Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN NASHR HAMID ABU ZAYD

A. Latar Belakang Internal

A.1. Kelahiran, Keluarga, dan Sosial

Nashr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Qahafah, sebuah

desa dipinggiran kota Tanta, ibukota propinsi al-Gharbiyah (Delta), Mesir. Bukan

tidak beralasan kalau Abu Zayd memiliki nama lengkap Nashr Hamid Abu Zayd.

Konon kata “Nashr” yang tercantum dalam namanya merupakan nubuwat orang

tuanya yang saat itu menyaksikan kepopuleran dan ketokohan Jamal ‘Abd Nashr,

yang kemudian menjadi pendiri republik Mesir modern. Diharapkan kelak Abu

Zayd tumbuh besar laiknya pemimpin Mesir modern tersebut. Sebagai anak desa,

Abu Zayd tumbuh sebagaimana anak-anak Mesir lainnya. Sepanjang pagi sampai

tengah hari waktunya ia habiskan di bangku sekolah. Persentuhannya dengan

ilmu-ilmu keagamaan ia lakukan lepas tengah hari setelah pulang sekolah. Ia

mengaji di sebuah kuttab, semacam sekolah madrasah, yang mengajarkan ilmu-

ilmu keagamaan yang dilakoninya secara informal. Namun dari sanalah ia banyak

menimba ilmu-ilmu keagamaan secara tradisional. Kegiatan ini ia jalani sejak

masih berusia sangat hijau, yaitu dalam usia empat tahun.

Abu Zayd memang beruntung lahir ditengah-tengah keluarga yang amat

relijius. Ayahandanya tahu persis bahwa pelajaran agama mesti diberikan kepada

anak-anaknya sejak usia dini. Sehingga pada usia delapan tahun saja, Abu Zayd

sudah mampu menghapal keseluruhan kitab suci al-Qur’an. Kemampuan ini

terbilang cukup luar biasa yang barangkali hanya bisa dilakukan oleh seorang

1
anak yang memang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Mengingat Abu Zayd

termasuk anak-anak yang diatas rata-rata itu, hal ini tidak menjadi sesuatu hal

yang memberatkan baginya. Abu Zayd kecil bahkan punya julukan tersendiri

dikalangan teman-teman sebayanya. Ia kerap dipanggil teman-teman sebayanya

sebagai “Syaikh”, julukan yang biasa digunakan bagi para imam masjid yang

memimpin shalat jama’ah. Sudah menjadi konsensus umum di Mesir bahwa

seorang imam shalat harus hapal al-Qur’an secara keseluruhan. Dan pada

kenyataannya Abu Zayd memang sering memimpin shalat di lingkungan kuttab

tempatnya belajar mengaji.

Selain naluri keilmuan ditanamkan secara masif sejak dini oleh

ayahandanya, dunia aktivisme juga ditanamkan mulai fase ini. Ayahanda Abu

Zayd memang tidak pernah mengajarkan secara langsung semacam apakah

aktivisme itu. Namun pengalaman ayahandanya sebagai aktivis Ikhwan al-

Muslimun yang sempat pula ditahan oleh pemerintah menyusul eksekusi terhadap

Sayyid Qutb, tokoh Ikhwan al-Muslimun, sedikit banyak membekas juga pada diri

Abu Zayd kecil. Maka tak heran dalam usia yang masih sangat belia, sebelas

tahun, Abu Zayd masuk sebagai anggota Ikhwan al-Muslimun. Bagi anak

seusianya, memasuki organisasi seperti Ikhwan al-Muslimun yang diperuntukkan

bagi orang dewasa, memang tidak diperbolehkan. Namun, Abu Zayd kecil

bersikeras dan meminta kepada pimpinan cabang setempat untuk didaftarkan juga

sebagai anggota organisasi tersebut, sehingga tahun 1954 ia resmi menjadi

anggota. Karena namanya tercantum dalam keanggotaan itulah, Abu Zayd kecil

pernah menginap di hotel prodeo sehari semalam lamanya. Selain aktivitas-

2
aktivitasnya kerap diawasi penguasa, Ikhwan al-Muslimun sendiri saat itu tengah

menapaki popularitas sepeninggal Hasan al-Banna, sang pendiri. Organisasi ini

bukanlah organisasi politik, yang lebih tepat dikatakan sebagai organisasi

kemasyarakatan. Aktivitasnya tidak terbatas pada hal-hal keagamaan,

sebagaimana tujuan awal ia didirikan, tetapi juga merambah pada aktivitas-

aktivitas sosial semisal pembinaan olahraga, pementasan-pementasan kebudayaan,

yang seringkali melibatkan publik secara luas. Bahkan partisipasi masyarakat

disinyalir lebih banyak ditumpahkan pada aktivitas-aktivitas Ikhwan al-Muslimun

ketimbang terhadap partai-partai politik yang ada, terhadap partai Al-Wafd yang

masa itu kerap memenangkan pemilu misalnya. Popularitas Ikhwan al-Muslimun

dapat digambarkan dari terdapatnya cabang-cabang Ikhwan al-Muslimun yang

tersebar hampir di pelosok desa-desa di Mesir. Dan bagi Abu Zayd,

ketertarikannya terhadap Ikhwan al-Muslimun bukan hanya karena popularitas

organisasi ini saja, tetapi lebih karena sosok Sayyid Qutb yang mampu

memesonanya lewat buku Al-Islam wa Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (Islam dan

keadilan sosial), yang banyak mengupas tentang keadilan manusiawi dalam nilai-

nilai Islam. Dekade 1940-an merupakan dekade yang boleh dibilang cukup kelam

dalam perjalanan sejarah dunia, pada ada dekade inilah pecah PD II. Sebagaimana

negara-negara dunia ketiga lainnya, Mesir tak luput dari pergolakan kebangkitan

nasionalisme sebagai akibat dari imprealisme dan kolonialisme. Di Mesir sendiri

angin perubahan terjadi pasca PD II usai. Pada tahun 1952, Mesir mengalami

krisis kepemimpinan. Konsep negara kebangsaan Mesir saat itu sama seperti

bangsa-bangsa Arab lain di kawasan Timur-Tengah, yang berbentuk monarki.

3
Nasionalisme yang makin subur dan kondisi dalam negeri yang tidak cepat

berubah disebabkan lemahnya bentuk pemerintahan sistem ini melahirkan apa

yang dikenal dengan “Revolusi Juli” yang terjadi pada 26 Juli 1952. akhirnya,

bentuk kerajaan diganti menjadi bentuk republik. Peralihan kekuasaan

berlangsung dari tangan raja Faruq terguling kepada Jamal ‘Abd Nashr, tokoh

penuh kharismatik. Yang terkemudian melahirkan demam naserrisme di Mesir.

Beberapa rangkaian peristiwa sejarah ini, selain lingkungan keluarga, banyak

mempengaruhi kepribadian Abu Zayd yang kemudian tumbuh menjadi sosok

yang kritis, berani, penuh tantangan dan bertanggung jawab.

A.2. Pendidikan dan Aktivitas Mengajar

Pada tahun 1957, menginjak usia empat belas tahun, Abu Zayd kehilangan

ayahanda tercintanya yang berpulang keharibaan-Nya. Beberapa bulan

sebelumnya ia telah menyelesaikan sekolah di Madrasah Ibtida’iyah Negeri yang

ditempuhnya di Tanta. Sesuai keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia

disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan teknik, agar mudah mendapatkan

pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana untuk menempuh

sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk perguruan

tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bias ia abaikan, apalagi

sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun

berselang, gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah

dapat bekerja sebagai teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional

Dinas Perhubungan di Kairo. Dalam kesibukannya bekerja, Abu Zayd masih saja

menyempatkan diri untuk menulis sealur dengan minatnya terhadap kritik sastra.

4
Dalam publikasi awalnya di jurnal Al-Adab, jurnal yang dipimpin oleh Amin Al-

Khuli, Abu Zayd banyak mengapresiasi hal-hal yang berkenaan dengan dunia

sastra, lahirlah dua artikelnya di jurnal ini yang dipublikasikan pada sekitar tahun

1964. Artikel pertama berjudul Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin, mengenai

sastra buruh dan petani, dan yang kedua berjudul Azmah Al-Aghniyyah Al-

Mishriyyah, yang mengelaborasi seputar persoalan krisis lagu Mesir. Kegiatannya

ini, sesungguhnya merefleksikan batinnya yang memang masih memendam

impian untuk dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sehingga ia

memutuskan untuk mengikuti ujian persamaan sekolah menegah umum, akhirnya

ia berhasil dan lulus.

Pada tahun 1968, sambil bekerja sebagai teknisi, Abu Zayd melanjutkan

kuliah mengambil jurusan Bahasa Arab pada Fakultas Adab di Universitas Kairo.

Karena ia bekerja di siang hari, tidak ada pilihan lain baginya untuk kuliah di

malam hari. Genap empat tahun studi berhasil diselesaikannya dengan meraih

predikat cumlaude, sehingga ia langsung diangkat sebagai dosen tidak tetap di

almamaternya ini. Pada tahun 1972 itu juga, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai

teknisi di Dinas Perhubungan. Bak ikan kembali ke airnya, ia mengakui daya

analisis dan kritisnya makin tumbuh subur, hal ini sudah bermula sejak ia studi

pertama kali di perguruan tinggi. Berangsur-angsur wataknya sebagai seorang

teknisi bermetamorfosis menjadi seorang akademisi tulen. Kendati lepas sekolah

Ibtida’iyah dahulu Abu Zayd langsung menempuh kejuruan dan selanjutnya

bekerja (tidak langsung menempuh sekolah menengah umum dan kuliah), ia

mengakui justru dari dua pengalamannya itulah ia banyak kesempatan

5
berpetualang, sehingga ketika di bangku kuliah cukup banyak membantunya dan

menurutnya cukup berperan dalam masa-masa dikemudian hari.

Sebagai asisten dosen, Abu Zayd tak luput dari kebijakan baru yang

ditetapkan pimpinan jurusan di fakultasnya. Yaitu ketentuan untuk mengambil

studi Islam bagi mereka yang akan menempuh studi Master maupun Doktor. Ia

pun banting setir, dari mengambil studi linguistik dan kritik sastra murni menjadi

studi Islam, dan pilihannya jatuh pada konsentrasi studi al-Qur’an. Sebelumnya, ia

sempat ragu apakah tetap mengambil kajian ini atau tidak. Kekhwatirannya amat

berasalasan dengan melihat latar belakangnya dalam mengambil studi ini. Minat

besarnya terhadap kritik sastra dan linguistik tidak dapat dilepaskannya begitu

saja. Masa remajanya memang banyak diisi untuk membaca karya-karya sastra,

khususnya karya sastra Perancis yang banyak ia jumpai dari hasil terjemahan

Mustafa Luthfi Al-Manfaluti, dan penulis lainnya yang semuanya merupakan

penggiat kajian-kajian sastra. Menurutnya dengan sastra manusia dapat membuka

pikiran hingga tercerahkan, hal mana terjadi pada dirinya sejak ia bersentuhan

dengan karya-karya sastra sejak usia remaja. Sebab itu, dalam mengambil studi

Islam ia menghendaki untuk mendekatinya lewat kajian sastra maupun linguistik

yang berangkat dari analisis wacana. Namun pengalaman Muhammad Ahmad

Khalafallah yang juga menggunakan pendekatan kritik sastra (literer) atas narasi

al-Qur’an untuk keperluan disertasinya, yang akhirnya mengalami problem serius,

kerap menghantuinya. Pengalaman seperti Muhammad Ahmad Khalafallah tentu

saja tidak ia kehendaki, tetapi minatnya yang begitu besar juga tak kuasa untuk ia

tepis. Akhirnya ia memasang diri untuk terus maju melakukan studi al-Qur’an

6
dengan mengkhususkan pada problem interpretasi dan hermeneutika.

Sebelumnya, ia mempertimbangkan resiko apapun yang akan diterimanya

dikemudian hari.

Dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation, Abu Zayd menempuh

studi di American University dari 1975-1977. Selang dua tahun gelar MA berhasil

diraihnya dengan predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul Al-Ittijah

Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘inda Al-

Mu’tazilah berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd

mengungkap paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran

Mu’tazilah. Dalam kerangka berpikir Mu’tazilah, hal ini dilakukan untuk

mengatasi problem metodologis dalam memahami al-Qur’an. Sulit untuk

mengatakan bahwa ada sebagian ayat al-Qur’an yang dapat dimengerti manusia

(muhkam) sedang yang lainnya tidak (mutasyabih). Menarik garis dikotomis

sedemikian akan memunculkan asumsi bahwa ada sebagian al-Qur’an yang tidak

dapat memberi petunjuk bagi manusia, padahal tema besar yang diusung sebuah

kitab suci adalah sebagai sebuah kitab petunjuk (hidayah). Untuk itu, menurut

Abu Zayd, Mu’tazilah hendak mengatasi problem metodologis ini dengan

mengatakan bahwa dalam memahami al-Qur’an rasionalitas harus menjadi acuan.

Hal ini berimplikasi pada sebuah postulat yang menyatakan bahwa tidak ada yang

tidak bisa dimengerti dari al-Qur’an. Untuk menjembatani antara al-Qur’an dan

penalaran rasional, diperlukan sebuah konsepsi yang menjadi perangkat secara

paradigmatik untuk mencapai apa yang dinamakan “kesaling-pengertian” antara

manusia dan Khaliq-nya. Menurut Abu Zayd, beberapa perangkat sumbangsih

7
Mu’tazilah dalam masalah ini ialah diperkenalkannya beberapa konsepsi seperti

tasybih (penyerupaan), tamtsil (perumpamaan), majaz (metafora), juga ta’wil

(eksplanasi), yang dapat menjadi mediasi untuk memahami pesan-pesan Tuhan.

Bahkan Abu Zaid menilai, apa yang dilakukan Mu’tazilah sudah merupakan

modus hermeneutik. Masih dalam buku ini, Abu Zayd juga secara piawai

memotret Mu’tazilah secara sedikit berbeda dengan opini publik mayoritas

Muslim yang cenderung melihatnya sebagai momok yang menakutkan dengan

predikat stigmatisasi amat suprarasional. Padahal bagi Abu Zayd, Mu’tazilah

sama halnya dengan mazhab teologi dan pemikiran lainnya, dimana penggunaan

rasio misalnya tidak melepaskan sepenuhnya dari sosio-kultural-politis dimana

mereka meruang dan mewaktu, sehingga memunculkan pembacaan berbeda

terhadap teks. Corak rasionalitas yang dikedepankan Mu’tazilah misalnya bukan

hanya sebuah pemikiran keagamaan yang dibangun berdasarkan pertimbangan

teoritis-epistemologis belaka, namun sangat mempertimbangkan kepentingan

praksis-pragmatis kebijakan-kebijakan politik kekuasaan yang melindunginya saat

itu.

Kegiatan Abu Zayd tidak hanya terbatas pada mengajar dan kuliah. Ia juga

aktif memberikan kursus bahasa Arab untuk para ekspatriat yang ada di Centre for

Diplomats, juga di Kementerian Pendidikan. Ini berlangsung dari 1976 sampai

1978. Pada 1978 pula, minat besarnya terhadap kajian sastra dan lingustik juga

pergulatannya dengan dunia bahasa makin ekstensif dilakukannya setelah dirinya

berhasil mendapatkan beasiswa dari Centre for Middle East Studies di Universitas

Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Dalam kesempatan ini, ia tidak

8
menyia-nyiakan waktu untuk lebih banyak lagi bersentuhan dengan kajian-kajian

sosial dan humanitas, terlebih lagi metodologi ilmiah, yang dalam tradisi

akademis universitas-universitas Barat memang sudah cukup mapan. Ia juga

banyak menggali teori-teori yang berkenaan dengan cerita rakyat (folklore),

sehingga ia makin mengakrabi disiplin hermenutika Barat beserta tokoh-

tokohnya. Dalam publikasi awalnya mengenai hermenutika, ia menulis al-

Hirminiyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir Al-Nash (Hermeneutika dan Problematika

Penafsiran), yang untuk kali pertama ditulisnya dengan berbahasa Arab.

Pergulatan Abu Zayd dengan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial maupun

hermeneutika boleh jadi merupakan pencerahan kedua yang dialaminya sebagai

seorang scholar, yang kali pertama ia alami ketika mulai memasuki bangku kuliah

di Universitas Kairo. Saat itu, ketika masa-masa awal kuliah, ia amat

menggandrungi ide-ide mengenai sosialisme Islam. Agaknya, latar belakangnya

sebagai aktivitas Ikhwan al-Muslimun turut andil didalamnya, selain tentu saja

figur Sayyid Qutb sebagai lokomotif sosialisme Islam di Mesir ketika itu,

meskipun ia sendiri sudah meninggalkan Ikhwan al-Muslimun pada 1964. Bukan

merupakan rahasia lagi kalau sosialisme pada dekade ini tumbuh subur di banyak

negara-negara dunia ketiga, termasuk Mesir.

Untuk melengkapi karir akademiknya, Abu Zayd menempuh program

doktoral. Tahun 1981, ia berhasil menggamit gelar PhD dengan predikat

cumlaude, dalam disiplin studi Islam dan bahasa Arab. Ia mengetengahkan

disertasi dengan konsern pada hermeneutika, yang masih seturut dengan karir

akademik sebelumnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat

9
tingkat Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran

terhadap pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri

kepadanya.

Setelah menggamit gelar Doktor, Abu Zayd dipromosikan sebagai asisten

professor satu tahun kemudian. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan

‘Abd Al-‘Aziz Al-Ahwani Prize for Humanities’ karena konsernya selama ini

dalam bidang humanitas dan budaya Arab. Pada tahun-tahun berikutnya, antara

1985-1989, Abu Zayd menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign

Studies Jepang. Selama di Jepang, ia banyak menghasilkan karya tulis berupa

artikel dan sebuah buku berjudul Mafhum Al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an

(Konsep Teks: Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), yang merupakan pondasi

bangunan idenya bagi penafsiran al-Qur’an yang objektif dan ilmiah. Pada tahun

1992, Abu Zayd menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor Bahasa

Perancis dan Sastra Perbandingan Universitas Kairo. Pernikahan tersebut

diselenggarakan pada bulan April, kira-kira kurang tiga bulan sebelum genap 50

tahun usia Abu Zayd. Setelah satu bulan menikah, 9 Mei 1992, Abu Zayd

mengajukan promosi untuk mendapatkan profesor penuh di Universitas Kairo.

Untuk keperluan tersebut, ia menyerahkan bukunya Naqd Al-Khitab Al-Dini, yang

merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa tinggal di Jepang, dan buku Al-

Imam Al-Syafi’i, serta sebelas paper karya tulis lainnya kepada panitia penguji.

Namun, panitia akhirnya menolak promosi tersebut, dan berbuntut panjang

sehingga sempat memunculkan tragedi dan kasus besar yang dikenal dengan

“Kasus Abu Zayd”. Barulah pada 1995, ia meraih professor penuh setelah

10
promosinya dikabulkan oleh panitia pengukuhan yang sebenarnya panitia baru.

Antara 1995-1998, ditengah-tengah penyelesaian kasusnya, Abu Zayd menjadi

profesor tamu di Leiden University, Belanda.

B. Latar Belakang Eksternal

B.1. Kondisi Sosial dan Budaya

Sosialisme memang tidak sendirian, di sisi lain masih terdapat kapitalisme

yang coba juga ditularkan ke negara-negara dunia ketiga. Adalah Amerika dan

Uni Soviet, dua negara adikuasa pada dekade ini, yang menciptakan era 1960-an

menjadi era yang paling beku sekaligus juga mencekam di paruh kedua abad 20.

Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutu tampil sebagai pemenang

perang. Eropa ketika itu masih hancur lebur, kecuali Uni Soviet yang menjelma

sebagai raksasa beruang merah di bagian timur Eropa. Namun dua negara ini

mempunyai ideologi yang bertolak belakang 180 derajat, Amerika Serikat

mengusung kapitalisme dan sistem negara demokrasi sedang Uni Soviet

mengkampanyekan sosialisme dan sistem negara totaliter dengan komunisme

sebagai ideologi gerakannya. Keduanya, sama-sama mencari pengaruh, patron,

simpatisan, dan representasi di banyak negara-negara dunia ketiga. Dunia pun

terbelah dua, kedalam blok Barat—yang dipimpin Amerika Serikat, dan Timur—

oleh Uni Soviet. Belakangan, kontestasi dan kompetisi kedua blok ini nyaris

mencapai titik kulminasinya dengan ditandai begitu pesatnya produktivitas akan

persenjataan pemusnah massal. Konon, cadangan persenjataan nuklir yang

dipunyai Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu sudah dapat menghancurkan

apapun yang bernyawa di muka bumi sebanyak enam kali lipat. Dunia pun makin

11
mencekam. Bergemalah suara lain, suara-suara dunia ketiga, dari Konferensi

Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Lewat konferensi ini, disepakati sebuah

aliansi negara-negara yang tidak memihak salah satu blok, tekad untuk

mendayung diantara dua karang. Laiknya kapal Titanic, Gerakan Non-Blok

(GNB) ibarat sampan yang belum mampu untuk berlayar jauh-jauh tapi

dinakhodai kelewat yakin, hingga kurang memperhitungkan bahwa di samudera

luas ada dua karang raksasa yang teramat besar dan kokoh. Perahu pun oleng

belum lagi setengah perjalanan. Negara-negara dunia ketiga, termasuk negara-

negara Arab, ternyata memang sulit untuk melepaskan diri dari keduanya. Secara

umum pendulum keberpihakan lebih sering kepada kapitalisme, sedang sosialisme

kadang-kadang menyalip sewaktu-waktu. Ide sosialisme yang pernah booming

pada era 1960-an di negara dunia ketiga, khususnya banyak negara-negara

berpenduduk Muslim, nampaknya lebih disebabkan oleh adanya beberapa elemen

sosialisme yang memiliki pararelitas dengan beberapa doktrin agama Islam itu

sendiri. Aspek lain tentunya sosialisme itu sendiri yang nampak memberi impian

indah, terutama bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Namun, secara makro ekonomi tidak dapat dipungkiri kenyataan dimana

dunia ketiga memang amat tergantung kepada negara-negara kapitalis seperti

Amerika Serikat. Ketergantungan itu misalkan saja pada sektor investasi hatta

konsultasi asing. Hal ini diperparah dengan neraca perdagangan yang tidak

seimbang. Negara-negara Arab hanya bisa mengekspor bahan mentah atau

beberapa bahan pertanian, sedangkan import dari negara-negara Barat melimpah

ruah berupa barang-barang manufaktur dimana barang konsumsi sebagian

12
terbesarnya. Sehingga realitas politik pun seturut dengan si empunya kekuatan

yang lebih besar. Meskipun beberapa negara Arab masih tetap konsisten dengan

hasil deklarasi Bandung, sayangnya resonansinya kurang bergema dan

berpengaruh sangat kecil. Semangat Bandung pun lama-kelamaan luntur. Kaum

intelektual Arab sendiri juga mengkhawatirkan keadaan ini, sehingga bereaksi

sebagaimana seharusnya. Kekhawatiran ini berkisar pada makin memudarnya

identitas ke-Arab-an itu sendiri yang menikam benteng pertahanan terakhir

kebudayaan Arab itu sendiri. Tikaman terparah bagi dunia Arab modern ialah

kekalahan mereka atas Israel dalam perang Arab-Israel yang berlangsung selama

enam hari pada 1967. Maka, sebuah upaya rekonstruksi ke-Islam Arab-an pun

makin penting dan mendesak untuk digulirkan. Dan bagi Abu Zayd sendiri, fase-

fase ini merupakan fase yang membuatnya amat bergairah tapi juga tantangan

untuk berpikir keras. Sosialisme memang tengah digandrunginya, tapi sepertinya

itu hanya sebuah puzzle yang belum lengkap dalam hidupnya sebagai calon

pemikir yang bebas dan independen.

C. Lingkup dan Distorisitas Pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd

Berbagai ideologi yang berseliweran di depan mata Abu Zayd, kepentingan

politik, kondisi sosio-kultural, kerap kali representasinya muncul lewat bahasa-

bahasa agama bahkan klaim justifikasi keagamaan. Agama ditundukkan untuk

melayani ideologi-ideologi hegemonik, sehingga representasinya tentu saja sering

berubah. Suatu kali Islam ditampilkan sebagai agama yang memuat nilai-nilai

sosialisme atau nasionalisme, pada kali lain Islam ditempilkan sebagai agama

perdamaian maupun pembangunan, tergantung ideologi mana yang sedang

13
dominan saat itu. Asumsi dasar yang diyakininya ini ia jejakkan pada konteks

khazanah klasik Islam, dalam hal ini Mu’tazilah dan wacana sufi Ibn ‘Arabi.

Menurutnya, penundukkan agama maupun teks-teks keagamaan atas nama

kepentingan tertentu sudah berlangsung sejak dahulu, pada teologi rasionalis

Mu’tazilah misalnya. Begitupun yang demikian, terjadi pula terhadap

kecenderungan penafsiran Ibn ‘Arabi yang lebih bernada pluralistik, inklusif,

kosmopolit, dan sufistik. Kecenderungan demikian dipengaruhi dunia sekeliling

Ibn ‘Arabi yang hidup di Andalusia, dimana masyarakatnya begitu plural dan juga

sudah cukup maju. Sehingga wacana sufi yang muncul kepermukaan ialah wacana

yang merepresentasikan Islam yang oleh Ibn ‘Arabi ditampilkan sebagai agama

yang penuh cinta lagi sempurna, sebuah agama yang mencakup lintas iman

(Kristianitas, judaisme—misalnya). Visi religis-politis Ibn ‘Arabi yang ingin

menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik,

bahasa, dan budaya (pluralistik) kedalam satu payung masyarakat beradab

agaknya menjadi horizon yang disadari atau tidak mempengaruhi penafsiran-

penafsiran yang dilakukannya. Cakrawala dalam kacamata Ibn ‘Arabi turut

mempenetrasi penafsiran terhadap al-Qur’an. Namun, apa yang terjadi

sesungguhnya ialah adanya interpenetrasi antara al-Qur’an, realitas dan Ibn ‘Arabi

sendiri.

Abu Zayd sesungguhnya juga mempunyai kekhawatiran serius bila tafsir

secara bebas diberikan kepada khalayak umum. Meskipun otoritas pemaknaan

tertentu sudah diidentifikasi tidak terlepas dari ideologi yang mengikutinya, tidak

lantas Abu Zayd gegabah untuk mengatakan bahwa tafsir secara merdeka

14
diberikan pada setiap orang. Hal demikian akan membuahkan solipsisme tafsir

dan cenderung serampangan. Karena itu diperlukan sebuah perangkat metodologis

yang dapat mengatasi intensi semua orang dalam proyeksi penafsiran setiap kali

mereka menafsir. Oleh karenanya, pada tahap selanjutnya Abu Zayd berusaha

untuk merekonstruksi apa hakikatnya makna teks itu sesungguhnya. Ikhtiarnya itu

membuahkan buku Mafhum Al-Nash: Dirasah fi 'Ulum Al-Qur'an (1990).

Bukunya ini merupakan tanggapan intelektual terhadap penafsiran pragmatis dan

ideologis, yang masih banyak juga terdapat dalam masa kontekstual Mesir

kontemporer. Dalam buku ini Abu Zayd mencoba menempatkan al-Qur’an

laiknya teks-teks lain, sehingga ia mendapati alasan bagaimana teks mula-mula

terbentuk, mekanisme apa yang berlaku dalam teks tersebut, dan seterusnya

bagaimanakah teks tersebut memfungsikan dirinya ditengah-tengah pembacanya

(ummah). Sebagaimana teks lainnya, ternyata al-Qur’an sekalipun menurut Abu

Zayd tidak terlepas dari world view yang melingkupinya, hingga ia berani

mengatakan bahwa al-Qur’an sesungguhnya merupakan produk budaya pula.

Tetapi tesis ini tidak lantas menggugurkan keyakinan Abu Zayd akan keilahian al-

Qur’an, atau menyimpulkan bahwa al-Qur’an bukanlah wahyu Tuhan. Bidikan

utama Abu Zayd makin kelihatan, sebagaimana termuat dalam bukunya Naqd al-

Khitab Al-Diny (1994), yang merupakan kumpulan artikel yang ia tulis semasa

tinggal di Jepang. Di buku ini Abu Zayd mengkritik kalangan ulama yang

menurutnya tidak bisa melepaskan ideologi yang dianutnya ketika menafsirkan al-

Qur’an. Di buku ini Abu Zayd melakukan semacam kritik ideologi sehingga

mampu mengungkap bagaimana proses kemunculan sebuah teks.

15
Dalam kajian al-Qur’an, lebih jauh Abu Zayd mengkritik akan

kecenderungan kalangan ulama yang tidak memperhitungkan metode ilmiah

dalam mewacanakan diskursus keagamaan, terutama dalam disiplin ilmu yang

berkaitan langsung dengan al-Qur’an seperti ‘ulum al-tafsir. Disiplin ‘ulum al-

tafsir menurutnya tidak berkembang, yang salah satunya diakibatkan penyakit

akut yang masih mengungkung kalangan ulama kita. Disiplin ‘ulum al-tafsir yang

dianut selama ini secara metodologis dinilainya menganut “dialektika menurun”.

Sehingga segala sesuatunya diturunkan secara deduktif dari al-Qur’an. Padahal

dengan cara demikian, sama saja dengan membebani al-Qur’an dengan apa yang

tidak mungkin dijamahnya, merespon perubahan yang senantiasa terjadi misalnya.

Al-Qur’an, sebagaimana dikatakan Abu Zayd, merupakan sebuah teks yang

disebutnya sebagai “textus receptus”, yaitu sebuah teks yang secara objektif hadir

ditengah-tengah manusia (kita). Ia hendak mengatakan bahwa apapun yang

namanya teks termasuk al-Qur’an sekalipun merupakan produk kultural. Kalau

tidak, bagaimana mungkin al-Qur’an menggunakan bahasa Arab sebagai medium

komunikatifnya? Oleh sebab itu mengkaji al-Qur’an dengan cara mengintrodusir

kembali perdebatan lama yang berputar pada pertanyaan seperti, apakah al-Qur’an

itu makhluk atau bukan, mesti disudahi—dengan tidak mau mengatakan harus

dibuang jauh-jauh. Diskusi model ini terbukti tidak menghasilkan hal yang bisa

dikatakan mampu memberdayakan ummah. Biasanya diskusi macam ini,

sebagaimana pernah dimasifkan oleh teologi Asy’ariyah akan menggiring

perdebatan ke arah yang berbau mitologis, tidak ilmiah. Apalagi diskusi seperti ini

memang cenderung elitis, biasanya hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang

16
memang dianggap mempunyai otoritas untuk itu. Meskipun sebenarnya tidak jelas

juga otoritas yang berdasarkan ukuran siapa, ummah kah? Tuhan kah? atau siapa?

Kenyataan bahwa tidak jarang diskusi semacam ini akan membawa kepada

sebuah “kejahatan”, juga mesti menjadi bahan perhatian lainnya. Apa yang terjadi

pada diri Imam Ahmad bin Hanbal—yang dipenjara dan didera karena

mempertahankan akan ketak-tercipta-an al-Qur’an di hadapan penguasa al-

Ma’mun—bisa dimasukan dalam terminologi ini.

Untuk itu, Abu Zayd mewanti-wanti perlunya pengkajian secara ilmiah

terhadap wacana keagamaan. Mengenai kajian terhadap al-Qur’an, ia menawarkan

metode yang bertolak belakang dengan metodologi konvensional yang selama ini

menjadi pakem dalam tradisi, yaitu mengkaji al-Qur’an dengan cara sebaliknya,

menerapkan “dialektika menaik”. Dalam hal ini pembacaan terhadap al-Qur’an

tidak lagi sedari awal deduktif, tetapi mencermati realitas terlebih dahulu dalam

kapasitas empirisnya, barulah ditempatkan pada tahap yang lebih tinggi dengan

mencoba mencari pokok utama atau maksud syari’ah (maqashid al-syari’at)

sebuah ayat. Pada tahap ini, bukan realitas yang meminta konfirmasi al-Qur’an

mengenai justifikasinya, tetapi sebaliknya.

Pendekatan yang digunakan Abu Zayd sesungguhnya bukanlah pendekatan

yang benar-benar baru. Pendekatan yang lebih akrab dikenal dengan pendekatan

sastra ini cukup mengakar dalam tradisi modern kajian al-Qur’an di Mesir, Tanah

Air Abu Zayd sendiri. Setidaknya di Mesir, semuanya berawal sejak Amin al-

Khulli dan beberapa nama yang mengekor dibelakangnya, seperti Khalafallah,

17
Syukri Ayyad, dan Bint Syathi, yang mencoba menerapkan metode sastra dalam

mengkaji al-Qur’an. Bukan hanya itu, Abu Zayd juga mewarisi tradisi yang lebih

kaya. Selain mewarisi tradisi sastra dalam kajian al-Qur’an, ia juga mewarisi

tradisi hermeneutika modern yang berkembang lebih dahulu di Barat. Hanya saja

disiplin hermeneutika ini agak gegabah kalau disepadankan dengan kajian tafsir

al-Qur’an yang kita kenal dalam tradisi Islam. Hermeneutika yang dikenalkan

oleh Barat agaknya lebih mirip dengan kajian ‘ulum al-tafsir. Sedangkan

kesamaan lain barangkali karena pada awalnya keduanya sama-sama

dimaksudkan untuk mengkaji orisinalitas dan otentisitas kitab suci, dalam hal ini

al-Qur’an di Islam dan Bibel di Kristen.

Akan tetapi perlu ditegaskan disini. Meskipun Abu Zayd mengadopsi

kerangka berpikir ilmiah yang diwarisinya dari disiplin keilmuan di Barat, tidak

semua yang terdapat di Barat ia telan bulat-bulat. Ia tahu betul antara Islam dan

Barat membentang diferensiasi yang cukuip serius, sehingga sekalipun tetap

mengadopsi disiplin Barat bukan berarti tanpa proses penyeleksian, pun jika hal

tersebut sangat bagus. Jalan ini pada dasarnya absah saja, selama tidak terjadi

pada tahap justifikasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukannya jelas benar

bahwa Abu Zayd memang seorang rasionalis sejati. Yang oleh sebab itu nalar lah,

dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang selalu dikedepankannya. Lazimnya

pemikir, Abu Zayd sebenarnya merupakan seorang anak jamannya, dalam hal ini

modernitas.

18
D. Karya-karya dan Terjemahan

Nashr Hamid Abu Zayd tergolong seorang ilmuwan yang sangat produktif.

Ia telah menulis banyak buku penting. Telah banyak buku dan karya-karyanya

yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik oleh dunia Barat maupun

dalam bahasa Indonesia.

Dalam dua studi awal Abu Zayd, dalam buku Al-Ittijah Al-'Aqli fi Al-Tafsir:

Dirasah fi Qadiyyat Al-magaz fi Al-Qur'an 'inda Mu'tazilah (1982) dan Falsafat

Al-Ta'wil: Dirasa fi Ta'wil Al-Qur'an ‘inda Muhiyi Al-Din Ibn 'Arabi (1983),

sebagaimana disinggung di atas, terdapat sebuah kesimpulan akhir yang

mempostulatkan bahwa pemaknaan terhadap al-Qur’an dan sumber-sumber Islam

lainnya tidak dapat dilepaskan dari horizon sosio-politik masyarakat dimana

sebuah pemikiran keagamaan tumbuh. Tesisnya yang berjudul Al-Ittijah Al-‘Aqli

fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazilah

berhasil dipertahankannya. Dalam bukunya ini, Abu Zayd mengungkap

paradigma metafor (majaz) yang menjadi landasan penafsiran Mu’tazilah.

Disertasinya berjudul Falsafat Al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil Al-Qur’an ‘inda

Muhyi Al-Din ibnu ‘Arabi (Filsafat Takwil: Studi Tentang Hermeneutika Al-

Qur’an Menurut Muhyi Al-Din ibn ‘Arabi), yang kemudian diterbitkan pada dua

tahun berikutnya. Karyanya ini dan juga karya tulisnya untuk prasyarat tingkat

Master sebelumnya, boleh dikatakan merupakan abstraksi pemikiran terhadap

pengalamannya sendiri, ketika realitas tersibak dan membuka diri kepadanya.

Penjabaran dari karya-karya Beliau adalah sebagai berikut :

19
A.1. Buku

a.) Al-Ittijah al-‘Aqli Fi Tafsir:

Dirasah Fi Qad}iyyah al-Majaz Fi al-Qur’an ‘Inda al-

Mu’tazilah. Beirut: Dar al-Tanwir li al-Taba’ah wa al-

Nasyr, 1983 (edisi ke-2).

b.) Falsafat al-Ta’wil: Dirasah Fi

Ta’wil al-Qur’an ‘Inda Muhy al-Din Ibn ‘Arabi. Beirut: al-

Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1998 (edisi ke-4).

c.) Mafhum al-Nash: Dirasah Fi

‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Al-Hay’ah al-Mishriyyah

al-‘Ammah li al-Kitab, 1993.

d.) Isykaliyyat al-Qira’ah wa

Aliyyat al-Ta’wil. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi.

1994 (edisi ke-3).

e.) Al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis

al-Idiyulujiya al-Wasatiyah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992.

f.) Naqd al-Khitab al-Dini. Kairo:

Sina li al-Nasyr, 1994 (edisi ke-2), diterjemahkan dalam

bahasa Jerman oleh Cherifa Magdi, Islam and Politik:

Kritik des Religiosen Diskursus. Frankfurt: Dipa, 1996.

g.) Al-Mar’ah Fi al-Khitab al-

Azmah. Kairo: Dar Nusus li al-Nasyr, 1995.

20
h.) Al-Takfir Fi Zaman al-Takfir.

Kairo: Maktabah Madbuli. 1995.

i.) Al-Nass, al-Sultah, al-

Haqiqah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi, 1995.

j.) Al-Qawl al-Mufid Fi Qissat

Abu Zayd. Kairo: Maktabah Madbuli, 1995.

k.) Al-Khilafah wa Sultah al-

Ummah. Kairo: 1995 (Sebagai editor).

l.) Vernieuwing in het

Islamitisch Denken. Diedit dan diterjemahkan oleh Fred

Leemhuis. Amsterdam: BULAAQ, 996.

m.) Dawa’ir al-Khawf: Qira’ah fi

Khitab al-Mar’ah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafial-‘Arabi.

1999.

A.2. Artikel

a.) “Azmat al-Agniyyah al-Misriyyah”. Majallat al-Adab. No.

7, th. 9 Desember 1996, hlm. 406-408.

b.) “The Case of Abu Zayd”. Index on Censorship 4 (1996).

c.) “Al-Ghazalis Theory of Interpretation”, Journal of Osaka

University of Foreign Studies, no. 72 (1986).

d.) “Hawla Adab al-‘Ummal wa al-Fallahin”, Majallat al-

Adab, no. 5, th. 9 Oktober 1964. Hlm. 310-11.

21
e.) “Isykaliyyah Ta’wil al-Qur’an Qadiman wa Hadisan”,

Journal of Islamic Research 9, no. 1-2-3-4, 1996, hlm. 1-

23.

f.) “Islamic Cosmology and Qur’anic Exegesis”, dalam

Dieter Zeller (ed). Religion im Wanted der Kosmologien.

Frankfurt (etc): Peter Lang, 1999. Hlm 217-30.

g.) “Maqasid al-Kulliyah li al-Syari’ah: Qira’ah Jadidah”,

Al-‘Arabi 426 (Mei 1994), hlm. 112-116.

h.) “The Modernization of Islam or the Islamization of

Modernity”, dalam Roel Meijen (ed) Cosmopolitanism,

Identity and Authenticity in the Middle East.

Richmond.Curzon, 1999, hlm 71-86.

i.) “The Perfect Man: a Textual Analysis”, Journal of Osaka

University of Foreign Stidies, no. 77 (1998), hlm. 111-33.

j.) “Qur’anic Studies on the Eve of the 21 st Century”, ISIM

Newsletter, 1, 1998, hlm. 46.

k.) “Al-Ta’wil Fi Kitab Sibawayh”, Alif, Journal of

Comparative Poetics. No. 8 (1988).

l.) “The Textuality of the Koran”, dalam Islam and Europe

in Past and Present, leiden: NIAS, 1997, hlm. 43-52.

m.)Al-Turas bayna al-Ta’wil wa al-Talwin: Qira’ah fi Masyru’

al-Yasar al-Islam”, Alif, Journal of Comparative Poetics,

22
no. 10 (1990) dipublikasikan kembali dalam Naqd al-

Khitab al-Din, hlm. 107-182.

n.) “Urtsuduksiyya al-Mu’ammamah”, Al-Naqid. No. 74

(Agustus 1994), hlm. 26-32.

o.) “Verlichting in het Islamitisch denken”, diterjemahkan dari bahasa

Inggris oleh Yolande Jansen dan Frank Rebel, Krisis: Tijdschrift voor

filosofis, 74 (Spring 1999), hlm. 25-35.

23

Anda mungkin juga menyukai