Anda di halaman 1dari 7

5.

6
Rencana Fasilitas IPAL
5.6.1 Rencana Pembangunan IPAL

Berdasarkan berdasarkan peta pengembangan penyaluran air buangan diatas, IPAL


pada Kabupaten Blora berjumlah 19. Pada Kecamatan Blora ,Kecamatan Jepon, kecamatan
tunjungan,, kecamatan jati, kecamatan kradenan, kecamatan cepu masing-masing 1 IPAL
dikarenakan penduduk yang berjumlah banyak dan perekonomiannya yang cukup maju
daripada kecamatan lainya. Untuk kecamatan lainnya terdapat 2 dan 3 IPAL dikaenakan
kontur yang tidak memungkinkan apabila hanya membangun 1 IPAL
Sistem pengolahan yang akan direncanakan ialah menggunakan sistem Aerated
Lagoon karena memiliki keunggulan baik efektifitas, efisiensi dan dari segi ekonomis jika
dibandingkan dengan sistem lain yang menjadi alternatif. Adapun unit-unit pendukung lain
yang digunakan dalam tiap tahapan ialah :
1. Primary treatment : bars screen,grit chamber, bak ekualisasi dan pompa, bak pengendap
2. Secondary treatment: Aerated lagoon, kolam sedimentasi.
3. Desinfeksi : klorinasi
4. Sludge treatment : Sludge Drying Bed.

5.6.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah


Dalam pengolahan air limbah terdapat beberapa cara, teknologi yang digunakan
tergantung dari limbah yang dihasilkan dan modal yang dimiliki suatu daerah untuk membeli
teknologi IPAL.Teknologi-teknologi itu antara lain :
5.6.2.1 Oxidation Ditch

Pada prinsipnya sistem oxidation ditch adalah extended aeration yang semula
dikembangkan berdasarkan saluran sirkular dengan kedalaman 1-1,5 m yang dibangun
dengan pasangan batu. Air diputar mengikuti saluran sirkular yang cukup panjang untuk
tujuan aerasi dengan alat mekanik rotor seperti sikat baja yang berbentuk silinder. Rotor
diputar melalui as (axis) horizontal dipermukaan air. Alat aerasi ini disebut juga cage rotor.
Belanda mengembangkan saluran sirkular yang lebih dalam (2,5-4 m) untuk mengurangi luas
lahan yang diperlukan. Hanya sistem rotor horizontal diganti dengan aerator dengan as (axis)
vertikal. Sistem ini dikenal dengan carroussel ditch. Umumnya sistem ini dilengkapi
dengan bak pengendap (clarifier) dan sludge drying bed (unit pengering lumpur). Resirkulasi

lumpur ke dalam reaktor untuk mendapatkan konsentrasi lumpur antara 0,8-1,2% sehingga
rasio resirkulasi lumpur dilakukan antara 50-100%. Kebutuhan luas sludge drying bed antara
0,05-0,33 m2 capita. Besaran ini bergantung pada efektivitas digester yang digunakan. Makin
efektif digester maka kebutuhan lahan akan semakin kecil.

Gambar 5.10 Teknologi Oxidation Ditch


5.6.2.2 RBC ( Rotating Biological Contactor)

Prinsip pengolahan dengan RBC adalah pengolahan zat-zat organik yang ada pada air
limbah dengan mengunakan bakteri yang melekat pada media berbeda dengan trickling filter
yang menggunakan filter media yang diam sebagai tempat koloni bakteri berkembang. Air
limbah dicurahkan ke atas filter media tersebut secara intermittent untuk mendapatkan
kondisi aerob. Sebagaimana umumnya koloni bakteri tersebut menghasikan lendir (film) dari
proses sintesa. Lendir-lendir ini berkembang menutupi celah (void) diantara media sehingga
terjadi penumbatan yang akan menghambat aliran. Oleh karena itu, secara periodik perlu
adanya pembilasan. Bertentangan dengan kondisi penyumbatan tersebut, maka RBC
menggunakan media berupa piringan fiber/HDPE yang berada 40% did alam air dan disusun
secara vertikal pada as (axis ) rotor horizontal. Piringan diputar dengan kecepatan (3-6) rpm
yang memberikan kesempatan secara bergantian bagian-bagian dari luas permukaan piringan
menerima oksigen dari udara luar. Pemutaran ini selain untuk tujuan pemberian oksigen pada
bakteri yang melekat pada piring juga dimaksudkan untuk membilas secara otomatis lendir
yang terbentuk berlebihan pada piring. Dengan menggunakan RBC, tidak akan terjadi
penyumbatan.

Kriteria desain:
Beban organik untuk piringan 20 gr BOD/ m2 luas piringan.hari
Jarak antar piringan (3-5) cm
Diameter Piringan (1,5-3) m
Waktu detensi dalam bak (2-4) jam
Kedalaman bak piringan bergantung tinggi bagian piringan yang terbenam dalam air,
misal untuk piringan diameter 3m maka kedalam air dalam bak 2 m
Kebutuhan listrik untuk rotor 8-10 Kw.jam/(orang.tahun)
Produksi lumpur (0,4-0,5) kg / kg penyisihan BOD
Pengolahan air limbah dengan RBC terdiri dari:
Saringan sampah,
Bak pengendap pendahuluan.
Bak kontak media (piringan)
Bak pengendap kedua
Peralatan utk pembubuhan zat disnfektan
Bak pengeram lumpur
Bak pengering lumpur
Sebagai catatan RBC pada umumnya digunakan untuk skala modul 1.000 s/d 10.000
jiwa

Gambar 5.11 Teknologi RBC ( Rotating Biological Contactor)


Sistem pengolahan limbah di yang digunakan adalah aerated lagoon. Wastewater
treatment dengan metode areated lagoon sebenanrnya adalah teknologi yang sudah cukup
lama. Sistem ini dipilih karena biaya operasionalnya termasuk yang termurah dibanding
sistem lain. Aerated lagoon, membutuhkan lahan yang cukup luas, karena ia merupakan

kolam oksidasi dan kolam pengendapan. Itulah sebabnya IPAL yang akan dirancang
membutuhkan lahan luas.
Proses pengolahannya adalah dengan menumbuhkan bakteri aerobik dalam keadaan
terdispersi, yaitu dengan memberikan oksigen ke dalam air limbah, kemudian bak tersebut
akan menguraikan zat organik yang berada dalam air limbah. Biasanya kolam aerasi tersebut
berupa kolam-kolam besar yang dilengkapi dengan aerator permukaan (surface aerator) atau
aerator mekanis yang dapat mengapung atau tercelup. tanpa resirkulasi lumpur. Unit
ini sangat baik dalam mendegradasi senyawa organic. Namun membutuhkan waktu detensi
yang lama.
Skema pengolahan air buangan domestik yang akan dibangun dapat digambarkan
pada Gambar berikut ini:

Gambar 5.11 Diagram Alir Instalasi Pengolahan Air Buangan Domestik


Keterangan :
1. Bar Screen
Berfungsi menyaring sampah yang berukuran besar (>50mm).

2. Grit Chamber
Grit chamber bertujuan untuk menghilangkan kerikil, pasir, dan partikel partikel lain
yang dapat mengendap didalam saluran dan pipa-pipa serta untuk melindungi pompapompa dan peralatan lain dari penyumbatan, abrasi, dan overloading. Grit removal

digunakan untuk mengambil padatan-padatan yang memiliki ukuran partikel lebih kecil
dari 0,2 mm
3. Equalisasi
Adalah suatu cara/ teknik untuk meningkatkan efektivitas dari proses pengolahan
selanjutnya. Keluaran dari bak equalisasi (tangki aliran rata-rata) adalah parameter
operasional bagi unit pengolahan selanjutnya seperti flow, level/ derajat kandungan polutan,
temperatur, padatan, dsb.
Equalisasi adalah peredaman (pengurangan) aliran yang tidak continue menjadi aliran
yang mendekati konstan. Cara ini dapat diterapkan pada situasi yang berbeda, tergantung
pada karakteristik sistem penampungan. Penerapan yang penting pada equalisasi adalah
sebagai berikut :
a. Debit cuaca kering (debit saluran kering selam 24 jam)
b. Debit cuaca basah (hujan) dari sistem drainase terpisah
c. Kombinasi debit air hujan dan debit air buangan saluran sanitasi
4. Bak Pengendap
Dari bak pemisah/pengendap pasir, air limbah dialirkan ke bak pengedap awal. Di dalam
bak pengendap awal ini lumpur atau padatan tersuspensi sebagian besar mengendap. Waktu
tinggal di dalam bak pengedap awal adalah 2 - 4 jam, dan lumpur yang telah mengendap
dikumpulkan dan dipompa ke bak pemekat lumpur.
5. Aerasi
Yang dimaksud dengan aerasi yaitu mengontakkan udara dengan air baku agar kandungan
zat besi dan mangan yang ada dalam air baku bereaksi dengan oksigen yang ada dalam udara
membentuk senyawa besi dan senyawa mangan yang dapat diendapkan. Disamping itu proses
aerasi juga berfungsi untuk menghilangkan gas-gas beracun yang tak diinginkan misalnya gas
H2S, CH4, CO2 dan gas-gas racun lainnya.

6. Sedimentasi
Adalah pemisahan partikel-partikel yang lebih berat dari air, dengan prinsip gravitasi.
Sedimentasi merupakan satu unit yang banyak dipakai pada pengolahan limbah cair. Tujuan
utama dari penggunaan unit ini adalah untuk menghasilkan cairan clarified dan juga
mendapatkan konsentrasi padatan yang mudah dikelola.
7. Bak Desinfektan

Didefinisikan sebagai bak penampung dimana dimasukkannya bahan kimia atau pengaruh
fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti
bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau
kuman penyakit lainnya.
Terdapat dua jenis dasar dari kolam aerasi, yaitu:

1. Kolam Aerobik
Kolam ini dirancang dengan level daya yang cukup tinggi untuk mempertahankan semua
padatan dalam kolam tetap tersuspensi dan juga untuk membagikan oksigen terlarut diseluruh
volume cairan. Kolam aerobik biasanya dirancang untuk beroperasi pada rasio F/M yang
tinggi atau waktu detensi lumpur yang pendek.sistem ini mencapai stabilisasi organic yang
kecil karena lebih menekankan konversi material organik terlarut manjadi materi organic
seluler.

2. Kolam Fakultatif
Kolam fakultatif dirancang dengan level daya yang hanya cukup untuk
mempertahankan oksigen terlarut di seluruh volume cairan. Dalam hal ini, sebagian besar
padatan (solid) dalam kolam tidak dipertahankan dalam keadaan tersuspensi, tetapi
mengendap pada dasar kolam yang akan didekomposisikan secara anaerobic. Kolam
fakultatif dirancang untuk waktu detensi lumpur yang lebih lama (sistem kecepatan rendah)
dan stabilisasi organik.
Karena semua padatan (solid) dipertahankan dalam keadaan tersuspensi, waktu
detensi dalam kolam aerobik yang diperlukan untuk pemisahan BOD terlarut akan lebih kecil
daripada waktu detensi yang diperlukan untuk kolam fakultatif (Kormanik, 1972). Akan
tetapi kebutuhan energi untuk pengadukan dalam kolam aerobik akan jauh lebih besar
daripada kebutuhan daya dalam kolam fakultatif. Lebih lanjut karena semua padatan tetap
tertahan dalam suspensi, efluen dari suatu kolam aerobik akan mempunyai konsentrasi
padatan yang jauh lebih tinggi daripada efluen dari kolam fakultatif, sehingga dibutuhkan
suatu tahap pemisahan padatan-cairan setelah proses aerobik, jika ingin mencapai efluen
kualitas yang baik. Kolam aerobik sesungguhnya adalah suatu sistem lumpur aktif tanpa
resirkulasi.
Keuntungan dari aerated lagoon antara lain adalah prosesnya yang lebih sederhana
daripada lumpur aktif, sehingga mudah dan lebih murah dalam pengoperasian dan

pemeliharaan. Limbah di aerated lagoon secara langsung terekualisasi, sehingga aerated


lagoon relatif tahan terhadap shock loading.
Kelemahan dari aerated lagoon adalah waktu detensinya yang relatif besar yaitu 26
hari (Qasim, 1985), sehingga lahan yang dibutuhkan besar. Selain itu proses ini sulit untuk
dimodifikasi. Aerated lagoon juga menghasilkan efluen dengan konsentrasi TSS yang cukup
tinggi yaitu sekitar 80250 mg/l (Qasim, 1985). Konsentrasi TSS efluen aerated lagoon ini
lebih tinggi daripada proses lumpur aktif, sehingga lumpur yang dihasilkan lebih banyak.
Namun setelah melewati proses pengendapan, BOD yang tersisihkan berkisar antara
8095%. Proses ini juga sangat sensitif terhadap perubahan udara ambien, namun untuk
Indonesia yang hanya terdiri dari dua musim proses ini cukup baik untuk digunakan.
Penggunan teknologi aerated lagoon sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia, yaitu
Jogjakarta (JSDP) dan Bali (DSDP).

5.6.3 Kapasitas IPAL


Penentuan total air bersih yang digunakan, perlu diketahui kebutuhan air domestik
serta kebutuhan air non-domestik. Kebutuhan non-domestik sendiri contohnya berasal dari
kebutuhan air dari pasar, industri, sarana peribadatan, kantor, rumah makan, dan lain
sebagainya. Perhitungan debit air buangan dihitung berdasarkan perhitungan proyeksi IKK di
Kabupaten Blora, pada tahun 2033. Perhitungan debit air buangan dihitung pada setiap pipa
dan berdasarkan pada perhitungan debit air bersih yang digunakan oleh penduduk.

Anda mungkin juga menyukai