PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar terdiri dari lautan, yaitu
sekitar 70 % dari total luas wilayah Indonesia keseluruhannya. Disamping itu,
Indonesia juga mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km dan merupakan garis
pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan memiliki 17.508 pulau
(Dahuri et al.,, 2001). Kondisi demikian mengakibatkan Indonesia rentan terhadap
kenaikan muka air laut yang diakibatkan oleh pemanasan global. Pemanasan
global adalah naiknya suhu udara secara global (Susandi et al, 2007). Naiknya
suhu global menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut, baik akibat ekspansi
volume air laut karena naiknya suhu air laut, atau mencairnya es glasier dan es
di kutub Utara dan Selatan.. Karakteristik perubahan ketinggian muka laut dapat
bersifat periodik maupun tak periodik. Kedudukan muka laut periodik terjadi
secara alamiah sedangkan kedudukan muka laut tak periodik dapat dikatakan
sebagai perubahan sekular muka laut. Perubahan sekular merupakan perubahan
level laut jangka panjang (Nurmaulia et al, 2005).
Laut Jawa adalah perairan dangkal dengan luas kira-kira 310.000 km2 di
antara Pulau Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Sulawesi di gugusan kepulauan
Indonesia. Laut ini relatif muda, terbentuk pada Zaman Es terakhir (sekitar 12.000
tahun Sebelum Masehi) ketika dua sistem sungai bersatu. Di barat lautnya, Selat
Karimata yang menghubungkannya dengan Laut China Selatan. Di Laut Jawa
terdapat beberapa gugusan pulau dan kepulauan: Kepulauan Seribu di utara
Kabupaten Tangerang dan secara administratif masuk dalam wilayah DKI Jakarta,
Kepulauan Karimun Jawa yang masuk administrasi Jawa Tengah, Pulau Bawean
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Kepulauan Masalembo, dan Pulau Kangean
beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berada di bawah administrasi Provinsi
Jawa Timur. Perikanan adalah kegiatan ekonomi penting di Laut Jawa. Ada 3000
lebih spesies kehidupan laut di daerah ini. Laut Jawa, khususnya di bagian barat
memiliki cadangan minyak bumi dan gas alam yang dapat diekSSToitasi. Daerah
sekitar Laut Jawa merupakan daerah tujuan pariwisata populer. Selam scuba
menawarkan kesempatan untuk menjelajahi dan memfoto gua bawah laut, kapal
tenggelam, terumbu karang, dan kehidupan bawah air. Beberapa taman nasional
berada di daerah ini. Dekat Jakarta, di Kepulauan Seribu adalah Taman Nasional
Ujung Kulon. Karimun Jawa adalah taman nasional yang terdiri dari dua puluh
tujuh pulau.
Bagaimana dampak dari kecepatan angin terhadap muka air laut di utara
laut jawa?
1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
bentuk gelombang yang terlihat oleh pengamat pada sebuah kapal (lihat tabel
berikut):
Skala ini dikemukan oleh Admiral F. Beaufort pada 1806 untuk menyatakan
tekanan angin terhadap kapal yang berlayar. Skala ini di adopsi oleh British
Admiralty pada 1838 dan segera skala ini menjadi umum digunakan.
International Meteorological Committee mengadopsi skala ini untuk
digunakan secara Internasional pada 1874. Pada 1926 mereka merevisi skala dengan
menambahkan kecepatan angin pada ketinggian 6 meter terhadap angka skala
Beaufort. Skala ini direvisi lagi pada 1946 agar mencakup kecepatan angin yang lebih
besar dan menambahkan kecepatan angin ekivalen pada ketinggian 10 meter. Skala
pada tahun 1946 ini menjadi dasar persamaan U10 = 0.836B3/2, dimana B= Angka
Skala Beaufort (Beaufort Number) dan U10 adalah kecepatan angin dalam meter/detik
pada ketinggian 10 meters (List, 1966). Lebih baru lagi, beberapa pihak merevisi
skala Beaufort dengan membandingkan gaya Beafort terhadap pengukuran angin
yang dilakukan di kapal. Kent dan Taylor (1997) membandingkan berbagai revisi
sakala beufort dangan angin yang terukur dari kapal yang memiliki anemoeter pada
ketinggian yang telah diketahui. Mereka merekomendasikan nilai seperti pada tabel
diatas.
Gambar 2.2 Diagram secara garis besar dari angin yang bertiup pada suatu arah di
atas permukaan laut (Hutabarat dan Evans, 1986)
Gambar
2.2
menunjukkan
bagimana
angin
yang
bertiup
dapat
Gambar 2.3 Hubungan SSH Dengan Komponen Pembentuknya (Digby Et al, 1999)
Berdasarkan ilustrasi gambar 2.3, secara umum pencarian nilai Sea Surface
Height ( SSH ) dapat dirumuskan sebagai berikut :
SSH = h- terkoreksi
( 2.1)
Wtrop
Dtrop
Iono
: koreksi ionosfer
EMB
: bias elektromagnetik
Untuk nilai dari data jarak altimetri (), sudah dikoreksi terhadap kesalahan
orbit satelit (Benada, 1997).
2.2.1 Satelit Altimetri
Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknologi penginderaan
jauh yang digunakan untuk mengamati dinamika topografi permukaan laut yang
tereferensi terhadap suatu bidang tertentu. Bidang tertentu tersebut adalah suatu
bidang referensi tinggi yang dapat berupa ellipsoid, geoid, atau mean sea surface.
Dalam penggunaannya bidang bidang referensi tersebut menjadi acuan untuk
menentukan kedudukan muka laut. Adapun pemilihan bidang referensi tinggi
tersebut disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya.
Hampir 60 % dari wilayah Bumi adalah lautan dengan karakteristik
kedinamisan perairan yang saling mempengaruhi. Sebagai contoh karakteristik
kedinamisan fisik laut ditandai dengan adanya arus laut, gelombang laut, dan pasang
surut laut. Dengan latar belakang kondisi tersebut teknologi satelit altimetri sangat
memungkinkan untuk digunakan, mengingat penjejakan satelit altimetri itu sendiri
mampu melingkup wilayah laut secara global. Pada saat ini teknologi satelit altimetri
diaplikasikan untuk penentuan topografi permukaan laut, penentuan topografi
permukaan es, penentuan geoid lautan, penentuan karakteristik arus, penentuan
tingggi dan panjang gelombang laut, pasut lepas pantai, penentuan kecepatan angin
di atas permukaan laut, fenomena El nino, unifikasi datum tinggi antar pulau (Abidin
2001).
Dalam hal penentuan pasut laut teknologi satelit altimetri dapat digunakan
terutama untuk keperluan penentuan pasut laut di wilayah perairan yang jauh
dari daratan. Penentuan pasut laut dilakukan dengan cara memanfaatkan data tinggi
muka laut dari hasil pengukuran satelit altimetri. Pada data hasil pengukuran satelit
altimetri pasut laut merupakan salah satu bias yang menggangu, oleh karena itu perlu
dilakukan pengeliminiran terhadap bias pasut laut yang terkandung pada data ukuran.
Untuk mengeliminir bias tersebut dapat dilakukan dengan cara penggunaan
model pasut laut yang salah satunya dapat diperoleh dari hasil penentuan pasut laut
dengan memanfaatkan teknologi satelit altimetri.
2.2.1.1 Prinsip Dasar Satelit Altimetri
Pada pengukuran satelit altimetri akan dihasilkan informasi kedudukan muka
air laut yang telah tereferensi pada suatu bidang referensi tertentu. Satelit
Altimetri melakukan pengamatan dengan menggunakan radar altimetri yang
menghitung
selisih
waktu
antara
saat
pemancaran
gelombang
Pada gambar 2.4 di atas dapat dilihat bahwa satelit altimetri memancarkan
pulsa gelombang elektromagnetik ke permukaan laut dan dipantulkan kembali ke
satelit sehingga akan menghasilkan data jarak antara satelit dengan permukaan laut
(h).
Tabel 2.2 Kesalahan dan bias yang terjadi pada pengukuran altimetri
secara umum bertujuan untuk mengukur topografi dan dinamika lautan yang
berskala luas. Satelit altimetri Topex/ Poseidon memiliki perioda pengulangan
(cycle) selama 9.9156 hari. Dalam hal ini satu kali perioda pengulangan atau
satu cycle adalah waktu yang dibutuhkan oleh satelit altimetri Topex/ Poseidon
untuk melintas dan kembali ke posisi awal. Satelit ini dirancang agar mencakup
daerah pengamatan lautan seluas mungkin dengan inklinasi orbit 66 dan
mempunyai jarak antar lintasan yang renggang yakni sekitar 3 atau sekitar 315
km pada ekuator serta jarak antar titik pengamatan di atas permukaan laut sepanjang
lintasan 7 km. Di samping itu satelit altimetri Topex/ Poseidon diluncurkan dengan
tingkat ketelitian orbit yang tinggi sehingga pengaruh kesalahan
terminimalisir.
Dalam
melintasi
lintasannya
menuju
orbit
dapat
selalu tepat pada posisi lintasan yang sama, melainkan terdapat variasi posisi lintasan
yaitu 1 km.
radar altimeter Topex lebih sering digunakan dibandingkan dengan radar altimeter
Poseidon. Sebagai ilustrasi, jika Topex telah melakukan pengamatan selama 9 cycle,
maka 1 cycle berikutnya dilakukan oleh Poseidon, setelah itu Topex kembali
beroperasi. Dalam hal penggunaan frekuensinya, satelit altimeter Topex bekerja
pada dua frekuensi yakni pada frekuensi 13.6 GHz dan 5.3 GHz, sedangkan satelit
altimeter Poseidon hanya bekerja pada satu frekuensi yakni frekuensi 13.6 GHz. Hal
ini menyebabkan adanya perbedaan keakurasian yang dihasilkan Topex dan
Poseidon. Tujuan utama dioperasikannya misi satelit Topex adalah [Benada,1997]:
1. mengukur tinggi muka laut sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan studi
dinamika laut yang mencakup hitungan rata-rata maupun variasi arus geostropik
permukaan dan pasang surut lautan dunia.
2. memproses, memverifikasi dan mendistribusikan data Topex beserta data
geofisika lainnya kepada pemakai.
3. meletakkan pondasi bagi keberlanjutan program pengamatan sirkulasi laut dan
variasinya untuk jangka waktu yang panjang.
Kesalahan (cm)
Jarak altimeter
2.0
Tinggi orbit
2.0
1.0
1.5
Koreksi ionosfer
0.7
Pasut laut
3.0
0.5
2.0
1.0
4.0
11.0
13.0
2. Sensor experimental
a. Solid State Altimeter (SSALT)
SSALT merupakan altimeter eksperimen dari CNES dan beroperasi pada
frekuensi 13,65 GHz (Kanal Ku). Sensor ini digunakan untuk menguji
teknologi radar altimeter yang ringan dan hemat energi. Sensor ALT dan
SSALT menggunakan antena yang sama, karena itu sensor tersebut tidak
dapat digunakan pada saat yang bersamaan.
kanal.
Meskipun
pada
awalnya
digunakan
sebagai
[www.obee.ucla.edu/test/faculty/nezlin/Altimetry.html]
Karakteristik Utama
Setengah sumbu panjang
7714,4278 km
Eksentrisitas
0,000095
66,039
Argumen perigee
90,0
116,5574
Anomali rata-rata
253,13
Data Tambahan
Tinggi referensi(ekuatorial)
1336 km
6745,72 detik
9,9156 hari
127
315 km
1 km
39,5
99,9242
-2,0791/hari
Kecepatan orbit
7,2 km/detik
5,8 km/detik
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksakan pada bulan November Desember 2014 dengan
menggunakan data angin dan pengukuran nilai SSH dari bulan januari 2004 sampai
januari 2014. Lokasi penelitian ini berada pada titik cross over. Titik cross over ini
adalah titik perpotongan antara pass naik dan pass turun, dimana posisinya dapat kita
lihat menggunakan pass locator file berformat .kmz yang filenya bisa kita buka di
Google Earth.
Lintang
No
Lokasi
Titik Sampel
'
Perairan Jakarta
Perairan Semarang
''
Bujur
O
'
''
12 45 106
33
42
57 49 109
53
Laut Utara
1
Perairan Surabaya
57 44 111
58
50
57 39 114
48
21
Jawa
3.2 Pengumpulan Data
Angin
Pada laporan ini data angin yang digunakan merupakan hasil pengukuran
data yang menyediakan data satelit altimetri berformat ASCII dari berbagai misi
satelit altimetri seperti GEOSAT, ERS-1, ERS-2, TOPEX/POSEIDON, Jason-1,
Jason 2, dan sebagainya. RADS dikembangkan oleh Delft Institute For EarthOriented Space Research dan NOAA Laboratiry for Satellite Altimetri. Akun ini
dapat diakses dengan free di http://rads.tudelft.nl/rads/rads.shtml
Secara umum pencarian nilai Sea Surface Height ( SSH ) dapat dirumuskan
sebagai berikut :
SSH = h- terkoreksi
SSH = h ( + Wtrop + Dtrop +Iono+ EMB)
dalam hal ini,
h
Wtrop
Dtrop
Iono
: koreksi ionosfer
EMB
: bias elektromagnetik
Untuk nilai dari data jarak altimetri (), sudah dikoreksi terhadap kesalahan
orbit satelit (Benada, 1997 dalam Jatmiko, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Triatmodjo, 1999, Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
Benada, R., 1997, Merged GDR (T/P) Generation B Users Handbook Version 2.0
July 30, 1997, Physical Oceanography Distributed Active Archive Center),
Jet
Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita. Bogor.
Digby, S. Et al. 1999. Altimetry Data for Operational Use in the Marine
Environment, California: CaliJet Propulsion Labortory, California Institute of
Technology, Pasadena.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta:Djambatan.
propulsion Laboratory, California Institute of Technology.Abidin,H.Z.2001.Geodesi
Satelit. PT.Pradnya Paramita : Jakarta
Susandi, Armi. 2007. Perubahan Iklim Indonesia dan Implikasinya. Jakarta : Program
Studi Meteorologi ITB, March 02, 2007.
Timmerman, A., J. Oberhuber, A. Bacher, M. Esch, M. Latif, and E. Roeckner.1999.
Increased El Nino frequency in a climate model forced by future greenhouse
warming. Nature 398.
Torrence, C. and G. P. Compo., 1999, A Practical Guide to Wavelet Analysis,
Bulletin of the American Meteorological Society, 79, 1:6178.