Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LATAR BELAKANG

Laporan Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Global


UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di
seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak
berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang
lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Progres HIV-AIDS
WHO Regional SEARO (2011) yang terkena sekitar 1,3 juta orang (37%)
adalah perempuan1.

Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama


kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat
mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya.
Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan
dari ibu ke anak atau mother-to child HIV transmission (MTCT). Virus HIV
dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama
kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Data estimasi UNAIDS/WHO
(2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV
dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua1.

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan


utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu
dan anak. HIV telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun
1987. Sampai tahun 2012 kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497
kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di
dunia dengan estimasi peningkatan insidens rate infeksi HIV lebih dari 25%
(UNAIDS, 2012) dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV

terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih


dari 5% pada subpopulasi tertentu, dan prevalensi HIV 2,4% pada populasi
umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Kementerian
Kesehatan memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia akan mempunyai hampir
dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dewasa dan anak
(812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang), bila upaya
penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai kurun
waktu tersebut (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia,
Kemkes, 2012)2.

Data Kementerian Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu


hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV.
Hasil Pemodelan Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012
menunjukkan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi
HIV pada ibu hamil di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Jumlah kasus
HIV-AIDS diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821
(2016), dengan jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari 71.879 (2012)
menjadi 90.915 (2016). Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS pada
populasi 15-49 tahun akan meningkat hampir dua kali lipat di tahun 20163.

Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011


menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko,
diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun dengan jumlah
pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini
juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari
34% (2008) menjadi 44% (2011), selain itu juga terdapat peningkatan HIV dan
AIDS yang ditularkan dari ibu HIV positif ke bayinya. Jumlah kasus HIV pada
anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% (2010) menjadi 2,6% (2011)3.

Jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS di Sumatera Selatan(SUMSEL)


pada tahun September 2014 dilaporkan 1,652 (HIV) dan 409 (AIDS). Prevalensi
Kasus AIDS per 100.000 Penduduk di SUMSEL adalah 4.594. Menurut
Deadline Sriwijaya Post Agustus tahun 2014, Selama dalam kurun waktu dua
tahun ditemukan sedikitnya 45 kasus HIV/AIDS ditahun 2012 dan meningkat
hingga Agustus 2014 mencapai 760 orang dengan HIV dan 598 orang AIDS
bahkan dari jumlah ini juga menyerang di kota Palembang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun, bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol5.

2.2 Pengertian AIDS


AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency
berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Acquired berarti diperoleh atau
didapat, dalam hal ini diperoleh mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan
penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari
penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh
karena itu, AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat
hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan
suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya kerusakan sistem
kekebalan tubuh penderitanya. Dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV.
AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV6.

2.3. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun
1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP
Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990
peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat5.

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat


penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna
narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan
kelompok usia produktif5.

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus
AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat
sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita
adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks5.

2.4. Etiologi dan Patogenesis


Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan
masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-15,6.

Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan
untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan

pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi
pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev
dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip
virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.

Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD)


yang

kemudian

membelah

menjadi

bagian

120-kD(eksternal)

dan

41-kD

(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan


dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan
virus dangan sel target.

Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini
mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke
DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4

berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya


fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah
terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu
sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali
meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten
klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi
virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam,
dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki
waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan
reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari
genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian.

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit


klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih
tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV
yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih
virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi.

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan
daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme

dapat

menyerang

bagian-bagian

tubuh

tertentu.

Bahkan

mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan
penyakit.

2.5 Perjalanan InfeksI HIV


Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4
dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya
antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12
minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien
sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan
laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut
pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah
demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala
dan batuk5,6.

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)
untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang
tersebut dapat

menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat

mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium


antibodi HIV serum. Sesudah jangka waktu tertentu yang bervariasi dari orang ke
orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel
limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya
daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor
seperti usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor
genetik.

Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang
yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral
hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE),

Pneumocystis carinii

pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis

Cytomegalovirus (CMV), dan Mycobacterium avium (MAC)5,6.

2.6 Determinan HIV/AIDS


a. Faktor Host
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang
mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use),
kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan
banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat
menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut
dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks
dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Nara pidana dan anak-anak jalanan,
penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan
juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV.

Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan
heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 3,3%, perinatal
2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya 3,5%.10 Risiko
penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke
suaminya adalah 8%4.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV


menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia
muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih
tua.

Risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari ibu kepada bayi/janinnya


saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila seorang ibu pengidap HIV
melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular HIV. Namun demikian, jika
sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1%. Petugas kesehatan yang terluka oleh
jarum suntik atau benda tajam lainnya yang mengandung darah yang terinfeksi virus
HIV, mereka dapat menderita HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5%.

b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel
CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel
efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi
HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.

Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.

AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Proporsi kasus AIDS
yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3%.

c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian
Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota :

pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8
kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan5.

Penelitian desain Case records di Mumbai, pada 175 orang perempuan korban
perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3% diantaranya berasal dari India,
29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh dan 12% tidak diketahui
asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan seks yang positif HIV,
perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra lebih mungkin
terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds
Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan
daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks
yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah
terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar5,6.

2.7 Cara penularan HIV


HIV dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui (1) hubungan
seksual, (2) penggunaan jarum yang tidak steril, penggunaan ulang jarum tindih
telinga atau sebagainya, jarum terkontaminasi HIV, dan (3) penularan HIV dari ibu
yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya, yang dikenal sebagai Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)6,7.

1. Hubungan seksual

Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu.
Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut. ke

vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko
tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang,
seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi
mulut atau pada alat genital.

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang
terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring)
untuk

pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau

penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat
terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan
tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun).
Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ
di fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Penularan dari ibu-ke-anak


Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat
ditularkan

dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat

persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak
yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua6,7,8.

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain6,7:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien
tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan
kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai pakaian milik penderita

3. Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan


kerja penderita
HIV/AIDS
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak:


Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik 5,6,7,8.

1. Faktor Ibu

Jumlah virus (viral load)


Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan

jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIVmenjadi sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.

Jumlah sel CD4


Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke

bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.

Status gizi selama hamil


Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil

meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

Penyakit infeksi selama hamil


Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran

reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus


dan risiko penularan HIV ke bayi.

Gangguan pada payudara


Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan

luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.

2. Faktor Bayi

Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir


Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan

tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang
dengan baik.

Periode pemberian ASI


Semakin lama ibu yang terkena HIV menyusui, risiko penularan HIV ke bayi

akan semakin besar.

Adanya luka di mulut bayi


Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.

3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:

Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan

melalui bedah sesar (seksio sesaria).

Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu

ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.

Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko


penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.

Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko


penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

2.8 Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak6.

Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan
bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi
pada masa nifas dan menyusui.

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui7,8.

2.9 Gejala klinis


Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam
kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan
supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat
yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam,
napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun.

WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi


HIV/AIDS, sebagai berikut5:

Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular
eruption)

Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi


neurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi
ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

2.10 Cara menegakkan Diagnosis


Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium

meliputi uji imunologi dan uji virologi.

a). Diagnosis klinik


Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem
stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi
HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik

yang

berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi
kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.

Tabel. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV

Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5C) lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenofati meluas
Kulit

PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur - Kandidosis oral, Dermatitis seboroik,Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral - Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu dermatom, Herpes
genital (kambuhan). Moluskum kontagiosum ,Kondiloma
Gangguan
Pernafasan - Batuk lebih dari satu bulan, Sesak nafas, TB Pnemoni
kambuhan,Sinusitis kronis atau berulang
Gejala
Neurologis - Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya) Kejang demam , Menurunnya fungsi kognitif

b) Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam
dua kelompok yaitu6,7 :

1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test).Uji
Western blot atau

indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk

memperkuat hasil reaktif dari test krining.

Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah


dan persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak
digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

Deteksi antibodi HIV


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama,
dan hasilnya dikonfirmasikan dengan

Western Blot atau IFA (Indirect

Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes


konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi
HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam)
minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari
sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah
diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan

transfer maternal

imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh
karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di
konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.

Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan

(dipstik),
untuk

mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi
dengan Western blot atau IFA.

Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western
blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau
rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau
rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi
HIV-1. Hasil Western blot positif

menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada

individu dengan usia lebih dari 18 bulan.

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)


Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit
dan sedikit lebih mahal dari

uji

Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan

penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif),
yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

Penurunan sistem imun


Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagian
besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat
dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun
secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke
waktu rata-rata 100 sel/tahun.

2).

Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes

amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24).

Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas

reverse

transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus.

NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)


Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin
berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA
virus dengan

amplifikasi PCR, menggunakan

metode enzimatik untuk

mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting
dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk

memantau

efektivitas terapi antivirus.

Uji antigen p24


Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau
DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi
anti-p24.

2.11 Pengobatan
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para
penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri

dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide


reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan
inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus
tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang13,14.

Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer13,14.
2.12 Pencegahan 5,13,17
Menurut WHO(2010), untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko
upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi ABCD, yaitu HIV/AIDS
adalah A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi orang yang belum menikah, B (Be Faithful), artinya bersikap saling setia kepada
satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan), C (Condom), artinya cegah
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom, D (No
Drug), artinya dilarang menggunakan narkoba dan E(Education), mencari informasi
yang benar.

Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan
pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi
informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk
rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri.

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan
tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan
atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu
melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang
AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar
penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal17.

Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku


sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil
jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian
perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan17.

Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah
salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya
kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten.

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti


yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara
politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran
remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed
community).

Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan


remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam
lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan
dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama.

Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan


hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan
pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit
dikembangkan.
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman
yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam
vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan
seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama
dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung
berupa kondom.

Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak


seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan
lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse
termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak
vaginal, anal, atau oral.

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan


akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa
tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan
penggunaan obat tersebut.

Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai


pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung
muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan
aktivitas pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan17.

Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat

menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung
maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar
seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI
beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi17.
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil
maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak
mendapat pengobatan.

BAB III
KESIMPULAN

HIV adalah sejenis virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia
dan dapat menimbulkan AIDS. AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda
penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Acquired
berarti diperoleh atau didapat, dalam hal ini diperoleh mempunyai pengertian
bahwa AIDS bukan penyakit keturunan5.

Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS,


tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu,
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya
atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan suatu
sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya kerusakan sistem kekebalan
tubuh penderitanya.Dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV5.

Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga


cara, yaitu melalui (1) hubungan seksual, (2) penggunaan jarum yang tidak steril atau
terkontaminasi HIV, dan (3) penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin
dalam

kandungannya, yang dikenal sebagai Penularan HIV dari Ibu ke Anak

(PPIA)6,7.

Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. Faktor ibu termasuk viral load,
kadar CD4, status gizi saat hamil, masalah di payudara(jika menyusui), dan penyakit
infeksi saat hamil. Faktor bayi termasuk prematuritas dan berat bayi saat lahir, lama

menyusu, lecet di mulut(jika menyusui) dan faktor obstetrik termasuk jenis


persalinan, lama persalinan, adanya ketuban pecah dini, tindakan

epiostomi,

ekstraksi vakum dan forceps6,7,8.

Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para


penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri
dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide
reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan
inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus
tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang13,14.

Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer13,14.

Menurut WHO(2010), untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko


upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi ABCD, yaitu HIV/AIDS
adalah A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi orang yang belum menikah, B (Be Faithful), artinya bersikap saling setia kepada
satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan), C (Condom), artinya cegah
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom, D (No

Drug), artinya dilarang menggunakan narkoba dan E(Education), mencari informasi


yang benar.

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat seperti penyuluhan kesehatan


tentang pencegahan dan penularan HIV dan AIDS perlu dilakukan secara kontinyu
terutama oleh pihak atau dinas yang terkait ataupun bekerja sama dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya

karena melihat masih rendahnya

tingkat

pengetahuan ibu-ibu tentang pencegahan dan penularan HIV dan AIDS terutama
pada ibu hamil. Selain bentuk penyuluhan, perlu juga dikembangkan program HIV
dan AIDS yang melibatkan pihak sekolah, puskesmas, pemerintah kecamatan dan
KPA kabupaten17.

DAFTAR PUSTAKA
1.

UNAIDS. UNAIDS Global Report, 2012.

2. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil Pemodelan Matematika Epidemi


HIV (Draft), 2012
3. Subdirektorat AIDS dan PMS, Kementerian Kesehatan RI. Laporan Triwulan
IV 2011 Kasus HIV-AIDS Nasional, 2011.
4. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Ditjen PP & PL Kemenkes RI
September 2014
5. World Health Organization. HIV infection in adults and
adolescents: recommendations for a public health approach, 2010 revision.
6. Kementerian Kesehatan, Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi
Program Pengendalian HIV dan AIDS, 2010.
7. World Health Organization. PMTCT Strategic Vision 20102015: Preventing
motherto-child transmission of HIV to reach the UNGASS and Millennium
Development Goals, 2010.
8. Recommendation of The 8th Meeting of the Asia Pacific United Nations Task
Force for the Prevention of Parents-to-Child Transmission of HIV. Toward
the elimination of paediatric HIV and congenital syphilis in Asia Pacific,
Vientiane, Lao PDR, 23 25 November 2010.
9. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Pencegahan Penularan HIV-AIDS
dari Ibu Ke Bayi: Panduan Bagi Petugas Kesehatan, 2009.
10. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, 2006.
11. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS Tahun 2010-1014, 2010.
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa, 2011.

13. World Health Organization. Antiretroviral therapy of HIV infection in infants


and children: towards universal access: recommendations for a public health
approach, 2010 revision.
14. World Health Organization. Antiretroviral drugs for treating pregnant women
and preventing HIV infection in infants: recommendations for a public health
approach, 2010 version.
15. UNAIDS. TREATMENT 2.0, 2010.
16. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman Nasional
Terapi Anti Retroviral pada Anak, 2008.
17. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan
(PITC), Kementerian Kesehatan, 2010.

Anda mungkin juga menyukai