Anda di halaman 1dari 8

Nama : Irsyad M Rifaie

Nim : D1091131010

KOTA PESISIR
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis bagi pengembangan wilayah
karena memiliki karakterisitik dan keunggulan yang komparatif dan kompetitif, terutama
pada kawasan vital kota pesisir . Kota pesisir memiliki karakteristik sebagai kawasan
open acces dan multi use yang berpotensi sebagai prime movers pengembangan wilayah
lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010). Sebaliknya, kota
pesisir memiliki sensifitas tinggi terhadap degradasi lingkungan apabila eksploitasi dan
pembangunan dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, perencanaan dan
pengelolaaan kawasan kota pesisir diperlukan sebagai upaya pengembangan kawasan
pesisir yang terpadu dan berkelanjutan.
Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir karena
lokasinya yang berada di wilayah pesisir, terutama kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, Makasar. Kota-kota tersebut memiliki kawasan pesisir yang strategis yang
dikembangkan sebagai kota pesisir atau yang lebih dikenal dengan sebutan waterfront
city. Misalnya, perencanaan kawasan eco-waterfront city di Teluk Lamong Kota
Surabaya dikembangkan sebagai pendukung kegiatan Pelabuhan Tanjung Perak yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sehingga tidak heran jika konsep
perencanaan waterfront city terus dikembangkan sesuai dengan karakteristik kawasan
pesisir masing-masing wilayah.
Namun, proses dan teknik implementasi perencaaan waterfront city masih
mengalami kendala. Salah satunya adalah penyediaan lahan bagi pengembangan
waterfront city. Upaya yang sering dilakukan adalah mereklamasi kawasan pesisir
tersebut. Sedangkan beberapa pihak menilai bahwa reklamasi dapat mengakibatkan
degradasi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem kawasan
pesisir. Seperti kasus pengembangan waterfront city, Teluk Lamong Kota Surabaya
melalui reklamasi pantai, menurut organisasi lingkungan akan merusak ekosistem pesisir,
diantaranya hutan bakau yang telah menjadi penyeimbang dan penyangga ekosistem
pesisir dan laut yang dapat mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani
tambak di Surabaya dan Gresik (Bappeprov Jatim, 2010).

Dengan demikian, diperlukan kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek yang


dipertimbangkan dalam perencanaan waterfront city. Pendekatan yang dapat dilakukan
adalah melalui pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu dan pembangunan
berkelanjutan. Selain itu, dapat juga belajar dari pengalaman kota-kota di negara maju
yang sukses mengembangkan dan mengimplementasikan konsep waterfront city, seperti
San Antonio (Amerika Serikat), Venesia (Italia), Darling Harbor (Sydney), Inner Harbor
(Baltimore), Clark & Boat Quay (Singapura), serta Kop van Zuid (Rotterdam). Pada
akhirnya, konsep perencanaan waterfront city dapat mewujudkan pembangunan kawasan
pesisir yang terpadu dan berkelanjutan di Indonesia.
Konsep Perencanaan Waterfront City
Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota
Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu
kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan
sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan
yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan
wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk
pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan.
Sebagai bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik
sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers
pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat,
2010).
Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai,
danau) yang potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk
minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan transportasi antara
dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis yang terlindung dari
hantaman gelombang danserangan musuh. Perkembangan selanjutnya mengarah ke
wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan
waterfront.

Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan


antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan
sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan daerah
pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,terdapat tekanan air sungai terhadap air tanah,
serta merupakan daerahrawa sehingga run off air rendah. Secara geologi kawasan tersebut
sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas,tanah lembek, dan rawan terhadap
gelombang air. Secara tata guna lahan kawasan tersebut mempunyai hubungan yang
intensif antaraair dan elemen perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai
dinamika iklim, cuaca, angin dansuhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran
fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa
permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya
waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang berorientasi ke air dan
darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat masyarakat yang secara tradisi
terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di atas air. Terdapat pula budaya/tradisi
pemanfaatan perairan sebagaitransportasi utama, merupakan kawasan terbuka (akses
langsung) sehingga rawan terhadap keamanan,penyelundupan, peyusupan (masalah
pertahanan keamanan) dan sebagainya.
Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau
kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen penataan untuk
mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan
lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke laut,
sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan
tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam
pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang
publik dan nilai alami. Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air
(waterfront city).

Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air


Sumber: Sastrawati, 2003

Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan
kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip perancangan
sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan.Variabel penataan adalah elemen penataan
kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen dan variabel penataan kawasan
dihasilkan dari kajian (normatif) kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air
baik didalam maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati,
2003).
Waterfront City di Indonesia
Pada dasarnya, mayoritas perencanaan dan pengembangan waterfront city di
kota-kota Indonesia memiliki karakteristik yang beorientasi ekonomi dan ekologis
sehingga mampu menjadi prime movers pengembangan wilayah lokal, regional, dan
nasional, bahkan internasional. Seperti perencanaan dan pengembangan waterfront city di
Jakarta yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan
masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan
masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti
pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan (Rahmat,2010).

Di Kota Surabaya, perencanaan waterfront city dikembangkan di Teluk Lamong


dengan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan modern Jepang. Selain
itu, akan dikembangkan juga sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata.
Berdasarkan hasil Kajian Lingkup Hidup Startegis (KLHS) Teluk Lamong (2011) konsep
yang ditawarkan adalah eco-waterfront city sebagai upaya untuk menjaga kondisi
lingkungan dari kerusakan dan berkelanjutan.
Sedangkan waterfront city di Ternate telah menjadi kota mandiri (self contained
city) yang dapat melayani kebutuhan penduduk di sekitarnya. Dalam konteks ekologi
waterfront city di Ternate adalah bagaimana menjaga terjadinya penurunan kualitas
lingkungan pada kawasan baik wilayah daratan, laut maupun perairan yang termasuk
maupun tidak termasuk kawasan sensitif (Nurdin, 2009).
Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil
pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap menginginkan
positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota sebagai kota maritime, jasa,
niaga, pendidikan serta budaya (http://www.makassarterkini.com)
Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing kota
kota di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan
perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Aspek
sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan
kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan
seluruh masyarakat diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan
memacu

perkembangan

dan

pertumbuhan

ekonomi

yang

memadai

untuk

mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi ekonomi


yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik.
Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap
kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil atau
memanfaatkan potensi alam sedikit banyak akan mempengaruhi kesetimbangannya.
Apabila hal ini tidak diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia,
khususnya akibat dampak yang dapat dapat bersifat tak berubah lagi (irreversible
changes). Ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama sesuai dengan peran
dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan waterfront city (Mulyanto,
2008).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep waterfront city merupakan


salah satu konsep pembangunan yang berkelanjutan karena mempertimbangkan berbagai
aspek diantaranya pelestarian sumber daya, pemerataan pertumbuhan ekonomi,
keseimbangan lingkungan. Selain itu, jika menggunakan pendekan pengelolaan kawasan
peisir yang terpadu (Integrated Coastal Zone Management) maka konsep waterfront city
menggunakan prinsip ICZM yakni proses untuk pengelolaan pantai menggunakan
pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai, termasuk batas geografis
dan politik, dalam usaha untuk mencapai pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan
(Dahuri, 1996).
Tipologi Masyarakat Pesisir
Tipologi masyarakat pesisir menurut Muluk (1995) dapat diklasifikasikan
berdasarkan mata pencaharian utamanya atau berdasarkan sifat mereka bermukim.
Dengan kombinasi kedua kriteria itu, masyarakat pesisir dapat dibagi ke dalam
a) Masyarakat nelayan,
b) Masyarakat petani,
c) Masyarakat pengumpul atau penjarah (collector, forager),
d) Masyarakat perkotaan dan perindustrian, dan
e) Masyarakat tidak menetap/sementara atau pengembara (migratory).
Aktivitas Masyarakat Pesisir di Pasar Tradisional - Tipologi Masyarakat Pesisir
Menurut Rapport (1990), keinginan manusia untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dan menguasai lingkungan bagi kepentingan hidupnya adalah merupakan
faktor utama yang menimbulkan perilakunya terhadap lingkungan. Dalam konteks yang
lebih spesifik keinginan tersebut mendorong untuk memilih mata pencaharian yang sesuai
dengan lingkungan dan berbuat sesuatu dengan berbagai cara yang dapat ia lakukan.
Kemiskinan masih menjadi ciri khas masyarakat petani di kawasan pesisir, hal ini
disebabkan kondisi sosial ekonomi mereka yang selalu lemah dalam posisi tawar.
Kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan formal merupakan penyebab
utama lemahnya kemampuan manajeman pertanian rakyat.

Komunitas dominan kehidupan masyarakat pesisir selain sebagai petani juga


terdapat komunitas masyarakat nelayan. Menurut Yudohusodo (1991), pola kehidupan
para nelayan tergantung pada usaha laut yang mengandung ikan. Sehari-hari sebagian
besar waktunya digunakan untuk melaut mencari ikan sehingga waktu berkumpul untuk
keluarga dan untuk kegiatan lainnya di rumah sangat terbatas.
Sifat sumberdaya perikanan yang berbeda dengan sumberdaya pertanian lainnya,
menyebabkan masyarakat nelayan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan petani
umumnya. Menurut Firth, dalam Mawarni (1993), paling sedikit ada lima hal yang
membedakan nelayan dengan petani, yang dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan tidak bisa ditentukan
jumlahnya. Selain itu pendapatan juga sangat tergantung oleh musim maupun
oleh status nelayan itu sendiri (pemilik atau anak buah kapal).
2. Dilihat dari tingkat pendidikannya tingkat pendidikan nelayan maupun anakanaknya rata-rata rendah. Dengan kondisi demikian maka sulitlah bagi anak-anak
nelayan untuk mencari alternatif pekerjaan lain, dan cenderung meneruskan
pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan.
3. Produk nelayan tidak berhubungan dengan makanan pokok, sehingga nelayan
lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar menukar. Demikian pula
karena produk perikanan ini mudah rusak dan harus segera dipasarkan, maka
ketergantungan nelayan pada pedagang sangatlah besar.
4. Bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung
mengandung resiko yang lebih besar pula dibanding sektor pertanian lainnya.
Oleh karena itu nelayan cenderung menggunakan alat-alat yang sederhana
maupun hanya menjadi anak buah kapal (ABK). Kapal-kapal tersebut biasanya
dimiliki oleh orang luar maupun pedagang. Dengan demikian nelayan juga
terlibat dalam suatu pembagian penghasilan yang kompleks yang seringkali tidak
menguntungkan.
5. Terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung bisa ikut terlibat dalam
kegiatan produksi, dan ketergantungan nelayan besar pada satu mata pencaharian
yakni menangkap ikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://onlyone-deny.blogspot.com/2012/01/critical-review-konsepperencanaan.html (20 Desember 2014, Pukul : 19.37)

Direktorat Jenderal

Pesisir

dan

Pulau-Pulau Kecil.2006.Pedoman

Kota

Pesisir.Departemen Perikanan dan Kelautan, dalam (onlyone-denyblog)

Dahuri, Rokhmin.1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan


Secara Terpadu, dalam (onlyone-denyblog)

Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-prinsip Pengembangan Wilayah, dalam (onlyonedenyblog)

Sastrawati, Isfa. 2003. Prinsip Pereancangan Kawasan Tepi air. Jurnal PWK
Vol.14, dalam (onlyone-denyblog)

Rahmat, Adipati.2010.Jakarta Waterfront City, dalam (onlyone-denyblog)

http://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/,

dalam

(onlyone-denyblog)

Bapeprov Jatim.2010.Menyoal Pelabuhan Teluk Lamong, dalam (onlyonedenyblog)

http://bappeda.jatimprov.go.id/web/artikel8.php, dalam (onlyone-denyblog)

Nurdin,

Nasrun

Andika.2009.

Corak

Waterfront

City

Ternate.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Corak+Waterfront+City+T
ernate&dn=20090505231213, dalam (onlyone-denyblog)

________.2010.Tujuan dan Kebijkan Penataan Ruang Kota Makasar, dalam


(onlyone-denyblog)

http://www.makassarterkini.com/index.php/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=745:makassar-2030&catid=49:metro&Itemid=105,

dalam

(onlyone-denyblog)

Pemerintah Propinsi Jawa Timur.2011.Kajian Lingkungan Hidup Strategis


Pengembangan Kawasan Teluk Lamong, dalam (onlyone-denyblog)

Tesis Fadillah, Pengaruh Perubahan Kegiatan Pemanfaatan Lahan Terhadap


Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasus : Kecamatan Tanah Merah
Kabupaten Indragiri Hilir (Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKDUGM

Tahun

2003)

dalam

2013/02/tipologi-masyarakat-pesisir.html

http://perencanaankota.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai