Anda di halaman 1dari 2

Islam Indonesia

Oleh : Agus Sugito1


Ada apa dengan Islam di Indonesia? Mungkin lebih afdlolnya jika bentuk
pertanyaan itu dijawab oleh Sahabat-sahabat dalam lingkup kesimpulan pribadi saja. Kali
pertama pertanyaan ringkas tetapi mengandung urgensitas pemahaman yang cukup
relevan itu terlontar. Sebelum pertanyaan itu terjawab atau mungkin dijawab oleh
Sahabat-sahabat, akan lebih baiknya lagi jika kita sama-sama mengorek kembali
kapasitas historis pemahaman kita mulai Islam muncul dan berkembang di Indonesia
hingga perkembangan Islam Indonesia sampai saat ini.
Sebelum Islam masuk di Indonesia, berbagai agama dan keyakinan (Aliran
Kepercayaan) telah lebih dulu tumbuh dan berkembang, Diawali dengan berkembangnya
kepercayaan Animisme dan Dinamisme, beberapa abad kemudian Hindu dan Budha
sempat menjadi kepercayaan mayoritas di Nusantara. Agama dan Aliran-aliran
Kepercayaan ini telah mampu memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam
masyarakat. Konteks sosio-budaya itu berbeda dengan konteks sosio-budaya di Arab
Saudi ketika Islam diturunkan. Sehingga ketika Islam mulai masuk dan berkembang di
Indonesia kurang lebih sekitar abad 7-13M tidak serta merta dapat menancapkan Ideologi
dan ajaran-ajarannya secara mutlaq, pada awal penyebarannya, dominasi ritual agama
sebelumnya masih terlihat, hal ini bisa dilihat dari pola penyebaran pada masa Walisongo
yang kebanyakan masih menggunakan piranti seperti wayang kulit dll sebagai daya tarik
agar masyarakat mau berbondong-bondong masuk Islam, cara seperti itu ternyata sangat
efektif.
Dalam perkembangannya pun, tradisi-tradisi yang masih berbau Hinduisme-
Budhiisme masih mendominasi dalam setiap ritual keIslaman, seperti gendurenan,
nyekar, nyadran, sedekah laut dll, bahkan tahlilan. Namun ritual-ritual keIslaman yang
seperti itulah yang bisa mem-pribumisasi di masyarakat, yang hingga saat ini Islamlah
agama yang merajai di Indonesia. Dari sinilah, sehingga warna Islam yang diterima dan
hidup di Indonesia memiliki perbedaan dengan Islam di bumi kelahirannya Arab Saudi.
Dalam konteks talfiq madzhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i, hal ini
lebih dikarenakan oleh produk hukum yang ditawarkan oleh Imam Syafi’i lebih bisa
diterima di Indonesia dibanding produk hukum dari Imam Madzahibul arba’ah yang lain.
Islam Indonesia terbentuk dari pertemuan antara nilai-nilai universal Islam (keadilan,
kesederajatan, kasih-sayang) dengan budaya lokal2.
Sekarang, Islam di Indonesia mengalami distorisitas yang mencolok. Fakta
maraknya aksi spontanitas dengan menggunakan label agama dalam menanggapi
berbagai fenomena seperti demonstrasi di Kedutaan Besar AS ketika menyikapi aksi
militer AS terhadap Afghanistan dan Irak, merupakan suatu indikasi betapa umat
beragama (Islam) masih sangat sensitive dan cenderung reaksioner dalam menyikapi
berbagai persoalan, terutama ketika menyentuh masalah agama. Padahal tudingan
tersebut, bukan dialamatkan pada wilayah substansi wilayah agamanya, melainkan
fenomena tampilan ke-agama-an yang bersifat karitatif.
Islam di Indonesia yang selama ini tampil dalam formal cultural atau yang lazim
disebut “pribumisasi Islam”. Tampilan ini biasanya menggunakan dua lokomotif
kekuatan kultural Islam Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Kini, telah merebak
1
. Wong Ndeso, Kampoeng, Pelosok, Pedalaman Pantura.
2
. Multi Level Strategi Gerakan PMII, Wahid Hasanuddin Wahid. H &dkk, hal. 87.
beberapa kekuatan yang cenderung “radikal” dan “fundamental” dalam pendekatan
teologisnya. Mereka menjadi ahistoris dengan sejarah kultur ke-Islaman di Indonesia, dan
“mencoba” menggunakan “tafsir Timur Tengah” dalam menerjemahkan teks agama.
Dalam memaknai teks suci kelompok ini cenderung skripturalis (qoulliyah).
Padahal dalam langgam mayoritas (jumhur ulama) Indonesia,, pendekatan tafsirnya
menggunakan pendekatan substansialis (kauniyah), dimana memaknai teks suci sesuai
dengan kondisi social dan budaya munculnya teks tersebut. Anehnya, kelompok ini
makin hari memang makin subur di Indonesia. Bahkan menjadi kelompok “primadona”
di kalangan kelas menengah terutama lapisan intelektual.
Apalagi bagi Indonesia yang mempunyai pandangan keagamaan substansial dan
inklusif demokrasi, pluralisme, liberasi dan pengakuan HAM merupakan prasyarat bagi
tercapainya masyarakat seimbang, setara dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan para
pendiri bangsa. Adagium tersebut kendati tidak ada dalam teks suci, namun compatible
dengan nilai agama (Islam) sehingga tidak harus dipertimbangkan. Bahkan,, ,harus
dipadukan, karena mempunyai substansi dengan ajaran Islam, seperti al-Hurriyah,
(kebebasan), al-Musawah (kesamaan) dan nilai-nilai lainnya.
Fenomena bom legian di Bali,, kemudian memberi imbas terhadap kehidupan
beragama di Indonesia, khususnya Islam. Pasca peristiwa tersebut, Islam di Indonesia
menyandang predikat teroris. Ada apa dengan kehidupa keagamaan (Islam) di Indonesia
sehingga diidentikkan dengan gerakan terorisme transisional dan jaringan al-Qaeda.
Padahal selama ini Islam di Indonesia paling dikenal sebagai Islam yang toleran,
humanis,, inklusif dan jauh dari image kekerasan (violence) sebagaimana praktek ke-
Islaman di beberapa Negara di Timur Tengah.
Berdasarkan gambaran di atas, PMII sebagai salah satu komponen bangsa yang
menjunjung nilai-nilai pluralisme merekomendasikan beberapa hal, pertama,
berpartisipasi aktif untuk menghentikan radikalisasi atas nama agama. Bahwa tindakan
radikalisme yang muncul dari beberapa kelompok agama telah menimbulkan perasaan
tidak nyaman dan dapat memecah belah umat. Pembelaan terhadap prinsip-prinsip
keagamaan mestinya sejajar dengan pembelaan Negara-bangsa, yang merupakan modal
utama untuk kelanjutan kegiatan keagamaan.
Kedua, mempertahankan dasar Negara Pancasila. Islam tidak dapat dijadikan alat
pemersatu,, sebab budaya, tradisi dan kepercayaan pra-Islam masih sedemikian hidup
pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Untuk itulah diciptakan Pancasila
sebagai persamaan terkecil seluruh bangsa, untuk menghadapi kekuatan sentrifugal
kepulauan yang multi-etnis, multi-budaya, dan muti-religius ini. Dewasa ini, Pancasila
diakui sebagai dasar negara, mungkin justru karena ia tidak menghalangi islamisasi
masyarakat.
Ketiga, menolak kelembagaan agama dalam negara.3

Tangan terkepal dan maju ke muka ………………

3
. Disampaikan pada diskusi malam Selasa, 24 November 2008 di Sekretariat PC. PMII Magelang.

Anda mungkin juga menyukai