Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar terdiri dari lautan, yaitu
sekitar 70 % dari total luas wilayah Indonesia keseluruhannya. Disamping itu,
Indonesia juga mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km dan merupakan garis
pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan memiliki 17.508 pulau
(Dahuri et al.,, 2001). Kondisi demikian mengakibatkan Indonesia rentan terhadap
kenaikan muka air laut yang diakibatkan oleh pemanasan global. Pemanasan
global adalah naiknya suhu udara secara global (Susandi et al, 2007). Naiknya
suhu global menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut, baik akibat ekspansi
volume air laut karena naiknya suhu air laut, atau mencairnya es glasier dan es
di kutub Utara dan Selatan.. Karakteristik perubahan ketinggian muka laut dapat
bersifat periodik maupun tak periodik. Kedudukan muka laut periodik terjadi
secara alamiah sedangkan kedudukan muka laut tak periodik dapat dikatakan
sebagai perubahan sekular muka laut. Perubahan sekular merupakan perubahan
level laut jangka panjang (Nurmaulia et al, 2005).
Laut Jawa adalah perairan dangkal dengan luas kira-kira 310.000 km2 di
antara Pulau Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Sulawesi di gugusan kepulauan
Indonesia. Laut ini relatif muda, terbentuk pada Zaman Es terakhir (sekitar 12.000
tahun Sebelum Masehi) ketika dua sistem sungai bersatu. Di barat lautnya, Selat
Karimata yang menghubungkannya dengan Laut China Selatan. Di Laut Jawa
terdapat beberapa gugusan pulau dan kepulauan: Kepulauan Seribu di utara
Kabupaten Tangerang dan secara administratif masuk dalam wilayah DKI Jakarta,
Kepulauan Karimun Jawa yang masuk administrasi Jawa Tengah, Pulau Bawean
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Kepulauan Masalembo, dan Pulau Kangean
beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berada di bawah administrasi Provinsi
Jawa Timur. Perikanan adalah kegiatan ekonomi penting di Laut Jawa. Ada 3000

lebih spesies kehidupan laut di daerah ini. Laut Jawa, khususnya di bagian barat
memiliki cadangan minyak bumi dan gas alam yang dapat diekSSToitasi. Daerah
sekitar Laut Jawa merupakan daerah tujuan pariwisata populer. Selam scuba
menawarkan kesempatan untuk menjelajahi dan memfoto gua bawah laut, kapal
tenggelam, terumbu karang, dan kehidupan bawah air. Beberapa taman nasional
berada di daerah ini. Dekat Jakarta, di Kepulauan Seribu adalah Taman Nasional
Ujung Kulon. Karimun Jawa adalah taman nasional yang terdiri dari dua puluh
tujuh pulau.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana fluktuasi kecepatan angin dari tahun 2004 2014 ?

Bagaimana kondisi muka air laut dari tahun 2004 -2014 ?

Bagaimana dampak dari kecepatan angin terhadap muka air laut di utara
laut jawa?

1.3 Tujuan

Memberikan informasi mengenai fluktuasi kecepatan angin dari tahun 2004


- 2014

Mengetahui kondisi muka air laut dari tahun 2004 2014

Mengetahui dampak dari kecepatan angin terhadap muka air laut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Angin Permukaan laut


Angin di atas laut telah di ukur seabad yang lalu. Maury (1855) adalah orang
pertama yang mengumpulkan secara sistematis dan memetakan laporan angin. Angin
yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air.
Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga permukaan
air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang kecil di atas
permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut menjadi semakin
besar, dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan terbentuk gelombang.
Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang
terbentuk.
2.1.1 Distribusi kecepatan angin

Distribusi kecepatan angin di atas permukaan laut terbagi dalam tiga


daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaan. Di daerah geostropik yang berada
di atas 1000 m kecepatan angin adalah konstan. Di bawah elevasi tersebut terdapat
dua daerah yaitu daerah Ekman yang berada pada elevasi 100 sampai 1000 m dan
daerah di mana tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 sampai 100 m. Di
kedua daerah tersebut kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan elevasi,
karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara
air dan udara.

2.1.2 Skala Beafort


Dengan laporan data kecepatan angin utama hingga 1991 adalah menjadi
dasar skala beafort. Skala ini berdasarkan kenampakan, seperti tutupan buih di laut,

bentuk gelombang yang terlihat oleh pengamat pada sebuah kapal (lihat tabel
berikut):

Tabel 2.1 Beufort wind scale and state of the sea

Skala ini dikemukan oleh Admiral F. Beaufort pada 1806 untuk menyatakan
tekanan angin terhadap kapal yang berlayar. Skala ini di adopsi oleh British
Admiralty pada 1838 dan segera skala ini menjadi umum digunakan.
International Meteorological Committee mengadopsi skala ini untuk
digunakan secara Internasional pada 1874. Pada 1926 mereka merevisi skala dengan
menambahkan kecepatan angin pada ketinggian 6 meter terhadap angka skala
Beaufort. Skala ini direvisi lagi pada 1946 agar mencakup kecepatan angin yang lebih
besar dan menambahkan kecepatan angin ekivalen pada ketinggian 10 meter. Skala
pada tahun 1946 ini menjadi dasar persamaan U10 = 0.836B3/2, dimana B= Angka
Skala Beaufort (Beaufort Number) dan U10 adalah kecepatan angin dalam meter/detik
pada ketinggian 10 meters (List, 1966). Lebih baru lagi, beberapa pihak merevisi
skala Beaufort dengan membandingkan gaya Beafort terhadap pengukuran angin
yang dilakukan di kapal. Kent dan Taylor (1997) membandingkan berbagai revisi
sakala beufort dangan angin yang terukur dari kapal yang memiliki anemoeter pada
ketinggian yang telah diketahui. Mereka merekomendasikan nilai seperti pada tabel
diatas.

Pengamat di kapal dimanapun di dunia ini biasanya melaporkan cuaca


pengamatan, termasuk gaya Beaufort pada waktu yang sama 4 kali dalam sehari.
Waktunya yaitu pada 00.00Z, 06.00Z, 12.00Z dan 18.00Z, dimana Z adalah
Greenwich Mean Time (GMT). Laporannya dalam bentuk sandi dan dilaporkan via
radio ke badan Meteorologi Nasional setempat. Error terbesar dalam laporan ini
adalah sampling error, karena kapal yang melaporkan tidak terdistribusi rata di lautan.
Kapal-kapal cenderung menjauhi lintang tinggi pada musim dingin dan pada musim
hurricane, dan beberapa kapal melintasi belahan bumi selatan

2.1.3 Satelit Windsat


Windsat adalah proyek yang sifatnya percobaan, polarimetric, radiator microwave
dikembangkan oleh US Navy yang mengukur banyak dan polarisasi radiasi
gelombang mikro yang diradiasikan laut pada sudut antara 50 derajat hingga 55
derajat relatif terhadap arah vertikal dan pada 5 frekuensi radio.
Angin dihitung mecakup area di lautan pada 25-km untuk 1 grid dalam
seharinya. Angin yang terukur oleh Windsat memiliki akurasi kecepatan sekitar 2
m/s dan 20o untuk arah angin, memiliki jangkauan pengukuran untuk kecepatan
angin antara 5-25 m/s.

Gambar 2.1 Satelit windsat


2.1.4 Perbedaan Tekanan Angin.
Angin memiliki kecenderungan untuk bertiup secara tetap dalam arah
tertentu di atas permukaan laut yang licin. Akibat dari bertiupnya angin ini
menyebabkan terjadinya penumpukan air pada beberapa tempat di lautan.
Penumpukkan air pada beberapa tempat ini akan mengakibatkan tempat-tempat
tersebut memiliki ketinggian yang lebih tinggi daripada tempat lain. Walaupun
perbedaan ini kecil tetapi hal ini meyebabkan timbulnya berbedaan tekanan air
sehingga terjadi aliran air dari tempat yang bertekanan lebih tinggi menuju
tempat yang bertekanan rendah. Pada umumnya air didaerah tropis dan subtropis
rata-rata lebih

tinggi daripada di daerah kutub, sehingga menyebabkan

terjadinya sebuah aliran besar down-hill yang mengalir ke daerah-daerah yang


bertekanan lebih rendah di daerah kutub.

Gambar 2.2 Diagram secara garis besar dari angin yang bertiup pada suatu arah di
atas permukaan laut (Hutabarat dan Evans, 1986)

Gambar

2.2

menunjukkan

bagimana

angin

yang

bertiup

dapat

mengakibatkan timbulnya perbedaan ketinggian lautan di beberapa tempat di dunia.

2.2 Sea Surface Height


Sea Surface Height (SSH) merupakan tinggi muka laut yang tereferensi pada
bidang elipsoid. Pada saat dilakukan pengukuran yang mengkonversi data tempuh
gelombang elektromagnetik menjadi data jarak, akan dihasilkan tinggi satelit di atas
permukaan laut. Dengan diketahuinya ketinggian satelit di atas bidang elipsoid maka
ketinggian permukaan laut di atas bidang ellipsoid dapat dihitung.
Sea Surface Height ( SSH ) terbentuk dari beberapa komponen seperti
yang tercantum dalam gambar:

Gambar 2.3 Hubungan SSH Dengan Komponen Pembentuknya (Digby Et al, 1999)

Berdasarkan ilustrasi gambar 2.3, secara umum pencarian nilai Sea Surface
Height ( SSH ) dapat dirumuskan sebagai berikut :
SSH = h- terkoreksi

( 2.1)

SSH = h ( + Wtrop + Dtrop +Iono+ EMB)

dalam hal ini,

: tinggi satelit diatas ellipsoid referensi

: jarak satelit terhadap permukaan laut

Wtrop

: koreksi troposfer basah

Dtrop

: koreksi troposfer kering

Iono

: koreksi ionosfer

EMB

: bias elektromagnetik

Untuk nilai dari data jarak altimetri (), sudah dikoreksi terhadap kesalahan
orbit satelit (Benada, 1997).
2.2.1 Satelit Altimetri
Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknologi penginderaan

jauh yang digunakan untuk mengamati dinamika topografi permukaan laut yang
tereferensi terhadap suatu bidang tertentu. Bidang tertentu tersebut adalah suatu
bidang referensi tinggi yang dapat berupa ellipsoid, geoid, atau mean sea surface.
Dalam penggunaannya bidang bidang referensi tersebut menjadi acuan untuk
menentukan kedudukan muka laut. Adapun pemilihan bidang referensi tinggi
tersebut disesuaikan dengan tujuan pemanfaatannya.
Hampir 60 % dari wilayah Bumi adalah lautan dengan karakteristik
kedinamisan perairan yang saling mempengaruhi. Sebagai contoh karakteristik
kedinamisan fisik laut ditandai dengan adanya arus laut, gelombang laut, dan pasang
surut laut. Dengan latar belakang kondisi tersebut teknologi satelit altimetri sangat
memungkinkan untuk digunakan, mengingat penjejakan satelit altimetri itu sendiri
mampu melingkup wilayah laut secara global. Pada saat ini teknologi satelit altimetri
diaplikasikan untuk penentuan topografi permukaan laut, penentuan topografi
permukaan es, penentuan geoid lautan, penentuan karakteristik arus, penentuan
tingggi dan panjang gelombang laut, pasut lepas pantai, penentuan kecepatan angin
di atas permukaan laut, fenomena El nino, unifikasi datum tinggi antar pulau (Abidin
2001).
Dalam hal penentuan pasut laut teknologi satelit altimetri dapat digunakan
terutama untuk keperluan penentuan pasut laut di wilayah perairan yang jauh
dari daratan. Penentuan pasut laut dilakukan dengan cara memanfaatkan data tinggi
muka laut dari hasil pengukuran satelit altimetri. Pada data hasil pengukuran satelit
altimetri pasut laut merupakan salah satu bias yang menggangu, oleh karena itu perlu
dilakukan pengeliminiran terhadap bias pasut laut yang terkandung pada data ukuran.
Untuk mengeliminir bias tersebut dapat dilakukan dengan cara penggunaan
model pasut laut yang salah satunya dapat diperoleh dari hasil penentuan pasut laut
dengan memanfaatkan teknologi satelit altimetri.
2.2.1.1 Prinsip Dasar Satelit Altimetri
Pada pengukuran satelit altimetri akan dihasilkan informasi kedudukan muka
air laut yang telah tereferensi pada suatu bidang referensi tertentu. Satelit
Altimetri melakukan pengamatan dengan menggunakan radar altimetri yang

mengirimkan pulsa gelombang elektromagnetik ke permukaan laut dan dipantulkan


kembali ke satelit. Pengukuran kedudukan muka laut dilakukan dengan
memanfaatkan data waktu tempuh pulsa saat dikirimkan dan dipantulkan kembali ke
satelit. Data waktu tempuh pulsa yang diperoleh dikonversi menjadi data jarak
dengan

menghitung

selisih

waktu

antara

saat

pemancaran

gelombang

elektromagnetik dari satelit dan saat pengembalian gelombang elektromagnetik


kembali ke satelit. Formulasi konversi dari data waktu menjadi data jarak dapat
dilihat pada persamaan 2.2 berikut :
( 2.2 )
h = jarak antara satelit dengan permukaan laut sesaat
t = perbedaan waktu tempuh saat pemancaran dan saat penerimaan sinyal
c

= kecepatan rambat sinyal

Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 2.4 berikut ini :

Gambar 2.4 Pemancaran dan penerimaan pulsa-pulsa radar satelit altimetry [


dimodifikasi dari A Decade of ERS Satllite Orbits and Altimetry, Scharoo 2002 ]

Pada gambar 2.4 di atas dapat dilihat bahwa satelit altimetri memancarkan
pulsa gelombang elektromagnetik ke permukaan laut dan dipantulkan kembali ke
satelit sehingga akan menghasilkan data jarak antara satelit dengan permukaan laut
(h).

2.2.1.2 Kesalahan Dan Bias Pada Pengukuran Satelit Altimetri

Tabel 2.2 Kesalahan dan bias yang terjadi pada pengukuran altimetri

2.3.1.3 Misi Satelit Altimetri Topex/ Poseidon


Satelit Altimetri Topex/ Poseidon pertama kali diluncurkan pada tanggal
10 Agustus 1992 oleh instansi NASA (badan ruang angkasa Amerika Serikat) yang
bekerja sama dengan instansi CNES (badan ruang angkasa Perancis) yang

secara umum bertujuan untuk mengukur topografi dan dinamika lautan yang
berskala luas. Satelit altimetri Topex/ Poseidon memiliki perioda pengulangan
(cycle) selama 9.9156 hari. Dalam hal ini satu kali perioda pengulangan atau
satu cycle adalah waktu yang dibutuhkan oleh satelit altimetri Topex/ Poseidon
untuk melintas dan kembali ke posisi awal. Satelit ini dirancang agar mencakup
daerah pengamatan lautan seluas mungkin dengan inklinasi orbit 66 dan
mempunyai jarak antar lintasan yang renggang yakni sekitar 3 atau sekitar 315
km pada ekuator serta jarak antar titik pengamatan di atas permukaan laut sepanjang
lintasan 7 km. Di samping itu satelit altimetri Topex/ Poseidon diluncurkan dengan
tingkat ketelitian orbit yang tinggi sehingga pengaruh kesalahan
terminimalisir.

Dalam

melintasi

lintasannya

menuju

orbit

dapat

cycle berikutnya tidak

selalu tepat pada posisi lintasan yang sama, melainkan terdapat variasi posisi lintasan
yaitu 1 km.

Gambar 2.5 satelit Altimetri Topex/ Poseidon


[sumber : www.obee.ucla.edu/test/faculty/nezlin/altimetry.htm]

Satelit altimetri Topex/Poseidon dilengkapi dengan dua altimeter, yakni


altimeter Topex (milik NASA) dan altimeter Poseidon (milik CNES). Dalam
pengoperasiannya dua radar altimeter tersebut digunakan secara bergantian
dikarenakan hanya ada satu antena altimeter. Pada fase operasional, perbandingan
lama pengamatan altimeter Topex dan Poseidon adalah 90% dan 10%. Dalam hal ini

radar altimeter Topex lebih sering digunakan dibandingkan dengan radar altimeter
Poseidon. Sebagai ilustrasi, jika Topex telah melakukan pengamatan selama 9 cycle,
maka 1 cycle berikutnya dilakukan oleh Poseidon, setelah itu Topex kembali
beroperasi. Dalam hal penggunaan frekuensinya, satelit altimeter Topex bekerja
pada dua frekuensi yakni pada frekuensi 13.6 GHz dan 5.3 GHz, sedangkan satelit
altimeter Poseidon hanya bekerja pada satu frekuensi yakni frekuensi 13.6 GHz. Hal
ini menyebabkan adanya perbedaan keakurasian yang dihasilkan Topex dan
Poseidon. Tujuan utama dioperasikannya misi satelit Topex adalah [Benada,1997]:
1. mengukur tinggi muka laut sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan studi
dinamika laut yang mencakup hitungan rata-rata maupun variasi arus geostropik
permukaan dan pasang surut lautan dunia.
2. memproses, memverifikasi dan mendistribusikan data Topex beserta data
geofisika lainnya kepada pemakai.
3. meletakkan pondasi bagi keberlanjutan program pengamatan sirkulasi laut dan
variasinya untuk jangka waktu yang panjang.

Dengan memperhatikan seluruh kesalahan dan bias yang mungkin terjadi,


Misi Topex diperkirakan memiliki akurasi (penyimpangan maksimum) sebesar 13 cm
dengan perincian sebagai berikut.
Tabel 2.3 Perkiraan maksimum kesalahan dan bias pada misi Topex
[ A Decade of ERS Satllite Orbits and Altimetry, scharoo 2002]

Pengukuran atau model

Kesalahan (cm)

Jarak altimeter

2.0

Tinggi orbit

2.0

Koreksi troposfer kering

1.0

Koreksi troposfer basah

1.5

Koreksi ionosfer

0.7

Pasut laut

3.0

Pasut bumi padat

0.5

Koreksi tekanan udara

2.0

Sea state bias

1.0

Aktivitas permukaan laut

4.0

Mean sea surface

11.0

Altimeter height residual (total)

13.0

2.3.1.4 Instrumen Satelit Altimetri Topex/ Poseidon

Satelit Topex/Poseidon dilengkapi dengan 6 buah instrumen yang terdiri dari


4 buah sensor operasional dan 2 sensor experimental. Berikut instrumen yang
terdapat pada satelit Altimetri Topex :
1. Sensor operasional

Sensor operasional pada satelit topex/ poseidon terdiri dari :


a. Radar Altimeter (ALT)
Instrumen utama satelit Topex/Poseidon ini bekerja pada frekuensi 13,6 GHz
(Kanal Ku) dan 5,3 GHz (Kanal C) secara simultan. Penggunaan dua
frekuensi dalam pengukuran altimetri ini dimaksudkan untuk mereduksi bias
yang disebabkan oleh lapisan ionosfer.

b. Topex Microwave Radiometer (TMR)


TMR berfungsi untuk melakukan pengukuran temperatur pada permukaan
laut dengan menggunakan 3 frekuensi (18 GHz, 21 GHz, dan 37 GHz) untuk
mendapatkan jumlah kandungan uap air pada lapisan udara troposfer di
sepanjang lintasan altimeter.

c. Laser Retroreflector Array (LRA)


LRA adalah reflektor untuk penentuan posisi satelit NASA yang
menggunakan 10 sampai 15 jaringan penjejak satelit dengan laser. Hal ini

dimaksudkan untuk melengkapi data penjejakan dalam penentuan orbit presisi


dan penentuan kemiringan radar altimetri.

d. Doppler Tracking System Receiver (DORIS)


Pada satelit Topex / Poseidon dipasang sebuah antena DORIS untuk
melakukan penjejakan dari 40 sampai 50 jaringan stasiun transmisi yang
tersebar diseluruh permukaan bumi. DORIS bekerja pada frekuensi 1401,25
MHz dan 2036 MHz yang berfungsi untuk mereduksi bias yang disebabkan
lapisan ionosfer.

2. Sensor experimental
a. Solid State Altimeter (SSALT)
SSALT merupakan altimeter eksperimen dari CNES dan beroperasi pada
frekuensi 13,65 GHz (Kanal Ku). Sensor ini digunakan untuk menguji
teknologi radar altimeter yang ringan dan hemat energi. Sensor ALT dan
SSALT menggunakan antena yang sama, karena itu sensor tersebut tidak
dapat digunakan pada saat yang bersamaan.

b. GPS Demonstration Receiver (GPSDR)


GPSDR merupakan penerima sinyal GPS sebagai alat bantu navigasi yang
mempunyai

kanal.

Meskipun

pada

awalnya

digunakan

sebagai

percobaan, dalam perkembangannya receiver GPS ini memberikan hasil yang


positif, yaitu mampu memberikan ketelitian orbit sebesar 3 cm.

Gambar 2.6 Instrumen yang terdapat pada satelit Topex / Poseidon

[www.obee.ucla.edu/test/faculty/nezlin/Altimetry.html]

Gambar 2.6 merupakan instrumen - instrumen yang terdapat pada satelit


altimetri topex/ poseidon. Instrumen - instrumen topex/ poseidon tersebut dirancang
dengan fungsi tertentu untuk memperoleh hasil pengukuran yang optimal.
Setiap satelit memiliki karakteristik orbit masing-masing. Karakteristik orbit
ini ditentukan berdasarkan tujuan dari perancangan satelit itu sendiri. Satelit Topex
mempunyai konfigurasi orbit yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Karakteristik orbit satelit Topex/ poseidon


[Aviso/Altimetry, 1996, http://www-aviso.cnes.fr:8090/]

Karakteristik Utama
Setengah sumbu panjang

7714,4278 km

Eksentrisitas

0,000095

Inklinasi bidang orbit

66,039

Argumen perigee

90,0

Asensiorekta noktah naik

116,5574

Anomali rata-rata

253,13

Data Tambahan
Tinggi referensi(ekuatorial)

1336 km

Periode satu lintasan orbit

6745,72 detik

Periode pengulangan (cycle)

9,9156 hari

Jumlah revolusi dalam satu cycle

127

Jarak antar lintasan pada ekuator

315 km

Ground track control kanal

1 km

Sudut lintasan terhadap ekuator

39,5

Longitude of equator crossing pass 1

99,9242

Inertial nodal rate

-2,0791/hari

Kecepatan orbit

7,2 km/detik

Kecepatan permukaan (ground speed)

5,8 km/detik

Di wilayah Samudera Hindia satelit Topex/Poseidon melintas setiap hari


sebanyak 2 hingga 4 kali dalam lintasan yang berbeda, dan dalam 1 periode
pengulangan dimana satelit melintas pada lintasan yang sama (cycle) terdapat 36
lintasan satelit yang terdiri dari 18 lintasan naik (pass ascending) dan 18 lintasan
turun (pass descending).

BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksakan pada bulan November Desember 2014 dengan
menggunakan data angin dan pengukuran nilai SSH dari bulan januari 2004 sampai
januari 2014. Lokasi penelitian ini berada pada titik cross over. Titik cross over ini
adalah titik perpotongan antara pass naik dan pass turun, dimana posisinya dapat kita
lihat menggunakan pass locator file berformat .kmz yang filenya bisa kita buka di
Google Earth.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian


Tabel 3.1 Data Koordinat Lokasi Penelitian

Lintang
No

Lokasi

Titik Sampel

'

Perairan Jakarta

Perairan Semarang

''

Bujur
O

'

''

12 45 106

33

42

57 49 109

53

Laut Utara
1

Perairan Surabaya

57 44 111

58

50

Perairan Kali Anget

57 39 114

48

21

Jawa
3.2 Pengumpulan Data

Angin
Pada laporan ini data angin yang digunakan merupakan hasil pengukuran

dari satelit widsat yang dikelola oleh US Navy

Sea Surface Height ( SSH )


Radar Altimetri Database System (RADS) merupakan sebuah system basis

data yang menyediakan data satelit altimetri berformat ASCII dari berbagai misi
satelit altimetri seperti GEOSAT, ERS-1, ERS-2, TOPEX/POSEIDON, Jason-1,
Jason 2, dan sebagainya. RADS dikembangkan oleh Delft Institute For EarthOriented Space Research dan NOAA Laboratiry for Satellite Altimetri. Akun ini
dapat diakses dengan free di http://rads.tudelft.nl/rads/rads.shtml

3.3 Tahap Pengolahan data

Secara umum pencarian nilai Sea Surface Height ( SSH ) dapat dirumuskan
sebagai berikut :
SSH = h- terkoreksi
SSH = h ( + Wtrop + Dtrop +Iono+ EMB)
dalam hal ini,
h

: tinggi satelit diatas ellipsoid referensi

: jarak satelit terhadap permukaan laut

Wtrop

: koreksi troposfer basah

Dtrop

: koreksi troposfer kering

Iono

: koreksi ionosfer

EMB

: bias elektromagnetik

Untuk nilai dari data jarak altimetri (), sudah dikoreksi terhadap kesalahan
orbit satelit (Benada, 1997 dalam Jatmiko, 2009).

3.4 Tahap Analisa


Pada tahap ini dilakukan analisa mengenai pengaruh dari kecepatan angin di
permukaan laut terhadap tinggi muka air laut, dengan membandingkan grafik dengan
waktu dan posisi yang sama. Dimana jika terjadi perubahan dengan meningkatnya
kecepatan angin yang di barengi dengan meningkatnya muka air laut, maka dapat
disimpulkan bahwa kecepatan angin mempengaruhi ketinggian muka air laut

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Triatmodjo, 1999, Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
Benada, R., 1997, Merged GDR (T/P) Generation B Users Handbook Version 2.0
July 30, 1997, Physical Oceanography Distributed Active Archive Center),
Jet
Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Pradnya Paramita. Bogor.
Digby, S. Et al. 1999. Altimetry Data for Operational Use in the Marine
Environment, California: CaliJet Propulsion Labortory, California Institute of
Technology, Pasadena.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta:Djambatan.
propulsion Laboratory, California Institute of Technology.Abidin,H.Z.2001.Geodesi
Satelit. PT.Pradnya Paramita : Jakarta
Susandi, Armi. 2007. Perubahan Iklim Indonesia dan Implikasinya. Jakarta : Program
Studi Meteorologi ITB, March 02, 2007.
Timmerman, A., J. Oberhuber, A. Bacher, M. Esch, M. Latif, and E. Roeckner.1999.
Increased El Nino frequency in a climate model forced by future greenhouse
warming. Nature 398.
Torrence, C. and G. P. Compo., 1999, A Practical Guide to Wavelet Analysis,
Bulletin of the American Meteorological Society, 79, 1:6178.

Anda mungkin juga menyukai