Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Keluar cairan pervagianam bisa dikatakan keluarnya cairan amnion maupun


sekret berupa keputihan. Jika cairan yang keluar berupa cairan amnion disebut
sebagai ketuban pecah dini. Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadi proses persalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup
bulan maupun kurang bulan untuk persalinan. Cairan pervaginam dalam kehamilan
normal apabila tidak berupa perdarahan banyak, air ketuban maupun keputihan
(leukhore) yang patologis. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam
proses persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Dalam keadaan
normal 8-10% perumpuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini
sedangkan ketuban pecah dini premature terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya
selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia pada selaput ketuban.
Membrane janin dan desidua beraksi terhadap stimuli seperti infeksi dan
peregangan selaput ketuban. Karena infeksi juga menjadi salah satu predisposisi
terjadinya ketuban pecah dini maka pada seorang wanita yang sedang hamil yang
mengalami infeksi pada alat genitalia akan mengeluarkan duh yang tidak normal
dari vagina (leukhore). Maka dalam diskusi topic ini akan membahas keluar cairan
pervaginam saat kehamilan seperti ketuban pecah dini maupun penyakit menular
seksual yang ditandai dengan leukhore.

BAB II
PEMBAHASAN

I.

Ketuban Pecah Dini

I.1. Definisi
Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
dimulainya persalinan. Pecahnya ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu
diistilahkan sebagai ketuban pecah dini (KPD) preterm premature rupture of the
membrane (PPROM), sedangkan bila usia kehamilan lebih dari 37 minggu
diistilahkan sebagai KPD premature rupture of the membrane.2,4
I.2. Epidemiologi
Insidens KPD aterm berkisar antara 8-10%, sedangkan insidens KPD
preterm terjadi kurang lebih sekitar 1% dari seluruh kehamilan dan berkaitan
dengan 30-40% kelahiran prematur.1,2
70% kasus KPD terjadi pada kehamilan aterm. Namun apda rumah sakit rujukan,
lebih dari 50% kasus terjadi pada kehamilan preterm.1
I.3. Mekanisme Ketuban pecah dini
Ketuban pecah dalam perslainan secara umum disebabkan ileh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu
terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh,
bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks.
Perubahan struktur, jumlah selm dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivasi
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah
Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah berkurangnya asam
askorbik sebagai komponen kolagen dan kekurangan tembaga maupun asam
askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain
merokok.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang
dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan in inhibitor protease. Mendekati waktu

persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1

mengarah pada degradasi

proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membrane janin dan aktivasi degradasi
proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.
Ketuban pecah dini pada kehamilan premature disebabkan adanya faktorfaktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina , polihidramnion,
inkompeten plasenta maupun solusio plasenta.

I.4. Manifestai Klinis


1.4.1. Gejala
Evaluasi untuk menegakkan diagnosis harus dilaksanakan dengan efisien dan
diusahakan untuk meminimalisasi pemeriksaan vagina serta menurunkan risiko
terjadinya korioamnionitis. Kunci utama penegakkan diagnosis adalah gejala
yang dialami pasien. Pasien biasanya mengeluhkan keluarnya cairan tiba-tiba
atau kebocoran cairan dari vagina yang berlangsung terus-menerus. Gejala
tambahan yang perlu diperhatikan adalah warna dan konsistensi dari cairan,
adanya flek atau vernix atau mekonium dalam cairan tersebut, berkurangnya
ukuran uterus, dan peningkatan bagian keras dari janin saat palpasi.3
1.4.2. Pemeriksaan Fisik
Langkah diagnosik berikutnya adalah pemeriksaan dengan spekulum steril.
Pemeriksaan ini harus dilakukan untuk mengevaluasi apakah sudah ada
penipisan dan dilatasi serviks.4 Pemeriksaan ini dapat membedakan antara
diagnosis ketuban pecah dini dengan hydorrhea gravidarum, vaginitis,
peningkatan sekresi vaginal, dan inkontinensia urin.3
Saat diagnosis KPD preterm diduga ada, pemeriksaan dalam/vaginal
touche (VT) harus dihindari. Pemeriksaan dalam (VT) terbukti meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.4 Periode laten pada KPD preterm berkurang dengan
rata-rata 9 hari saat pemeriksaan dalam dilakukan.4 Memendeknya periode
laten tersebut akan berujung pada peningkatan infeksi dan sekuelae dari
persalinan preterm.4

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan dengan spekulum


steril adalah sebagai berikut:
1.4.2.1 Pooling
Adanya akumulasi/penumpukkan cairan amnion pada forniks posterior
atau vagina atau kebocoran dari serviks saat pasien batuk atau saat
dilakukan penekanan uterus akan membantu diagnosis KPD. 3,4
1.4.2.2. Tes nitrazin
Dilakukan dengan menggunakan sediaan apusan dari forniks posterior
atau dinding lateral vagina kemudian meletakkannya pada kertas
nitrazine.3 Cairan vagina bersifat asam (pH vagina 4,5-6,0); sedangkan,
cairan amnion bersifat lebih basa dibandingkan cairan vagina (pH cairan
amnion 7,0-7,3)3,4. Cairan amnion akan memberikan perubahan warna
biru pada kertas nitrazine; kertas nitrazine akan berubah warna menjadi
biru ketika pH >6.4 Namun, adanya kontaminasi (darah, semen,
antiseptik alkali) juga dapat menyebabkan kertas nitrazine menjadi biru
sehingga menghasilkan positif palsu. Bacterial vaginosis juga
mengubah warna menjadi biru.4
14.2.3. Ferning
Satu tetes cairan yang diambil dari forniks posterior diteteskan pada
gelas objek, dikeringkan, kemudian diperiksa dibawah mikroskop
pembesaran rendah.3,4 Cairan amnion akan membentuk kristalisasi
berbentuk seperti pakis (ferning).3 Mukus serviks juga menghasilkan
gambaran ferning sehingga dapat menghasilkan positif-palsu. Selain itu,
adanya

darah

vagina

dapat

menyamarkan

gambaran

ferning.4

Pemeriksaan untuk gonorea dan klamidia sebaiknya juga dilakukan


karena wanita dengan infeksi tersebut 7 kali lebih rentan mengalami
KPD.4 Setelah spekulum disingkirkan, apusan vagina, perianal atau anal
diambil untuk kultur streptokokus group B.4
Tiga temuan positif dari parameter di atas akan mengkonfirmasi diagnosis
ketuban pecah dini. Jika salah satu negatif maka diperlukan pemeriksaan

lanjutan karena kedua temuan yang positif dapat memberikan hasil falsepositive. pH alkaline pada tes nitrazine dapat ditemukan pada infeksi vagina,
adanya darah atau cairan semen pada sampel. Mukus pada serviks dapat
memberikan gambaran ferning.3 Sensitivitas saat dilakukan pemeriksaan kertas
nitrazine dan pemeriksaan ferning mencapai 90%.4
Jika akumulasi cairan vagina cukup banyak, maka dapat dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan kematangan paru janin. Tes lain yang dapat
dilakukan adalah observasi adanya cairan yang keluar pada saat pasien batuk
atau melakukan manuver valsava saat pemeriksaan dengan spekulum dan
adanya oligohydroamnion pada pemeriksaan USG. 3
Jika diagnosis belum dapat ditegakkan, pada pasien dengan dugaan
ketuban pecah dini (berdasarkan anamnesis) dapat dilakukan amniocentesis dan
injeksi cairan evans blue atau indigo carmine dye. Tindakan ini dilakukan
setelah pengambilan cairan amnion untuk menilai maturitas fisiologis janin,
jumlah leukosit, kultur, dan sensitivitas. Pada ketuban pecah dini, pemeriksaan
dengan spekulum 15-20 menit kemudian akan ditemukan pewarnaan biru pada
vagina. 3
1.4.3.

Pemeriksaan lain

Saat pemeriksaan fisik gagal mengkonfirmasi diagnosis, USG dapat menjadi


pemeriksaan selanjutnya.4 USG untuk menilai ukuran fetus, dan index cairan
amnion; serta amniosintesis pada beberapa kasus untuk menentukan maturitas
dari paru janin dan keberadaan infeksi. 3
1.4.4.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium harus meliputi darah perifer lengkap dengan


hitung jenis leukosit. Pada kehamilan preterm, pemeriksaan juga harus meliputi
pemeriksaan urine melalui kateter untuk urinalisis, kultur dan tes sensitivitas;

I.1.5. Komplikasi
o

Persalinan premature

Infeksi

Hipoksia dan asfiksia

Sindrom deformitas janin

I.1.6. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini

Bagan 1. Manajemen KPD preterm4

o Pastikan diagnosis
o Tentukan umur kehamilan
o Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal maupun janin
o Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin
I.1.6.1 Penanganan5
o Konservatif
Rawat dirumah sakit berikan antibiotic (ampisilin 4x500mg atau
eritromisin dan metronidazol 2x500mg selama 7 hari)
o < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar atau
sampai air ketuban tidak lagi keluar.
o 32-37 minggu belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa
negative: beri deksametasonm observasi tanda-tanda infeksi
dan kesejatraan janin dan terminasi pada 37 minggu
o 32-37 minggu, inpartu, tidak ada infeksi: beri tokolitik,
deksametason dan induksi sesudah 24 jam
o 32-37 minggu ada infeksi beri antibiotic dan lakukan induksi,
nilai tanda-tanda infeksi.
o Aktif
Kehamilan >37 minggu induksi dengan oksitosin, bila gagal
seksio sesarea dapat pula diberikan misoprostol 25 g-50g
intravaginal selama 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda
infeksi berikan antibiotic dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

II.2. Flour albus


Flour albus adalah gejala berupa keluar cairan yang dikeluarkan dari
alat genitalia yang bukan merupakan darah. Dalam kondisi normal, kelenjar
pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar bercampur
bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar bartolin. Selain
itu sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada
vagina yang normal. Vagina merupakan orang yang pnajangnya berkisar 810cm, berdinding tipis dan elastic yang ditutupi epitel gepeng berlapis pada
permukaan. Lapisan epitel vagina tidak mempunyai kelenjar dan folikel
rambut.
Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh
untuk membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari berbagai
infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih
keruh atau berwarna kekuningan ketika mengering pada pakaian. Sekret ini
non-irritan, tidak mengganggu, tidak terdapat darah, dan memiliki pH 3,54,5.

Flora

normal

vagina

meliputi

Corinebacterium,

Bacteroides,

Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc, Mycoplasma dan Candida


spp. Lingkungan dengan pH asam memberikan fungsi perlindungan yang
dihasilkan oleh Lactobacillus Doderlin. Fluor albus merupakan gejala yang
paling sering dijumpai pada penderita ginekologik. Dapat dibedakan antara
fluor albus yang fisiologik dan yang patologik. Fluor albus fisiologik terdiri
atas cairan yang kadang-kadang berupa mukus yang mengandung banyak
epitel dengan leukosit yang jarang sedang pada fluor albus patologik
terdapat banyak leukosit. Penyebab paling penting dari fluor albus patologik
ialah infeksi. Disini cairan mengandung banyak leukosit dan warnanya agak
kekuning-kuningan sampai hijau, seringkali lebih kental dan berbau. Radang
vulva, vagina, serviks dan kavum uteri dapat menyebabkan fluor albus
patologik. Maka flour albus pada masa kehamilan yang biasa terjadi adalah

flour albus patologik yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri. Sebagai
berikut:
II.2.1 Gonore6
Gonoroe

adalah

semua

infeksi

yang

disebabkan

oleh

Neisseria

gonorrohoeae. N. gonoroe di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus


berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 m dan bersifat asam. Kuman ini bersifat gram
negative,tampak di luar dan didalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan
lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas
390C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran klinik dan perjalanan panyakit pada perempuan berbeda dengan
pria. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi fisiologi alat kelamin pria dan wanita.
Gonoroe pada perempuan kebanyakan asimtomatik sehingga sulit untuk menemukan
masa inkubasinya.
Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomstik, tetapi
umunya jarang terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah
di histerektomi.
Keluhan

traktus

genitourinarius

bawah

yang

paling

sering

adalah

bertambahnya duh genital, disuria yang kadang kadang disertai poliuria, perdarahan
anata masa haid, dan menoragia. Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks.
Pada pemeriksaan, serviks tampak hiperemis denga erosi dan secret mukopurulen.
Komplikasi yang sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia. Infeksi pada serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau
penyakit radang panggul (PRP). PRP yang simptomatik ataupun asimptomatik dapat
mengakibatkan jaringan parut pada tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau
kehamilan ektopik.
Diagnosis gonoroe dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae
sebagai penyebab, baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan
spesifitas dengan pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65
%, 90-99%, sedangkan sensivitas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85-95%,>

99%. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis gonoroe pada perempuan perlu
dilakukan kultur. Secara epidemologi pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi
gonoroe tanpa komplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang
direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg
intramuscular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral,
levofloksasin 250 mg per oral, atau spektinomisin 2 g dosis tunggal intramuscular.
Infeksi gonoroe selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory
disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion
berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria
gonorrohoeae diasosiasikan dengan ruftur membrane yang premature, kelahiran
premature,korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal,
manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditransmisikan selama proses
persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan
panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis
diseminata dengan arthritis, serta infeksi genital dan rekatal.
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk
dialakukan skrining terhadap infeksi gonoroe pada saat dating untuk pertama kali
antenatal care dan juga trimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat obatan yang
diberikan tidal berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akat tetapi, perlu diingatkan
pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.
Bila terjadi konjungtivitis gonoroe pada neonates, pengobatan yang diajurkan adalah
pemberian seftrikason 50 100 mg/kg BB, intamuskular, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 125 mg.
II.2.2 Klamidiasis 6
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabakan oleh bakteri Chlamydia
trachomatis, berukuran 0,2 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan
merupakan parasit intrasel obligat.

Terdapat 3 spesies yang pathogen terhadap manusia yaitu,C. pneumonia, C.psittaci,


dan C. trachomatis sendiri mempunyai 15 macam serovar, serovar A,B,Ba,dan C
merupakan penyebab trachoma endemic, serovar B,C,D,E,F,G,H,I,J, dan K dan M
merupakan penyebab infeksi trakrtus genitourinarius serta pneumonia pada neonates.
Sementara itu, serovar L1,L2,dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma
verereum. Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major
outer membrane protein.
Masa inkubasi berkisar antara1-3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT merupakan
efek gabungan berbagai factor, yaitu kerusakan jaringan akibat reflikasi CT, respons
inflamasi terhadap CT, dan bahan nerotik dari sel pejamu yang rusak. Sebagian besar
infeksi CT asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala klinik spesifik. Endoseriviks
merupakan organ pada perempuan yang paling sering terinfeksi CT. walaupun
umunya infeksi CT asimptomatik, 37 % perempuan memberi gambaran klinik duh
mukopurulen dan 19 % ektopi hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan
duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, odema, dan perdarahan serviks baik
spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks dapat
menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba falloppii. Secara klinis
dapat memberi gejala menoragia dan metroragia.
Sebanyak 10% CT pada serviks akan menyebar secara asendens dan menyebabkan
penyakit radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis dan / atau rekuren
menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka panjang yang sering
adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat obstruksi. Komplikasi lain dapat pula
terjadi seperti arthritis reaktif dan perihepatitis.
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C. trachomatis menunjukkan gejala
keluarnya secret vagina, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian
besar perempuan hamil tidak menunjukkan gejala. Pemeriksaan panggul dapat
membantu menunjukkan adanya servisitis. Perdarahan endoserviks juga dapat
mengarah pada infeksi serviks pada kehamilan.

Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan, kelahiran


premature, dan kematian perinatal. Di samping itu, bisa juga mengakibatkan
konjungtivitis pada neonates dan pneumonia infantile. Oleh karena itu, untuk
perempuan hamil dengan resiko tinggi juga dianjurkan untuk skrining terhadap
infeksi CT pada saat dating untuk pertama kali antenatal dan juga pada trimester III
kehamilan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui
beberapa metode yaitu:

Kutur
Deteksi antigen secara : direct fluorescent antibody (DFA), enzyme
immune assay/enzyme linked immunororbent assay (EIA/ELISA) dan
rapid atau point of care test

Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe deoxyribonucleic acid (DNA), uji


amplikasi asam nukleat seperti polymerase chain reaction (PCR), dan
ligase chain reaction (LCR)

Pemeriksaan serologi
Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama yang dapat mempengaruhi
sintesis protein CT, misalnya golongan tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang
dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 7 hari atau
azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal, atau tetrasiklin 500 mg, per oral 4 kali per hari
selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 7 hari atau
ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat golongan
kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakainnya.
Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonates atau pneumonia infantile dianjurkan
pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, per hari dibagi dalam 4 dosis
dan diberikan selama 14 hari.

II.2.3 Trikomoniasis 6
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Trichomonas Vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan
sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah baik pada perempuan maupun
pria. Dari berbagai penelitian di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987-1997
pada perempuan beresiko rendah, dijumpai kasus trikomoniasis sebesara 1,6 7,3 %.
Gejala yang dikeluhkan oleh perempuan dang trikomoniasis adalah keputihan, gatal
gatal dan iritasi. Tanda dari infeksi tersebut meliputi duh tubuh vagina (42%), bau
(50%) dan edema atau eritema (22-27%). Duh tubuh yang klasik berwarna kuning
kehijauan dan berbusa, tetapi keadaan ini hanya ditemukan pada 10-30 % kasus.
Kolopitis makularis (strawberry cerviks) merupakan tanda klinik yang spesifik untuk
infeksi ini, tetapi jarang ditemukan pada pemeriksaan rutin.
Gejala klinik pada perempuan hamil tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak
hamil. Akan tetapi, bila ditemukan infeksi TV pada trimester kedua kehamilan dapat
mengakibatkan premature rupture membrane, bayi berat lahir rendah (BBLR) dan
abortus. Oleh karena itu, pemeriksaan skrining pada pertama kali antenatal perlu
dilakukan.
Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup
pada sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologik. Baku emas
untuk diagnostic adalah kultur. Namun media kultur diamond tidak mudah didapat
dan penggunaanya terutama untuk penelitian.
Untuk pengobatan hingga saat ini metronidazol merupakan antimikroba yang
efektif untuk mengobati trikomoniasis yang dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g
secara oral atau dapat jdiberikan dalam dosis harian 2 x 500 mg/hari selama 7 hari.
Pemberian metronodazol telah direkomendasikan oleh FDA selama masa kehamlian.
II.2.4 Vaginosis bacterial 6
Vaginosis bacterial adalah sindrom klinik akibat pergantian lactobasillus spp
penghasil H2O2yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam

konsentrasi tinggi (seperti : bacteroides spp, mobiluncus spp, gardnerella vaginalis,


dan mycoplasma hominis).
Perempuan dengan vaginosis bacterial dapat tanpa gejala atau mempunyai keluhan
dangan bau vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu / setelah
senggama. Bau tersebut disebabkan adanya amin yang mnguap bila cairan vagina
menjadi basa.
Pada pemeriksaan ditemukan secret yang homogeny, tipis, dan berwarna keabuabuan. Tidak ditemukan tanda inflamsi pada vagina dan vulva.
Vaginosis bacterial telah diasosiasikan dengan gangguan kehamilan termasuk abortus
spontan pada kehamilan trimester pertama dan kedua, kelahiran premature, rupture
membrane yang premature, persalinan premature, bayi lahir dengan berat badan
rendah, koroiamnionitis,endometritis pascapersalinan dan infeksi luka pascaoperasi
sesar. Bukti yang ada saat ini tidak mendukung perlunya skrining rutin untuk
vaginosis bacterial pada perempuan hamil pada populasi umum. Namun, skrining
pada kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk pasien dengan riwayat
kelahiran premature (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran premature atau
rupture membran yang premature).
Sebagian besar kasus (50-75%) vaginosis bacterial bersifat asimptomatik atau dengan
gejala ringan. Gejala klinik termasuk bau amis seperti ikan atau bau seperti ammonia
yang berasal dari secret vagina, dan secret vagina yang homogen, tidak menggumpal,
abu abu keputihan, tipis. Disuria dan dispareunia jarang ditemukan sedangkan
pruritas dan inflamasi tidak ada.sekret vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis
bakterialis berasal dari vagina dan bukan dari serviks.
Mengingat dampak vaginosis bacterial pada kehamilan dan akhir kehamilan, maka
sebaiknya dilakukan skrining minimal pada waktu dating antenatal pertama kali.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda
tanda berikut :

Cairan vagina homogen, putih keabu abuan, dan melekat pada


dinding vagina

PH vagina > 4,5


Secret vagina barbau amis sebelum atau setelah penambahan KOH
10%

Clue cells pada pemeriksaan mikroskopik


Pengobatan yang dianjurkan adalah metronidazol 500 mg 2x sehari selam 7
hari, metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal atau klindamisin per oral 2x300
mg/hari selama 7 hari.
Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak
hamil.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gibbs RS. Premature rupture of the membranes. In: Scott JR, Gibbs RS,
Karlan BY, Haney AF, David N. Danforth's obstetrics and gynecology. 9th
edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
2. Parry S, Trauss JFS. Premature rupture of the membranes. NEJM ; 338:663670.
3. Roman AS, Pernoll ML. Late pregnancy complications. In: DeCherney AH,
Nathan L. Current obstetric & gynecologic diagnosis & treatment. 9th edition.
McGraw-Hill: 2003
4. Medina TM, Hill DA. Preterm premature rupture of membranes: diagnosis
and management. Am Fam Physician 2006;73:659-64, 665-6.
5. Soetomo Soewarto. Ketuban Pecah Dini. editor. Ilmu Kebidanan. Edisi
keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010.
6. Sjaiful FD. Infeksi Menular Seksual. editor. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010.

Anda mungkin juga menyukai