1. PENDAHULUAN
Perjalanan kehidupan manusia di planet bumi ini sudah cukup panjang,
dan telah begitu banyak jenis prestasi dan dinamika yang dihasilkan serta dilalui,
dan buku catatan sejarahpun sudah hampir penuh baik ia dokumentasi tentang
yang gemilang menggembirakan maupun pristiwa duka yang memilukan bahkan
aktivitas serta terobosan yang sangat memalukan.
Bayangkan saja dalam pandangan Alvin Tofler, rupanya manusia sudah
melalui tiga gelombang kehidupan (peradaban manusia) yakni; gelombang
pertama, dengan ciri ketika mana manusia masih hidup dengan sangat bersahaja,
hidup dengan menggunakan energi dan tenaga yang dapat diperbaharui, seperti
menggunakan tenaga manusia dan binatang dalam menyahuti keperluan hidup,
dan gelombang kedua, dengan ciri kehidupan bahwa manusia menggunakan
energi yang tidak dapat diperbaharui, yakni manusia sudah menggunakan energi
listrik, minyak bumi, gas dan kekuatan alam lainnya dalam merespon kebutuhan
manusia, serta gelombang ketiga, saat mana manusia telah menggunakan satelit
dalam mengatur dan menentukan proses perjalanan kehidupan.1
Dalam proses terjadinya pergeseran dari gelombang kehidupan pertama
kepada yang kedua, sungguh banyak sekali prestasi yang dilahirkan dan sangat
menakjubkan setia manusia. Dengan ditemukannya listrik dan otomotip,
peradaban manusia menjadi berubah dengan sangat derastis. Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi menjadi berkembang pesat dan menghantarkan manusia pada
sebuah era baru yakni zaman modern.
Kehidupan modern adalah sebuah babakan yang membukakan mata
setiap manusia untuk tampil hidup efesien dan efektif. Maka teknologipun
semakin dikerahkan untuk merekayasa alam dalam mewujudkan kemudahan
1
Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari karya seorang
Futurolog dunia terkemuka, sebagaimanadikutip oleh R.M.Roy Suryo Indonesia Menyongsong
Era Globalisasidalam Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992
hidup. Rekayasa adalah salah satu bagian penting. Sejalan dengan pertumbuhan
peradaban yang dilahirkan oleh modernitas itu, sekularisasipun hampir tidak
dapat dibendung, mengakibatkan pengolahan masa depan manusia sudah
bertumpu pada prinsip objektivitas-rasional dan mengenyampingkan unsur
subjektivitas, ditopang pula dari berbagai belahan dunia muncul para ahli pikir,
sehingga agama yang luhur dan bersifat subjek dan primordial-spritual mulai
tersingkirkan karena ahli zikir hampir sudah punah, apalagi kelompok Ulul
Albab, yakni ahli pikir sekaligus ahli zikir menjadi barang langka. Pada akhirnya
modernitas menghantarkan manusia pada sebuah keadaan yakni mengangkangi
nilai luhur sehingga terjebak dalam proses dehumanisasi.
Lebih tragis lagi ketika modernisasi dapat menguak misteri hidup dengan
penggunaan satelit. Maka komunikasipun sudah melalui alam maya dengan
sebuah titik kulminasi munculnya babakan baru yakni globalisasi. Yakni sebuah
planet hunian manusia yang telah menjadi perkampungan kecil, inilah ciri
manusia gelombang ketiga.
Bila dicoba bernostalgia, benar memang bahwa Pendidikan Islam pernah
mengalami kejayaan pada zamannya, akan tetapi itu tidak bertahan sampai
sekarang dan disekitar abad 13 dunia Islam mengalami masa kemunduran,
sehingga
Islam
termarginalisasi
dan
terpecah,
mengakibatkan
dunia
pendidikanpun ikut terpinggir, sebab bila pada awalnya pendidikan Islam itu
bersifat integral dalam perspektif kurikulum, tapi sayang setelah itu kajian ilmu
dalam pendidikan Islam hanya tersisa pada wilayah ilmu keislaman saja
sementara sains sepi dan sesuatu yang tidak dikaji. Tragis memang, akan tetapi
inilah kenyataan pahit yang diwarisi dari peristiwa terjadinya kemunduran Islam,
yang sampai saat ini termasuk diIndonesia dirasakan sekali.
Khusus pendidikan di Indonesia, ia tumbuh dan berkembang sejalan
dengan redupnya peradaban Islam di belahan dunia Arab. Maka dekade demi
dekade pendidikan menjadi terus terpuruk terlebih-lebih dalam pemerintahan
kolonial, sehingga secara menejerial dan profesionalitas pengelolaan sungguh
jauh dari apa yang diharapkan. Kendati dekade 2000-an pendidikan
IslamIndonesia mulai menggeliat, khusussnya setelah Indonesia mengalami era
pendidikan
Islam
dari
persaingan
sesungguhnya
dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal,
pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum
mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang
efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolahsekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional
(Diknas) yang umumnya dikelola secara modern. Kedua,faktor kompensasi
profesional guru yang masih sangat rendah. Paraguru yang merupakan unsur
terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan
materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, keterampilan
mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena
sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi
profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit
pimpinan yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan
akan dibawa dan dikembangkan. Kepala seharusnya merupakan simbol
keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam
lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan
pendidikan Islam.
Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki
kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan koleganya sendiri,
melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan
pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap Madrasah, From:
http://www. suaramerdeka. com/harian/0211/12/kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2011
3 Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta,
From:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, accses, sabtu, 16 April
2009
dan
disimpulkan
terkungkung dalam
kemunduran,
kekalahan,
Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka,
Yogyakarta. 1991, h.77
cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok ini
mendapatkan nilai terendah. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi siswa-siswi
dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba Karya Ilmiah
Remaja terkesan sangat rendah, dan belum pernah ada prestasi yang menonjol
dalam lomba yang berasal dari lembaga pendidikan Islam.5 Hal ini, merupakan
suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang begitu banyak menyebar di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di
Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan
nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang
luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan,
memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat muslim,
pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam
membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan
pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia
selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis
religious.6 Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan
pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem dan
berbagai kepincangan yang terjadi dan dialami sedemikian pelik.?
Akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini
terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa
model pendidikan yang ditawarkan. Mulai dari MIN, MTSN dan MAN Model,
munculnya UIN dan berbagai bentuk Pesantren yang menjanjikan. Tetapi
tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut adanya jihad
dan ijtihad yang inovatip dalam mendongkrak pendidikan Islam. Hal ini tentu
merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip
Arifin; memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa
ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem
dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman
5
6
Ibid
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta([Suatu Pengantar),
(Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), h. 11
dari demokrasi yang terlalu terbuka, seperti adanya pemilihan kepala daerah dan
pemilihan anggota legislatif secara langsung dan semi distrik, mengakibatkan
para kandidat secara personal harus berhadadapan langsung dengan konstuen
untuk mereka ajak, bujuk dan rayu agar memilih yang bersangkutan, justru
untuk masyarakat daerah dan miskin membuka peluang dagang suara, akibatnya
ketika sudah terpilih sebagai pengemban amanat rakyat justru yang terjadi
adalah secara terselubung berpotensi untuk pengembalian modal dari jabatan
yang dipangku itu. sistem suara terbanyak dalam pemilihan umum legislatif,
turut memicu perilaku korupsi para calon legislatif. Sistem suara terbanyak
memaksa para caleg untuk bersaing dengan optimal termasuk dengan caleg yang
berasal dari sesama partai. "Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari segi
tenaga maupun biaya. Ini turut memicu orang melakukan korupsi untuk
menutupi biaya kampanyenya. maka lain halnya dengan pemilu sekarang. Para
caleg kini dituntut untuk intensif turun ke lapangan mencari dukungan pemilih
yang artinya juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar
diperparah dengan masih adanya partai yang mempraktikkan syarat pemberian
uang untuk menduduki satu kursi caleg. "Ini belum lagi gaji mereka dipotong
untuk partai jika terpilih nanti. Semua itu memicu caleg atau anggota legislatif
melakukan korupsi."
Ketiga, pendidikan belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat,
ini cukup jelas, karena sangat dirasakan bahwa masih banyak peraktek kebijakan
yang cukup memberatkan masyarakat, baik ia dalam soal sistem dana
pendidikan, sistem evaluasi pendidikan dan sebagainya mengakibatkan bahwa
masyarakat merasa senantiasa dirampas atau ditodong. Apalagi situasi
kehidupan ekonomi masyarakat yang senantiasa semakin berat dari akibat
kepincangan dan ketidak adilan sistem perekonomian bangsa yang terus
menjurus
pada
sistem
kapitalis
dan
liberalis.
Bukankah
umpamanya
dilingkungan PTAI sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali terjadi demo
mahasiswa akibat adanya penambahan pembayaran SPP atau uang Praktikum ?,
tentu bila dicermati mereka ini demo bukan ditompangi akan tetapi murni karena
beratnya situasi ekonomi khususnya mereka berasal dari latar belakang keadaan
orang tua yang pas-pasan. Atau secara umum adanya demo penolakan tentang
pendidikan
Islam.
Seharusnya
negara
dngan
adil
betul
11
modal bagi mereka untuk lebih eksis dalam menjalankan hakekat kekhalifaan
mereka.
Maka
untuk
menyongsong
itu
dibutuhkan
sekali:
Pertama,
yaitu
membutuhkan
memandang
sesuatu
untuk
manusia
sebagai
melangsungkan,
makhluk
yang
mempertahankan
selalu
dan
ketika
UIN
mampu
merekonstruksi
wawasan
Epistemologi
12
pertama,
activition,
kedua,
verivikation-investigation
dan
masyarakat
dan
stakeholdersdalam
melakukan
identifikasi,
panjang
yang
telah
ditempuh
oleh
para founding
Pendidikan
Agama
Kemenag No.
2744
tahun
2013[4] yang
besar
masyarakat
Jepara,
lebih-lebih
oleh
tokoh karismatik, KH. MA. Sahal Mahfudh, perlu diimbangi oleh kesigapan
adaptasi internal struktural sehingga tidak terjadi, sebagaimana peribahasa
pujangga, sama naik bagai gelombang, sama turrun bakk kapencong yang
secara singkat mengandung arti dua hal atau kejadian yang sama
keadaannya. Ala kulli hal, tidak ada beda antara INISNU dengan UNISNU
selain perubahan simbolis baju luarnya.
Ada beberapa titik strategis pembenahan institusional, antara lain:
1. Manajemen Kepemimpinan
Keputusan KH. MA. Sahal Mahfudh yang tidak lagi berkenan
memegang tampuk pimpinan, memaksa INISNU kehilangan figur sentral yang
selama ini memainkan peranan penting dalam membesarkan kampus sebagai
akses intelektual, relasional, dan finansial. Namun, mengutip perkataan
Djajendra, -Sang Motivator- Cerita hebat tentang pemimpin lama sudah
tamat, dan setiap orang harus fokus untuk membangun cerita hebat tentang
pemimpin baru. Pemimpin menjadi hebat atau tidak hebat semuanya
tergantung dari totalitas dan kerja keras semua karyawan.[5]
Momentum ini membuka jalan bagi INISNU untuk keluar dari bayangbayang nama besarMbah Sahal, yang pada akhirnya melahirkan pemimpin
visioner baru dari rahim UNISNU. Pemimpin demokratis yang siap
mewujudkan generasi sarjana NU yang cendekia dan berahlak mulia.
2. Profesionalisme Kinerja Birokat Kampus
Penggodokan Statuta UNISNU sebagai pedoman profesionalisme kerja
birokrat
kampus
sudah
semestinya
mengakomodir
kepentingan
dan
karena dosen tetap harus kerja full time di tempat induknya.[6] Selain itu,
perspektif realitas, UNISNU masih menyimpan tenaga-tenaga muda reformis
yang siap mengemban amanat untuk menduduki posisi strategis birokrasi
kampus. Selama ini, dominasi rezim birokrat lama, secara sistemik membuat
mereka dalam keadaan, -yang oleh Karl Marx diistilahkan dengan- teralienasi.
3. Sistem Rekrutmen Tenaga Pendidik (Dosen) dan Karyawan
Karut-marut sistem rekrutmen dosen dan karyawan kampus yang tidak
akuntabel, kurang transparan, dan cenderung mengarah kepada praktik nepotis
dengan mendahulukan sanak kerabat, menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang
harus terselesaikan oleh para pimpinan UNISNU yang baru.
Kampus sebagai gerbong peradaban meniscayakan jasa dosen yang
berkompeten di bidangnya masing-masing. Mediasi intelektual yang terjalin
antara dosen dengan mahasiswa berlandaskan pada kajian epistemologis
mendalam sehingga tidak terjadi proses penyesatan nalar. Begitupun dengan
para karyawannya. Mereka sepantasnya melayani civitas akademika dengan
segenap panggilan hati dan jiwa.
4. Transparansi Keuangan Kampus
Transparansi dan akuntabilitas keuangan kampus mutlak diberlakukan
pada setiap agenda rutin institusi seperti rapat mingguan pimpinan, stadium
general, ujian akhir semester, KKL, PPL, KKN, ujian proposal skripsi, ujian
komprehensif, ujian munaqasah skripsi, wisuda, gaji tetap dan tunjangan dosen
& karyawan, dll.
Mekanismenya diatur sedemikian rupa sehingga mengikis perilaku
koruptif yang selama ini ada, tapi sulit dibuktikan.
A.Malik Fajar.13 dalam salah satu pikiran yang dikemukakannya,bahwa
dalam memimpin lembaga pendidikan Islam itu, pungkas beliau : Oleh karena
itu, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu
memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk dijadikan pilihan,
maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan
masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti yang berkaitan
13
Ahmad Barizi, M.A, (editor), Holistik Pemikiran Pendidikan(A. Malik Fadjar), (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 250
langkah
operasionalnya.
Kedua,
pemberdayaan
(empowering)
dan
pengembangan
dalam
sistem
pengelolaan
atau
14
15
16
5. PENUTUP
Permasalahan pendidikan Islam dalam lingkup pengelolaan manajemen
adalah mencakup wilayah internal dan eksternal. Secara internal selalu
dihadapi kendala perpecahan atau sulitnya persatuan yang utuh. Ini diakibatkan
telah mendarah dagingnya perselisihan ditubuh umat Islam dengan
menyeruaknya aliran dan pemahaman mazhab. Maka sampai saat ini keadaan
itu masih terpelihara dengan utuh dan tidak memandang tingkat pendidikan,
bahkan pada lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi sekalipun fenomena itu
cukup dirasakan, apalagi untuk menentukan siapa menjadi pimpinan adalah
melalui proses demokrasi ala kampus, maka percikan api perseteruan otomatis
tidak terelakkan. Belum lagi lemahnya sumber daya manusia para pemegang
otoritas kepemimpinan itu sendiri, menyebabkan sistem administrasi dan
managemen sungguh sangat lemah. Padahal kesatuan dan kerapiaan penata
usahaan amatlah menentukan lancarnya proses pemungsian lembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari
karya seorang Futurolog dunia terkemuka, sebagaimanadikutip oleh
R.M.Roy Suryo Indonesia Menyongsong Era Globalisasidalam
Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap
Madrasah, From: http://www. suaramerdeka. Com / harian / 0211/ 12/
kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2009
Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas,
Jakarta, From:http:// www.kompas. com / kompas-cetak / 0211 / 26/
DIKBUD / 808.htm, accses, sabtu, 16 April 2011
Soeroyo,Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan
Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta. 1991.
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta Suatu
Pengantar,Yogyakarta, Tiara Wacana,1991.
H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta, Bina Aksara,, 1991.
Lihat Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2006.17
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21,Magelang, Tera Indonesia, 1999.
Hujair A. H. Sanaky, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca
Reformasi antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ilmu ilmu Sosial
Unisia,
Universitas
No.62/XXIX/IV/2006 2006.
17
Islam
Indonesia,
Yogyakaarta,
: 413018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN AJARAN
2014/2015