrumen untuk memperoleh Informasi
tentang pencapaian benchmarking, yaitu penilaian proses dan hasil untuk menuju
keunggulan yang memuaskan.
Penghapusan ebtanas akan memunculkan kedaulatan dan otonomi
sekolah yang benar-benar solid dan kredibel. Dengan demikian, otonomi
sekolah dapat mendorong peningkatan kreativitas guru dan kepala sekolah
untuk pengelolaan proses pembelajaran.

3. Kelemahan Ebtanas: Menuju UAN yang Kredibel


Menurut penilaian Mendiknas, sistem penilaian pendidikan diubah dengan
Ujian Akhir Nasional karena ebtanas mengandung banyak kelemahan. Ebtanas
telah mematikan kreativitas pendidikan. Soal-soal tes biasanya dijadikan acuan
guru dalam pembelajaran kepada murid. Bahkan, guru akan menambah les-les
tambahan ; untuk mengejar nilai ebtanas.
Dari segi akademis, sistem penilaian ebtanas memiliki kelemahankelemahan sebagai berikut.
1) Penilaian evaluasi tahap akhir nasional (ebtanas) tidak menunjukkan
penilaian yang sebenarnya. Penilaian yang diterapkan hanya mengukur

kemampuan kognitif dan melupakan proses pembelajaran yang bermakna dan


pembudayaan kemampuan nilai dan sikap. Ebtanas tidak_memberikan makna
apa pun untuk mengembangkan karakter bangsa, padahal karakter bangsa
merupakan faktor yang penting untuk menilai keberhasilan pendidikan.
Penilaian yang dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana siswa dapat
menuangkan kembali pelajaran yang telah diajarkan guru. Menurut
Sudjiarto, sistem pembelajaran yang baik harus memperhatikan empat
pilar belajar. Keempat pilar itu menyangkut bagaimana peserta didik
memperoleh kemampuan belajar; melatih dan mengembangkan kemampuan
berpikir; melatih dan mengembangkan kemampuan memeahkan masalah;
dan pusat pembudayaan nilai sikap dan kemampuan.
Sayangnya; sistem pendidikan di Indonesia telah melupakan proses
pembelajaran yang bermakna dan proses pembudayaan kemampuan serta
sikap. Buktinya, sistem evaluasi yang diterapkan tidak pernah melihat
bagaimana peserta didik memeahkan masalah, memahami sesuatu,
ataupun kemampuan berinteraksi dengan sesamanya. Acuan yang digunakan
melulu pada kemampuan kognitifnya saja. Tanpa dikembangkan dan
dilaksanakan sistem penilaian dengan memerhatikan empat pilar tersebut,
maka proses belajar mengajar yang ada tidak akan pernah efektif untuk
menunjang proses pembelajaran membentuk karakter bangsa, khususnya
generasi mendatang yang sudah harus disiapkan sedini mungkin.
2) Sistem penilaian melalui ebtanas menghambat kreativitas berpikir anak
dan kreativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar serta metode
mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk
menyiapkan anak menghadapi ebtanas. Strategi pembelajaran demikian
akan menghambat kreativitas anak. Sistem ebtanas juga melemahkan sekolah,
yang berakibat kentalnya budaya menunggu juknis dan juklak.
3) Sistem ebtanas juga berdampak melahirkan kesenjangan antarsekolah
yang berada di Jawa dan luar Jawa.

4) hasil penilaian yang dilakukan tidak relevan dengan kenyataan9 karena


banyak campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah/kota siap
terutama SDM-nya.
Selama ini sekolah dan para guru selalu melaksanakan peniIaian seperti
ulangan harian, ulangan catur wulan, dan ebtanas, tetapi secara empiris
perolehan nilai siswa tidak menggambarkan prestasi belajar anak yang
sesungguhnya. Hasil belajar yang menggembirakan, ketika anak diukur dengan
soal-soal yang dikembangkan oleh sekolah, tetapi tidak ketika soal
dikoordinasi di tingkat kabupaten/kota. Perolehan nilai yang dicapai oleh
siswa langat tidak memuskan, karena memang tidak mengukur sesuai dengan
keadaan yang sesungguhnya. Nilai siswa mencapai kebalikannya. Yang lebih
mengecewakan lagi adalah ketika nilai ebtanas murni (NEM) digelar melalui
daftar kolektif NEM (dakonem). Sungguh amat memprihatinkan.

4 . Kompetensi Guru dalam Menyusun Butir-butir Tes


Seorang peneliti menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian.
Sebabnya adalah ketidaksiapan guru dalam menyusun soal secara baik dan
benar. Guru gagal merancang, merakit, serta menyusun soal. Standar mutu
soal yang setara dengan ebtanas ternyata belum dimiliki oleh guru.
Kemampuan untuk itu dapat diasah melalui pelatihan. Namun, pelatihan
guru, seminar dan . lokakarya pun sering kali tidak menyentuh hakikat
penilaian. Kegiatan tersebut sering terjadi juga karena mengejar target
proyek. Jadi, sosialisasi penilaian yang seharusnya dirasakan masih belum
proporsional dibanding dengan sosialisasi kurikulum, pendekatan metode,
dan materi yang esensial. Bahkan, kemudian dikenalkan buku pegangan guru,
pegangan siswa, buku pelengkap dari penerbit-penerbit. Sebaliknya, justru hal
yang paling mendasar dan prinsip seperti penilaian sering diabaikan. Hal
mendasar itu misalnya bagaimana guru tidak hanya piawai memberikan
materi secara menarik dari buku acuan, tetapi mahir pula menyusun tes

sesuai dengan keperluan. Hal ini yang belum ada pada guru.
Ditinjau dari aspek orang tua, kelemahan sistem penilaian ebtanas
menghadapi hambatan. Di antaranya, orang tua cenderung merasa keberatan
karena ebtanas identik dengan biaya yang besar berkaitan dengan membeli
buku soal menghadapi ebtanas, les privat, atau bimbingan belajar yang
diwajibkan oleh sekolah.

5. Peluang Bagi Pelaksanaan UAN


Peluang bagi pelaksanaan UAN, secara yuridis memiliki kekuatan
hukum, yaitu dengan ditetapkannya SK mendiknas No. 012/U/2002 yang
mengatur tentang sistem Penilaian SD dan Sederajat.
Peluang lainnya adalah dengan adanya desentralisasi pendidikan dan
dukungan SDM, terutama guru, khususnya kepala sekolah di daerah, dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk bersama-sama menyelenggarakan
pendidikan di daerah masingmasing menjadi lebih bermutu.
Peluang berikut yaitu dukungan orang tua, dan masyarakat stakeholders
yang tinggi terhadap kebijakan pendidikan harus dimanfaatkan, juga anggaran
pendidikan yang saat ini sebesar 20 persen.

6. Tantangan Bagi Pelaksanaan UAN


Tantangan bagi pelaksanaan evaluasi pendidikan secara nasional ini,
khususnya berkaitan dengan penilaian berdasar KBK 2004, adalah:
a. moral/mentalitas birokrasi tingkat pusat, daerah, dan sekolah yang
tidak berubah terhadap perbedaan ujian akhir dengan ebtanas;
b. mentalitas

guru

yang

berangapan

ujian

akhir

sekloah

mem

bebani guru sebagaimana penilaian dalam sistem ebtanas;


c. kualitas SDM guru yang tidak merata antara kota dan daerah.
Ketiga tantangan yang sangat mungkin terjadi itu diantisipasi sejak saat
sekarang.

Pertama,

melalui

pendekatan

pengubahan

mentalitas

penyelenggara pendidikan itu sendiri. Kedua, melalui upaya perundangundangan yang jelas dan kredibel. Ketiga, sosialisasi yang menyeluruh,
konsisten,

dan

terus-menerus

serta

diberikan

pelatihan-pelatihan

yang

bertanggung jawab bagi para guru.

E. Temuan: Kondisi Objektif


Berdasar pada realitas di lapangan dan analisis SWOT, penulis
mendapatkan beberapa temuan sebagai berikut.
1. Selalu saja terjadi kebocoran soal ebtanas, manipulasi koreksi yang
dilakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta daftar NEM yang tidak asli.
2. Banyak terjadi penyimpangan dana ebtanas, terutama terjadi di sekolahsekolah daerah.
3. Campur tangan pemerintah pusat masih dominan.
4. Orientasi sekolah hanya mengejar NEM.
5. Politisasi ebtanas menjadi alat untuk mengangkat sekolahsekolah negeri agar
terkesan berkualitas dengan menggunakan NEM sebagai seleksi masuk
sekolah selanjutnya.

F. Kesimpulan
Berdasar pada analisis terhadap masalah-masalah evaluasi pendidikan dan
beberapa temuan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, ebtanas sudah tidak relevan lagi dilaksanakan saat ini.
Kedua, ada keterkaitan dan kesamaan misi antara UAN dengan norma-norma
penilaian yang ada dalam KBK 2004.
Ketiga, SDM guru dan kepala sekolah belum siap sepenuhnya di daerah untuk
melaksanakan pengganti ebtanas, dalam arti, perlu sosialisasi yang terus
menerus dilakukan oleh pusat

G. Saran dan Rekomendasi


Berdasarkan temuan dan kesimpulan di atas, dapat disarankan hal-hal
berikut.
Pertama, para penyelenggara pendidikan pusat dan daerah hendaknya
berpegang pada pinsip kejujuran, bertanggung jawab dan lebih mengutamakan
kepentingan peserta didik dan tidak memberi tempat pada kepentingan
penguasa dan atau kepentingan para pemilik modal.
Kedua, orang tua dan masyarakat hendaknya menaruh kepercayaan yang
tinggi terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan
dengan memberikan dukungan positif dan membantu menciptakan iklim yang
edukatif.

DAFTAR PUSTAKA

Kompas, 21 Januari 2002. "Ebtanas bertentangan dengan Program Wajar


Sembilan Tahun".
Kompas, 1 Februari 2002. "Efisiensi Penghapusan Ebtanas".
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2002 Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta. Puskur.
Republika, 21 Januari 2002. "Siswa Sekolah Dasar dan Madradsah Ibtidaiyah
(SD/MI) tidak perlu Ebtanas".
Surat Keputusan Mendiknas Nomor 011/U/2002. Tentang Penghapusan Ebtanas
SD, SDLB, dan MI. Jakarta: Depdiknas.

4. KEBIJAKAN TENTANG KUANTITAS DAN KUALITAS GURU

A. Pendahuluan
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas
diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang
sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam
mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang
perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya.'
Seorang tokoh pendidikan Jepang mengatakan bahwa pembaruan yang
menyeluruh terjadi di Jepang karena adanya pengaruh investasi pendidikan.
Seorang tokoh pendidikan lain dari Jerman setelah perang dunia II mengatakan
bahwa pembaruan adalah berkat investasi sistem pendidikan. Tokoh dari Jepang
dan Jerman tersebut selaku anggota komisi internasional pengembangan
pendidikan akhirnya menyimpulkan mengenai peran pendidikan yaitu sebagai
berikut: "for all those who wout to make the world as it is to day a better place,
and to prepare for the future, educat is a capital, universal subject."'.
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidika sebagai faktor
universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan; secara khusus. Tidak
berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya, dijadikan sebagai "public good".
Termasuk juga di Indonesia, sudah seharusnya pendidikan;' diprioritaskan
pengembangannya. Jika mencermati sudut political' will pemerintah, gagasan
untuk itu telah diwujudkan melalui'; kebijakan pemerintah pada sektor
pendidikan yaitu kurikulum' 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar
kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.
Ujung tombak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan
pendidikan, akhirnya berpulang pada makhluk yang' bernama guru. Gurulah
yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan
geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai
model pembelajaran' yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi

(KBK sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikanr sebagai bagian
perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan jugs pada
komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba
tersebut.
Melihat peran yang begitu besar dari para guru, lalu kitabertanya:
Apakah guru-guru di Indonesia ini memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu?
Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas profesional ke arah itu? Selain
itu, secara profesional spakah guru-guru kita memiliki kemauan dan
komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini? Yang menjadi kekhawatiran
dan kegalauan kita ialah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan terlebut, apakah
persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang
memadai? Secara kuantitas, cukupkah f umlah guru sekarang ini dan apakah
mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia?

B. Permasalahan
Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasinya
sebagai berikut:
1. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di masa
mendatang?
2. Bagaimana kuantitas dan kualitas guru yang ada sekarang ini, cukup
memadaikah untuk menjawab persoalan pendidikan dewasa ini?
3. Bagaimana mutu guru yang ideal?
4 . Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia?

C . Realitas di Lapangan
Sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang, bahwa ujung
tombak dari semua persoalan pendidikan pada akhirnya akan kembali pada
guru. Seorang guru dituntut untuk memberikan perhatian sebesar-besarnya bagi

mutu pendidikan, rasanya tidak adil jika kesejahteraannya diabaikan. Begitu


santernya mitos tentang status sosial guru sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa, seolah-olah guru pekerja sosial tanpa imbalan, dan guru merupakan pekerjaan
orang dungu

1. Lagi-lagi Tentang Kesejahteraan Guru


Gaji

guru

saat

ini,

untuk

golongan

tertinggi

saja

hanya

Rp2.400.000,00 itu pun dengan masa kerja puluhan tahun. Bagaimana gaji
guru yang hanya berada di tingkat bawah? Dari hasil wawancara dengan guru-guru
SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk
biaya hidup selama 10 hari pada tiap bulannya. Lantas, ke mana mereka
mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi
yang dipandang sebagai `prang suci" 4 harus mengais-ngais mencari tambahan
lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah
menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah
melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap
tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikan gaji yang menyodok
meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadangkadang justru dengan kenaikan
gajinya, kesejahteraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteraan guru sebagai orang
yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadangkadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang
ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara
psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan
kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah
guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, "Tak apalah, yang
penting halal".

Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan
tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor
pekerjaan "yang penting halal". Bagaimana seandainya pada guru yang
akibat himpitan ekonorni mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan
yang berlabel "yang penting saya bekerja" tanpa mengindahkan nilai-nilai moral?
Bukankah hal demikian bisa saja terjadi?

2. Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru


Masalah kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang
dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang
sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru.
Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, memiliki enam orang guru
kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh.s Paling tidak
sepuluh orang. Kenyataannya di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya
ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untuk satu sekolah, juga
pesuruh.
Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus,
terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru,
termasuk diantaranya kepala sekolah. Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan
ke pejabat Dinas Diknas, ; hal tersebut dikatakan logis karena SD yang
disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga mengajarnya per bidang studi.
Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru
yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju di perkotaan dapat terus
bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di
pedesaan/daerah terpencil semakin; terisolasi dan semakin terpuruk/menurun
kualitasnya.
Jadi, sekali lagi posisi guru amat rentan. Dari segi kuantitas yang amat

dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah
yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih
banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan
akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003. Setelah
dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga
kali lipat dari alternatif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah.
Ternyata, amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai
panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki
posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin
baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan
profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM
yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti.
Dilihat dari kesejahteraan guru, bagaimana seorang guru

dapat

konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihanpelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan
jika

ada

kegiatan-kegiatan

yang

berupaya

meningkatkan

skill

dan

profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru


enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena
harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil
tersebut.

D. An al i si s S WO T
1. Kekuatan: Niat Baik Pemerintah
Kekuatan bagi peningkatan dan penambahan kuantitas dan kualitas guru
adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan
pemerataan jumlah guru dengan sistem "guru kontrak" dan mengadakan
perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan
good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.

Kekuatan lain bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan
dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih
berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari
APBN. Hal yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran yang cukup tinggi dari
tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan
pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil
rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius
pada dunia pendidikan.

2 . Kelemahan Implementasi
Kelemahan-kelemahan yang bakal timbul dalam rangka menambah
jumlah guru melalui sistem kontrak adalah masalah kualitas guru yang
dikontrak. Artinya, guru kontrak dapat saja merupakan guru kagetan, asalasalan..Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan
membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.

3 . Peluang bagi Profesionalitas Guru


Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional
dalam bidangnya itu ada. Tinggal bagaimana (political will) pemerintah
melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah
menaikkan anggaran pendidikan ; sebesar 20 persen dari APBN. Kalau ini
benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu
pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan
melalui anggaran tersebut.
Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya.
Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru
untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas
tinggal rnenginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru.
Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka

mening katkan kemampuannya.


Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian
yang besar dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama
dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil,
jalan dan mengalirnya bantuan tak terhambat, upaya meningkatkan SDM guru
diharapkan dapat ,
tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik
putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.

4. Tantangan Implementasi
Tantangan yang membentang luas justru pada level implementasi. Sudah
tidak asing lagi bahwa departemen dengan cap paling koruptor kedua adalah
justru Departemen Pendidikan Nasional. Kita masih saja merasa was-was
kalau-kalau rencana baik dan manis yang telah digariskan hanya sebatas
wacana, tidak sampai implementasi (planning without implementation). Kalaupun
ada implementasi, dikhawatirkan terjadi kebocoran di mana-mana sehingga pada
akhirnya kebijakan yang diharapkan dapat mengalir hingga target group,
kenyataannya hanya menetes saja.

E. Temuan-temuan
1. Problema Guru Daerah Terpencil
Berdasar pada realitas di lapangan mengenai kuantitas dan kualitas guru,
diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. Dilihat dari jumlah guru secara
keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun,
jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di
daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan
memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan

dalam

membangun. Artinya, harus ada pemerataan di bidang pembangunan. Hal ini

barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di


samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat
program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah
terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau
mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kategori terpencil sehingga
ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan
sosial.
Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi
pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dahulu guru dapat menolak
ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya
akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana prasarana. Belum lagi gaji yang
terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif
yang

sebesar-besarnya

memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran

kompensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk
menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang
diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki
skill/kemampuan

yang

tinggi.

Pemerintah

tidak

perlu

ragu

untuk

mengalokasikan dana bagi peningkatan kualitas guru karena tidak dapat


disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia
pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaosnya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan
pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi
luhur.

2. Masalah Investasi Masa Depan


Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah
dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang
pada beberapa puluh tahun lalu ( 15 tahun) masih berguru ke Indonesia, kini

menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan


komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut amat concern
terhadap dunia pendidikan. Negara-negara tersebut tidal pernah merasa takut
rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. Bagi mereka
hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment).
Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka tengah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat
untuk itu, atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki
generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak
cucu kita?
Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung
benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk
kepentingan bangsa ini.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi


Berdasar pada realitas dan pembahasan isu mengenai kuantitas dan
kualitas guru di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sudah waktunya pemerintah mengkaji ulang dan mencermati tentang
pemerataan guru agar terjadi pemerataan dalam dunia pendidikan, baik di
pusat maupun daerah.
2. Pemerintah harus mencari terobosan agar para guru tidak lagi enggan jika
ditempatkan di daerah terpencil.
3. Pemerintah tidak menghitung cost benefit di masa kini melainkan cost benefit di
masa yang jauh ke depan.
4. Pemerintah harus memerhatikan kesejahteraan guru, tidak hanya sebagai
kebijakan yang tanpa pelaksanaan (planning without implementation), tetapi
benar-benar dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi pelaksanaannya.
5. Seluruh stakeholders harus mendukung kebijakan pemerintah mengenai
kenaikan anggaran pendidikan yang akan berimbas pada peningkatan mutu

pendidikan dengan sebelumnya meningkatkan mutu guru sebagai ujung


tombak pelaksanaan pendidikan.

5. ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KELUARGA DI PERKOTAAN


A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia yang selalu ingin berkembang dan berubah. Pendidikan mutlak ada dan
selalu diperlukan selama ada kehidupan.
Hal ini senada dengan batasan resmi mengenai pendidikan, yaitu usaha
yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana dengan maksud
mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan' sebagai suatu usaha
yang dilakukan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Sudah barang tentu
apa yang namanya pendidikan tidak dapat dilakukan secara sambil lalu dan
serampangan.
Apabila dalam proses pendidikan tidak terjadi perubahan tingkah
laku/perilaku peserta didik, gagallah pendidikan itu. 2 Jadi, yang terpenting
dalam pendidikan adalah bagaimana terjadinya perubahan perilaku dari
tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tahu sedikit
menjadi tahu banyak yang semuanya dapat dilihat dari tiga aspek. Ketiga aspek
terse' adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagaimana dikem y kakan oleh
Bloom.'
Berbicara mengenai pendidikan, kita tidak dapat bertump hanya pada
pendidikan formal (sekolah), tetapi harus mencaku r` aktivitas pendidikan
terjadi. Pendidikan dapat dilakukan di man saja. Pihak yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan buk. hanya guru di sekolah, melainkan juga keluarga, ini
merupak. yang terpenting. Pendidikan di mana anak berada yaitu pendidikan`' di
lingkungan masyarakat .4
Pendidikan yang berupaya untuk "memanusiakan manusia",S menurut
Sudjana merupakan bentuk kelebihan manusia dari: makhluk lain yang
mampu mengembangkan diri. Kemampuarl: mengembangkan diri dilakukan
melalui interaksi dengan ling; kungannya, balk lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial.

Sebagai makhluk sosial, manusia terikat dalam satu sistem sosial dengan
segala komponennya, seperti pranata sosial, tatanan hidup bermasyarakat yang
disangga oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut berupa nilai agama, moral,
budaya, adat, dan lain-lain.
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan adalah orang tua, sekolah/pemerintah, dan masyarakat. Ketiga
komponen tersebut harus bergotongroyong (bersinergi) 6 mempersiapkan
anak menjadi manusia mandiri dalam konteks kehidupan pribadinya,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, serta berkehidupan sebagai
makhluk yang berketuhanan (beragama).
Oleh karena itu, manusia Indonesia yang diharapkan dan harus
diupayakan melalui pendidikan adalah manusia yang bcrmoral, berilmu,
berkepribadian, dan beramal bagi kepentingan manusia, masyarakat, bangsa, dan
agama.' Tujuan yang ideal ini merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi.
Artinya, segala upaya akan diarahkan pada tujuan tersebut, baik oleh pemerintah,
masyarakat, maupun orang tua.
Pihak yang paling menentukan bagi pendidikan anak tentu laja dimulai dari
scope mikro, yaitu keluarga. Jika pendidikan di keluarga baik, di sekolah, dan di
masyarakat diharapkan akan balk pula, selama kondisinya kondusif. Jika
pendidikan di keluarga raja sudah jelek, jangan berharap anak akan baik di
sekolah maupun di masyarakat mengingat nilai-nilai moral dan budi
pekertinya zaman sekarang yang telah bergeser. Khususnya moral dan budi pekerti
masyarakat di perkotaan yang notabene terpolusi oleh teknologi canggih yang
serba instan.
Oleh karena itulah, pada bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai
pendidikan keluarga di perkotaan.

B. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. ingin membahas lebih jauh mengenai pendidikan keluarga di perkotaan;
2. ingin mencari solusi/kiat mendidik anak di perkotaan;
3. ingin mendata hambatan keluarga dalam mendidik anak perkotaan.

C. Kenyataan di Lapangan
1. Kondisi Anak Indonesia
Hari ini jutaan anak di negeri ini sedang terpuruk dalam kehidupan
yang mengerikan. Terserak di jalan-jalan berdebu sebagai pengemis,
pengamen, bahkan pencopet. Terkapar di tenda-tenda pengungsian, di Aceh,
Palangka Raya, Sumenep, Makassar, atau di Medan. Belum terhitung mereka
yang menjadi pekerja paksa di pabrik-pabrik, mulai pabrik sepatu, pabrik tahu,
sampai jermal penangkapan ikan di tengah laut lepas. Apa yang dialami buruh
anak di sana, tidak lebih baik daripada rekan-rekan mereka di tenda pengungsian
maupun di kolong jembatan.e
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini lebih dari sebelas juta anak
mengalami putus sekolah dan enam juta di antaranya menjadi pekerja anak.9
Anak yang putus sekolah berarti tidak memperoleh haknya dalam mengenyam
pendidikan formal. Jika pendidikan formal saja tidak diperoleh, apalagi
pendidikan nonformal: Asumsi ini didasarkan pada data empiris bahwa anak
yang putus sekolah, terutama disebabkan oleh himpitan ekonomi atau tuntutan
kebutuhan keluarga. Oleh karena itulah, anak yang telah dapat membantu orang
tuanya akan meninggalkan bangku sekolahnya.10
Untuk lebih jelasnya, data dari kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan 2001 menyebutkan bahwa:
a. anak jalanan di Indonesia tercatat 40.000-50.000;
b. anak yang menjadi buruh di Indonesia ada 1,6 juta;
c. anak korban eksploitasi seksual di Indonesia 40.000-70.000;

d. anak pengungsian di Indonesia ada 400.000;


e. anak korban kekerasan ada 871 orang;
f. anak putus sekolah 11,7 juta.
Yang lebih parah adalah adanya indikasi pemaksaan orang tua terhadap
anaknya untuk berhenti bersekolah. Hal seperti ini terjadi karena orang tua
menuntut anaknya untuk bekerja ekstra keras demi menutupi kebutuhan
ekonominya."
Hal tersirat dari yang tersurat di atas, khususnya tentang anak-anak
yang putus sekolah demi membantu kelangsungan hidup keluarga. Padahal
seharusnya itu menjadi tanggung jawab orang tua mereka. Jangankan
memberikan pendidikan anaknya di keluarga, para orang tua lebih terfokus pada
pemenuhan kebutuhan makan keluarga sehingga mereka tidak terbersit
sedikit pun mengenai pendidikan anaknya, walaupun tanpa biaya di rumah.
Akibatnya, anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya
dengan hal-hal positif membentuk tumbuh kembang, justru mengalami masa
yang teramat sulit. Mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Tidak ada sedikit
pun sentuhan pendidikan.
Potret seperti di atas, bukan barang baru pada keluarga miskin di Indonesia.
Anak dieksploitasi untuk bekerja seberat mungkin
demi membantu perekonomian keluarga. Ini merupakan realita yang terjadi
umumnya di kota-kota besar atau di perkotaan. Kota bagi hampir seluruh orang
tua merupakan surga yang menjanjikan.12 Segala sesuatu mudah didapat, ladang
pekerjaan terbuka lebar hampir di semua sektor. Akan tetapi, bagi siapa? Untuk
siapa? Bagaimana caranya?
Untuk mendapat dan menggapai mimpi tersebut ada syaratnya dan bagi yang
ingin mendapatkannya, tentu harus memenuhi syarat tersebut. Mereka
umumnya adalah orang-orang yang memiliki legalitas lulusan pendidikan
formal. Akhirnya, jadilah mereka bekerja sesuai dengan latar belakang
kapasitas mereka. Tidak cukup sampai di situ, setelah memperoleh lahan

tempat menginap mereka membawa serta keluarga mereka, ke perkotaan. Jadilah


mereka semua sebagai kaum urban yang keberadaannya amat merepotkan
pemerintah dan sifatnya amat dilematis.
Korban paling utama dalam situasi seperti ini pastilah anak. Mereka tidak
terjamah pendidikan formal di sekolah, dan yang lebih menyedihkan mereka tak
tersentuh pendidikan informal di rumahnya karena tekanan ekonomi. Jadi,
hampir dapat dipastikan keluarga-keluarga miskin di perkotaan umumnya tidak
memperoleh pendidikan secara baik di keluarganya.

2. Problema Keluarga Berada


Realitas lain yang juga cukup menyedihkan adalah realitas yang terjadi pada
keluarga kaya di perkotaan. Mereka umumnya bersekolah di lembaga formal,
bahkan di tempat-tempat bonafide. Namun, pada umumnya orang tua mereka
sibuk sekali. Pada level ini orang tua justru hanya memikirkan materi yang telah
mereka miliki. Mereka selalu merasa kurang sehingga harus selalu
menambah dan menambah materi.13
Pada kondisi seperti di atas, para orang tua tidak kekurangan materi. Materi
mereka justru berlebih. Mereka memberi fasilitas kepada anak-anak mereka
selengkap mungkin, bahkan apa pun keinginan anak dituruti. Anak menjadi
manja. Pada setiap tindak negatif anak, orang tua cenderung sangat toleran
dan mudah memaafkan. Anak-anak amat kurang dalam mendapatkan nilainilai
pendidikan di keluarga yang seharusnya banyak mengiringinya dengan nilai
agama yang di dalamnya termasuk pendidikan moral dan budi pekerti.14

3. Problema Broken Home


Akibat pendidikan yang kurang, bahkan tidak ada sama sekali di dalam
keluarga karena orang tua terlalu sibuk, membuat anak merasa kesepian dan
dicampakkan. Anak merasa tidak diperhatikan; anak menjadi frustasi. Lalu
sebagai bentuk kompensasi dan protes terhadap orang tua, anak-anak

membuat ulah, anakanak mencari perhatian dengan berbuat hal-hal yang


bertentangan dengan nilai-nilai leluhurnya, berkurangnya nilai agama dan nilai
moral.
Banyak hal yang dapat menyebabkan anak berperilaku negatif akibat
kurang harmonisnya keluarga. Anak-anak akan mencari pelarian keluar
rumah. Kalau pelarian keluarnya itu berada pada lingkungan yang baik
dan mendukung, anak akan
selamat. Meskipun begitu anak akan tetap merasa tidak nyaman di rumah.
Padahal, salah satu hak anak di rumah adalah memperoleh kenyamanan dan
ketenangan.

4. Problema Kekerasan dan Pornografi


Akibat lain diabaikannya pendidikan anak di rumah khususnya rumah-rumah
di perkotaan adalah masalah pornografi dan kekerasan.15 Berita mengenai
kekerasan atau sajian film-film kekerasan dan pornografi menjadi santapan anak
sehari-hari. Mereka dihadapkan pada hal-hal yang belum pantas ditonton.
Akhirnya, tindak negatif tersebut membekas. Maka, tidak jarang perilaku anak
sekarang secara moral dan budi pekerti bahkan agama sudah amat jauh. Pada
saat berpacaran, atau pada saat bergaul mereka sudah jauh bergeser dari normanorma. Mereka melakukan tindakan negatif tersebut karena hal itu
merupakan hal yang biasa bagi mereka.
Anak-anak dalam kondisi ketidaktahuan dan ketidakmengertian nalar
mereka terpaksa hidup di jalan, di tempat pengungsian dan "terpaksa" menjadi
bagian kejahatan.l6 Sekali lagi, hal itu terjadi karena mereka kurang dibekali
pendidikan di keluarga.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada realita di lapangan, rumusan permasalahan tulisan ini
adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk pendidikan keluarga di perkotaan?


2. Apa saja yang menjadi hambatan pendidikan keluarga di perkotaan?
3. Bagaimana kiat pendidikan keluarga di perkotaan?

E. Analisis SWOT
1. Kekuatan Pendidikan Keluarga di Perkotaan
a. Konvensi internasional mengenai hak anak sudah diratifikasi Indonesia
sejak 1990. "Indah" tampaknya isi konvensi tersebut, namun bagi mereka
yang punya mata dan hati nurani, semua itu tidak ada artinya tanpa
diikuti oleh pelaksanaan di lapangan yang benar-benar menjadi solusi
bagi anak yang menderita. Konvensi internasional tentang anak telah juga
memberikan perhatian yang khusus dalam masalah hak anak. Misalnya
tentang hak hidup (secara fisik), hak identitas (termasuk agama), hak
kesejahteraan sosial, hak kesejahteraan ekonomi, hak berserikat dan
berkumpul, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, juga
hak mendapatkan perawatan kesehatan. 17 Hak identitas anak salah
satunya adalah hak mendapat pendidikan.
b. Dalam UUD 1945 pun telah termaktub hak bangsa Indonesia, khususnya
anak untuk memperoleh pendidikan.
c. Kekuatan lain dalam rangka mengangkat bentuk pendidikan anak dalam
keluarga adalah adanya hak anak dalam pandangan agama Islam. Penulis
sengaja mengangkat ini karena penduduk Indonesia mayoritas Islam. Jika
yang mayoritas diberi keleluasaan untuk mengatur pendidikan keluarga
berdasar Islam dan berhasil baik, dapat dikatakan pendidikan keluarga
di Indonesia berhasil. Bicara tentang hak anak dalam Islam, pertama
sekali secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai
dharuriyatu khamsin (hak asasi dalam Islam). Hak itu adalah lima hal
yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang: (1) pemeliharaan atas
hak beragama (hifdzud dien); (2) pemeliharaan atas jiwa (hifdzun nafs);

(3) pemeliharaan atas akal (hifdzul aql); (4) pemeliharaan atas harta
(hifdzul mal); (5) pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzun nasl), dan
kehormatan (hifdzul 'ird).
Jika merinci hak-hak anak yang diperolehnya dari orang tua atau
otoritas lain yang menggantikan orang tua, akan kita dapati bahwa
hak-hak tersebut merupakan penjabaran dari dharuriyatu khamsin tadi.
Misalnya, hak anak untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab, itu
ada dalam pemeliharaan atas nasab dan kehormatan, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dimasukkan ke dalam
pemeliharaan atas agama (mendapatkan pendidikan akhlaqul karimah)
dan pemeliharaan atas akal, dan seterusnya.
Islam amat teliti dan amat banyak menjelaskan mengenai pendidikan bagi
anak. Islam mengajarkan bagaimana seorang harus berbakti kepada orang
tua,

menyayangi

anak

kecil,

hormat kepada yang lebih tua,

memindahkan duri/paku dari tengah jalan agar pengendara/orang yang


lewat terhindar dari kecelakaan, sopan santun di meja makan, dan lainlain.
Ketelitian

dalam

pendidikan

kepribadian

anak

dalam

Islam

sedemikian rupa hingga Nabi Muhammad Saw. melarang keras


seseorang berbohong kepada anak. 18 Diriwayatkan pernah seorang ibu
berkata kepada anaknya di hadapan Rasul Saw., "Mari sini, Nak akan
kuberi sesuatu." Kemudian Rasul Saw. berkomentar, "Apakah engkau
akan memberi sesuatu? Jika tidak, niscaya engkau akan dicatat sebagai
pendusta."
Begitu juga Islam, perhatian terhadap kemaslahatan perkembangan
kepribadian anak sangat besar. Sebab, kepribadian Muslim yang kuat
baik dalam keimanan, kejiwaan, maupun akhlak merupakan modal
utama anak itu untuk hidup dan berhasil dunia akhirat kelak. Dalam
Islam tidak ada perbedaan yang mendasar. Letak perbedaannya ter-

dapat pada butir-butir rincian dan landasan berpikirnya. Hak anak


dalam Islam dirinci dalam contoh-contoh keseharian pada hadis-hadis
Nabi Saw., sedangkan Konvensi Hak Anak merinci dalam bahasa hukum
positif.
Hak anak dalam Islam berlandaskan Manhaj Rabbaniyah (ketuhanan
Allah Swt.) dengan segala kelengkapan hukum dosa dan pahala bagi
yang taat atau melanggar. Sementara itu, konvensi hak anak
berlandaskan kesepakatan manusia dan bernapaskan humanisme (yang
penting adalah kemaslahatan manusia di dunia) dan bersandar pada
hukum-hukum buatan manusia dalam mengatur kehidupannya sendiri.
d. Mutu kesadaran pendidikan agama Islam di keluarga sudah mulai
muncul di kota-kota besar. Artinya, walaupun orang tua kurang baik
agamanya, pendidikan untuk anaknya telah dipersiapkan. Sayangnya,
orang tua hanya bisa mengarahkan tanpa memberi teladan, padahal
mendidik yang baik harus dengan contoh sebagaimana cara mendidik
dalam agama Islam."

2. Kelemahan Pelaksanaan Pendidikan Keluarga di


Perkotaan
a. Kelemahan bagi terlaksananya pendidikan keluarga di perkotaan
dengan

baik

adalah

faktor

ekonomi

keluarga

akibat

himpitan

perekonomian negara Indonesia sendiri. Kondisi ekonomi negara ini


memengaruhi perekonomian keluarga dan berbagai strata/lapisan. Bagi
keluarga muslim tentu sangat berpengaruh sehingga pemaksaan anak
untuk bekerja memengaruhi kependidikan anak di keluarga terutama di
kota-kota besar. Anak mendapat informasi dari berbagai arah, bekal
pendidikan dari keluarga amat minim. Jadilah anak menyerap hak-hak
negatif dari luar belaka anak menjadi bagian dari dunia kejahatan di
perkotaan.

b. Kurang baiknya kerja sama antara orang tua, pemerintah, dengan


masyarakat.20 Jika di keluarga, anak telah mendapat pendidikan dengan
baik, dia akan tetap baik andai hak masyarakat lingkungannya baik.
Apalagi jika ditambah dukungan pemerintah dengan selalu berusaha
meningkatkan pendidikan di sekolah.
c. Bantuan dari pemerintah belum maksimal dalam mengupayakan pendidikan
yang baik di sekolah. Padahal, ini akan saling bertimbal balik dengan
pendidikan di keluarga dan masyarakat.
d. Moral orang tua/pejabat yang hanya bisa mengajari tanpa memberi teladan.

3. Peluang Implementasi Pendidikan Keluarga


a. Adanya konvensi mengenai HAM Anak yang banyak memfokuskan
agendanya pada pendidikan anak walau tidak melulu formal.
b. Peluang pendidikan di keluarga akan menjadi cukup signifikan. Jika ada kerja
sama dengan masyarakat dan pemerintah harus ada sinergi.
c. Kesadaran keluarga di masyarakat sudah mulai timbul akibat banyaknya
terjadi tindak kriminal, kekerasan, pornografi yang langsung berakibat pada
anak...

4. Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Keluarga


Hambatan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pendidikan yang baik pada
keluarga di perkotaan di antaranya sebagai berikut.
a. Faktor kejujuran pada pejabat/birokrat/LSM yang secara langsung
menangani masalah anak.
b. Faktor himpitan ekonomi yang terimbas dari tekanan makro/ global.
c. Faktor mekanis dan kejujuran para pemakai tenaga kerja anak. Jika mereka
mau jujur atas apa yang dikerjakan anak dengan hasil yang sama dengan
orang dewasa dan upah tidak dibedakan, maka anak akan menghasilkan
uang yang cukup, sehin waktu bagi belajar di rumah pun ada.

d. Faktor ketidaktahuan dan kesadaran orang tua berekono lemah yang


kurang.
e. Faktor ketidakpedulian orang tua karier terhadap pembin pendidikan di
keluarga berlandaskan agama amat minim.

F. Temuan: Kemunduran Pendidikan Keluarga


Berdasar pada analisis SWOT, ditemukan beberapa h penting, yaitu
bahwa kondisi ekonomi negara cukup signifik berpengaruh pada
perekonomian keluarga. Oleh karena it keluarga miskin/ekonomi lemah
amat mengabaikan pendidik di keluarga. Jangankan sempat memberi arahan,
mereka selalu pren prak. Pemenuhan kebutuhan hidup pendidikan keluarga
yan ada justru adalah penanaman nilai-nilai negatif. Akibat tekana ekonomi
seperti bicara keras, tidak tahu sopan santun, mud marah/tersinggung, tidak
jujur, jorok, dan lain-lain.
Pada keluarga menengah ke atas, pendidikan anak di keluar justru
penjejalan penanaman budaya kekerasan akibat orang tugterlalu sibuk. Anak
dijejali fasilitas yang akibatnya anak kurang berinteraksi, egoistis, dan tidak
dapat menyaring informasi, bail:
yang benar maupun yang salah karena tidak didampingi scat' menonton
TV/VCD dengan frekuensi yang cukup lama dalam kesehariannya.
Temuan lainnya adalah sudah mulai ada kemunduran pada masyarakat di
perkotaan akan arti pentingnya pendidikan di dalam keluarga. bentuk pendidikan
dalam keluarga yang dituntut bagi orang tua adalah teladan. Teladan dari orang
tua dapat didasarkan pada nilai-nilai agama, moral, maupun nilai-nilai lain
yang dianggap positif.

G. Kesimpulan
1. Pemerintah belum dapat berbuat banyak dalam membantu keluarga
dalam memfasilitasi pendidikan anak, khususnya di perkotaan.

2. Himpitan ekonomi makro/negara berimbas pada ekonomi keluarga


yang pada akhirnya juga berpengaruh pada pendidikan keluarga di
perkotaan.
3. Keluarga miskin hanya menfokuskan diri pada pemenuhan kebutuhan
hidup tanpa memerhatikan pendidikan keluarga.
4. Keluarga menengah ke atas telah memiliki kesadaran menanamkan
nilai-nilai pendidikan di keluarga, namun karena ketiadaan waktu,
kontrol orang tua tidak ada, mereka hanya bisa mengarahkan tanpa
memberi teladan.

H. Rekomendasi
1. Pemerintah diharapkan untuk lebih serius mengurangi anak putus
sekolah.
2. Pemerintah diharapkan agar lebih gencar melakukan sosialisasi
pentingnya pendidikan bagi anak, khususnya pendidikan keluarga di
perkotaan.
3. Anggota masyarakat diharapkan lebih terpanggil melakukan kontrol
sosial.
4. Orang tua diminta untuk lebih mementingkan pendidikan anak di
keluarga, tidak hanya mengandalkannya kepada sekolah/pemerintah.
5. Harus bersinergi, antara keluarga, pemerintah/sekolah, masyarakat
dalam membentuk anak yang mandiri
6. LSM diharapkan lebih serius dan jujur membantu progr pendidikan anak.
7. Seluruh implementator yang merasa terpanggil terhad kepentingan
anak dimohon kesadarannya untuk dapat mem lainya dari pribadi
masing-masing tanpa harus meriting orang lain melakukan perbaikan
terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Isu Kebijakan Seputar Supervisi Pendidikan


Bachtiar, Siti Aisyah Nurmi. Juli 2001. "Hak Anak dan Konven dan Realita".
Majalah Hidayatullah.
Hadiwijaya, Tony. Juli 2001. "Siaga I Anak-anak Indonesia" Maja Hidayatullah.
Jawa Pos. Juli 2002. "Potret Kaum Urban,". Kuntoro dkk.
Kamis 24 Ju1i 1997. Kompas.
Muthohar, M. Aries. 2001. Tata Krama di Rumah, Sekolah, d Masyarakat,
Jakarta; Penerbit SC.
Napitupulu, WP "Guru dan Mutu Pendidikan." Makalah Lokaka Bali 17-21 Juni
2002.
Suara Karya "Hak Pendidikan Bagi Pekerja Anak" 17 Februari 2001
Sudjana, Nana. 1984. Pembinaan dan Pengembangan, Kurikulum Sekola Bandung:
Sinar Baru.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. September 2000. Sistem Pendidikan A Ghazali,
Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Dea Press.
Tuti dkk. Oktober 2002. "Masalah Hak Azazi Anak dalam Pendi dikan."
Makalah.

Anda mungkin juga menyukai