LATAR BELAKANG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun
1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP
Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990
peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat5.
Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus
AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat
sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita
adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks5.
Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan
untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi
pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev
dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip
virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain.
kemudian
membelah
menjadi
bagian
120-kD(eksternal)
dan
41-kD
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini
mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke
DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah
terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu
sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali
meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten
klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi
virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam,
dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi memiliki
waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan
reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari
genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan
daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme
dapat
menyerang
bagian-bagian
tubuh
tertentu.
Bahkan
mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan
penyakit.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik)
untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang
tersebut dapat
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi
HIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang
yang terinfeksi HIV, misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral
hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE),
Pneumocystis carinii
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan
heteroseksual sebesar 50,3%, IDU 40,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 3,3%, perinatal
2,6%, transfusi darah 0,1% dan tidak diketahui penularannya 3,5%.10 Risiko
penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke
suaminya adalah 8%4.
b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel
CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel
efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi
HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Proporsi kasus AIDS
yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah 19,3%.
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian
Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota :
pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8
kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan5.
Penelitian desain Case records di Mumbai, pada 175 orang perempuan korban
perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3% diantaranya berasal dari India,
29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh dan 12% tidak diketahui
asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan seks yang positif HIV,
perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra lebih mungkin
terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds
Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan
daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks
yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah
terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar5,6.
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu.
Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut. ke
vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko
tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang,
seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi
mulut atau pada alat genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang
terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring)
untuk
penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat
terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan
tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun).
Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ
di fasilitas pelayanan kesehatan.
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat
persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak
yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua6,7,8.
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain6,7:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien
tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan
kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai pakaian milik penderita
1. Faktor Ibu
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIVmenjadi sangat kecil jika
kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100.000 kopi/ml.
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.
2. Faktor Bayi
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang
dengan baik.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan
darah dan lendir ibu.
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan
dan pada saat menyusui. Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan
bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi
pada masa nifas dan menyusui.
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30%
dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki
risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang
tidak menyusui7,8.
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam,
napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun.
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular
eruption)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Pemeriksaan laboratorium
yang
berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi
kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.
Tabel. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5C) lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenofati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur - Kandidosis oral, Dermatitis seboroik,Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral - Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu dermatom, Herpes
genital (kambuhan). Moluskum kontagiosum ,Kondiloma
Gangguan
Pernafasan - Batuk lebih dari satu bulan, Sesak nafas, TB Pnemoni
kambuhan,Sinusitis kronis atau berulang
Gejala
Neurologis - Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya) Kejang demam , Menurunnya fungsi kognitif
b) Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam
dua kelompok yaitu6,7 :
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test).Uji
Western blot atau
transfer maternal
imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh
karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di
konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan
(dipstik),
untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi
dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes
sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan
antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western
blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau
rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau
rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi
HIV-1. Hasil Western blot positif
uji
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif),
yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
2).
Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse
mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting
dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk
memantau
2.11 Pengobatan
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para
penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer13,14.
2.12 Pencegahan 5,13,17
Menurut WHO(2010), untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko
upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi ABCD, yaitu HIV/AIDS
adalah A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi orang yang belum menikah, B (Be Faithful), artinya bersikap saling setia kepada
satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan), C (Condom), artinya cegah
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom, D (No
Drug), artinya dilarang menggunakan narkoba dan E(Education), mencari informasi
yang benar.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan
pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi
informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk
rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri.
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan
tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan
atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu
melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang
AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar
penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal17.
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah
salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya
kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten.
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat
menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung
maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar
seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI
beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi17.
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil
maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak
mendapat pengobatan.
BAB III
KESIMPULAN
HIV adalah sejenis virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia
dan dapat menimbulkan AIDS. AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda
penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Acquired
berarti diperoleh atau didapat, dalam hal ini diperoleh mempunyai pengertian
bahwa AIDS bukan penyakit keturunan5.
(PPIA)6,7.
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. Faktor ibu termasuk viral load,
kadar CD4, status gizi saat hamil, masalah di payudara(jika menyusui), dan penyakit
infeksi saat hamil. Faktor bayi termasuk prematuritas dan berat bayi saat lahir, lama
epiostomi,
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi
primer13,14.
tingkat
pengetahuan ibu-ibu tentang pencegahan dan penularan HIV dan AIDS terutama
pada ibu hamil. Selain bentuk penyuluhan, perlu juga dikembangkan program HIV
dan AIDS yang melibatkan pihak sekolah, puskesmas, pemerintah kecamatan dan
KPA kabupaten17.
DAFTAR PUSTAKA
1.