Anda di halaman 1dari 5

Interaksi Sosial Antara Muslim Dengan Non Muslim

Bagi umat Islam yang hidup di negara-negara mayoritas non Muslims, pembicaraan
mengenai interaksi dengan non Muslim merupakan sesuatu yang sangat esensial dan mendasar.
Esensial karena kenyataannya pergaulan, baik pada tataran fardi (individu) maupun jamaai
(komunal/masyarakat). setiap saat terkait dengan non Muslim. Dari tetangga di kediaman, pasar,
jalan, bioskop, hingga ke kantor-kantor pekerjaan dan bahkan pemerintahan, semuanya terkait
dengan teman-teman non Muslim.
Bahkan umat Islam yang hidup di negara-negara mayoritas Muslim, juga kenyataannya
menghadapi realita yang sama. Yakni kehidupan tertetanggan tidak lagi seperti yang dipahami
secara konvensional (tradisi) bahwa tetangga itu adalah si Abdullah di seberang kiri dan si
Muhammad di seberang kanan. Bahkan tidak mustahil seorang Muslim yang tinggal di
Kalimantan serasa bertetangga dengan Yahudi Ortodoks yang tinggal di Brooklyn New York.
Apapun yang dialami tetangganya di Kalimantan akan dengan mudah diakses oleh tetangganya
di Manhattan, yang dikenal dengan kota dunia.
Itulah bentuk pertetanggaan yang dibentuk oleh dunia dengan proses globalisasi yang
dahsyat dan dengan karakter telekomunikasi yang ajaib. Bahkan tidak jarang tetannga jauh
(secara lahiriyah) ternyata lebih awal mengetahui apa yang menimpa tetangganya ketimbang
yang tinggal (secara lahiriyah) di seberang rumahnya. Berita-berita tentang tanah air Indonesia
lebih awal terbaca oleh mereka yang tinggal di kota New York daripada mereka yang tinggal di
Indonesia sendiri.
Kenyataan inilah yang menjadikan kaum Muslim harus semakin sadar akan dunianya
yang boleh jadi menuntut perubahan cara pandang dalam banyak hal. Salah satu cara pandang
yang perlu kembali dilihat adalah bagaimana berinteraksi dengan tetangga-tetangga non Muslim.
Kekeliruan melihat atau memandang interaksi ini, boleh jadi menjadikan umat ini berada pada
posisi yang justeru akan semakin menjadikannya salah dipahami dan bahkan termarjinalkan di
tengah arus perubahan dunia global.
Rasul sebagai Tauladan
Bagi umat ini, merupakan bagian dari fondasi iman yang mempercayai bahwa
Rasulullah, Muhammad SAW, adalah cerminan dalam segala sikap dan prilaku, kasat maupun
batin, dan dalam segala aspek kehidupan itu sendiri. Uswah hasanah Rasul, demikian disebutkan
dalam AlQuran, merupakan dasar pijakan hidup seorang Muslim dalam hidupnya di setiap saat

dan ruang. Keyakinan ini merupakan impelementasi dari komitmen dasar Muhammadan
Rasulullah dalam syahadat yang diikrarkan itu.
Jika kita mengintat kembali rentang perjalanan hidup Muhammad SAW sebagai
Rasulullah (utusan Allah) selama kurang lebih 23 tahun itu akan didapati betapa semuanya
merupakan aktualisasi dari Rahmah Allah dalam bentuk kehidupan nyata. Inilah yang
menjadikan beliau, tidak saja dikenal sebagai pembawa rahmat, tapi beliau sendiri
merupakanrahmatan lil alamiin. Karena memang beliau tidak saja telah mentabligkan
(menyampaikan) ajaran yang penuh kasih dan sayang ini, tapi juga telah membuktikannya dalam
wujud kehidupan nyatanya. Dan karenanya, semua aspek kehidupan Rasul merupakan
ekspresi rahmat Ilahi samawiyah yang terlihat, terasa, dan dinimati oleh semua yang ada di
sekeliling beliau. Tidak saja manusia, tapi seluruh alam semesta selain Penciptanya.
Tentu kasih sayang Rasul SAW juga telah tercicipi mereka yang justeru menolak
ajarannya (non Muslim). Namun sebelum membicarakan bagaimana Rasulullah SAW
mempraktekkan rahmatan lil alamin ini dalam konteks dengan non Muslim, kita akan coba
melihat terdahulu apa perbedaan antara cinta (al-hubb atau al-wudd) dengan sayang (rahmah).
Hal ini sangat penting mengingat ada asumsi yang mengatakan bahwa Islam itu adalah ajaran
yang kurang aspek cinta kasihnya. Seolah cinta kasih itu didominasi oleh ajaran agama tertentu.
Tapi benarkah demikian?
Dalam Al-Quran ada dua kata yang dipakai ketika merujuk ke kata cinta. Pertama
adalah al-hubb seperti qul in kuntum tuhibbuuna Allahadst). Kedua adalah al-wudd seperti dalam
sifat Allah sebagai al-Waduu dan pada ayat wajaala baenakum mawaddatan..
Sebagian ahli bahasa menjelaskan bahwa ketika kata cinta tereskpresikan dengan kata alhubb maka itu adalah cinta yang terjadi karena ada sebab akibat. Kecintaan kita kepada Allah
SWT terjadi karena kita sadar akan besarnya nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada
kita. Dan karena kecintaan kita kepada ALlah ini yang terekspresikan dalam ketaatan kepada
RasulNya, Allah pun cinta kepada kita.
Sementara ketika cinta terekspresikan dengan kata alwudd /al-mawaddah maka itu adalah
cinta yang tidak memiliki sebab akibat. Allah tidak menamai diriNya dengan al-Muhibbu (the
lover) tapi Al-Wadud (the Loving One) karena memang cintanya kepada hamba-hambaNya tidak
memerlukan sebab dan bukan karena sebuah akibat. Allah cinta karena memang itu menjadi
bagian integratif dari sifatNya yang agung.

Kecintaan seorang suami kepada isterinya dan sebaliknya kecintaan seorang isteri kepada
suaminya diekspresikan dengan kata al-wadud dengan harapan bahwa kecintaan suami isteri itu
jangan karena ada sebab akibat. Cintailah isteri anda bukan karena ada sesuatu yang anda
harapkan dari isteri. Demikian sebaliknya. Tapi merupakan cinta tanpa pamrih, hanya karena
memang itu menjadi bagian integral tuntutan dalam membangun rumah tangga yang sakinah.
Lalu bagaimana dengan kasih sayang (rahmah)?
Ternyata rahmah adalah cinta yang telah teraplikasikan dalam wujud nyata. Artinya,
kalau cinta masih merupakan bahasa batin/rasa maka rahmah mewujudkannya dalam bentuk
realita laku dan pengorbanan. Di sinilah rahasia ketika Allah SWT mengatakan wajaala
baenakum mawaadatan wa rahmatan. Bahwa Allah menjadikan di antara suami dan isteri rasa
cinta dan kemudian tersusuli dalam bentuk rahmah (kasih sayang). Dan ini terbukti ketika cinta
itu tidak lagi (minimal kurang) memiliki faktor penyebab (alasan/cause). Sebagai misal, cinta
isteri karena cantik, karena pandai memasak, dll. Bagaimana kalau isteri telah mencapai umur
tertentu di mana semua penyebab itu telah tiada? Haruskah cinta itu menghilang seiring
hilangnya penyebab? Di sinilah faktor rahmah berperan. Cinta tetap cinta karena memang cinta
dan tanpa pamrih.
Mungkin rahim ibu adalah saksi nyata rahmah dalam hidup manusia. Selama 9 bulan
semua kita berada dalam rahim ibunya. Dan di masa itulah seorang ibu mengjalani kehidupannya
dengan penuh kesulitan. Dan ketika melahirkan itulah masa-masa tersulit dalam kehidupan
seorang wanita. Toh, tak seorang pun di anatar ibu pernah mengeluh kepada sang anak yang
telah merepotkan sedemikian rupa. Dan tak seorang ibupun yang pernah meminta bayaran
kepada anak-anaknya walau anak-anak itu telah mencapai keberhasilan yang besar di kemudian
hari. Itulah rahmahterpatri dalam rahim setiap ibu.
Rasulullah SAW sebagai rahmatan telah membuktikan bahwa cinta dan kasih sayangnya
tidak mengenal sebab dan akibat. Beliau cinta dan saying karena memang itulah tabiat dasar
beliau sebagai khar basyar(sebaik-baik manusia) yang pernah lahir di atas bumi ini.
Perlakukan beliau kepada non-Muslim semuanya merupakan cerminan dasar dari karakter beliau
yang rahmatan lil-alamin. Pertanyaannya bagaimana beliau menjabarkan rahmatan lil-alamin ini
dalam konteks interaksi beliau dengan non-Muslim?

Pandangan Positive
Rasulullah SAW memiliki pandangan positif kepada semua manusia, Muslim dan nonMuslim. Pandangan positif ini tentunya merupakan refleksi langsung dari kenyataan bahwa
Allah SWT menciptakan manusia dengan tujuan positif. Kalaupun dalam prosesnya ternyata ada
manusia yang menjadi sebaliknya (jahat) maka itu merupakan penyimpangan dari karakter dasar
yang positif.
Karakter dasar manusia yang positif ini terpatri dalam dua aspek manusia. Pertama
adalah karakter fitri, bahwa manusia pada dasarnya adalah positif (suci). Kedua adalah karakter
kapasitas, bahwa manusia memiliki kapasitas yang maha hebat (ilmu).
Kedua dasar karakter dasar inilah yang kemudian menjadikan Allah di sejak awal penciptaan
manusia memerintahkan kepada malaikat untuk memberikan penghormatan kepada ciptaanNya
yang unik ini dengan perintah bersujud kepada Adam AS. Jauh sebelum memerintahkan
malaikat bersujud, Allah telah melakukan self-answer kepada malaikat ketika mereka
mempertanyakan penciptaan manusia: Apakah Engkau akan menjadikan (manusia) yang akan
melakukan kerusakan dan menumpahkan darah di atas bumi?.
Allah SWT menjawab dengan jawaban yang tegas dan tepat. Sebuah jawaban yang tegas
karena tidak terpengaruh oleh pertanyaan para malaikat yang jelas-jelas innocent (suci) tersebut.
Tepat karena jawaban yang diberikan tepat sasaran dan sesuai. Allah mengatakan: Inni alamu
maa laa talamuun (Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui).
Jawaban ini selain menjawab kekhawatiran malaikat, juga menggambarkan pandangan positif
Allah kepada manusia yang akan diciptakan itu. Bahwa malaikat ada benarnya kalau akan ada
manusia yang melakukan kerusakan dan pertumpahan darah, memang Allah tidak menjawab
kamu salah. Tapi Allah juga tidak mengambil kesimpulan dari prilaku sebagian manusia yang
akan melakukan kerusakan itu. Sebaliknya Allah memandang bahwa dari manusia itu aka nada
yang mampu melakukan banyak hal positif, termasuk membangun peradaban yang sangat tinggi.
Dan ternyata ini menjadi kenyataan.
Dalam penyikapi non Muslim, Rasulullah SAW memiliki pandangan positif seperti ini.
Bahwa sejahat apapun manusia itu, toh masih ada penglihatan batin yang dia sendiri tidak
mampu bohongi. Ada fitrah yang tidak akan berubah (laa tabdiila likhalqi Allah). Inilah yang
menjadikan beliau menolak ketika malaikat gunung menawarkan kepada beliau untuk
menghancurkan penduduk Thaif yangt telah menyakiti beliau ketika itu. Beliau menolak ide

penghancuran itu dengan mengatakan: mudah-mudahan ada di antara generasi mereka ini yang
akan kembali beriman kepada Allah SWT.
Sikap positif pula inilah yang menjadikan beliau menengadahkan tangan ke langit secara
berdoa kepada Allah agar kiranya memberikan hidayah kepada salah satu dari dua Umar Mekah
ketika itu. Umar pertama adalah Abu Lahab, paman beliau sendiri. Dan Umar yang kedua adalah
Ibnu Khattab, seorang pria perkasa yang kuat dan ditakuti oleh banyak penduduk Mekah ketika
itu. Keduanya sebelum salah satu di antaranya mendapatkan hidayah adalah orang-orang yang
yang sangat jahat dan jahil. Tetapi Rasulullah justeru mendoakan agar salah satunya diberikan
hiadayah dalamm doanya yang terkenal: Allahumma ihda ahada Umaraen(yaa Allah tunjukilah
salah satu dari dua Umar). Dan ternyata Allah kemudian mengabulkan doa Rasulullah SAW
dengan masuknya Umar ke dalam agama hanif ini.
Dalam dunia global sekarang ini pandangan sikap seperti ini tentu sangat relevan. Dan
ternyata itu terbukti bahwa dengan pandangan positif kita dapat membangun relasi yang positif
dengan non-Muslim. Dengan relasi positif ini ternyata banyak membuahkan hasil-hasil positif
dalam banyak kesempatan. Salah satunya sebagai misal adalah ketika CongressmanPeter King
melakukan dengar pendapat (hearings) di congress, ternyata banyak di antara non-Muslim yang
selama ini telah membangun hubungan positif dengan komunitas menentangnya, termasuk di
daerah pemilihan Peter King sendiri (constituents).
Terlalu banyak contoh yang dapat diajukan untuk membuktikan betapa membangun
pandangan positif terhadap non Muslim justeru akan menjadi jalan kebajikan bagi komunitas
Muslim itu sendiri. Tensi dan bahkan perasaan dan kecenderungan memusuhi justeru hanya akan
semakin mempersempit jalan dawah dan pada akhirnya justeru tuduhan bahwa Islam
mengajarkan hatred (kebencian) dan violence (kekerasan) seolah mendapat justifikasi dari
pemeluknya. Semoga saja tidak.

Interaksi Sosial Antar Kelompok

Anda mungkin juga menyukai