Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dukungan Keluarga

2.1.1 Definisi Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal satu atap dan memiliki

rasa ketergantungan satu sama lain. Sedangkan menurut Friedman, keluarga

merupakan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perkawinan,

kelahiran, dan adopsi yang memiliki keterikatan aturan dan emosional, serta

memiliki peran masing-masing sebagai bagian dari keluarga (Wiratri, 2018).

2.1.2 Bentuk Keluarga

Keluarga dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk

berdasarkan jenis anggota keluarganya, yaitu nuclear family, extended

family, blended family, serial family, composite family, cohabitation family,

conjungal family, keluarga Dyad, single parent, dan commune family

(Setyawan, 2016).

Nuclear family adalah bentuk keluarga dengan anggota keluarga

yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Extended family ialah

keluarga yang terdiri dari tiga generasi yang tinggal bersama dibawah satu

atap (satu rumah), yaitu ayah, ibu, anak-anak, paman, tante, kakek, nenek,

dan keponakan. Blended family adalah keluarga yang terdiri dari janda atau

duda yang menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan

sebelumnya. Serial family merupakan keluarga yang terdiri dari laki-laki

6
7

atau perempuan yang sudah menikah berkali-kali namun hanya sekali

memiliki nuclear family dalam hidupnya (Efendi & Makhfudli, 2009).

Composite family merupakan keluarga dengan perkawinan

poligami yang hidup bersama dalam satu rumah. Cahabitation family ialah

keluarga atau pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan.

Conjungal family adalah nuclear family yang memiliki interaksi dengan

kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Keluarga “Dyad” adalah

keluarga yang terdiri dari suami dan istri tanpa anak. Single Parent adalah

rumah tangga yang terdiri dari salah satu orang tua (ayah atau ibu) dan anak

(kandung atau angkat) yang disebabkan karena perceraian atau kematian.

Commune family adalah beberapa pasangan keluarga yang tidak ada

hubungan kekerabatan dan tinggal bersama dalam satu rumah, dengan latar

belakang pengalaman yang sama, fasilitas yang sama, dan membesarkan

anak bersama melalui aktivitas kelompok (Setyawan, 2016).

Keluarga menurut George Murdock dalam bukunya Social

Structure, Murdock menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok

sosial yang memiliki karateristik tinggal bersama, terdapat kerja sama

ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965 dalam Lestari, 2012

: 3). Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar

(extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya

terdapat tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling.

Adapun orang tua menjadikan keluarga sebagai wahana prokerasi, karena

keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah


8

dan memiliki anak. Sedangkan keluarga besar (extended family) adalah

keluarga inti yang ditambah dengan sanak saudara yang didalamnya

terdapat ayah, ibu, anak, nenek, kakek, keponaan, sepupu, paman, bibi, dan

sebagainya dalam satu rumah (Lestari, 2012 : 6).

2.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Setiadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga adalah :

2.2.1. Faktor Internal

a. Tahap perkembangan

Artinya dukungan keluarga dapat ditentukan oleh faktor usia yaitu

pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia

(bayi-lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan

kesehatan berbeda-beda.

b. Pendidikan atau tingkat pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh

variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang

pendidikan, dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan

membentuk cara berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk

memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit dan

menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan

dirinya.

c. Faktor emosional

Faktor emosional mempengaruhi keyakinan terhadap adanya

dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respon


9

stress dalam perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap berbagai

tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa

penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara

umum terlihat sangat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang

kecil ketika sakit. Seorang individu yang tidak mampu melakukan koping

secara emosional terhadap ancaman penyakit, maka akan menyangkal

adanya gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.

d. Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang menjalani

kehidupannya, menyangkut nilai dan keyakinan yang dilaksanakan,

hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan

dan arti dalam hidup.

2.2.2. Faktor eksternal

a. Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya

mempengaruhi penderita dalam melaksankan kesehatannya. Mislanya: klien

juga akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarga melakukan hal

yang sama.

b. Faktor sosial

Faktor sosial dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit dan

mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap

penyakit.

c. Latar belakang budaya


10

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan

kebiasaan individu dalam memberikan dukungan termasuk pelaksanaan

kesehatan pribadi.

2.3 Bahaya Efek Merokok

Rokok berasal dari daun tembakau yang dikeringkan, mengadung

nikotin dan tar. Pada saat orang menyalakan rokok akan dihasilkan gas CO,

nikotin, dan tar yang berbahaya bagi si perokok itu sendiri dan orang

sekitarnya sehingga menimbulkan bahaya primer dan bahaya sekunder.

Bahaya primer yaitu bahaya yang mengancam perokok itu sendiri. Perokok

menghisap asap rokok, kemudian mengeluarkannya kembali, tetapi pada

saat dikeluarkan tidak semua asap rokok keluar melainkan ada yang terhisap

masuk kedalam tubuh. Bahaya sekunder yaitu bahaya untuk orang lain yang

berada disekitar perokok (perokok pasif). Kandungan racun dalam rokok

membahayakan kesehatan seseorang, baik asap yang dihisap langsung saat

merokok (mainstream smoke) maupun asap yang keluar dari ujung rokok

(sidestream smoke), sama-sama mengadung bahan kimia beracun, seperti:

nikotin, tar, nitrous oxide, formaldehyde, acrolein, formic acid, phenol,

carbon monoxide, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut apabila berinteraksi

dan berakumulasi secara kronis dalam waktu yang lama dapat menimbulkan

penyakit kanker (paru, bibir, mulut, kerongkongan, dan usus, penyakit

jantung, dan penyakit paru kronis (Cahyono, 2008).

Rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia. Lima puluh

sembilan bahan kimia diantaranya memiliki racun (toksik), karsinogenik

(bersifat memicu timbulnya kanker) dan bersifat mutagenik (mengubah sifat


11

sel). Racun dan karsinogen akibat pembakaran tembakau dapat memicu

terjadinya kanker. Pada awalnya, rokok mengandung 8-20 mg nikotin dan

setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25%.

Walaupun dalam jumlah kecil, hanya dalam waktu 15 detik sampai ke otak

manusia. Nikotin itu diterima oleh reseptor asetilkolin-nikontinik yang

kemudian membaginya ke jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa

nikmat, memacu system dopaminerjik. Hasilnya perokok akan merasa lebih

tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.

Sementara dijalur adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang

mengeluarkan serotonin. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan

rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah perokok sulit

meninggalkan rokok, karena kebergantungan pada nikotin. Ketika ia

berhenti merokok, rasa nikmat yang diperoleh akan berkurang.

2.4 Stres Pada Remaja dan Perilaku Merokok

Stres merupakan suatu respon, stimulus dan sekaligus

transaksional. Respon stres suatu organisme mewakili serangkain respon

fisiologis yang bersifat umum seperti ketegangan otot, marah, menarik diri,

dll. Stres diartikan sebagai stimulus karena stres mampu memberikan

dorongan kepada individu untuk melakukan perubahan. Stres sebagai

transaksional maksudnya adalah interaksi individu dengan lingkungan.

Reaksi stres dapat berkembang dan kejadian-kejadian yang terjadi di

lingkungan sekitar berhubungan dengan penilaian kognitif individu yang

akan berperan dalam respon stres (Sholichatun, 2011). Stres terbagi menjadi

beberapa tingkatan yaitu tidak stres (normal), stres ringan, stres sedang,
12

stres berat, dan stres sangat berat. Tingkatan stres tergantung dari bagaimana

mekanisme koping remaja dalam menghadapi tekanan (Kinantie, 2012).

Menurut PP nomor 109 tahun 2012, rokok adalah salah satu produk

tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup

asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan

spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar,

dengan atau tanpa bahan tambahan (PP RI, 2012).

Komponen rokok dibagi menjadi 2, yaitu komponen gas dan

komponen padat. Komponen gas asap rokok terdiri dari karbonmonoksida,

karbondioksida, hidrogen sianida, amoniak, oksida dari nitrogen dan

senyawa hidrokarbon. Partikel rokok terdiri atas tar, nikotin, benzantraccne,

benzopiren, fenol, cadmium, indol, karbarzol dan kresol. Tar, nikotin dan

karbonmonoksida merupakan 3 macam zat yang sangat berbahaya. Tar

merupakan kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat

asap rokok dan bersifat karsinogenik. Nikotin merupakan alkaloid alam

yang bersifat toksis dan dapat menyebabkan ketergantungan psikis

berbentuk cairan, tidak berwarna, dan mudah menguap. Zat ini berubah

menjadi kecoklatan dan berbau seperti tembakau jika bersentuhan dengan

udara. Gas karbon monoksida memiliki afinitas dengan haemoglobin sekitar

200 kali lebih kuat terhadap afinitas oksigen. Hal ini tentu akan berpengaruh

pada sistem pertukaran haemoglobin dalam darah (Kusuma, 2011).

Perokok dikategorikan menjadi 3 kelompok berdasarkan jumlah

rokok yang dihisap setiap harinya. Disebut dengan perokok ringan apabila
13

dalam satu harinya menghabiskan 1-10 batang rokok. Disebut dengan

perokok sedang apabila dalam satu harinya menghabiskan 11-20 batang

rokok. Dan disebut dengan perokok berat apabila dalam satu harinya

menghabiskan lebih dari 20 batang per hari (Sundari, 2015).

Perilaku merokok merupakan suatu aktivitas yang dilakukan

individu berupa membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan

asap yang dapat terhisap orang-orang disekitarnya. Ada empat tahap dalam

perilaku merokok yaitu tahap prepatory, tahap initiation (tahap perintisan

merokok), tahap becoming a smoker, dan tahap maintenance of smoking.

Tahap prepatory merupakan tahapan dimana seseorang mendapatkan

gambaran yang menyenangkan mengenai rokok sehingga muncul minat

untuk merokok. Tahap initiation yaitu tahap dimana seseorang akan

meneruskan atau tidaknya perilaku merokok. Tahap becoming a smoker

yaitu apabila seseorang sudah mengonsumsi rokok sebanyak 4 batang

perhari. Dan tahap maintenance of smoking, pada tahap ini merokok telah

menjadi bagian dalam hidupnya dimana seseorang telah ketergantungan

rokok karena mempunyai efek fisiologis yang menyenangkan (Fikriyah,

2012).

Perilaku merokok pada remaja berdasarkan waktu dan frekuensi

mengonsumsi rokok, digolongkan menjadi tiga, yaitu non perokok, perokok

coba-coba dan perokok aktif. Non perokok yaitu seseorang yang sama sekali

belum pernah menghisap rokok walaupun sekali hisapan. Perokok coba-

coba adalah seseorang yang merokok lebih dari 1 kali setiap minggunya

atau dalam waktu kurang dari sebulan. Sedangkan perokok aktif adalah
14

seseorang yang merokok setiap minggu atau setiap hari dalam waktu 3

bulan berturut-turut (Chotidjah, 2012).

Perilaku merokok pada remaja dipengaruhui 3 hal yaitu lingkungan

budaya, situasi sosial, dan personal. Sepertiga hingga setengah dari remaja

yang memulai merokok pada usia remaja, berakhir dengan ketergantungan

rokok ketika dewasa. Banyaknya faktor pendorong dari fakor internal

maupun eksternal tentunya akan berdampak pada keinginan remaja untuk

merokok (Liem, 2014). Faktor dominan yang mempengaruhi perilaku

merokok dalah faktor psikologis. Alasan psikologis para mahasiswa

merokok adalah untuk mencari ketenangan atau relaksasi serta mengurangi

kecemasan. Para mahasiswa yang merokok ingin mendapatkan ketenangan

secara mudah dengan merokok tanpa melihat dan mempertimbangkan efek

buruk rokok bagi kesehatan fisik maupun psikologis (Fikriyah, 2012).

2.5 Ketergantungan Merokok dan Psikologis Remaja

Seseorang ketergantungan merokok disebabkan oleh kandungan

yang ada didalam rokok. Hal ini akan membuat seorang perokok mengalami

kesulitan berhenti merokok didasari 2 alasan, yang pertama adalah

ketergantungan atau adiksi pada nikotin, dan yang kedua adalah 15 faktor

psikologis yang merasakan adanya kehilangan suatu kegiatan tertentu jika

berhenti merokok (Fikriyah, 2012).

Remaja merupakan sebuah rentang masa perubahan secara

biologis, sosial dan psikologis. Bagi banyak remaja, perubahan ini

merupakan bagian dari penyesuaian positif untuk meraih otonomi. Namun

di sisi lain, masa remaja seringkali menjadi masa untuk bereksperimen dan
15

ikut serta dalam sejumlah aktivitas termasuk perilaku yang berisiko seperti

penyalahgunaan zat, perilaku kekerasan dan merokok (Sholichatun, 2011).

Masa remaja merupakan masa peralihan yang dialami seseorang

dari masa anak ke masa dewasa dan terjadi pematangan secara kognitif yaitu

interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang

memungkinkan remaja berpikir abstrak. Hal ini membuat aspek psikologis

remaja menjadi sangat retan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (Pratama,

2013).

2.6 Dukungan Keluarga dalam Pembentukan Prilaku

2.6.1 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman dalam Depkes RI, (2016), fungsi keluarga ada

lima, yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi

ekonomi, dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan.

Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang

paling mendasar. Fungsi afektif berguna untuk perkembangan individu dan

pemenuhan kebutuhan psikososial anggota keluarga. Keberhasilan dalam

melaksanakan fungsi afektif tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan

dari seluruh anggota keluarga. Setiap anggota keluarga saling

mempertahankan iklim yang positif, perasaan saling menyayangi, saling

menguatkan, dan saling memiliki. Fungsi afektif merupakan sumber energi

yang menentukan kebahagiaan keluarga. Kenakalan anak, perceraian, atau

masalah keluarga sering timbul sebagai akibat tidak terpenuhinya fungsi

afektif (Setyawan, 2016).


16

Fungsi sosialisasi merupakan tempat untuk melatih anak serta

mengembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain di

luar rumah. Sosialisasi dimulai sejak lahir, dan keluarga merupakan tempat

pertama suatu individu untuk belajar bersosialisasi. Anggota keluarga

belajar mengenai disiplin, norma-norma, budaya di dalam suatu keluarga

maupun budaya di masyarakat sekitar, serta belajar tentang perilaku melalui

hubungan dan interaksi dalam keluarga. Fungsi reproduksi (the

reproduction function) bertujuan untuk mempertahankan generasi dan

melanjutkan kelangsungan keluarga. Fungsi ekonomi (the economic

function) merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

dan tempat untuk mengembangkan kemampuan masing-masing individu

untuk meningkatkan penghasilan serta memenuhi kebutuhan keluarga

seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Fungsi keluarga ini sukar

dipenuhi oleh keluarga dengan kondisi ekonomi di bawah garis kemiskinan

(Setyawan, 2016).

Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care

function) adalah fungsi keluarga yang bertujuan untuk mempertahankan

kondisi kesehatan anggota keluarga sehingga tetap dapat memiliki

produktivitas yang tinggi. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan

keperawatan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga dan individu.

Fungsi perawatan kesehatan ini sangat penting bagi tenaga kesehatan

keluarga yang profesional sebagai pertimbangan vital dalam pengkajian

keluarga. Fungsi ini dikembangkan sebagai tugas keluarga di bidang

kesehatan. Diharapkan keluarga dapat merawat anggota keluarga lain yang


17

sedang sakit dan dapat menentukan kapan anggota keluarga yang sakit perlu

dimintakan pertolongan tenaga profesional. Tingkat pengetahuan keluarga

mengenai sehat-sakit juga memengaruhi perilaku keluarga untuk

menyelesaikan masalah kesehatan keluarga (Efendi & Makhfudli, 2009).

Tugas keluarga dibidang kesehatan antara lain (Depkes RI, 2016):

1. Mengenali masalah kesehatan keluarga.

2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat untuk keluarga.

3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.

4. Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan

dan perkembangan kepribadian anggota keluarganya.

5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di sekitarnya

bagi keluarga.

Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR

score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau

dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubugannya dengan

anggota keluarga lain. Penilaian ini dilakukan pada salah seorang anggota

keluarga yang bersangkutan untuk mengetahui apakah keluarganya itu sehat

atau tidak. APGAR keluarga pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel

Smilkstein pada tahun 1978 untuk menilai tingkat kepuasan sosial dengan

dukungan keluarga. Jika fungsi keluarga dapat terlaksana dengan baik,

dapatlah diharapkan terwujudnya keluarga sejahtera. Dengan terwujudnya

keluarga sejahtera berarti telah terwujud pula keluarga sehat (healthy

family). Untuk dapat mengukur sehat atau tidaknya suatu keluarga

dikembangkan suatu metode penilaian sederhana yaitu APGAR keluarga.


18

APGAR score meliputi:

a. Adaptasi (Adaptation)

Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota

keluarga lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota keluarga

yang lain (Smilkstein, 1978).

b. Kemitraan (Partnership)

Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi

antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga

tersebut (Smilkstein, 1978).

c. Pertumbuhan (Growth)

Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang

dilakukan anggota keluarga tersebut (Smilkstein, 1978).

d. Kasih Sayang (Affection)

Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar

anggota keluarga (Smilkstein, 1978).

e. Kebersamaan (Resolve)

Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan

dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain (Smilkstein,

1978).

Anda mungkin juga menyukai