Kata Pengantar:
Prof. Dr. Conny R. Semiawan
B. Permasalahan
Dengan memerhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai
pertanyaan permasalahan berikut ini.
1. Mengapa
masih
terdapat
beberapa
daerah
(pemerintahan
C . Realitas di Lapangan
Setelah memerhatikan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, berikut
ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan tersebut.
1. Kesiapan Daerah
Secara empiris dan realitas di lapangan, harus diakui bahwa masih
terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima kewenangan dari
pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Pada bagian
latar
belakang
telah
dijelaskan
berbagai
kemungkinan
yang
pendidikan tersebut.
c. Anggaran Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka sangat rendah.
Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah
tertinggal, merasa berkeberatan untuk langsung menerima beban
kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pem-biayaan
pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh
pusat atau provinsi. Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka tergolong
masih sangat rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, mereka
masih
berharap
dapat
diberi
kesempatan
untuk
menunda
mereka
tidak
siap
secara
mental
menghadapi
perubahan tersebut.
e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan. Salah satu
bentuk perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaruan.
Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan
sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaruan
kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan,
seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme, sosialisasi
2. Sikap Daerah
Berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa pemda dalam
menghadapi
implementasi
kebijakan
desentralisasi
pendidikan,
di
mereka
akan
kemampuan
mereka
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
tersebut.
pusat
masih
saja
mempertahankan
bentuk-bentuk
4. Dampak Kebijakan
Dampak
yang
ditimbulkan
dari
kebijakan
desentralisasi
silabus
materi
pembelajaran
dibuat
berdasarkan
kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Perbedaanperbedaan tersebut memberi kemungkinan terjadinya keberagaman
hasil belajar siswa. Kalau kondisi sudah menjadi begini rupa,
akan sulit bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat
berbicara dalam skala nasional. Pada akhirnya, kondisi ini akan
mengarah pada tidak meratanya mutu/kualitas hasil belajar/tamatan
siswa kita.
D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Kebijakan Desentralisasi
Kekuatan-kebijakan desentralisasi pendidikan adalah:
a. sudah merupakan kebijakan yang populis;
b. mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari
para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;
c. Sebagai hal yang telah lama ditunggu tunggu menyusul adanya
perubahan sosial politik;
d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tahun 2003;
e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.
Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis,
desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan
cukup
atau
pelatihan,
padahal
departemen
lain
telah
serakah
yang
mencari
kesempatan
dalam
ini
harus
bagi
biaya
pendidikan
yang
akan
merugikan
sekaligus
E. Temuan-temuan
Implem ntasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui undangundang otonomi daerah, pada kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat
proses implementasi kebijakan yang tidak melibatkan seluruh stakeholders,
khususnya
daerah-daerah
yang
secara
finansial
belum
memiliki
kemampuan untuk turut mengimplementasikan kebijakan tersebut. Daerahdaerah tertinggal ini harusnya menjadi bagian integral dalam proses
pengimplementasian kebijakan.
pelanggaran atau menyimpang dari aturan main yang ada tidak pernah
mendapat teguran, bahkan terkesan pemerintah pusat "takut", hingga
akhirnya, membiarkan saja perbuatan pelanggaran itu terjadi. Mengapa
pemerintah pusat terlihat seperti "takut"? Apakah teguran-teguran yang
akan diberikan itu menjadi sesuatu yang tidak lagi populis? Apakah ada
unsur-unsur politis yang berada di belakang tindakan pemerintah
pusat tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapat jawaban,
hal itu dibuat bukan untuk sekadar hiasan retorika, tetapi berangkat dari
suatu pemikiran.
F. Kesimpulan
1. Harus diakui bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan ini merupakan
suatu keniscayaan. Hal itu harus diimplementasikan pada tataran
praktis, tidak hanya sebagai sebuah wacana.
2. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini
kekuatan
dan
sekaligus
kelemahan
dalam
memiliki
proses
pengimplementasiannya.
3. Konsep desentralisasi pendidikan, dapat dikatakan "agak terganggu"
belum
dapat
berlaku
tegas
terhadap
bentukbentuk
DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas
merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur.' Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.2
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita
sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang
dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.
Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi
pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hat ini
terbukti pada kurikulum sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah
menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah.
Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi
kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali.
Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah
cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya.
Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang
salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal
tersebut pasti memperoleh porsi yang amat kecil. Hal ini mengingat cukup
banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama .dengan alokasi waktu
yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan
aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat kurang. Demikian pula,
sentuhan agama yang salah satu cabang kecilnya adalah akhlak/budi pekerti
menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus
berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi manta negara bagai tidak
berbatas.
Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang
cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat
ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran menjadi budaya baru yang dianggap
dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada di mana-mana, emosi
meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi
bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita
sendiri.
Hal lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti/moral
yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang
dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur.3 Dalam hal ini, bisa saja terjadi
pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak anak. Tindak kejahatan
mencuri, menodong, bahkan membajak bus umum semua pelakunya adalah
pelajar sekolah.
Fenomena-fenomena seperti dipaparkan di atas tentu tidak boleh dibiarkan.
Akan menjadi generasi seperti apa kelak anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi
tersebut. Jika tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang
bermoral/berbudi pekerti rusak. Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan
pemimpin bangsa di masa mendatang.
Oleh karena itulah, penulis merasa tertarik untuk membahas akibat-akibat
yang ditimbulkan dari kurang/minimnya penanaman moral/budi pekerti/akhlak.
Khususnya dalam kurikulum sekolah sebagai benteng penangkal hal-hal negatif.
Termasuk juga usaha yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan di
seputar penanaman budi pekerti tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah:
1. Ingin mendeskripsikan lebih jauh tentang peran pemerintah dalam
B. Realitas di Lapangan
1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah
Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan
dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai.
Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin
bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian
siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di
Indonesia.
Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah
juga sampai ke pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya
tradisi, budaya, tata nilai kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti
luhur merambah ke desa-desa.4
Krisis yang terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah
kegagalan dari dunia pendidikan baik pendidikan formal, nonformal,
maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut memegang peranan
yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti
luhur. Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut
menanamkan nilai-nilai tata krama budi pekerti luhur. Jika ketiga lembagaini
Baling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk anak yang berbudi pekerti
luhur.5
Untuk memaparkan ketiga lembaga yang berkaitan dengan pltnbentukan
budi pekerti luhur ini, berikut ini akan dijelaskan Utu per satu. Sebagai
C. Permasalahan
Berdasarkan realitas di lapangan, penulis merumuskaii, identifikasi
masalah sebagai berikut.
1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak
demikian merosot?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nliai moral dan
budi pekerti yang baik?
3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?
4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang
bermoral dan berbudi pekerti yang baik?
5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan
merosotnya moral dan budi pekerti yang baik pada anak?
Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih
dikonsentrasikan pada permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut.
1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan
budi pekerti yang baik?
2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan
moral dan budi pekerti bagi anak didik?
D. Analisis SWOT
1. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro
Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat
dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaltu: di samping
telah dituangkan dalam Sistem Pendidikan Nwional UU No. 2/89. Bab 11
Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan Ortakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan ltohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Juga terdapat pada
rundang-undangan yang lain, yaitu: TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang
pokok-pokok reformasi pembangunan pada Bab IV huruf D.
a. Butir 1 F: Peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur
dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah.
b. Butir 2 H : Meningkatkan pembangunan akhlak mulia dan moral
luhur
masyarakat
melalui
pendidikan
agama
untuk
mampu
berfungsi
secara
optimal
terutama'
dalam
agar dapat
masyarakat
dalam
berbagai
lapisan
terhadap
etika
sampai
pada
upaya
optimal
dalam
menanggulangi
c.
d.
diharapkan
kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi
sedikit namun serempak. Dalam agama Islam ada beberapa kata
mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap orang untuk memulai
suatu kebaikan, di antaranya:
a. mulailah dari dirimu sendiri terlebih dahulu (Ibda' binafsika);
b. berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan (fastabiqul
khairat);
c. janganlah menunda-nunda berbuat kebaikan.
Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision maker)
pun sangat populis, artinya mengena di hati masyarakat. Menteri
Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin mengatakan
bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan antisipasi teknis
dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar anak didik yang
diyakini dapat menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti. Di
antaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi pekerti luhur sejak
tingkat sekolah dasar (SD).
F. Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya
menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
2. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini
secara terpadu (integrated) ke dalam setiap mata c pelajaran. Namun,
tentu saja hal ini masih belum efektif dan belum maksimal, mengingat
tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.
3. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama
sekali untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti
anak, terutama, dalam bentuk kontrol. Namun, upaya penanaman agama
sejak usia dini telah disiapkan oleh masing-masing keluarga.
4. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan
moral dan budi pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi atau
ekonomi negara saat ini.
5. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut
memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.
lapisan
masyarakat
melakukan
kontrak
sosial
agar
DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan
Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang berani dan inovativ menghapus
ebtanas secara bertahap, SD tahun 2002 dan ILTP/SMU tahun 2003
mendatang, menunjukkan kemauan emerintah (political will) untuk memutus
persoalan-persoalan filosof dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas
dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi,
serta untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ditemui dalam sistem
ebtanas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan peran sumber
daya manusia lebih efektif.'
Hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran dihapuskannya sistem
evaluasi pendidikan melalui ebtanas, salah satunya adalah dalam rangka
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemui dalam sistem ebtanas.
Di samping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih
realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Panduan ujian akhir sekolah sebagai ganti ebtanas merupakan langkah
pertama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, diikuti
dengan sosialisasi ke tingkat daerah. Kepala Pusat Pengujian Departemen
Pendidikan Nasional, Sunardi mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang
menjadi prinsip pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN), yaitu prinsip
memberdayakan sekolah dan prinsip desentralisasi. Satu hal yang paling
mendasar dalam UAN ini terkandung filosofi bahwa nilai ujian akhir berfungsi
sebagai alat seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi. 2 Tentu saja, dalam hal
ini, dari tingkat SD ke SLTP atau dari tingkat SLTP ke SMU.
Dengan mengikutsertakan daftar nilai UAN yang tertera dalam sertifikasi
"tamat" yang dapat dijadikan alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih
tinggi terutama ke SLTP/SMU, menunjukkan bahwa sistem UAN, prosesnya
cukup efisien dari segi waktu. Selain itu objektivitas nilai yang ada pada UAN
pun sangat terkontrol. Artinya, nilai yang diperoleh anak benar-benar menggambarkan kemampuannya. Hal ini terjadi karena UAN sangat menekankan
objektivitas dan kejujuran sebagaimana Mendiknas menyatakan bahwa dunia
pendidikan harus berani menegakkan prinsip kebenaran kepada masyarakat
secara jujur. Jujur kepada diri sendiri, kepada masyarakat, kepada anak-anak.
Dengan tegas pemerintah akan menghapus praktik-praktik mark up nilai yang
selama ini terjadi.3
Berkaitan dengan penilaian yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi 2004 yang sedang diujicobakan, terdapat ketentuan penilaian yang
disebut dengan benchmarking. 4 Benchmarking merupakan suatu penilaian
terhadap proses dan hasil untuk menuju ke suatu unggulan yang memuaskan.
Untuk ukuran keunggulan ini dapat ditentukan di berbagai tingkat, yaitu sekolah,
daerah, atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan
sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan pembelajaran yang
sesuai dengan kemampuan, usaha, dan keuletannya mulai dari tingkat
sekolah, daerah, dan pada akhirnya tingkat nasional.
Untuk
dapat
memperoleh
data
dan
informasi
tentang
pencapaian
pendidikan
nasional,
penyelenggaraan
UAN,
dan
pedoman
B. Realitas di Lapangan
1. Kelemahan Ebtanas
Penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional adalah untuk
menyempurnakan ebtanas yang sarat dengan berbagai kekurangan, baik
segi akademis maupun segi teknis penyelenggaraan. Selama ebtanas
digunakan banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Sebagaimana yang penulis kemukakan di atas bahwa sistem penilaian
pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antaralain:
1) ebtanas tidak mampu mengukur pencapaian prestasi akademik secara
komprehensif, tetapi hanya terhadap sejumlah tujuan instruksional
tertentu;
2) pengujiannya hanya dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang
singkat;
3) hanya mampu mengumpulkan informasi yang terkait dengan kemampuan
kognitif sementara yang nonkognitif tidak dapat dievaluasi;
4) validitas dan reliabilitas instrumen rendah (seperti bidang studi PPKn);
5) banyak menimbulkan bias perlakuan terhadap skor; dan
6) banyak nuruting effect yang menyebabkan tereduksinya proses1, misalnya
proses pembelajaran yang berorientasi pada ebtanas,"> persekolahan yang
didominasi oleh transfer of knowladge, dan tidak transfer of values,
siswa hanya terajar bukan terdidik.' Siswa hanya terlatih menghafal,
tanpa memahami apalagi mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Siswa
bagai robot.
"jatah"
melalui
kabupaten/kota/kecamatan/rayon,
dan
pos
pemerintahan
sekolah.
Selairn',
provinsi,
itu,
untuk
sekarang,
output
pendidikan,nasional
masih
sangat
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan realitas sosial, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
Pertama, mengapa ebtanas dihapuskan?
Kedua, apakah ada kaitan antara evaluasi pendidikan secara nasional dengan
kurikulum KBK 2004, khususnya mengenai norma-norma penilaian
pendidikan?
Ketiga, apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu pendidikan
nasional, penyelenggaraan UAN, dan pengembangan tes standar
dalam rangka evaluasi pendidikan secara nasional?
Keempat, bagaimana kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak dan
kewenangannya dalam menilai siswanya sendiri sesuai dengan sistem
UAN sebagaimana yang diterapkan sekarang?
Masalah-masalah tersebut akan dianalisis tidak dibagi satu per satu,
melainkan akan dianalisis secara keseluruhan yang tidak terpisahkan dengan
selalu mengacu pada harapan dan kenyataan yang sebenarnya terjadi di
lapangan. Juga akan selalu dicermati mengenai kekuatan, kelemahan, peluang,
dan hambatannya.
D. Analisis SWOT
1. Desentralisasi Pendidikan: Sebuah Alternatif
Pada latar belakang di awal telah dikatakan bahwa mutu pendidikan
pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan
proses desentralisasi. Berbagai studi di negara berkembang, terutama di
berbasis
reformasi
karena
penilaian
dimaksudkan
untuk
memperoleh informasi hasil belajar dari keberagaman atau dari hal yang multi.
Kedua, UAN, merupakan instrumen untuk memperoleh Informasi
tentang pencapaian benchmarking, yaitu penilaian proses dan hasil untuk menuju
keunggulan yang memuaskan.
Penghapusan ebtanas akan memunculkan kedaulatan dan otonomi
sekolah yang benar-benar solid dan kredibel. Dengan demikian, otonomi
sekolah dapat mendorong peningkatan kreativitas guru dan kepala sekolah
untuk pengelolaan proses pembelajaran.
sesuai dengan keperluan. Hal ini yang belum ada pada guru.
Ditinjau dari aspek orang tua, kelemahan sistem penilaian ebtanas
menghadapi hambatan. Di antaranya, orang tua cenderung merasa keberatan
karena ebtanas identik dengan biaya yang besar berkaitan dengan membeli
buku soal menghadapi ebtanas, les privat, atau bimbingan belajar yang
diwajibkan oleh sekolah.
guru
yang
berangapan
ujian
akhir
sekloah
mem
Pertama,
melalui
pendekatan
pengubahan
mentalitas
penyelenggara pendidikan itu sendiri. Kedua, melalui upaya perundangundangan yang jelas dan kredibel. Ketiga, sosialisasi yang menyeluruh,
konsisten,
dan
terus-menerus
serta
diberikan
pelatihan-pelatihan
yang
F. Kesimpulan
Berdasar pada analisis terhadap masalah-masalah evaluasi pendidikan dan
beberapa temuan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, ebtanas sudah tidak relevan lagi dilaksanakan saat ini.
Kedua, ada keterkaitan dan kesamaan misi antara UAN dengan norma-norma
penilaian yang ada dalam KBK 2004.
Ketiga, SDM guru dan kepala sekolah belum siap sepenuhnya di daerah untuk
melaksanakan pengganti ebtanas, dalam arti, perlu sosialisasi yang terus
menerus dilakukan oleh pusat
DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas
diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang
sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam
mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang
perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya.'
Seorang tokoh pendidikan Jepang mengatakan bahwa pembaruan yang
menyeluruh terjadi di Jepang karena adanya pengaruh investasi pendidikan.
Seorang tokoh pendidikan lain dari Jerman setelah perang dunia II mengatakan
bahwa pembaruan adalah berkat investasi sistem pendidikan. Tokoh dari Jepang
dan Jerman tersebut selaku anggota komisi internasional pengembangan
pendidikan akhirnya menyimpulkan mengenai peran pendidikan yaitu sebagai
berikut: "for all those who wout to make the world as it is to day a better place,
and to prepare for the future, educat is a capital, universal subject."'.
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidika sebagai faktor
universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan; secara khusus. Tidak
berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya, dijadikan sebagai "public good".
Termasuk juga di Indonesia, sudah seharusnya pendidikan;' diprioritaskan
pengembangannya. Jika mencermati sudut political' will pemerintah, gagasan
untuk itu telah diwujudkan melalui'; kebijakan pemerintah pada sektor
pendidikan yaitu kurikulum' 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar
kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.
Ujung tombak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan
pendidikan, akhirnya berpulang pada makhluk yang' bernama guru. Gurulah
yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan
geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai
model pembelajaran' yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikanr sebagai bagian
perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan jugs pada
komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba
tersebut.
Melihat peran yang begitu besar dari para guru, lalu kitabertanya:
Apakah guru-guru di Indonesia ini memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu?
Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas profesional ke arah itu? Selain
itu, secara profesional spakah guru-guru kita memiliki kemauan dan
komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini? Yang menjadi kekhawatiran
dan kegalauan kita ialah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan terlebut, apakah
persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang
memadai? Secara kuantitas, cukupkah f umlah guru sekarang ini dan apakah
mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia?
B. Permasalahan
Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasinya
sebagai berikut:
1. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di masa
mendatang?
2. Bagaimana kuantitas dan kualitas guru yang ada sekarang ini, cukup
memadaikah untuk menjawab persoalan pendidikan dewasa ini?
3. Bagaimana mutu guru yang ideal?
4 . Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia?
C . Realitas di Lapangan
Sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang, bahwa ujung
tombak dari semua persoalan pendidikan pada akhirnya akan kembali pada
guru. Seorang guru dituntut untuk memberikan perhatian sebesar-besarnya bagi
guru
saat
ini,
untuk
golongan
tertinggi
saja
hanya
Rp2.400.000,00 itu pun dengan masa kerja puluhan tahun. Bagaimana gaji
guru yang hanya berada di tingkat bawah? Dari hasil wawancara dengan guru-guru
SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk
biaya hidup selama 10 hari pada tiap bulannya. Lantas, ke mana mereka
mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi
yang dipandang sebagai `prang suci" 4 harus mengais-ngais mencari tambahan
lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah
menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah
melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap
tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikan gaji yang menyodok
meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadangkadang justru dengan kenaikan
gajinya, kesejahteraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteraan guru sebagai orang
yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadangkadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang
ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara
psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan
kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah
guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, "Tak apalah, yang
penting halal".
Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan
tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor
pekerjaan "yang penting halal". Bagaimana seandainya pada guru yang
akibat himpitan ekonorni mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan
yang berlabel "yang penting saya bekerja" tanpa mengindahkan nilai-nilai moral?
Bukankah hal demikian bisa saja terjadi?
dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah
yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih
banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan
akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003. Setelah
dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga
kali lipat dari alternatif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah.
Ternyata, amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai
panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki
posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin
baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan
profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM
yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti.
Dilihat dari kesejahteraan guru, bagaimana seorang guru
dapat
konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihanpelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan
jika
ada
kegiatan-kegiatan
yang
berupaya
meningkatkan
skill
dan
D. An al i si s S WO T
1. Kekuatan: Niat Baik Pemerintah
Kekuatan bagi peningkatan dan penambahan kuantitas dan kualitas guru
adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan
pemerataan jumlah guru dengan sistem "guru kontrak" dan mengadakan
perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan
good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Kekuatan lain bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan
dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih
berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari
APBN. Hal yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran yang cukup tinggi dari
tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan
pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil
rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius
pada dunia pendidikan.
2 . Kelemahan Implementasi
Kelemahan-kelemahan yang bakal timbul dalam rangka menambah
jumlah guru melalui sistem kontrak adalah masalah kualitas guru yang
dikontrak. Artinya, guru kontrak dapat saja merupakan guru kagetan, asalasalan..Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan
membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
4. Tantangan Implementasi
Tantangan yang membentang luas justru pada level implementasi. Sudah
tidak asing lagi bahwa departemen dengan cap paling koruptor kedua adalah
justru Departemen Pendidikan Nasional. Kita masih saja merasa was-was
kalau-kalau rencana baik dan manis yang telah digariskan hanya sebatas
wacana, tidak sampai implementasi (planning without implementation). Kalaupun
ada implementasi, dikhawatirkan terjadi kebocoran di mana-mana sehingga pada
akhirnya kebijakan yang diharapkan dapat mengalir hingga target group,
kenyataannya hanya menetes saja.
E. Temuan-temuan
1. Problema Guru Daerah Terpencil
Berdasar pada realitas di lapangan mengenai kuantitas dan kualitas guru,
diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. Dilihat dari jumlah guru secara
keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun,
jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di
daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan
memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan
dalam
sebesar-besarnya
kompensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk
menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang
diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki
skill/kemampuan
yang
tinggi.
Pemerintah
tidak
perlu
ragu
untuk
Sebagai makhluk sosial, manusia terikat dalam satu sistem sosial dengan
segala komponennya, seperti pranata sosial, tatanan hidup bermasyarakat yang
disangga oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut berupa nilai agama, moral,
budaya, adat, dan lain-lain.
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan adalah orang tua, sekolah/pemerintah, dan masyarakat. Ketiga
komponen tersebut harus bergotongroyong (bersinergi) 6 mempersiapkan
anak menjadi manusia mandiri dalam konteks kehidupan pribadinya,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, serta berkehidupan sebagai
makhluk yang berketuhanan (beragama).
Oleh karena itu, manusia Indonesia yang diharapkan dan harus
diupayakan melalui pendidikan adalah manusia yang bcrmoral, berilmu,
berkepribadian, dan beramal bagi kepentingan manusia, masyarakat, bangsa, dan
agama.' Tujuan yang ideal ini merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi.
Artinya, segala upaya akan diarahkan pada tujuan tersebut, baik oleh pemerintah,
masyarakat, maupun orang tua.
Pihak yang paling menentukan bagi pendidikan anak tentu laja dimulai dari
scope mikro, yaitu keluarga. Jika pendidikan di keluarga baik, di sekolah, dan di
masyarakat diharapkan akan balk pula, selama kondisinya kondusif. Jika
pendidikan di keluarga raja sudah jelek, jangan berharap anak akan baik di
sekolah maupun di masyarakat mengingat nilai-nilai moral dan budi
pekertinya zaman sekarang yang telah bergeser. Khususnya moral dan budi pekerti
masyarakat di perkotaan yang notabene terpolusi oleh teknologi canggih yang
serba instan.
Oleh karena itulah, pada bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai
pendidikan keluarga di perkotaan.
B. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. ingin membahas lebih jauh mengenai pendidikan keluarga di perkotaan;
2. ingin mencari solusi/kiat mendidik anak di perkotaan;
3. ingin mendata hambatan keluarga dalam mendidik anak perkotaan.
C. Kenyataan di Lapangan
1. Kondisi Anak Indonesia
Hari ini jutaan anak di negeri ini sedang terpuruk dalam kehidupan
yang mengerikan. Terserak di jalan-jalan berdebu sebagai pengemis,
pengamen, bahkan pencopet. Terkapar di tenda-tenda pengungsian, di Aceh,
Palangka Raya, Sumenep, Makassar, atau di Medan. Belum terhitung mereka
yang menjadi pekerja paksa di pabrik-pabrik, mulai pabrik sepatu, pabrik tahu,
sampai jermal penangkapan ikan di tengah laut lepas. Apa yang dialami buruh
anak di sana, tidak lebih baik daripada rekan-rekan mereka di tenda pengungsian
maupun di kolong jembatan.e
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini lebih dari sebelas juta anak
mengalami putus sekolah dan enam juta di antaranya menjadi pekerja anak.9
Anak yang putus sekolah berarti tidak memperoleh haknya dalam mengenyam
pendidikan formal. Jika pendidikan formal saja tidak diperoleh, apalagi
pendidikan nonformal: Asumsi ini didasarkan pada data empiris bahwa anak
yang putus sekolah, terutama disebabkan oleh himpitan ekonomi atau tuntutan
kebutuhan keluarga. Oleh karena itulah, anak yang telah dapat membantu orang
tuanya akan meninggalkan bangku sekolahnya.10
Untuk lebih jelasnya, data dari kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan 2001 menyebutkan bahwa:
a. anak jalanan di Indonesia tercatat 40.000-50.000;
b. anak yang menjadi buruh di Indonesia ada 1,6 juta;
c. anak korban eksploitasi seksual di Indonesia 40.000-70.000;
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada realita di lapangan, rumusan permasalahan tulisan ini
adalah sebagai berikut.
E. Analisis SWOT
1. Kekuatan Pendidikan Keluarga di Perkotaan
a. Konvensi internasional mengenai hak anak sudah diratifikasi Indonesia
sejak 1990. "Indah" tampaknya isi konvensi tersebut, namun bagi mereka
yang punya mata dan hati nurani, semua itu tidak ada artinya tanpa
diikuti oleh pelaksanaan di lapangan yang benar-benar menjadi solusi
bagi anak yang menderita. Konvensi internasional tentang anak telah juga
memberikan perhatian yang khusus dalam masalah hak anak. Misalnya
tentang hak hidup (secara fisik), hak identitas (termasuk agama), hak
kesejahteraan sosial, hak kesejahteraan ekonomi, hak berserikat dan
berkumpul, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, juga
hak mendapatkan perawatan kesehatan. 17 Hak identitas anak salah
satunya adalah hak mendapat pendidikan.
b. Dalam UUD 1945 pun telah termaktub hak bangsa Indonesia, khususnya
anak untuk memperoleh pendidikan.
c. Kekuatan lain dalam rangka mengangkat bentuk pendidikan anak dalam
keluarga adalah adanya hak anak dalam pandangan agama Islam. Penulis
sengaja mengangkat ini karena penduduk Indonesia mayoritas Islam. Jika
yang mayoritas diberi keleluasaan untuk mengatur pendidikan keluarga
berdasar Islam dan berhasil baik, dapat dikatakan pendidikan keluarga
di Indonesia berhasil. Bicara tentang hak anak dalam Islam, pertama
sekali secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai
dharuriyatu khamsin (hak asasi dalam Islam). Hak itu adalah lima hal
yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang: (1) pemeliharaan atas
hak beragama (hifdzud dien); (2) pemeliharaan atas jiwa (hifdzun nafs);
(3) pemeliharaan atas akal (hifdzul aql); (4) pemeliharaan atas harta
(hifdzul mal); (5) pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzun nasl), dan
kehormatan (hifdzul 'ird).
Jika merinci hak-hak anak yang diperolehnya dari orang tua atau
otoritas lain yang menggantikan orang tua, akan kita dapati bahwa
hak-hak tersebut merupakan penjabaran dari dharuriyatu khamsin tadi.
Misalnya, hak anak untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab, itu
ada dalam pemeliharaan atas nasab dan kehormatan, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dimasukkan ke dalam
pemeliharaan atas agama (mendapatkan pendidikan akhlaqul karimah)
dan pemeliharaan atas akal, dan seterusnya.
Islam amat teliti dan amat banyak menjelaskan mengenai pendidikan bagi
anak. Islam mengajarkan bagaimana seorang harus berbakti kepada orang
tua,
menyayangi
anak
kecil,
dalam
pendidikan
kepribadian
anak
dalam
Islam
baik
adalah
faktor
ekonomi
keluarga
akibat
himpitan
G. Kesimpulan
1. Pemerintah belum dapat berbuat banyak dalam membantu keluarga
dalam memfasilitasi pendidikan anak, khususnya di perkotaan.
H. Rekomendasi
1. Pemerintah diharapkan untuk lebih serius mengurangi anak putus
sekolah.
2. Pemerintah diharapkan agar lebih gencar melakukan sosialisasi
pentingnya pendidikan bagi anak, khususnya pendidikan keluarga di
perkotaan.
3. Anggota masyarakat diharapkan lebih terpanggil melakukan kontrol
sosial.
4. Orang tua diminta untuk lebih mementingkan pendidikan anak di
keluarga, tidak hanya mengandalkannya kepada sekolah/pemerintah.
5. Harus bersinergi, antara keluarga, pemerintah/sekolah, masyarakat
dalam membentuk anak yang mandiri
6. LSM diharapkan lebih serius dan jujur membantu progr pendidikan anak.
7. Seluruh implementator yang merasa terpanggil terhad kepentingan
anak dimohon kesadarannya untuk dapat mem lainya dari pribadi
masing-masing tanpa harus meriting orang lain melakukan perbaikan
terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA