Ada apa dengan Islam di Indonesia? Mungkin lebih afdlolnya jika bentuk pertanyaan itu dijawab oleh Sahabat-sahabat dalam lingkup kesimpulan pribadi saja. Kali pertama pertanyaan ringkas tetapi mengandung urgensitas pemahaman yang cukup relevan itu terlontar. Sebelum pertanyaan itu terjawab atau mungkin dijawab oleh Sahabat-sahabat, akan lebih baiknya lagi jika kita sama-sama mengorek kembali kapasitas historis pemahaman kita mulai Islam muncul dan berkembang di Indonesia hingga perkembangan Islam Indonesia sampai saat ini. Sebelum Islam masuk di Indonesia, berbagai agama dan keyakinan (Aliran Kepercayaan) telah lebih dulu tumbuh dan berkembang, Diawali dengan berkembangnya kepercayaan Animisme dan Dinamisme, beberapa abad kemudian Hindu dan Budha sempat menjadi kepercayaan mayoritas di Nusantara. Agama dan Aliran-aliran Kepercayaan ini telah mampu memberikan dasar sosio-budaya yang kuat di dalam masyarakat. Konteks sosio-budaya itu berbeda dengan konteks sosio-budaya di Arab Saudi ketika Islam diturunkan. Sehingga ketika Islam mulai masuk dan berkembang di Indonesia kurang lebih sekitar abad 7-13M tidak serta merta dapat menancapkan Ideologi dan ajaran-ajarannya secara mutlaq, pada awal penyebarannya, dominasi ritual agama sebelumnya masih terlihat, hal ini bisa dilihat dari pola penyebaran pada masa Walisongo yang kebanyakan masih menggunakan piranti seperti wayang kulit dll sebagai daya tarik agar masyarakat mau berbondong-bondong masuk Islam, cara seperti itu ternyata sangat efektif. Dalam perkembangannya pun, tradisi-tradisi yang masih berbau Hinduisme- Budhiisme masih mendominasi dalam setiap ritual keIslaman, seperti gendurenan, nyekar, nyadran, sedekah laut dll, bahkan tahlilan. Namun ritual-ritual keIslaman yang seperti itulah yang bisa mem-pribumisasi di masyarakat, yang hingga saat ini Islamlah agama yang merajai di Indonesia. Dari sinilah, sehingga warna Islam yang diterima dan hidup di Indonesia memiliki perbedaan dengan Islam di bumi kelahirannya Arab Saudi. Dalam konteks talfiq madzhab, Islam Indonesia mayoritas menganut Syafi’i, hal ini lebih dikarenakan oleh produk hukum yang ditawarkan oleh Imam Syafi’i lebih bisa diterima di Indonesia dibanding produk hukum dari Imam Madzahibul arba’ah yang lain. Islam Indonesia terbentuk dari pertemuan antara nilai-nilai universal Islam (keadilan, kesederajatan, kasih-sayang) dengan budaya lokal2. Sekarang, Islam di Indonesia mengalami distorisitas yang mencolok. Fakta maraknya aksi spontanitas dengan menggunakan label agama dalam menanggapi berbagai fenomena seperti demonstrasi di Kedutaan Besar AS ketika menyikapi aksi militer AS terhadap Afghanistan dan Irak, merupakan suatu indikasi betapa umat beragama (Islam) masih sangat sensitive dan cenderung reaksioner dalam menyikapi berbagai persoalan, terutama ketika menyentuh masalah agama. Padahal tudingan tersebut, bukan dialamatkan pada wilayah substansi wilayah agamanya, melainkan fenomena tampilan ke-agama-an yang bersifat karitatif. Islam di Indonesia yang selama ini tampil dalam formal cultural atau yang lazim disebut “pribumisasi Islam”. Tampilan ini biasanya menggunakan dua lokomotif kekuatan kultural Islam Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Kini, telah merebak 1 . Wong Ndeso, Kampoeng, Pelosok, Pedalaman Pantura. 2 . Multi Level Strategi Gerakan PMII, Wahid Hasanuddin Wahid. H &dkk, hal. 87. beberapa kekuatan yang cenderung “radikal” dan “fundamental” dalam pendekatan teologisnya. Mereka menjadi ahistoris dengan sejarah kultur ke-Islaman di Indonesia, dan “mencoba” menggunakan “tafsir Timur Tengah” dalam menerjemahkan teks agama. Dalam memaknai teks suci kelompok ini cenderung skripturalis (qoulliyah). Padahal dalam langgam mayoritas (jumhur ulama) Indonesia,, pendekatan tafsirnya menggunakan pendekatan substansialis (kauniyah), dimana memaknai teks suci sesuai dengan kondisi social dan budaya munculnya teks tersebut. Anehnya, kelompok ini makin hari memang makin subur di Indonesia. Bahkan menjadi kelompok “primadona” di kalangan kelas menengah terutama lapisan intelektual. Apalagi bagi Indonesia yang mempunyai pandangan keagamaan substansial dan inklusif demokrasi, pluralisme, liberasi dan pengakuan HAM merupakan prasyarat bagi tercapainya masyarakat seimbang, setara dan berkeadilan sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Adagium tersebut kendati tidak ada dalam teks suci, namun compatible dengan nilai agama (Islam) sehingga tidak harus dipertimbangkan. Bahkan,, ,harus dipadukan, karena mempunyai substansi dengan ajaran Islam, seperti al-Hurriyah, (kebebasan), al-Musawah (kesamaan) dan nilai-nilai lainnya. Fenomena bom legian di Bali,, kemudian memberi imbas terhadap kehidupan beragama di Indonesia, khususnya Islam. Pasca peristiwa tersebut, Islam di Indonesia menyandang predikat teroris. Ada apa dengan kehidupa keagamaan (Islam) di Indonesia sehingga diidentikkan dengan gerakan terorisme transisional dan jaringan al-Qaeda. Padahal selama ini Islam di Indonesia paling dikenal sebagai Islam yang toleran, humanis,, inklusif dan jauh dari image kekerasan (violence) sebagaimana praktek ke- Islaman di beberapa Negara di Timur Tengah. Berdasarkan gambaran di atas, PMII sebagai salah satu komponen bangsa yang menjunjung nilai-nilai pluralisme merekomendasikan beberapa hal, pertama, berpartisipasi aktif untuk menghentikan radikalisasi atas nama agama. Bahwa tindakan radikalisme yang muncul dari beberapa kelompok agama telah menimbulkan perasaan tidak nyaman dan dapat memecah belah umat. Pembelaan terhadap prinsip-prinsip keagamaan mestinya sejajar dengan pembelaan Negara-bangsa, yang merupakan modal utama untuk kelanjutan kegiatan keagamaan. Kedua, mempertahankan dasar Negara Pancasila. Islam tidak dapat dijadikan alat pemersatu,, sebab budaya, tradisi dan kepercayaan pra-Islam masih sedemikian hidup pada saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Untuk itulah diciptakan Pancasila sebagai persamaan terkecil seluruh bangsa, untuk menghadapi kekuatan sentrifugal kepulauan yang multi-etnis, multi-budaya, dan muti-religius ini. Dewasa ini, Pancasila diakui sebagai dasar negara, mungkin justru karena ia tidak menghalangi islamisasi masyarakat. Ketiga, menolak kelembagaan agama dalam negara.3
Tangan terkepal dan maju ke muka ………………
3 . Disampaikan pada diskusi malam Selasa, 24 November 2008 di Sekretariat PC. PMII Magelang.