Lapkas Rabies TTD
Lapkas Rabies TTD
PENDAHULUAN
pembersihan dan perawatan luka dan imunisasi aktif dengan vaksin anti rabies
(VAR) atau dengan serum anti rabies (SAR).8,9
Kejang demam menurut International League against Epilepsy (ILAE)
adalah kejang yang terjadi pada masa kanak-kanak setelah umur 1 bulan
berhubungan dengan demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf
pusat.10,11
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering dan terjadi pada
2% sampai 5% anak berumur 6 bulan sampai5 tahun10,12-14dan puncak insidensi
pada tahun kedua kehidupan.Beberapa literatur lain mengatakan istilah kejang
demam plus untuk individu dengan onset awal kejang demam lebih dari 6
tahun.15,16Di berbagai negara prevalensi dan insidensi kejang demam berbeda.
Kejang demam terjadi pada 3% sampai 5% dari anak-anak di Amerika Utara dan
Eropa dan sampai dengan 14% terjadi pada anak-anak asal Asia.17
Kejang demam terbagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kompleks.Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam,12-14Sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang lama yang
berlangsung lebih dari 15 menit, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam, merupakan kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.13,14Kejang demam memiliki prognosis yang sangat baik secara
seragam, namun kejang demam dapat menandakan penyakit infeksi akut serius
yang mendasari seperti sepsis atau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus
diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang
menyertai.18
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus Observasi Gigitan Anjing dengan
Kejang Demam pada Anak yang ditemukan di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou
Manado.
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: F. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 139/12 tahun
Tanggal lahir
: 08 Februari 2001
Berat badan
: 37 kg
: Tidak diketahui
Tinggi badan
: 152 cm
Suku/Bangsa
: Gorontalo
Agama
: Islam
Alamat
: Matongkad
: 19.45 WITA
Dikirim dari
:I RDA
Masuk Ruangan
: Irina E Bawah
Partus
Oleh
: Bidan Kampung
Family Tree
Penderita
ANAMNESIS
Anamnesis diberikan oleh Tante Penderita (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Selama hamil Ibu Penderita kontrol teratur sebanyak 9 kali di Puskesmas dan
mendapat suntikan tetanus sebanyak 2 kali. Selama hamil Ibu Penderita sehat.
:(-)
Varicella
: (-)
Pertusis
: (-)
Diare
: (-)
Cacingan
: (-)
Batuk/Pilek
: (+)
Lain-lain
: (-)
: 2 bulan
: 3 bulan
: 4 bulan
: 6 bulan
: 7 bulan
: 13 bulan
: 4 bulan
: 4 bulan
: 8 bulan
: 8 bulan
: 0-12bulan
PASI
: (-)
Bubur Susu
: 2-8 bulan
Bubur Saring
: 9-10 bulan
Bubur Halus
: 11-12 bulan
Nasi Lembek
: 13 bulan-sekarang
Imunisasi
BCG
Imunisasi lainnya orang tua lupa, orang tua hanya mengingat sudah pernah
diimunisasi 3 kali, namun tidak tahu imunisasi jenis apa.
Riwayat Keluarga
Riwayat Sosial
Penderita dan keluarga tinggal di rumah beratap seng, berdinding papan, berlantai
tanah. Jumlah kamar 2 buah, dihuni oleh 3 orang, 2 orang dewasa dan 1 orang
anak. WC/KM di luar rumah. Sumber air minum adalah air sumur. Sumber
penerangan listrik adalah Perusahaan Listrik Negara. Penanganan sampah dibuang
dan dibakar.
Pemeriksaan Fisik
: 6 4/12 tahun
Berat Badan
: 22 kg
Tinggi Badan
: 115cm
Keadaan Umum
: Tampak sakit
Kualitas Kesadaran
:Delirium
GCS
: E3M5V2
Gizi
: Baik
Anemia
:(-)/(-)
Ikterus
:(-)/(-)
Kejang
: (+)
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 110 kali/menit
Respirasi
: 28 kali/menit
Suhu
: 36,5C
Turgor
: Kembali cepat
Edema
: (-)
Kulit
Warna
: Sawo matang
Efloresensi
: Normal
Pigmentasi
: (-)
Jaringan Parut
: (-)
Lapisan Lemak
: Cukup
Bentuk
: Mesocephal
Rambut
Ubun-ubun Besar
: Menutup
Kepala
Mata
Exophtalmus/Endophtalmus : (-)/(-)
Tekanan Bola Mata
Conjungtiva
: Anemis (-)
Sklera
: Ikterik (-)
Refleks Kornea
: (+)/(+)
Pupil
Telinga
: Sekret (-)
Hidung
: Sekret (-)
Mulut
Bibir
: Sianosis (-)
Lidah
: Beslag (-)
Gigi
: Carries (-)
Selaput Mulut
: Mukosa basah
Gusi
: Perdarahan (-)
Bau Pernapasan
: Foetor (-)
Tenggorokan
Tonsil
Pharynx
: Hiperemis (-)
Trakea
: Letak tengah
Kelenjar
Kaku kuduk
: (-)
Leher
Thorax
Rachitic Rosary
: (-)
Xiphosternum
: (-)
Ruang Intercostal
: Normal
Horrisons Groove
: (-)
Precordial Bulging
: (-)
Lain-lain
: (-)
Retraksi
Detak Jantung
: 110 kali/menit
Iktus Cordis
: Tidak tampak
Batas Kiri
Batas Kanan
Batas Atas
: Intercostalis II-III
: M1>M2
: A1 >A2
: P1<P2
Bising
: (-)
Jantung
Paru-paru
: (-)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Bentuk
: Datar, lemas
Lain-lain
: BU (+) normal
Lien
: Tidak teraba
Hepar
: Tidak teraba
Abdomen
Genitalia
: Laki-laki, normal
Kelenjar
Anggota Gerak
Status lokalis
Tulang Belulang
: Deformitas (-)
Otot-otot
: Atrofi (-)
Reflek-reflek
Status Neurologis
: TRM (-), reflek fisiologis +/+, reflek patologis/-, Nervus kranialis: kesan normal
Resume masuk
10
Seorang anak laki-laki umur 6 4/12 tahun, BB: 22 kg, TB: 115 cm, masuk rumah
sakit pada tanggal 19 Juni 2014 jam 05.20 WITA dengan keluhan kejang disertai
demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 3 kali, lama kejang 15
menit. Riwayat gigitan anjing pada paha kanan.
Keadaan umum
: Tampak sakit
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 110 kali/menit
Respirasi
: 28 kali/menit
Suhu
: 36,5C
Kepala
Thorax
Abdomen
Extremitas
Status lokalis
Hasil laboratorium
Leukosit
: 9800 /mm3
Eritrosit
Hemoglobin
:13,4 g/dL
11
Hematokrit
: 37,4 %
Trombosit
: 407 x103/L
Creatinin darah
: 0,6 mg/dL
Ureum darah
: 28 mg/dL
SGOT
: 30 U/L
SGPT
: 16 U/L
Natrium darah
: 139 mEq/L
Kalium darah
: 4,3 mEq/L
Chlorida darah
: 102 mEq/L
Diagnosa
Terapi
IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 1590 cc/24 jam = 21-22 gtt/m
Injeksi diazepam 8 mg iv
GDS/24 jam
Follow up
12
: KU : tampak sakit
Nadi: 80x/m
Respirasi: 24x/m
Suhu: 36,1C
Kepala
Thorax
Abdomen
Hasil laboratorium
Leukosit
: 8900 /mm3
Eritrosit
Hemoglobin
: 12,2 g/dL
13
Hematokrit
: 34,6 %
Trombosit
: 310 x103/L
: Demam (-), menggigil (-), kejang (-), mual (-), muntah (-)
: KU : tampak sakit
Nadi: 96x/m
Respirasi: 28x/m
Suhu: 36,8C
Kepala
Thorax
Abdomen
: Demam (-), menggigil (-), kejang (-), mual (-), muntah (-)
: KU : tampak sakit
Nadi: 96x/m
Respirasi: 28x/m
Suhu: 36,8C
Kepala
Thorax
Abdomen
: KU : tampak sakit
Nadi: 96x/m
Respirasi: 24x/m
Suhu: 36,0C
15
Kepala
Thorax
Hasil laboratorium
Leukosit
: 8800 /mm3
Eritrosit
Hemoglobin
: 13,3 g/dL
Hematokrit
: 39,0 %
Trombosit
: 182 x103/L
MCH
: 26,4 pg
MCHC
: 34,1 g/dL
MCV
: 77,4 fl
16
: KU : tampak sakit
Nadi: 98x/m
Respirasi: 24x/m
Suhu: 36,0C
Kepala
Thorax
: KU : tampak sakit
Nadi: 90x/m
17
Respirasi: 28x/m
Kepala
Suhu: 36,5C
Thorax
Hasil laboratorium
Leukosit
: 7600 /mm3
Eritrosit
Hemoglobin
: 13,2 g/dL
Hematokrit
: 36,3 %
Trombosit
: 356 x103/L
MCH
: 27,3 pg
MCHC
: 36,4 d/L
MCV
: 75,2 fl
18
: KU : tampak sakit
Nadi: 96x/m
Respirasi: 24x/m
Suhu: 36,0C
Kepala
Thorax
BAB III
19
PEMBAHASAN
Penegakkan diagnosisrabiesdilakukan
berdasarkan pada
anamnesis,
Pada
yang pertama,
patognomonis,2 pada kasus ini juga tidak ditemukan gejala hidrofobia. Beberapa
penderita rabies juga mengalami meningismus atau opistotonus, namun tidak
ditemukan pada kasus ini.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka seperti empat titik pada
paha kanan, luas luka 0,1 x 0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema tidak ada,
edema tidak ada, cairan purulen tidak ada.Pemeriksaan fisik yang harus di
fokuskan pada rabies adalah: Luas dan dalamnya luka, lokasi luka pada tubuh
(tangan, wajah, proksimal terhadap sendi), waktu yang telah dilewati setelah luka,
tanda infeksi lokal (eritema, edema, cairan purulen), dan daerah di sekitar
luka.20Telah diketahui bahwa masa inkubasi akan lebih panjang apabila daerah
gigitan terletak pada daerah tungkai bawah, dibandingkan dengan gigitan pada
daerah muka. Hal ini disebabkan bukan oleh karena jarak saraf yang harus
ditempuh, ataupun bukan oleh karena penyebaran virus cukup cepat, melainkan
disebabkan luasnya persarafan yang berbeda-beda pada setiap bagian tubuh.19
Sampai saat ini belum ada metode yang dapat mengidentifikasi infeksi
virus rabies sebelum gejala klinis timbul, meskipun penampilan klinis penyakit ini
biasanya karakteristik dan diagnosis dapat segera dibuat dengan adanya riwayat
gigitan binatang. Apabila penderita mempunyai riwayat penyakit adanya gigitan
20
binatang, kesemutan pada daerah yang digigit serta hidrofobia maka diagnosis
klinis rabies tidak sukar untuk dibuat.2,19
Diagnostik laboratorik kini dapat dilakukan sebelum penderita meninggal.
Virus dapat ditemukan dengan uji antibodi fluoresens pada sediaan apus sel epitel
kornea atau sayatan kulit dari kulit pada batas rambut. Hasil uji positif disebabkan
oleh karena adanya virus yang bermigrasi ke bawah dari otak ke susunan saraf,
disebabkan kornea dan folikel rambut kaya akan persarafan.Pada pasien yang
tidak diberikan pengobatan pencegahan setelah digigit, akan tampak kenaikan
yang cepat titer virus neutralizing antibodyyang akan muncul 6-10 hari sesudah
awitan gejala. Antibodi semacam ini dapat dideteksi in vitro secara cepat dengan
menggunakan flouresens antibodi rapid fluorecent focus-inhibition test (RFIT)
atau plaque-reduction neutralization test (PRNT). Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan laboratorium.19
Tindakan yang paling penting adalah pembersihan luka dari ludah yang
mengandung virus rabies. Luka harus dibersihkan dengan sabun dan air sedini
mungkin selama 5-10 menit, kemudian dikeringkan supaya bibit penyakitnya
mati. Luka yang sudah bersih dan kering diberi merkurokrom, alkohol 40-70%,
atau betadin. Kemudian penderita dirujuk/dikirim ke Puskesmas atau Rumah Sakit
terdekat untuk memperoleh pengobatan lanjutan.2,9,19 Pada pasien sudah dilakukan
pembersihan pada luka gigitan anjing.
Pada kasus ini ditemukan riwayat gigitan anjing sehingga harus dibuat
keputusan apakah profilaksis rabies diperlukan atau tidak. Gigitan binatang buas
yang tidak beralasan harus dianggap gila jika binatang termasuk spesies yang
diketahui merupakan hospes rabies, seperti sigung (semacam kera), serigala,
rakoon (binatang serupa kucing), kelelawar atau anjing hutan. Gigitan yang tidak
beralasan oleh kelelawar atau binatang buas lain hampir selalu memerlukan
vaksinasi. Jika binatang domestik seperti anjing atau kucing adalah penyerangnya,
pertimbangan harus diberikan pada pertanyaan provokasi, gambaran klinis
bintang jika dilihat, dan status vaksinasi rabies binatang tersebut. Kesukaran
dalam membuat keputusan muncul bila binatang penggigit telah lari sesudah
serangan yang agaknya tidak beralasan. Apakah binatang gila atau hanya
berwatak jelek sering tidak mungkin diputuskan. Bila binatang ada dalam
21
juga
merupakan
rekomendasi
Depkes
RI,
diberikansecara
intramuskuler 0,5 ml dengan pemberian 2-1-1 yang diberikan lebih dari 21 hari
dengan 2 dosis pada 2 tempat yang berbeda pada hari ke 0 pada deltoid kanan dan
kiri, yang dilanjutkan dengan dosis tunggal pada hari ketujuh dan hari keduapuluh
satupada otot deltoid atau anterolateral paha.21Regio deltoid ideal untuk vaksin
ini. Pada bayi dan anak yang lebih muda anterolateral paha merupakan tempat
22
23
Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal.13,17
Penatalaksanaan kejang demam adalah pemberian antikonvulsan. Pada
kasus ini diberikan injeksi diazepam intravena. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
yaitu apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.13,17
Pada kasus ini diberikan diazepam oral pada hari selanjutnya. Diazepam
oral dianjurkan sebagai metoda yang efektif dan aman untuk mengurangi risiko
kejang demam berulang. Dosis diazepam yang diberikan adalah 0,3 mg/kg/8 jam
peroral (1 mg/kg/24 jam), diberikan selama sakit (biasanya 2-3 hari).13
Pada kasus ini juga diberikan antipiretik (paracetamol). Tidak ditemukan
bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam,
namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali
dan tidak boleh lebih dari 5 kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali.13,24
Pada kasus ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kejang demam
dengan riwayat gigitan anjing, karena setelah diobservasi beberapa hari tidak
ditemukan gejala-gejala lain pada pasien ini yang berkaitan dengan gejala-gejala
rabies.Kejang dapat terjadi pada rabies pada stadium lanjut, jika terdapat hipoksia
yang disertai dengan hiperventilasi.2
Walaupun penderita dapat dipertahankan hidup selama beberapa bulan
dengan perawatan intensif, hanya sedikit penderita yang bertahan hidup karena
rabies, dan prognosisnya suram.2 Penyakit ini pada umumnya dianggap 100%
fatal jika gejala-gejala rabies telah berkembang. Kelangsungan hidup pasien telah
dilaporkan hanya 5 pasien. Dari 5 pasien ini, mereka telah menerima vaksin rabies
sebelum onset dari penyakit. Hanya sedikit jumlah kasus rabies yang berhasil
pulih yang telah dilaporkan.22 Pada kasus ini prognosis baik karena hanya terdapat
luka kecil disekitar badan, tidak terdapat gejala-gejala rabies dan telah dilakukan
profilaksis paska pemajanan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
2. Plotkin SA. Rabies. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM, editor. Ilmu kesehatan anak. Volume 2. Jakarta: EGC; 2012. h. 114549.
3. Nugroho DK, Pudjiatmoko, Diarmitha IK, Tum S, Schoonman L. Analisa
data surveilans rabies. OSIR. 2013;6(2):8-12.
4. Yuliani GA, Rahmani J, Suwarno. Deteksi Virus Rabies dalam Air Liur d
an Otak Menggunakan Antibodi Protein G sebagai Bahan Diagnostik
dengan Teknik Indirect Double Antibody Sandwich ELISA. Majalah
Kedokteran Hewan. 2007;23(2):192-6.
5. CDC. Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2011.
6. Yousaf MZ, Qasim M, Zia S, Khan MR, Ashfaq UA, Khan S. Rabies
molecular virology, diagnosis, prevention and treatment. Virology Journal.
2012;9:1-5.
7. Damayanti R, Rahmadani I, Fitria Y. Deteksi antigen virus rabies pada
preparat ulas otak dengan direct rapid immunohistochemistry test.
JITV;2013:19(1):52-8.
8. Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-journal widya
kesehatan dan lingkungan. 2014;1(1):61-7.
9. NCDC. National guidelines on rabies prophylaxis. New Delhi: National
Centre for Disease Control; 2013. h. 5-23.
10. Seinfeld S, Pellock JM. Recent reseacrh on febrile seizures: a review. J
Neurol Neurophysiol. 2013;4(4):1-6.
11. Siqueira LP. Febrile seizures: update on diagnosis and management. Rev
Assoc Med Bras. 2010;56:489-92.
12. Wolf P, Shinnar S. Febrile seizures. Current management in child
neurology, third edition. BC decker Inc; 2007. h. 83-8.
13. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael. Konsensus penatalaksanaan kejang
demam. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006. h. 1-2.
14. American Academics of Pediatrics. Clinical practice guidelinefebrile
seizures: guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a
simple febrile seizure. Pediatrics. 2011;127(2):389-90.
26
15. Wheles JW, Clarke DF, Mcgregor AL, Pearl L, Ng Y. Epilepsy in children
and adoslescent. USA; 2013.
16. Kobayashi K,Ohtsuka Y, Ohmori I, Nishio Y, Fujiwara M,Ito M, dkk.
Clinical and electroencephalographic characteristics of children with
febrile seizures plus. Brain Dev; 2009;26(4):262-8.
17. Farell K, Goldmann RD. The management of febrile seizures. BCMJ.
2011;53(6):268-73.
18. Haslan RH. Sistem saraf. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R,
Arvin AM, editor. Ilmu kesehatan anak. Volume 3. Jakarta: EGC; 2012. h.
2059-60.
19. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis. Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. h.
213-24.
20. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC; 2009. h. 133-35.
21. Rahimi P, Shirzadi MR, Farahtaj F, Fallahian V, Sharifian J, Howaizi N,
dkk. Efficacy of purified vero cell rabies vaccine (PVRV) under the zagreb
regimen in Iran. Vac Res. 2014;1(1):1-3.
22. Ehrlich AM. Rabies. Dalam: Williams L, Wilkins. The 5 minute clinical
consult. Edisi 22. USA: Aptara; 2014. h. 1036-7.
23. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 91.
24. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia. 2010. h. 150-53.
27