Nashr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah
desa dipinggiran kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Bukan
tidak beralasan kalau Abu Zayd memiliki nama lengkap Nashr Hamid Abu Zayd.
Konon kata “Nashr” yang tercantum dalam namanya merupakan nubuwat orang
tuanya yang saat itu menyaksikan kepopuleran dan ketokohan Jamal ‘Abd Nashr,
yang kemudian menjadi pendiri republik Mesir modern. Diharapkan kelak Abu
Zayd tumbuh besar laiknya pemimpin Mesir modern tersebut. Sebagai anak desa,
Abu Zayd tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai
ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari sanalah ia banyak
relijius. Ayahandanya tahu persis bahwa pelajaran agama mesti diberikan kepada
anak-anaknya sejak usia dini. Sehingga pada usia delapan tahun saja, Abu Zayd
terbilang cukup luar biasa yang barangkali hanya bisa dilakukan oleh seorang
1
anak yang memang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Mengingat Abu Zayd
termasuk anak-anak yang diatas rata-rata itu, hal ini tidak menjadi sesuatu hal
yang memberatkan baginya. Abu Zayd kecil bahkan punya julukan tersendiri
sebagai “Syaikh”, julukan yang biasa digunakan bagi para imam masjid yang
seorang imam shalat harus hapal al-Qur’an secara keseluruhan. Dan pada
ayahandanya, dunia aktivisme juga ditanamkan mulai fase ini. Ayahanda Abu
Muslimun yang sempat pula ditahan oleh pemerintah menyusul eksekusi terhadap
Sayyid Qutb, tokoh Ikhwan al-Muslimun, sedikit banyak membekas juga pada diri
Abu Zayd kecil. Maka tak heran dalam usia yang masih sangat belia, sebelas
tahun, Abu Zayd masuk sebagai anggota Ikhwan al-Muslimun. Bagi anak
bagi orang dewasa, memang tidak diperbolehkan. Namun, Abu Zayd kecil
bersikeras dan meminta kepada pimpinan cabang setempat untuk didaftarkan juga
anggota. Karena namanya tercantum dalam keanggotaan itulah, Abu Zayd kecil
2
aktivitasnya kerap diawasi penguasa, Ikhwan al-Muslimun sendiri saat itu tengah
ketimbang terhadap partai-partai politik yang ada, terhadap partai Al-Wafd yang
organisasi ini saja, tetapi lebih karena sosok Sayyid Qutb yang mampu
keadilan sosial), yang banyak mengupas tentang keadilan manusiawi dalam nilai-
nilai Islam. Dekade 1940-an merupakan dekade yang boleh dibilang cukup kelam
dalam perjalanan sejarah dunia, pada ada dekade inilah pecah PD II. Sebagaimana
negara-negara dunia ketiga lainnya, Mesir tak luput dari pergolakan kebangkitan
angin perubahan terjadi pasca PD II usai. Pada tahun 1952, Mesir mengalami
krisis kepemimpinan. Konsep negara kebangsaan Mesir saat itu sama seperti
3
Nasionalisme yang makin subur dan kondisi dalam negeri yang tidak cepat
yang dikenal dengan “Revolusi Juli” yang terjadi pada 26 Juli 1952. akhirnya,
berlangsung dari tangan raja Faruq terguling kepada Jamal ‘Abd Nashr, tokoh
Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zayd kehilangan
tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi
berselang, gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah
Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam kesibukannya bekerja, Abu Zayd masih saja
menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan minatnya terhadap kritik sastra.
4
Dalam publikasi awalnya di jurnal Al-Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al-
Khuli, Abu Zayd banyak mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia
sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang dipublikasikan pada sekitar tahun
sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-
Pada tahun 1968, sambil bekerja sebagai teknisi, Abu Zayd melanjutkan
kuliah mengambil jurusan Bahasa Arab pada Fakultas Adab di Universitas Kairo.
Karena ia bekerja di siang hari, tidak ada pilihan lain baginya untuk kuliah di
malam hari. Genap empat tahun studi berhasil diselesaikannya dengan meraih
almamaternya ini. Pada tahun 1972 itu juga, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai
analisis dan kritisnya makin tumbuh subur, hal ini sudah bermula sejak ia studi
5
berpetualang, sehingga ketika di bangku kuliah cukup banyak membantunya dan
Sebagai asisten dosen, Abu Zayd tak luput dari kebijakan baru yang
studi Islam bagi mereka yang akan menempuh studi Master maupun Doktor. Ia
pun banting setir, dari mengambil studi linguistik dan kritik sastra murni menjadi
studi Islam, dan pilihannya jatuh pada konsentrasi studi al-Qur’an. Sebelumnya, ia
sempat ragu apakah tetap mengambil kajian ini atau tidak. Kekhwatirannya amat
berasalasan dengan melihat latar belakangnya dalam mengambil studi ini. Minat
besarnya terhadap kritik sastra dan linguistik tidak dapat dilepaskannya begitu
saja. Masa remajanya memang banyak diisi untuk membaca karya-karya sastra,
khususnya karya sastra Perancis yang banyak ia jumpai dari hasil terjemahan
pikiran hingga tercerahkan, hal mana terjadi pada dirinya sejak ia bersentuhan
dengan karya-karya sastra sejak usia remaja. Sebab itu, dalam mengambil studi
Khalafallah yang juga menggunakan pendekatan kritik sastra (literer) atas narasi
saja tidak ia kehendaki, tetapi minatnya yang begitu besar juga tak kuasa untuk ia
tepis. Akhirnya ia memasang diri untuk terus maju melakukan studi al-Qur’an
6
dengan mengkhususkan pada problem interpretasi dan hermeneutika.
dikemudian hari.
studi di American University dari 1975-1977. Selang dua tahun gelar MA berhasil
mengatakan bahwa ada sebagian ayat al-Qur’an yang dapat dimengerti manusia
sedemikian akan memunculkan asumsi bahwa ada sebagian al-Qur’an yang tidak
dapat memberi petunjuk bagi manusia, padahal tema besar yang diusung sebuah
kitab suci adalah sebagai sebuah kitab petunjuk (hidayah). Untuk itu, menurut
Hal ini berimplikasi pada sebuah postulat yang menyatakan bahwa tidak ada yang
tidak bisa dimengerti dari al-Qur’an. Untuk menjembatani antara al-Qur’an dan
7
Mu’tazilah dalam masalah ini ialah diperkenalkannya beberapa konsepsi seperti
Bahkan Abu Zaid menilai, apa yang dilakukan Mu’tazilah sudah merupakan
modus hermeneutik. Masih dalam buku ini, Abu Zayd juga secara piawai
sama halnya dengan mazhab teologi dan pemikiran lainnya, dimana penggunaan
itu.
Kegiatan Abu Zayd tidak hanya terbatas pada mengajar dan kuliah. Ia juga
aktif memberikan kursus bahasa Arab untuk para ekspatriat yang ada di Centre for
1978. Pada 1978 pula, minat besarnya terhadap kajian sastra dan lingustik juga
berhasil mendapatkan beasiswa dari Centre for Middle East Studies di Universitas
8
menyia-nyiakan waktu untuk lebih banyak lagi bersentuhan dengan kajian-kajian
sosial dan humanitas, terlebih lagi metodologi ilmiah, yang dalam tradisi
seorang scholar, yang kali pertama ia alami ketika mulai memasuki bangku kuliah
sebagai aktivitas Ikhwan al-Muslimun turut andil didalamnya, selain tentu saja
figur Sayyid Qutb sebagai lokomotif sosialisme Islam di Mesir ketika itu,
merupakan rahasia lagi kalau sosialisme pada dekade ini tumbuh subur di banyak
disertasi dengan konsern pada hermeneutika, yang masih seturut dengan karir
akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat
9
tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran
kepadanya.
professor satu tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan
‘Abd Al-‘Aziz Al-Ahwani Prize for Humanities’ karena konsernya selama ini
dalam bidang humanitas dan budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara
artikel dan sebuah buku berjudul Mafhum Al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an
bangunan idenya bagi penafsiran al-Qur’an yang objektif dan ilmiah. Pada tahun
1992, Abu Zayd menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa
diselenggarakan pada bulan April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50
tahun usia Abu Zayd. Setelah satu bulan menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd
merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku Al-
Imam Al-Syafi’i, serta sebelas paper karya tulis lainnya kepada panitia penguji.
sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan
“Kasus Abu Zayd”. Barulah pada 1995, ia meraih professor penuh setelah
10
promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya panitia baru.
yang coba juga ditularkan ke negara-negara dunia ketiga. Adalah Amerika dan
Uni Soviet, dua negara adikuasa pada dekade ini, yang menciptakan era 1960-an
menjadi era yang paling beku sekaligus juga mencekam di paruh kedua abad 20.
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutu tampil sebagai pemenang
perang. Eropa ketika itu masih hancur lebur, kecuali Uni Soviet yang menjelma
sebagai raksasa beruang merah di bagian timur Eropa. Namun dua negara ini
terbelah dua, kedalam blok Barat—yang dipimpin Amerika Serikat, dan Timur—
oleh Uni Soviet. Belakangan, kontestasi dan kompetisi kedua blok ini nyaris
dipunyai Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu sudah dapat menghancurkan
apapun yang bernyawa di muka bumi sebanyak enam kali lipat. Dunia pun makin
11
mencekam. Bergemalah suara lain, suara-suara dunia ketiga, dari Konferensi
aliansi negara-negara yang tidak memihak salah satu blok, tekad untuk
(GNB) ibarat sampan yang belum mampu untuk berlayar jauh-jauh tapi
luas ada dua karang raksasa yang teramat besar dan kokoh. Perahu pun oleng
negara Arab, ternyata memang sulit untuk melepaskan diri dari keduanya. Secara
sosialisme yang memiliki pararelitas dengan beberapa doktrin agama Islam itu
sendiri. Aspek lain tentunya sosialisme itu sendiri yang nampak memberi impian
Amerika Serikat. Ketergantungan itu misalkan saja pada sektor investasi hatta
konsultasi asing. Hal ini diperparah dengan neraca perdagangan yang tidak
12
terbesarnya. Sehingga realitas politik pun seturut dengan si empunya kekuatan
yang lebih besar. Meskipun beberapa negara Arab masih tetap konsisten dengan
kebudayaan Arab itu sendiri. Tikaman terparah bagi dunia Arab modern ialah
kekalahan mereka atas Israel dalam perang Arab-Israel yang berlangsung selama
enam hari pada 1967. Maka, sebuah upaya rekonstruksi ke-Islam Arab-an pun
makin penting dan mendesak untuk digulirkan. Dan bagi Abu Zayd sendiri, fase-
fase ini merupakan fase yang membuatnya amat bergairah tapi juga tantangan
itu hanya sebuah puzzle yang belum lengkap dalam hidupnya sebagai calon
berubah. Suatu kali Islam ditampilkan sebagai agama yang memuat nilai-nilai
sosialisme atau nasionalisme, pada kali lain Islam ditempilkan sebagai agama
13
dominan saat itu. Asumsi dasar yang diyakininya ini ia jejakkan pada konteks
khazanah klasik Islam, dalam hal ini Mu’tazilah dan wacana sufi Ibn ‘Arabi.
Ibn ‘Arabi yang hidup di Andalusia, dimana masyarakatnya begitu plural dan juga
sudah cukup maju. Sehingga wacana sufi yang muncul kepermukaan ialah wacana
yang merepresentasikan Islam yang oleh Ibn ‘Arabi ditampilkan sebagai agama
yang penuh cinta lagi sempurna, sebuah agama yang mencakup lintas iman
menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik,
sesungguhnya ialah adanya interpenetrasi antara al-Qur’an, realitas dan Ibn ‘Arabi
sendiri.
tertentu sudah diidentifikasi tidak terlepas dari ideologi yang mengikutinya, tidak
lantas Abu Zayd gegabah untuk mengatakan bahwa tafsir secara merdeka
14
diberikan pada setiap orang. Hal demikian akan membuahkan solipsisme tafsir
yang dapat mengatasi intensi semua orang dalam proyeksi penafsiran setiap kali
mereka menafsir. Oleh karenanya, pada tahap selanjutnya Abu Zayd berusaha
untuk merekonstruksi apa hakikatnya makna teks itu sesungguhnya. Ikhtiarnya itu
ideologis, yang masih banyak juga terdapat dalam masa kontekstual Mesir
terbentuk, mekanisme apa yang berlaku dalam teks tersebut, dan seterusnya
Zayd tidak terlepas dari world view yang melingkupinya, hingga ia berani
Tetapi tesis ini tidak lantas menggugurkan keyakinan Abu Zayd akan keilahian al-
utama Abu Zayd makin kelihatan, sebagaimana termuat dalam bukunya Naqd al-
Khitab Al-Diny (1994), yang merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa
tinggal di Jepang. Di buku ini Abu Zayd mengkritik kalangan ulama yang
menurutnya tidak bisa melepaskan ideologi yang dianutnya ketika menafsirkan al-
Qur’an. Di buku ini Abu Zayd melakukan semacam kritik ideologi sehingga
15
Dalam kajian al-Qur’an, lebih jauh Abu Zayd mengkritik akan
berkaitan langsung dengan al-Qur’an seperti ‘ulum al-tafsir. Disiplin ‘ulum al-
akut yang masih mengungkung kalangan ulama kita. Disiplin ‘ulum al-tafsir yang
dengan cara demikian, sama saja dengan membebani al-Qur’an dengan apa yang
disebutnya sebagai “textus receptus”, yaitu sebuah teks yang secara objektif hadir
kembali perdebatan lama yang berputar pada pertanyaan seperti, apakah al-Qur’an
itu makhluk atau bukan, mesti disudahi—dengan tidak mau mengatakan harus
dibuang jauh-jauh. Diskusi model ini terbukti tidak menghasilkan hal yang bisa
perdebatan ke arah yang berbau mitologis, tidak ilmiah. Apalagi diskusi seperti ini
memang cenderung elitis, biasanya hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang
16
memang dianggap mempunyai otoritas untuk itu. Meskipun sebenarnya tidak jelas
juga otoritas yang berdasarkan ukuran siapa, ummah kah? Tuhan kah? atau siapa?
Kenyataan bahwa tidak jarang diskusi semacam ini akan membawa kepada
sebuah “kejahatan”, juga mesti menjadi bahan perhatian lainnya. Apa yang terjadi
pada diri Imam Ahmad bin Hanbal—yang dipenjara dan didera karena
metode yang bertolak belakang dengan metodologi konvensional yang selama ini
menjadi pakem dalam tradisi, yaitu mengkaji al-Qur’an dengan cara sebaliknya,
tidak lagi sedari awal deduktif, tetapi mencermati realitas terlebih dahulu dalam
kapasitas empirisnya, barulah ditempatkan pada tahap yang lebih tinggi dengan
sebuah ayat. Pada tahap ini, bukan realitas yang meminta konfirmasi al-Qur’an
yang benar-benar baru. Pendekatan yang lebih akrab dikenal dengan pendekatan
sastra ini cukup mengakar dalam tradisi modern kajian al-Qur’an di Mesir, Tanah
Air Abu Zayd sendiri. Setidaknya di Mesir, semuanya berawal sejak Amin al-
17
Syukri Ayyad, dan Bint Syathi, yang mencoba menerapkan metode sastra dalam
mengkaji al-Qur’an. Bukan hanya itu, Abu Zayd juga mewarisi tradisi yang lebih
kaya. Selain mewarisi tradisi sastra dalam kajian al-Qur’an, ia juga mewarisi
tradisi hermeneutika modern yang berkembang lebih dahulu di Barat. Hanya saja
disiplin hermeneutika ini agak gegabah kalau disepadankan dengan kajian tafsir
al-Qur’an yang kita kenal dalam tradisi Islam. Hermeneutika yang dikenalkan
oleh Barat agaknya lebih mirip dengan kajian ‘ulum al-tafsir. Sedangkan
dimaksudkan untuk mengkaji orisinalitas dan otentisitas kitab suci, dalam hal ini
kerangka berpikir ilmiah yang diwarisinya dari disiplin keilmuan di Barat, tidak
semua yang terdapat di Barat ia telan bulat-bulat. Ia tahu betul antara Islam dan
mengadopsi disiplin Barat bukan berarti tanpa proses penyeleksian, pun jika hal
tersebut sangat bagus. Jalan ini pada dasarnya absah saja, selama tidak terjadi
pada tahap justifikasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukannya jelas benar
bahwa Abu Zayd memang seorang rasionalis sejati. Yang oleh sebab itu nalar lah,
pemikir, Abu Zayd sebenarnya merupakan seorang anak jamannya, dalam hal ini
modernitas.
18
D. Karya-karya dan Terjemahan
Nashr Hamid Abu Zayd tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif.
Ia telah menulis banyak buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya
yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik oleh dunia Barat maupun
Dalam dua studi awal Abu Zayd, dalam buku Al-Ittijah Al-'Aqli fi Al-Tafsir:
Al-Ta'wil: Dirasa fi Ta'wil Al-Qur'an ‘inda Muhiyi Al-Din Ibn 'Arabi (1983),
Muhyi Al-Din ibnu ‘Arabi (Filsafat Takwil: Studi Tentang Hermeneutika Al-
Qur’an Menurut Muhyi Al-Din ibn ‘Arabi), yang kemudian diterbitkan pada dua
tahun berikutnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat tingkat
19
A.1. Buku
20
h.) Al-Takfir Fi Zaman al-Takfir.
1999.
A.2. Artikel
21
e.) “Isykaliyyah Ta’wil al-Qur’an Qadiman wa Hadisan”,
23.
22
no. 10 (1990) dipublikasikan kembali dalam Naqd al-
Inggris oleh Yolande Jansen dan Frank Rebel, Krisis: Tijdschrift voor
23