Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA FRAKTUR TIBIA 1/3


PROKSIMAL
Studi Kasus di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD NGUDI WALUYO Wlingi
Kabupaten Blitar

Untuk Memenuhi Persyaratan


Tugas Pendidikan Profesi Ners Keperawatan Emergensi

Kelompok 11:
JITA OLISA
NIM. 0910720049

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

KONSEP FRAKTUR CRURIS

A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya (Smeltzer, Suzanne C. 2001). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, Arif. 2000). Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang
yang utuh. (Reeves, Charlene J. 2001). Fraktur cruris adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada
tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)
B. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
luar:
a. Fraktur tertutup (Closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara frakmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka (Open/Compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I

Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokal fragmen minimal.


1) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
2) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilangnya jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang :
a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan
lainnya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih terjadi hubungan sebagian.
Salah satu sisi patah yang lainnya biasanya hanya bengkok yang
sering disebut green stick.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Menurut jumlah garis patahan.
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 )

C. Etiologi/Predisposisi
1. Trauma direk (langsung)
Trauma langsung menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan/trauma itu, misalnya : trauma akibat kecelakaan.
2. Trauma indirek (tidak langsung)
Menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan, yang patah biasanya bagian yang paling lemah dalam
jalurhantaran vektor kekerasan.
3. Patologis
Disebabkan oleh adanya proses patologis misalnya tumor, infeksi
atau osteoporosis tulang karena disebabkan oleh kekuatan tulang
yangberkurang dan disebut patah tulang patologis.
4. Kelelahan/stress
Misalnya pada olahragawan mereka yang baru saja meningkatkan
kegiatan fisik, misalnya pada calon tentara. Dimana ini diakibatkan oleh
beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur
kelelahan.( Price Sylvia A. 1995)
D. Patofisiologi
Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras
akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang
menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi discontinuitas
di tulang tersebut.
Fraktur dapat berupa fraktur terbuka dimana ujung tulang yang patah
menembus keluar dari kulit sehingga berhubungan dengan dunia luar atau
dapat berupa fraktur tertutup dimana ujung tulang yang patah masih berada
didalam kulit. Ujung tulang yang patah sangat tajam dan berbahaya bagi
jaringan disekitarnya, karena saraf dan pembuluh darah berada didekat
tulang sehingga sering kali terkena jika terjadi fraktur. Lesi neurovaskuler ini
dapat terjadi karena laserasi oleh ujung atau karena peningkatan tekanan
akibat pembengkakan atau hematoma.
Fraktur tertutup dapat sama berbahayanya dengan fraktur terbuka
karena jaringan lunak yang cidera sering kali mengeluarkan darah cukup
banyak. Perlu diingat bahwa setiap ada kerusakan kulit didekat daerah
fraktur dapat dianggap sebagai jalan masuk bagi kontaminasi.

Fraktur terbuka memiliki resiko terjadinya kontaminasi disamping


hilangnya darah. Jika fragmen tulang yang keluar atau menembus kulit
dimasukan lagi, maka ujung tulang yang telah terkontaminasi bakteri akan
menyebabkan bakteri ikut masuk kedalam jaringan sehingga dapat
menyebabkan infeksi. Infeksi ini akan menyebabkan sulitnya penyembuhan
tulang dan dapat menyebabkan komplikasi sepsis. ( Diklat Ambulan Gawat
Darurat 118. 2007)

E. Manifestasi Klinik
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas
dan bawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan /edema
6. Kurang/hilang sensasi
7. Pergerakan abnormal. (Smeltzer, Suzanne C. 2001)
F.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan / MRI: Memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multipel). Peningkatan sel darah putih adalah respon stres
normal setelah trauma.
4. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.(
Doenges, M.1999)

G.

Penatalaksanaan
Empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu:
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, harus jelas untuk
mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat

fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (Manipulasi / Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmenfragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera

mungkinuntuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilangan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada


kebanyakan kasus, reduksi frakturmenjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips,bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implanlogam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidaiinterna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan

aktifitas

fungsional

semaksimal

mungkin

untukmenghindari atropi dan kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,


harussegera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatananggota tubuh dan mobilisasi. ( Price Sylvia A. 1995 )
H. Proses Penyembuhan Tulang
1. Fase Hematoma
Proses terjadinya hematoma dalam 24 jam. Apabila terjadi
frakturpada tulang panunjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewatikanalikuli dalam sistem haversian mengalami robekan pada
daerah luka dan akan membentuk hematoma diantar kedua sisi fraktur.
2. Fase Proliferasi/ Fibrosa

Terjadi dalam waktu sekitar 5 hari. Pada saat ini terjadi


reaksijaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan,
karenaadanya sel-sel osteogenik yang berpoliferasi dari periosteum untuk
membentuk kalus eksternal serta pada daerah endosteum membentuk
kalusinternal sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
3. Fase Pembentukkan Kalus
Waktu pembentukan kalus 3-4 minggu. Setelah pembentukan
jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang
berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang
rawan.
4. Fase Osifikasi
Pembentukan halus mulai mengalami perulangan dalam 2-3
minggu, patah tulang melalui proses penulangan endokondrol, mineral
terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan
keras.
5. Fase Remodeling
Waktu pembentukan 4-6 bulan. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi
reabsorbsi secara eosteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada
tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan menghilang. ( Smeltzer,
Suzanne C. 2001 )

I.

Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Shock
Shock hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan ( banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi ) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstermitas, toraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom Emboli Lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi
stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak dalam aliran darah.

c. Sindrom Kompartemen
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartemen otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misal : iskemi, cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi
bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pindan plat.
f.

Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkmans Ischemia. ( Smeltzer, Suzanne C.
2001 )

2. Komplikasi dalam waktu lama


a. Malunion
Malunion adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed Union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai


dengan

waktu

yang

dibutuhkan

tulang

untuk

menyambung.

Inidisebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.


c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini jugadisebabkan karena aliran darah yang kurang. ( Price Sylvia A.
1995 )

ASUHAN KEPERAWATAN

J. Pengkajian Fokus
1. Aktifitas/Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri).
2. Sirkulasi
a. Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri
atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takikardia (respon stress, hipovolemia)
c. Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d. Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori
a.

Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot

b.

Kebas/ kesemutan (parestesia)

c.

Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,


krepitasi (bunyi berderit ) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang
fungsi.

d.

Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)

4. Nyeri/ kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tak ada
nyeri akibat kerusakan saraf
b. Spasme/ kram otot
5. Keamanan
a. Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tibatiba). ( Doenges, M.1999 )

1. Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen


tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman nyeri terpenuhi.
Kriteria hasil: Mengatakan nyeri berkurang atau menghilang, pasien dapat
mengekspresikan rasa nyeri yang minimal, ekspresi wajah pasien rileks,
mampu melakukan tehnik relaksasi dan distraksi.
Intervensi :
a. Pertahankan imobilisasi pada bagian yang patah dengan tirah baring,
gips, spalek, traksi
Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang dan
perluasan luka pada jaringan.
b. Tinggikan posisi ektermitas yang terkena
Rasional:

Meningkatkan

aliran

darah,

mengurangi

edema

dan

mengurangi rasa nyeri


c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif
Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler
d. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama
e. Evaluasi keluhan nyeri ( catat lokasi nyeri, karakteristik, sifat, intensitas,
skala dan tanda-tanda nyeri non verbal ).
Rasional:

Mempengaruhi

penilaian

intervensi,

tingkat

kegelisahan

mungkin akibat dari presepsi/reaksi terhadap nyeri


f.

Kolaborasi dalam pemberian analgetik


Rasional: Diberikan obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri yang
hebat

2. Diagnosa

II

Risiko

disfungsi

neurovaskuler

perifer

berhubungan

denganpenurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan


trombus)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan tidak terjadi disfungsi neurovaskuler
perifer

Kreteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya


nadi, kulit hangat/kering, sensasi normal, tanda vital stabil dan ahluaran urine
adekuat
Intervensi :
a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi
b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk
c. Pertahankan

letak

tinggi

ekstremitas

yang

cedera

kecuali

ada

kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.


Rasional: Mempertahankan imobilisasi pada tulang yang patah.
d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.
Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien
e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
Rasional:

Menurunkan

insiden

komplikasi

kulit

dan

pernapasan

(dekubitus, atelektasis, penumonia)


f.

Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.


Rasional: Mempertahankan hidrasi tubuh, mencegah komplikasi urinarius
dan konstipasi

g. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi


Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual
h. Kolaborasi pemberian diet TKTP
Rasional: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh
i.

Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi


Rasional: Menilai perkembangan masalah klien.

KOMPONEN

NILAI

Nilai GCS

3-4

5-12

13-15

Volime Perdarahan Intra-Serebral

>= 30 cc

< 30 cc

Perdarahan Intraventrikular

Ada

Tidak ada

Perdarahan Invratentorial

Ada

Tidak ada

>= 80

< 80

Usia

Nilai terendah (0) Tertinggi (6)

Anda mungkin juga menyukai