Chapter II 31
Chapter II 31
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistem Hemopoiesis
Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan
sumsum tulang kuning (fatty marrow) (Tortora, 2009). Hal ini terjadi akibat
adanya pertukaran sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di
tulang-tulang panjang. Bahkan di sumsum hemopoietik sekalipun, 50%
penyusunnya adalah sel-sel lemak (Hoffbrand, 2006). Jadi pada dewasa, proses
hemopoiesis hanya terpusat di tulang-tulang rangka sentral dan ujung proksimal
dari humerus dan femur.
Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum
tulang yang berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit,
diperkirakan hanya sekitar 1 sel dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel
ini memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi beberapa lineage yang
berbeda melalui proses duplikasi, kemudian berproliferasi serta berdiferensiasi
hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel retikuler, sel mast dan sel
adiposa. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan memasuki sirkulasi
general melalui kapiler sinusoid.
Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada
di sumsum tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell
dan lymphoid stem cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi
sekitar 106 sel darah matur setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem
cell memulai perkembangannya di sumsum tulang dan kemudian membentuk
eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Begitu juga dengan
lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang
namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah
turunan dari sel-sel tersebut.
Selama proses hemopoiesis, sebagian sel myeloid berdiferensiasi menjadi
sel progenitor. Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun
membentuk elemen yang lebih spesifik yaitu colony-forming unit (CFU).
Terdapat beberapa jenis CFU yang diberi nama sesuai sel yang akan dibentuknya,
yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk megakariosit, sumber
platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.
Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel myeloid
yang belum berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai
blast. Sel-sel ini akan berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap
ini
sel-sel
prekursor
sudah
dapat
dibedakan
berdasarkan
tampilan
mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu stem cell dan sel
progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran
plasmanya.
2.2.
Keganasan Hematologi
Kanker adalah istilah yang merupakan sinonim untuk neoplasma yang
bersifat malignan (Harrison, 2011). Istilah ini tidak digunakan untuk menyebut
tumor yang bersifat jinak. Sistem pembagian kanker disusun berdasarkan asal dan
tipe sel kanker. Kanker jaringan limfatik disebut limfoma dan kanker yang berasal
dari sel hemopoietik disebut dengan leukemia (Virshup, 2010).
Myeloproliferative Disease
Myelodysplastic/myeloproliferative Diseases
Myelodysplastic Syndromes
Macrophage/histiocytic neoplasm
Dendritic-Cell Neoplasms
Faktor Keturunan
Kejadian leukemia meningkat secara signifikan pada beberapa penyakit
Pengaruh Lingkungan
-
Bahan Kimia
Paparan kronis bahan tertentu seperti benzene dapat menyebabkan
terjadinya abnormalitas bone marrow.
Obat-obatan
Alkylating agents, radioterapi, bahkan obat-obatan antileukemik pun
juga dapat mencetuskan terjadinya kanker.
Radiasi
Semua jenis radiasi bersifat leukemogenik. Hal ini terlihat pada
peningkatan insidensi leukemia pada korban selamat ledakan bom
atom di Jepang.
Infeksi
2.3.
Leukemia
Leukemia, berasal dari bahasa Yunani, leukos yang berarti putih dan
haima yang berarti darah, adalah kanker darah ataupun bone marrow yang
ditandai dengan peningkatan abnormal sel darah putih imatur yang disebut blast
(Mosby, 1994). Sel abnormal ini menimbulkan gejala karena kegagalan bone
marrow serta infiltrasi ke berbagai organ.
Kegagalan bone marrow ini mengakibatkan dua proses penyakit. Pertama,
produksi sel darah normal akan menurun secara signifikan. Oleh karena itu
terjadilah anemia, trombositopenia dan neutropenia dalam derajat yang bervariasi.
Kedua, proliferasi yang cepat dari sel-sel tersebut, diikuti dengan penurunan
kemampuan untuk mencetuskan apoptosis, mengakibatkan penumpukan di bone
marrow, darah, serta limpa dan hati. Darah yang berfungsi sebagai organ
transportasi kemudian akan membawa sel-sel ini ke tempat lain seperti meningen,
otak, kulit, testis, dan lainnya.
2.3.1. Klasifikasi
Klasifikasi utama leukemia adalah dengan membaginya menjadi empat
tipe yaitu leukemia akut dan kronik yang masing-masing dibagi lagi menjadi
limfoid dan myeloid.
Limfoid
Myeloid
2.4.
Leukemia Akut
Leukemia akut biasanya bersifat agresif, dimana proses keganasan terjadi
di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal. Perubahan genetika diduga
berperan pada sistem biokimia yang menyebabkan peningkatan laju proliferasi,
mengurangi apoptosis dan menghalangi proses diferensiasi selular. Jika tidak
ditangani, penyakit ini bersifat fatal namun lebih mudah untuk diobati dari pada
leukemia kronik. Selanjutnya, leukemia akut dikelompokkan menjadi acute
Pada pemeriksaan hasil aspirasi bone marrow, dapat dihitung jumlah sel
blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30% sel blast di bone
marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih
dari 20% sel blast di bone marrow.
Undifferentiated leukemia
M1
M2
M3
Promyelocytic
M4
M5
M6
Eryhtroleukemia
M7
Megakaryoblstic leukemia
ii.
Hal ini akibat ekspresi gen abnormal, paling sering akibat translokasi
kromosom. Karena limfoblast menggantikan posisi komponen-komponen marrow
normal, terjadi peningkatan signifikan terhadap produksi sel-sel darah normal.
Selain di marrow, sel-sel ini juga berproliferasi di hati, limpa dan nodus limfe.
Gejala klinis ALL tersering adalah demam tanpa adanya bukti terjadinya
infeksi. Namun, setiap demam yang terjadi pada pasien ALL tetap harus diduga
sebagai infeksi hingga ada bukti yang menyangkalnya, karena kegagalan
mengobati infeksi secara cepat dan tepat dapat berakibat fatal. Infeksi merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien ALL (Seiter, 2012).
Pada pemeriksaan bone marrow, menurut FAB, harus ditemui setidaknya
30% sel limfoblast atau ditemukannya 20% sel limfoblast di darah dan atau di
bone marrow (WHO, 2002) untuk menegakkan diagnosis ALL.
L2
Large
and
heterogenous
cells,
heterogenous
2.5.
Leukemia Kronik
Sel-sel B klonal yang merupakan sel asal kanker pada pasien CLL,
terperangkap di jalur diferensiasi sel B yaitu diantara pre sel-B dan sel-B matur.
Secara morfologis, sel-sel ini menyerupai bentuk limfosit matur di darah perifer.
Pada pasien CLL, pemeriksaan darah lengkap (CBC) menunjukkan
limfositosis absolut dengan lebih dari 5000 Sel-B/l yang persisten selama lebih
dari tiga bulan. Klonalitas harus dipastikan dengan flow cytometry. Sitopenia yang
disebabkan oleh keterlibatan sel klonal di bone marrow juga dapat menegakkan
diagnosis CLL tanpa memperhatikan jumlah sel-B perifer.
Pemeriksaan apusan darah tepi dilakukan untuk melihat limfositosis.
Biasanya ditemukan smudge cells yang merupakan artifak limfosit akibat
kerusakan selama pembuatan slide apusan. Sel-sel atipikal besar, cleaved cells dan
sel prolimfositik juga sering ditemukan dan bisa mencapai 55% dari total limfosit
perifer.
Flow cytometry darah perifer merupakan pemeriksaan paling baik untuk
memastikan diagnosis CLL. Melalui pemeriksaan ini, tampak sel-B klonal yang
mengekspresikan CD5, CD19, CD20(dim), CD 23 dan hilangnya FMC-7 staining.
2.6.
Miscellanous Leukemia
ini
pertama
kali
2.7.
terhadap sampel bone marrow yang didapat melalui bone marrow biopsy atau
yang biasa disebut dengan trephine biopsy dan bone marrow aspiration.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosa beberapa keadaan, seperti
leukemia, multiple myeloma, lymphoma, anemia dan pancytopenia. Hal ini
penting dilakukan karena informasi yang didapat akan lebih memuaskan
mengingat yang diperiksa adalah sumber dari sel-sel darah yang menggambarkan
hemopoiesis. Dewasa ini pemeriksaan bone marrow merupakan salah satu uji
diagnostik paling diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan
hematologi.
sitogenetik,
studi
molekuler,
kultur
mikrobiologis,
a.
Lokasi Prosedur
Lokasi utama prosedur ini adalah di tulang panggul atau spina iliaka
posterior. Selain mudah dicapai, lokasi ini dipilih karena resiko sakit tidak begitu
besar. Lokasi lain adalah spina iliaka anterior. Lokasi ini dipilih jika spina iliaka
posterior tidak dapat dicapai atau tidak memungkinkan untuk ditusuk akibat
infeksi lokal, trauma atau obesitas parah. Namun, prosedurnya lebih sulit karena
ruang yang lebih kecil, dan sampel yang didapat lebih sedikit. Selain itu resiko
sakit lebih hebat dari daerah posterior. Lokasi lain yang memungkinkan adalah
tulang sternum dan tibia.
b.
Langkah-langkah Prosedur
Pasien diposisikan dalam keadaan pronasi atau posisi lateral decubitus
dengan bagian atas tunkai bawah difleksikan sedangkan bagian bawah diluruskan.
Kemudian palpasi spina iliaka dan diberi tanda. Setelah itu melakukan tindakan
asepsis dan antiseptik dimana kulit pada daerah yang akan diaspirasi di bersihkan.
Selanjutnya kulit dan jaringan di bawahnya diberikan anestesi lokal misalnya
lidocaine secara injeksi. Pasien juga dapat diberikan obat-obatan anti ansietas atau
analgetik sebelumnya, namun hal ini tidak termasuk dalam prosedur rutin.
Jarum aspirasi ditembuskan ke kulit dengan tekanan hingga mencapai
tulang. Kemudian dengan gerakan memutar dari tangan dan pergelangan tangan
dari operator, jarum akan terus menembus hingga bagian luar yang keras dari
tulang yang disebut dengan bony cortex hingga kemudian sampai di ruang
marrow dengan jarak tidak lebih dari 1cm. Setelah itu syringe dipasang pada
jarum dan digunakan untuk mengaspirasi cairan bone marrow.
c.
Pembuatan Apusan
Slide apusan bone marrow yang didapat melalui proses aspirasi dibuat
oleh mereka yang ahli dibidangnya seperti teknisi hematopatologis. Tetesan kecil
dari sampel diletakkan pada kaca slide selanjutnya dapat dipersiapkan dalam
berbagai cara namun tetap dengan tujuan yang sama yaitu mengevaluasi bone
marrow.
Apusan bone marrow adalah pembuatan sediaan paling sederhana yang
mirip dengan pembuatan apusan darah tepi. Satu tetes sampel diletakkan 1cm dari
ujung kaca slide yang sudah diberi label diujungnya yang berlawanan. Kemudian
ambil kaca slide kedua yang diposisikan membentuk sudut 30o dari kaca slide
pertama lalu didorong hingga ujung berlawanan secara mulus dan cepat.
Cara lainnya adalah dengan metode squash preparation, cover slip
method, dan touch prints dengan indikasi dan tampilan yang berbeda-beda.
Pewarnaan standard yang digunakan untuk evaluasi awal adalah Wright
atau May-Grunwald-Giemsa staining yang menonjolkan detail sitologis.
Pewarnaan lainnya dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Seperti Prussian blue
untuk besi pada kasus yang dicurigai sebagai hemosiderosis. Sudan Black B dan
leukocyte alkaline phosphatase digunakan dalam kategorisasi AML.