Anda di halaman 1dari 26

PENDIDIKAN ISLAM YANG TERPINGGIRKAN

( ANALISIS PERMASALAHAN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM )

1. PENDAHULUAN
Perjalanan kehidupan manusia di planet bumi ini sudah cukup panjang,
dan telah begitu banyak jenis prestasi dan dinamika yang dihasilkan serta dilalui,
dan buku catatan sejarahpun sudah hampir penuh baik ia dokumentasi tentang
yang gemilang menggembirakan maupun pristiwa duka yang memilukan bahkan
aktivitas serta terobosan yang sangat memalukan.
Bayangkan saja dalam pandangan Alvin Tofler, rupanya manusia sudah
melalui tiga gelombang kehidupan (peradaban manusia) yakni; gelombang
pertama, dengan ciri ketika mana manusia masih hidup dengan sangat bersahaja,
hidup dengan menggunakan energi dan tenaga yang dapat diperbaharui, seperti
menggunakan tenaga manusia dan binatang dalam menyahuti keperluan hidup,
dan gelombang kedua, dengan ciri kehidupan bahwa manusia menggunakan
energi yang tidak dapat diperbaharui, yakni manusia sudah menggunakan energi
listrik, minyak bumi, gas dan kekuatan alam lainnya dalam merespon kebutuhan
manusia, serta gelombang ketiga, saat mana manusia telah menggunakan satelit
dalam mengatur dan menentukan proses perjalanan kehidupan.1
Dalam proses terjadinya pergeseran dari gelombang kehidupan pertama
kepada yang kedua, sungguh banyak sekali prestasi yang dilahirkan dan sangat
menakjubkan setia manusia. Dengan ditemukannya listrik dan otomotip,
peradaban manusia menjadi berubah dengan sangat derastis. Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi menjadi berkembang pesat dan menghantarkan manusia pada
sebuah era baru yakni zaman modern.
Kehidupan modern adalah sebuah babakan yang membukakan mata
setiap manusia untuk tampil hidup efesien dan efektif. Maka teknologipun
semakin dikerahkan untuk merekayasa alam dalam mewujudkan kemudahan
1

Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari karya seorang
Futurolog dunia terkemuka, sebagaimanadikutip oleh R.M.Roy Suryo Indonesia Menyongsong
Era Globalisasidalam Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992

hidup. Rekayasa adalah salah satu bagian penting. Sejalan dengan pertumbuhan
peradaban yang dilahirkan oleh modernitas itu, sekularisasipun hampir tidak
dapat dibendung, mengakibatkan pengolahan masa depan manusia sudah
bertumpu pada prinsip objektivitas-rasional dan mengenyampingkan unsur
subjektivitas, ditopang pula dari berbagai belahan dunia muncul para ahli pikir,
sehingga agama yang luhur dan bersifat subjek dan primordial-spritual mulai
tersingkirkan karena ahli zikir hampir sudah punah, apalagi kelompok Ulul
Albab, yakni ahli pikir sekaligus ahli zikir menjadi barang langka. Pada akhirnya
modernitas menghantarkan manusia pada sebuah keadaan yakni mengangkangi
nilai luhur sehingga terjebak dalam proses dehumanisasi.
Lebih tragis lagi ketika modernisasi dapat menguak misteri hidup dengan
penggunaan satelit. Maka komunikasipun sudah melalui alam maya dengan
sebuah titik kulminasi munculnya babakan baru yakni globalisasi. Yakni sebuah
planet hunian manusia yang telah menjadi perkampungan kecil, inilah ciri
manusia gelombang ketiga.
Bila dicoba bernostalgia, benar memang bahwa Pendidikan Islam pernah
mengalami kejayaan pada zamannya, akan tetapi itu tidak bertahan sampai
sekarang dan disekitar abad 13 dunia Islam mengalami masa kemunduran,
sehingga

Islam

termarginalisasi

dan

terpecah,

mengakibatkan

dunia

pendidikanpun ikut terpinggir, sebab bila pada awalnya pendidikan Islam itu
bersifat integral dalam perspektif kurikulum, tapi sayang setelah itu kajian ilmu
dalam pendidikan Islam hanya tersisa pada wilayah ilmu keislaman saja
sementara sains sepi dan sesuatu yang tidak dikaji. Tragis memang, akan tetapi
inilah kenyataan pahit yang diwarisi dari peristiwa terjadinya kemunduran Islam,
yang sampai saat ini termasuk diIndonesia dirasakan sekali.
Khusus pendidikan di Indonesia, ia tumbuh dan berkembang sejalan
dengan redupnya peradaban Islam di belahan dunia Arab. Maka dekade demi
dekade pendidikan menjadi terus terpuruk terlebih-lebih dalam pemerintahan
kolonial, sehingga secara menejerial dan profesionalitas pengelolaan sungguh
jauh dari apa yang diharapkan. Kendati dekade 2000-an pendidikan
IslamIndonesia mulai menggeliat, khusussnya setelah Indonesia mengalami era

reformasi, namun sederetan masalah sungguh masih berupa gunung es dan


ditengarai masalah itu mengendap pada wilayah kepemimpinan.. Tulisan ini
akan mencoba menguraiakan sekilas masalah menejemen dan profesionalitas
pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia, sekaligus mencari solusinya, kearah
reorientasi untuk keluar dari berbagai kemelut khususnya hal-hal yang muncul
secara internal di lembaga-lembaga penddikan Islam itu sendiri.
2. PROBLEMATIKA MENEJEMEN DAN PROFESIONALITAS
PENDIDIKAN
Terpinggirnya

pendidikan

Islam

dari

persaingan

sesungguhnya

dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal,
pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum
mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang
efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolahsekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional
(Diknas) yang umumnya dikelola secara modern. Kedua,faktor kompensasi
profesional guru yang masih sangat rendah. Paraguru yang merupakan unsur
terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan
materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, keterampilan
mengajar, manajemen kelas, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena
sistem pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi
profesional guru. Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit
pimpinan yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan
akan dibawa dan dikembangkan. Kepala seharusnya merupakan simbol
keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam
lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan
pendidikan Islam.
Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki
kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan koleganya sendiri,
melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan
pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis

daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar


pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike.2 dengan tidak
memiliki visi dan misi yang jelas.
Faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam adalahpertama, adanya
perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Pemerintah
selama ini cenderung menganggap dan memperlakukan pendidikan Islam
sebagai anak tiri, khususnya soal dana dan persoalan lain. Katakan saja, alokasi
dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan
yang berada di lingkungan Diknas. Maka, terlepas itu semua, apakah itu urusan
Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam
tidak terjadi kesenjangan, toh pendidikan Islam juga bermisi untuk
mencerdaskan anak bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh
pendidikan umum. Faktor kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi
tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral
dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari
sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Beberapa
indikator yang menunjukkan kesenjangan ini yaitu mulai dari tingkat
ketersediaan tenaga guru, status guru, kondisi ruang belajar, tingkat pembiayaan
(unit cost) peserta belajar, hingga tidak adanya standardisasi mutu pendidikan
Islam, karena urusan pendidikan Islam tidak berada di bawah Depdiknas.3 dan
lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap produk atau lulusan
pendidikan Islam. Faktor ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat
terhadap pendidikan Islam. Secara jujur harus diakui, bahwa masyarakat selama
ini cenderung acuh terhadap proses pendidikan di madrasah atau sekolahsekolah Islam. Rata-rata memandang pendidikan Islam adalah pendidikan nomor
dua dan biasanya bila menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan Islam
merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan
di lingkungan Diknas.

Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap Madrasah, From:
http://www. suaramerdeka. com/harian/0211/12/kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2011
3 Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas, Jakarta,
From:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/26/DIKBUD/808.htm, accses, sabtu, 16 April
2009

Lebih memilukan lagi kenyataan akhir-akhir ini ketika sejarah perjalanan


manusia dengan sampainya pada era globalisasi secara nyata merupakan
tantangan baru dan kompleks sekali bagi ummat Islam dan pendidikan Islam
sekaligus, hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal yakni :
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana
meningkatkan produktivitas kerja tentu hal ini terkait dengan lembaga
pendidikan sebagai pencetak sumber daya manusia, serta pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan
pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap
terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat
tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi,
serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas
kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu
meningkatkan daya saing umat dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang
berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di
bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan
ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan
berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif
yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke
depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki
keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses
pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang
berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan
yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia


pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka
pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesiaan. Sehingga kita bisa menyiapkan
strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut.
Bila secara seksama diamati kondisi pendidikan Islam khususnya
diIndonesia, persoalan pengelolaa adalah salah satu masalah yang amat serius.
Kenapa ? Lihat saja misalnya; Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk
mentransfer nilai-nilai budaya Islam kepada generasi muda, masih dihadapkan
pada persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan
diamati

dan

disimpulkan

terkungkung dalam

kemunduran,

kekalahan,

keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana


pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam
dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan, pendidikan yang apabila
diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi kemunduran dan
keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara
lembaga pendidikan Islam yang telah dan akan mulai menunjukkan berbagai
pertumbuhan dan kemajuan.4
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam,
yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam
konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan subsistem pendidikan nasional. Tetapi
predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya,
bahkan pendidikan Islam sering dinobat hanya untuk kepentingan orang-orang
yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini memberi
kesan yang tidak menggembirakan. Meskipun, tidak dapat dipandang sebagai
evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya, bahwa setiap kali ada muridmurid dari suatu lembaga pendidikan Islam yang turut serta dalam lembaga
4

Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka,
Yogyakarta. 1991, h.77

cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di TVRI, maka biasanya kelompok ini
mendapatkan nilai terendah. Evidensi kedua ialah bahwa partisipasi siswa-siswi
dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan nasional seperti lomba Karya Ilmiah
Remaja terkesan sangat rendah, dan belum pernah ada prestasi yang menonjol
dalam lomba yang berasal dari lembaga pendidikan Islam.5 Hal ini, merupakan
suatu kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang begitu banyak menyebar di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di
Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan
nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang
luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan,
memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat muslim,
pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam
membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan
pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia
selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis
religious.6 Maka, dari sinilah timbul pertanyaan, bagaimanakah kemampuan
pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan problem-problem dan
berbagai kepincangan yang terjadi dan dialami sedemikian pelik.?
Akhir-akhir ini secara berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini
terbukti dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa
model pendidikan yang ditawarkan. Mulai dari MIN, MTSN dan MAN Model,
munculnya UIN dan berbagai bentuk Pesantren yang menjanjikan. Tetapi
tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut adanya jihad
dan ijtihad yang inovatip dalam mendongkrak pendidikan Islam. Hal ini tentu
merupakan pekerjaan yang besar dan sulit. A. Mukti Ali, sebagaimana dikutip
Arifin; memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam dewasa
ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan sistem
dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman

5
6

Ibid
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta([Suatu Pengantar),
(Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), h. 11

interpretasi (insight), dan kelemahan dalam hal pengelolaan kelembagaan


(organisasi), ilmu dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk
melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan
perangkat manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi
dan taktik itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai
dengan institusi-institusinya sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti
paedagogis, sosiologis dan cultural dalam menunjukkan perannya.7
Dalam soal menejemen, kondisi saat ini, ketika bangsa memberlakukan
otonomi daerah, kepemimpinan yang dijalankan dalam lembaga pendidikan
Islam, harus menggunakan pola menejemen berbasis kekuatan masyarakat. Akan
tetapi keinginan itu dihadang oleh berbagai ganjalan yang tidak terduga
sebelumnya, kita cermati saja misalnya pernyataan Ahmad Tafsir.8 dalam
penjelasannya tentang pandangan Tilaar.9 ada tiga hal yang paling menonjol
dalam pengelolaan pendidikan kita saat ini. Pertama, sistem yang kakau, yakni
sistem yang masih terperangkap dalam kekuasaan otoriter, maka hasilnyapun
pengelolaan pendidikan kita sangat kaku sifatnya. Diantara tandanya adalah
bahwa birokrasi pendidikan dalam segala lini masih sangat ketat, kendati setelah
UU No. 20 tahun 2003 berlaku, tapi karena dalam era otonomi daerah sekarang
dengan otonomi pendidikan tetap saja banyak masalah, khususnya leluasanya
kekuasaan daerah dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia yang sangat
minim, maka pendidikanpun sering dikelola berdasarkan selera dan intres dari
kekusaan itu sendiri. Termasuk pendidikan Islam, dengan praktek seperti itu,
kelihatannya daerah belum begitu mengerti missi reformasi dan demokrasi
pendidikan, kendati dipahami tapi aplikasinya masih sangat jauh dari aturan
sehingga pendidikan Islam di daerah tetap saja menjadi anak tiri yang
diterlantarkan.
Kedua, Pendidikan masih saja dikelola dengan penuh bau KKN, yakni
peraktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Otonomi kekuasaan
kelihatannya dapat mempersubur peraktek ini. Hal ini disinyalir sebagai efek
7

H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta, Bina Aksara,, 1991, Hal. 3


Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 197
9
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang, Tera Indonesia, 1999), h. 26-28
8

dari demokrasi yang terlalu terbuka, seperti adanya pemilihan kepala daerah dan
pemilihan anggota legislatif secara langsung dan semi distrik, mengakibatkan
para kandidat secara personal harus berhadadapan langsung dengan konstuen
untuk mereka ajak, bujuk dan rayu agar memilih yang bersangkutan, justru
untuk masyarakat daerah dan miskin membuka peluang dagang suara, akibatnya
ketika sudah terpilih sebagai pengemban amanat rakyat justru yang terjadi
adalah secara terselubung berpotensi untuk pengembalian modal dari jabatan
yang dipangku itu. sistem suara terbanyak dalam pemilihan umum legislatif,
turut memicu perilaku korupsi para calon legislatif. Sistem suara terbanyak
memaksa para caleg untuk bersaing dengan optimal termasuk dengan caleg yang
berasal dari sesama partai. "Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari segi
tenaga maupun biaya. Ini turut memicu orang melakukan korupsi untuk
menutupi biaya kampanyenya. maka lain halnya dengan pemilu sekarang. Para
caleg kini dituntut untuk intensif turun ke lapangan mencari dukungan pemilih
yang artinya juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar
diperparah dengan masih adanya partai yang mempraktikkan syarat pemberian
uang untuk menduduki satu kursi caleg. "Ini belum lagi gaji mereka dipotong
untuk partai jika terpilih nanti. Semua itu memicu caleg atau anggota legislatif
melakukan korupsi."
Ketiga, pendidikan belum berorientasi pada pemberdayaan masyarakat,
ini cukup jelas, karena sangat dirasakan bahwa masih banyak peraktek kebijakan
yang cukup memberatkan masyarakat, baik ia dalam soal sistem dana
pendidikan, sistem evaluasi pendidikan dan sebagainya mengakibatkan bahwa
masyarakat merasa senantiasa dirampas atau ditodong. Apalagi situasi
kehidupan ekonomi masyarakat yang senantiasa semakin berat dari akibat
kepincangan dan ketidak adilan sistem perekonomian bangsa yang terus
menjurus

pada

sistem

kapitalis

dan

liberalis.

Bukankah

umpamanya

dilingkungan PTAI sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali terjadi demo
mahasiswa akibat adanya penambahan pembayaran SPP atau uang Praktikum ?,
tentu bila dicermati mereka ini demo bukan ditompangi akan tetapi murni karena
beratnya situasi ekonomi khususnya mereka berasal dari latar belakang keadaan
orang tua yang pas-pasan. Atau secara umum adanya demo penolakan tentang

Undang-Undang Pendidikan yang menjurus pada otonomi dengan ujungnya


kemandirian akan dana masyarakat untuk memperoleh pendidikan.
Memang kemadirian masyarakat sungguh tidak perlu dipertanyakan bagi
masyarakat Islam, lihat saja umpanyanya; Pertama, pendidikan Islam (pesantren,
madrasah, sekolah yang bercirikan Islam, dan perguruan tinggi) lebih besar > 80
% dikelola oleh swasta. Dalam pengelolaannya lebih percaya dan hormat pada
ulama, percaya bahwa guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan agama,
ibadah, ikhlas, murah, merakyat. Hal ini merupakan kekuatan (strengt) dalam
pengelolaan

pendidikan

Islam.

Seharusnya

negara

dngan

adil

mempertimbangkan dan menagkap ini untuk dioptimalkan dan dilegalisasi


menjadi milik dan ciri bangsa secara permanen. Sehingga tidak muncul keadaan
yang : Kedua, bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional
hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati
dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag.
Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama
dan pendidikan keagamaan. Ketiga, bahwa kesempetan yang dibuka dalam UU
No.20 Th. 2003 harus

betul

memberi kesempatan atau momentum

pengembangan pendidikan Islam. Tercatat jelas bahwa Pendidikan Islam diakui


sama dengan pendidikan yang lain, akan tetapi realisasinya masih sangat jauh
dari yang diharapkan. Keempat,ancaman Akibat perlakuan yang diskriminatif
menyebabkan bahwa banyak lembaga pendidikan dibawah diknas yang lebih
tangguh dan berkualitas, Ilmu dan teknologi yang berkembang sangat pesat,
sehingga tidak dan berlum terkejar oleh pendidikan Islam, pendidikan Islam
dihawatirkan kehilangan jati dirinya, pendidikan Islam selalu menjadi warga
kelas dua. 10
3. LANGKAH REORIENTASI PENDIDIKAN KE DEPAN
Sederetan masalah sudah dipaparkan di atas, maka dibutuhkan sekali
langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk dapat keluar dan eksis
kedepannya. Maka hal yang paling pokok dan mendasar untuk dilakukan adalah
10

Hujair A. H. Sanaky, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi antara


Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ilmu ilmu Sosial Unisia, Universitas Islam Indonesia, (
Yogyakaarta, No.62/XXIX/IV/2006 2006), h. 87

menyangkut dengan menejerial yakni pola menejemen dan gaya kepemimpinan


dalam mengayuh pendidikan Islam.
Ada catatan pokok yang harus disadari sepenuhnya oleh semua pihak
yang ikut punya tanggungjawab terhadap pendidikan Islam, bahwa kewajiban
dasar dan sangat prinsip dari produk sebuah institusi pendidikan adalah
mengembangkan kepribadian yakni keimanan, ketakwaan dan akhlak karimah
(fardhu ain) serta bakat/potensi anak didik untuk adaptip dan responsip pada
perkembangan masyarakat (fardhu kifayah). Dalam bahasa Ahmad Tafsir.11
bahwa karakteristik lulusan yang diharapkan adalah :pertama, manusia yang
berdedikasi dan berdisiplin tinggi, yakni manusia yang memiliki kesadaran
tinggi dengan didasari rasa pengabdian dan tanggung jawab dalam
kehidupannya, mempunyai visi jauh kedepan dan normatif idealis yang
terjabarkan dalam misi strategis. Kedua, manusia yang inovatif, tidak puas
dengan apa yang dihasilkannya dan tidak mau terjebak dalam sttus quo. Ketiga,
manusia yang jujur baik pada orang lain terlebih-lebih pada didirinya sendiri,
sebab saat ini zaman membutuhkan manusia seperti ini.Keempat, manusia yang
tekun yang dapat fokus dalam tugas-tugas yang dihadapi. Kelima, manusia ulet,
yakni manusia yang tidak mudah menyerah dan putus asa, tapi ia terus menggali
dan menggali.Keenam, manusia yang unggul itu adalah manusia yang dapat
mengendalikan diri. Saat ini situasi bangsa terjebak pada sebuah kondisi yang
amat korup itu disebabkan bahwa sifat mampu mengendalikan diri, mampu
menahan diri untuk tidak terjebak pada godaan hal-hal yang bersifat
materialisme, hedonisme dan egoisme itu adalah sesuatu sifat yang amat sulit
dilakukan oleh para pengelola pendidikan Isl;am itu, dan secara umum pengelola
negara ini, sehingga mental korup itu telah merajalela dalam segala lini
kehidupan.
Maka pendidikan Islam itu perlu secara tegas untuk menginternalisasi
nilai-nilai yang digambarkan di atas, serta mengawal agar generasi sepereti ini
muncul, tentu prinsip dasar yang harus direvitalisasi adalah jalur kurikulum yang
bersifat fardhu ain tadi, disamping pemantapan yang fardhu kifayah sebagai

11

Ahmad Tafsir, Op-Cit, 202

modal bagi mereka untuk lebih eksis dalam menjalankan hakekat kekhalifaan
mereka.
Maka

untuk

menyongsong

itu

dibutuhkan

sekali:

Pertama,

mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan secara utuh


yang berorientasi pada Ketuhanan, kemanusiaan dan alam pada umumnya
sebagai suatu

yang integralistik bagi perwujudan kehidupan. Kedua,

mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang


berorieintasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi) dengan
menghargai hak-hak asasi manusia. Ketiga, mengembangkan konsep pendidikan
pragmatis,

yaitu

membutuhkan

memandang

sesuatu

untuk

manusia

sebagai

melangsungkan,

makhluk

yang

mempertahankan

selalu
dan

mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan peka terhadap


masalah-masalah kemanusiaan.Keempat, mengembangkan konsep pendidikan
yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang
mempunyai kepribadiaan, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri,
membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai
ilahiyah. Secara umum, konsep pendidikan Islam yang ditawarkan adalah
pendidikan yang berorientasi pada kompetensi nilai-nilai ilahiyah, knowledge,
skill, ability, social-kultural dan harus berfungsi untuk memberikan kaitan secara
operasional antara peserta didik dengan masyarakatnya, lingkungan sosialkulturalnya, dan selalu menerima dan ikut serta melakukan perubahan. 12
Dalam sekala kecil, target dan tujuan di atas secara perlahan sudah
dimulai khususnya dengan kemunculan Universitas Islam Negeri (UIN), karena
dengan UIN lah hal-hal yang menyangkut denga epistemoligi keilmuan yang
menjadi salah satu problema besar dalam pendidikan Islam bisa diselesaikan,
itupun

ketika

UIN

mampu

merekonstruksi

wawasan

Epistemologi

Pendidikannya. Maka oleh kerena itulah masyarakt menaruh harapan banyak


untuk lahirnya SDM berkualitas sbb :

12

Hujair A. Sanaky, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan Islam


Menuju Pendidikan yang Bermutu, UII, (Yogyakarta, NO. 1. VOL. I. 2008), h. 83

1. Pemikir yang mampu berpikir konperhensif-integralistik.


2. Menguasai keterpaduan ilmu fardhu ain dengan fardhu kifayah.
3. Menghilangkan paham dikotomik agama dan umum (dunia).
4. Mengangkat harga diri Sarjana dan pelajar-mahasiswa muslim.
5. Menjawab harapan dan tantangan di masyarakat.
6. Memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Mencermati target-target mulia dan luhur seperti dikemukakan, maka
pola pengelolaan pendidikan Islam secara umum perlu mengikuti pikiran yang
dikemukakan Ahamad Zayadi. bahwa kepemimpinan itu perlu didasari pada
konsep

pertama,

activition,

kedua,

verivikation-investigation

dan

ketiga,sucsetion. Konsep ini dapat dimaknai secara luas bahwa seorang


pemimpin yang terkait dalam pengelolaan pendidikan Islam, mulai jajaran
terkait di Departemen Agama dari pusat hingga daerah, seperti Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Departemen di Kabupaten/Kota sebaga sentra
administrasi dan kekuasaan sampai pada para Rektor UIN dan IAIN serta Ketua
STAIN beserta PT yang lainnya. serta Kepala-kepala Madrasah dari MI, MTs
dan MA haruslah betul-betul activition yaitu; mampu mengakomodasi seluruh
aspirasi dan inspirasi jajaran internal dan kolegial unit kerjanya dengan jaminan
suatu kerja sama team (team working) yang tangguh serta orang yang sangat
bijak bekerjasama (net working) untuk menyerap serta menafsirkan berbagai
komitmen

masyarakat

dan

stakeholdersdalam

melakukan

identifikasi,

perencanaan, dan konsep kontruksi komunikasi yang dibangun lembaga baik ia


secara internal juga eksternal guna mencari pikiran dalam pengembangan
pengelolaan lembaga baik menyangkut dengan kurikulum, tenaga pengajar,
sarana prasarana, pendanaan dan sebagainya. Artinya disamping keharusan
menyiapkan team yang solid sebagai kelompok kerja lembaga juga harus
bersinerjis dengan dunia luar melalui jaringan kerja yang dibangun dalam
mengingkatkan kualitas lembaga.
Seperti dikedepankan di atas, bahwa di era otonomi daerah terasa sekali
bahwa pemerintah daerah dan lembaga-lembaga yang terdapat di daerah secara

umum masih mengikuti pola-pola lama bahwa pendidikan Islam belum


proporsional mendapat pelayanan. Oleh karena itu bagi setiap pemimpin yang
terkait dengan pengelolaan pendidikan Islam seperti dikemukakan di atas, perlu
membangun sebuah strategi untuk melakukan pendekatan dan proses sosialisasi
pemahaman bahwa pendidikan Islam juga bertujuan untuk mengelola sumber
daya bangsa, malah bukan sampai pada tingkat itu saja sesuai amanat UndangUndang No.20 tahun 2003, bahwa yang paling dekat untuk mewujudkan tujuan
pendidikan Nasional yang begitu luhur dan mulia itu adalah lembaga pendidikan
Islam, karena tujuan pendidikan nasional sungguh tidak berjarak dengan tujuan
pendidikan dalam Islam. Maka para pemimpin dalam mengelola lembaga tidak
hanya duduk dibelakang meja kerja dan berkutat menyelesaikan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) saja secara kaku, tapi harus menghubungkan diri bermitra
dengan semua sektor kemsayarakatan baik ia jalur formal maupun non-formal.
Katakan saja menjalin kerjasama dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dalam rangka ikut memperhatikan
pengembangunan dan proses pemenuhan sarana, prasarana, fasilitas dan
penyiapan lingkungan dari lembaga pendidikan yang sedang dipimpin.
Perlu juga ditopang oleh perencanaan yang matang, visioner, realistis dan
strategis. Hal ini diserap melalui verivikasi lewat pengamatan dan penelitian
serta pertimbangan setelah mengadakan investigasi yang akurat terhadap kondisi
objektip dan kekuatan yang dimiliki dalam rangka pengembangan sumber daya
yang ada menuju keadaan yang lebih baik. Setelah itu dilakukan tentu pemimpin
akan mendapat sebuah pilihan, maka keputusan itulah yang harus dilakukan
bersama dengan koleha dan jajaran yang ikut bertanggung jawab dengan proses
komunikasi yang sinergis untuk kemaslahatan bersama.
Benar memang, jika ditimbang dan diperdalam, secara teoritis konsep
pengelolaan lembaga untuk bisa bangkit kembali sudah sangat banyak pilihanpilihan, mulai dari teori kepemimpinan sampai teori pengelolaan organisasi,
seperti teori SWOT, menejemen konplik dan sebagainya. Akan tetapi satu hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberdayaan pendidikan, bahwa dunia
pendidikan adalah dunia yang mengelola sumber daya manusia, artinya seluruh
aktifitas dan kinerja bertujuan untuk memberdayakan manusia, maka kunci

sukses sangat tergantung kepada ketulusan hati sang pemimpin yakni


kemampuan berkomunikasi dengan baik serta ikhlas berbuat karena Allah yakni
didorong oleh keinginan agar nilai-nilai Rabbaniah berjalan dalam kehidupan.
Artinya dalam mengelola pendidikan Islam nilai-nilai aksiologislah paling
dikedepankan dibanding dengan nilai metodologisnya.
4. TRANSFORMASI INISNU MENJADI UNISNU
Pergulatan

panjang

yang

telah

ditempuh

oleh

para founding

fathers sejak dikeluarkannya Surat Keputusan LP. Maarif NU Cabang Jepara


No. 04/LPM/0/III/1988 tanggal 19 Pebruari 1988 dan ditindaklanjuti dengan
pembentukan panitia pendiri pada tanggal 17 Maret 1989 berdasarkan Akte
Notaris Benyamin Kusuma, SH. terbayar lunas oleh pengakuan pemerintah
atas status terdaftarnya INISNU sebagai perguruan tinggi Islam swasta di
Bumi Kartini melalui Surat Keputusan Menteri Agama RI nomor : 176 tahun
1991 tanggal 7 Agustus 1991.[3] Obor pencerahan perguruan tinggi NU tertua
di Jepara ini tidak pernah padam, bahkan semakin membara dengan terbitnya
Surat Keputusan Mendikbud No. 725/E1.3/HK/2013 dan Surat Keputusan
Dirjen

Pendidikan

Agama

Kemenag No.

2744

tahun

2013[4] yang

mengukuhkan INISNU menjadi UNISNU, setelah mengalami proses afiliasi


dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi NU (STIENU) dan Sekolah Tinggi
Teknologi Desain NU (STTDNU).
Ekspektasi

besar

masyarakat

Jepara,

lebih-lebih

warga nahdliyyin terhadap lembaga yang selama ini dinahkodai

oleh

tokoh karismatik, KH. MA. Sahal Mahfudh, perlu diimbangi oleh kesigapan
adaptasi internal struktural sehingga tidak terjadi, sebagaimana peribahasa
pujangga, sama naik bagai gelombang, sama turrun bakk kapencong yang
secara singkat mengandung arti dua hal atau kejadian yang sama
keadaannya. Ala kulli hal, tidak ada beda antara INISNU dengan UNISNU
selain perubahan simbolis baju luarnya.
Ada beberapa titik strategis pembenahan institusional, antara lain:

1. Manajemen Kepemimpinan
Keputusan KH. MA. Sahal Mahfudh yang tidak lagi berkenan
memegang tampuk pimpinan, memaksa INISNU kehilangan figur sentral yang
selama ini memainkan peranan penting dalam membesarkan kampus sebagai
akses intelektual, relasional, dan finansial. Namun, mengutip perkataan
Djajendra, -Sang Motivator- Cerita hebat tentang pemimpin lama sudah
tamat, dan setiap orang harus fokus untuk membangun cerita hebat tentang
pemimpin baru. Pemimpin menjadi hebat atau tidak hebat semuanya
tergantung dari totalitas dan kerja keras semua karyawan.[5]
Momentum ini membuka jalan bagi INISNU untuk keluar dari bayangbayang nama besarMbah Sahal, yang pada akhirnya melahirkan pemimpin
visioner baru dari rahim UNISNU. Pemimpin demokratis yang siap
mewujudkan generasi sarjana NU yang cendekia dan berahlak mulia.
2. Profesionalisme Kinerja Birokat Kampus
Penggodokan Statuta UNISNU sebagai pedoman profesionalisme kerja
birokrat

kampus

sudah

semestinya

mengakomodir

kepentingan

dan

kemaslahatan kolektif kelembagaan, bukan berdasar pada pragmatisme


kepentingan elit tertentu untuk melanggengkan kursi jabatannya. Feodalismeotoriter akan membuahkan sistem oligarki kekuasaan dan sudah sangat tidak
relevan bagi perguruan tinggi sebesar UNISNU.
Kinerja birokrasi UNISNU sebagai kampus Islam swasta akan lebih
efektif, jika memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) produktif yang
siap pakai di manapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Tiba saatnya, UNISNU
berani meminggirkan birokrat kampus yang masih terikat dengan jabatan
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Argumentasi yuridis dari pendapat penulis ialah
Peraturan Pemerintah (PP) no. 37 Tahun 2009 tentang Dosen, Juknis dari
PP 53 Tahun 2010 yaitu Perka BKN no. 21 tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil. PP tersebut mengancam dosen tetap Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) yang mbeling sebab menduduki posisi jabatan struktural di
Perguruan Tinggi Swasta (PTS), agar siap kehilangan semua tunjangan yang
berkaitan dengan dosen tetap yaitu tunjangan profesi dosen, tunjangan
fungsional dosen dan tunjangan kehormatan GB (bila berstatus Profesor)

karena dosen tetap harus kerja full time di tempat induknya.[6] Selain itu,
perspektif realitas, UNISNU masih menyimpan tenaga-tenaga muda reformis
yang siap mengemban amanat untuk menduduki posisi strategis birokrasi
kampus. Selama ini, dominasi rezim birokrat lama, secara sistemik membuat
mereka dalam keadaan, -yang oleh Karl Marx diistilahkan dengan- teralienasi.
3. Sistem Rekrutmen Tenaga Pendidik (Dosen) dan Karyawan
Karut-marut sistem rekrutmen dosen dan karyawan kampus yang tidak
akuntabel, kurang transparan, dan cenderung mengarah kepada praktik nepotis
dengan mendahulukan sanak kerabat, menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang
harus terselesaikan oleh para pimpinan UNISNU yang baru.
Kampus sebagai gerbong peradaban meniscayakan jasa dosen yang
berkompeten di bidangnya masing-masing. Mediasi intelektual yang terjalin
antara dosen dengan mahasiswa berlandaskan pada kajian epistemologis
mendalam sehingga tidak terjadi proses penyesatan nalar. Begitupun dengan
para karyawannya. Mereka sepantasnya melayani civitas akademika dengan
segenap panggilan hati dan jiwa.
4. Transparansi Keuangan Kampus
Transparansi dan akuntabilitas keuangan kampus mutlak diberlakukan
pada setiap agenda rutin institusi seperti rapat mingguan pimpinan, stadium
general, ujian akhir semester, KKL, PPL, KKN, ujian proposal skripsi, ujian
komprehensif, ujian munaqasah skripsi, wisuda, gaji tetap dan tunjangan dosen
& karyawan, dll.
Mekanismenya diatur sedemikian rupa sehingga mengikis perilaku
koruptif yang selama ini ada, tapi sulit dibuktikan.
A.Malik Fajar.13 dalam salah satu pikiran yang dikemukakannya,bahwa
dalam memimpin lembaga pendidikan Islam itu, pungkas beliau : Oleh karena
itu, kalau kita ingin menatap masa depan pendidikan Islam yang mampu
memainkan peran strategis dan memperhitungkan untuk dijadikan pilihan,
maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan
masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh, seperti yang berkaitan

13

Ahmad Barizi, M.A, (editor), Holistik Pemikiran Pendidikan(A. Malik Fadjar), (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 250

dengan hal-hal berikut ini. Pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan


dengan

langkah

operasionalnya.

Kedua,

pemberdayaan

(empowering)

kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya. Ketiga, perbaikan,


pembaruan

dan

pengembangan

dalam

sistem

pengelolaan

atau

manajemen.Keempat, peningkatan SDM yang diperlukan.


Pikiran di atas memberi petunjuk bahwa dalam mengelola lembaga
pendidikan Islam harus ditempuh empat langkah seperti di atas. Dalam bahasa
yang lebih sederhana, seorang pimpinan harus terlebih dahulu merumuskan dan
memahami secara seksama apa cita-cita dan tujuan lembaga itu didirikan,
artinya harus dengan jelas memberi jawaban terhadap pertanyaan tentang
apa/semacam apa yang akan diproduk dari lembaga itu. Dengan jelasnya
jawaban terhadap pertanyaan ini, maka akan dapat terpenuhi hajat sosial yang
lebih fungsional, artinya lembaga dan program yang dilakukan benar-benar
menjadi kebutuhan hidup manusia, baik ia secara akademis, personal maupun
profesional/fungsional. Karena bukan tidak jarang banyak sekali dari lembaga
pendidikan Islam mengasuh berbagai kajian dan disiplin padahal produk kajian
belum memenuhi hajat kehidupan seperti diungkapkan di atas. Sebagai salah
satu contoh, lembaga pendidikan Madrasah Aliyah, dengan model program dan
jurusan seperti SMA yakni IPA, IPS dan Humaniora, sesungguhnya tidaklah
selamanya ini tepat, padahal secara umum disadari bahwa peserta didik yang
masuk kelembaga Madrasah adalah generasi yang relatip dari keluarga kurang
mampu, sementara jalur yang dikembangkan dalam belajar adalah jalur
akademik, padahal bagi mereka sesungguhnya perlu diberi hal-hal yang
bersifat keterampilan hidup dan sosial atau profesionalitas, sehingga banyak
sekali lulusan Madrasah menjadi unskilled ketika sudah lulus dan tidak
melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Maka Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)
sudah selayaknya dirintis pembukaannya. Demikian juga di Perguruan Tinggi,
banyak jurusan dan prodi yang terus dibuka sementara secara fungsional
lulusan semacam itu sudah over produksi, seperti kajian yang bersifat sosial
terkecuali dengan sangat meyakinkan bahwa lulusannya dengan nyata punya
nilai plus. Oleh karena itu prodi sains dan teknologi dengan epistemologiIslami
justru harus dikejar dan upaya link and meach tidak boleh ditinggalkan.

Hal lain yang harus dilakukan adalah pemberdayaan kelembagaan yakni


mengorganisir lembaga dengan efektif dan efisien serta tata kelola yang
kondusip dengan daya dukung kualitas sumber daya yang handal. Dalam
konteks kepemimpinan, maka lembaga pendidikan bermutu itu punya karakter
seperti ungkapan Arcaro S Jerome, bahwa terdapat lima karakteristik sekolah
(lembaga pendidikan) yang bermutu yaitu : 1). Fokus pada pelanggan. 2).
Keterlibatan total 3). Pengukuran 4). Komitmen 5). Perbaikan berkelanjutan. 14
Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga
mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga
kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan
dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga
pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang
berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya,
seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu. Oleh karena itu komitmen jamai
amat dipentingkan serta evaluasi kinerja dalam perbaikan berkelanjutan
sepanjang waktu sebab setiap saat perubahan terjadi dan kekuranganpun makin
disadari. Seperti dijelaskan Suryadi Poerwanegara[19] menyampaikan ada
enam ungsur dasar yang mempengarui suatu produk : 1) Manusia 2) Metode 3)
Mesin 4) Bahan 5) Ukuran 6) Evaluasi Berkelanjutan.
Pemimpin lembaga pendidikan Islam, merupakanmotivator, event
Organizer, bahkan penentu arah kebijakan lembaga yang akan menentukan
bagaimana tujuan-tujuan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Untuk
mewujutkan hal tersebut maka seorang pimpinan perlu mengunakan konsep
Manajemen Mutu Terpadu (MMT).
Manajemen adalah pengaturan yang dilakukan melalui proses dan diatur
berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu, jadi manajemen itu
merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.
Manajemen Mutu Terpadu ( Total Quality Management) dalam kontek
pendidikan merupakan sebuah filosofi metodologi tentang perbaikan secara
terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap

14

Suryadi Poerwanegara, Filosofi Baru TentangManajemen Mutu Terpadu, (Jakarta, PT.Bumi


Aksara, 2002) h. 12

institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan


pelanggan, saat ini maupun masa yang akan datang[20]. Sedangkan Pidarat,
menyampaikan bahwa TQM merupakan suatu sistem manajemen yang
mengangkat kualitas sebagai strategi usaha yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi[21]. Total Quality
Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang
mencoba untuk memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus
menerus atas produk, jasa, manusia, tenaga kerja, proses, dan lingkungan. 15
Pada hakekatnya tujuan institusi pendidikan adalah untuk menciptakan
dan mempertahankan kepuasan para pelanggan dan dalam TQM kepuasan
pelanggan ditentukan oleh stakeholder lembaga pendidikan tersebut. Oleh
karena hanya dengan memahmi proses dan kepuasan pelanggan maka
organisasi dapat menyadari dan menghargai kualitas. Semua usaha /
manajemen dalam TQM harus diarahkan pada suatu tujuan utama, yaitu
kepuasan pelanggan, apa yang dilakukan manajemen tidak ada gunanya bila
tidak melahirkan kepuasan pelanggan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan masih
banyak kegagalan, ini disebabkan antara lain ; masalah manajemen pendidikan
yang kurang tepat, penempatan tenaga tidak sesuai dengan bidang
keahliaannya (termasuk didalamnya pengangkatan pimpinan tidak melalui uji
kemampuan yang professional bahkan hanya mengutamakan dan ditentukan
nuansa politis dari pada profesionalisme), penanganan masalah bukan pada
ahlinya, pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia,
sehingga tujuan pendidikan belum dapat diwujudkan secara signifikan.
Menurut Sidi.16 telah diupayakan tidak kurang 12 strategi pembangunan
pendidikan nasional, antara lain 1). Menerapkan perencanaan berbasis
kompetensi lokal. 2). meningkatkan pemerataan pendidikan. 3). menetapkan
sistem manajemen mutu secara menyeluruh. 4). meriviewkurikulum secara

15
16

Nasution.M.N. ( 2004 ) Manajemen Mutu Terpadu, ( Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004), h. 18


Sidi, Strategi Pendidikan Nasional, Makalah, disampaikan pada simposium dan musyawarah
Nasional 1 Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang tanggal 13-14 oktober 2001
di Malang.

pereodik serta mengembangkan implementasi kurikulum secara kontinyu. 5).


merancang proses penerapan pendekatan dan metode serta isi pendidikan yang
memberi kesempatan luas kepada peserta didik dan warga belajar untuk
mengembangkan potensi kemampuannya secara luas. 6). meningkatkan system
manajemen sumber pendidikan yang lebih adil dan memadai serta
mendayagunakan dan memobilisasi sumber dana secara efisien. 7). Menyusun
rambu-rambu kebijakan pengembangan program pendidikan yang luwes. 8).
Membuat peraturan perundangan

yang mengatur perimbangan peran

pemerintah dan non pemerintah dalam pendidikan secara komprehensif. 9).


Mengurangi unit birokrasi yang dipandang kurang bermanfaat. 10).
Mengupayakan secara konsisten dukungan dana yang memadai terutama untuk
prioritas program pendidikan sebagaipublic goods. 11). menjaga konsistensi
dan berkelanjutan internalisasi nilai-nilai pendidikan nasional diantara tiga
pusat pendidikan ; yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dan 12). Mengkaji
pendekatan pembelajaran yang berorientasi padalife skill. Inilah salah satu
yang harus dipertimbangkan seorang pimpinan dalam mengelola lembaga
pendidikan.

5. PENUTUP
Permasalahan pendidikan Islam dalam lingkup pengelolaan manajemen
adalah mencakup wilayah internal dan eksternal. Secara internal selalu
dihadapi kendala perpecahan atau sulitnya persatuan yang utuh. Ini diakibatkan
telah mendarah dagingnya perselisihan ditubuh umat Islam dengan
menyeruaknya aliran dan pemahaman mazhab. Maka sampai saat ini keadaan
itu masih terpelihara dengan utuh dan tidak memandang tingkat pendidikan,
bahkan pada lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi sekalipun fenomena itu
cukup dirasakan, apalagi untuk menentukan siapa menjadi pimpinan adalah
melalui proses demokrasi ala kampus, maka percikan api perseteruan otomatis
tidak terelakkan. Belum lagi lemahnya sumber daya manusia para pemegang
otoritas kepemimpinan itu sendiri, menyebabkan sistem administrasi dan
managemen sungguh sangat lemah. Padahal kesatuan dan kerapiaan penata
usahaan amatlah menentukan lancarnya proses pemungsian lembaga.

Sedangkan secara ekternal, bahwa diakui lembaga pendidikan Islam di


Indonesia khususnya adalah berada dibawah lingkungan Departemen Agama, maka
otomatis tidak ikut dalam pola otonomi daerah, mengakibatkan lembaga Madrasah
dan PTAI cendrung tidak menjadi bagian dari pembangunan pendidikan karena
dianggap Madrasah dan PTAI adalah bagian Agama, dan tidak menjadi tanggung
jawab Departemen yang membidangi Pendidikan Nasional. Oleh karena itu
pemipin di lembaga pendidikan Islam sering tidak dilayani sebagai pemimpin
dalam pendidikan, menyebabkan lembaga yang dipimpinpun tidak mendapat
perhatian pemerintah daerah. Oleh karena itu dituntut; bagi setiap pemimpin
dilembaga ini harus kerja keras untuk mensosialisasikan diri dengan membentukm
jaringan kerja yang baik.
Artinya lembaga pendidikan Islam tampa didukung oleh seorang pemimpin
yang memiliki team work yang solid dan net work yang luas pendidikan Islam sulit
menjadi baik apalagi unggulan. Maka pemimpin perlu menyadari ini, dengan secara
tulus serta semangat pengorbanan agar duahal ini dapat dikondisikan, bila tidak
lembaga pendidikan Islam akan tetap saja seperti apa yang ada selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alvin Tofler, The Third Wave, London, Pan Books, 1981, buku terlaris saat itu dari
karya seorang Futurolog dunia terkemuka, sebagaimanadikutip oleh
R.M.Roy Suryo Indonesia Menyongsong Era Globalisasidalam
Harian Kedaulatan Rakyat, (koran Jakarta) terbitan 7 Juli 1992
Dahriman, Ciput MSA M, dan Mahfudh Djunaidi, Berlaku Adi lterhadap
Madrasah, From: http://www. suaramerdeka. Com / harian / 0211/ 12/
kha1.htm, accses, Sabtu, 16 april 2009
Abdul Aziz, Perlu Peraturan Pemerintah tentang Desentralisasi Madrasah, Kompas,
Jakarta, From:http:// www.kompas. com / kompas-cetak / 0211 / 26/
DIKBUD / 808.htm, accses, sabtu, 16 April 2011
Soeroyo,Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan
Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta. 1991.
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta Suatu
Pengantar,Yogyakarta, Tiara Wacana,1991.
H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta, Bina Aksara,, 1991.
Lihat Ahmat Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2006.17
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21,Magelang, Tera Indonesia, 1999.
Hujair A. H. Sanaky, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca
Reformasi antara Mitos dan Realitas, dalam Jurnal Ilmu ilmu Sosial
Unisia,

Universitas

No.62/XXIX/IV/2006 2006.

17

Islam

Indonesia,

Yogyakaarta,

Hujair A. Sanaky, dalam Jurnal Al-Tarbawi, Permasalahan dan PenataanPendidikan


Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu, UII,Yogyakarta, NO. 1.
VOL. I. 2008
Ahmad Zayadi, Aspek Sosiologis dan Kepemimpinan pada PTAI , Al-Madrasah ,
Tabloid Republika, volume 4, September 2008.
Ahmad Barizi, M.A, (editor), Holistik Pemikiran Pendidikan(A. Malik Fadjar),
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Lihat Wahjosumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi,(Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001.
Suryadi Poerwanegara, Filosofi Baru TentangManajemen Mutu Terpadu, (Jakarta,
PT.Bumi Aksara, 2002.
Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (Pitman Publishing,
London, United Kingdom 2006.
Pidarta, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia,Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,
2004.
Nasution.M.N. Manajemen Mutu Terpadu, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004.

JAWABAN ATAS PERTANYAAN


TUGAS MATA KULIAH SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM

Di buat untuk memenuhi tugas


Mata kuliah Super visi pendidikan Islam
Dosen pengampu, Dr. Ahmad Ali Riyadi, M.Ag

Nama : Ahmad Ulin Nuha


NIM

: 413018

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN AJARAN
2014/2015

Anda mungkin juga menyukai