Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies merupakan penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan ke


manusia dari hewan) yang menyerang sistem saraf pusat dan disebabkan oleh
virus dari genus Lyssavirus famili Rhabdovirus.1-4 Penyakit ini mempengaruhi
hewan domestik dan hewan liar, dan menyebar ke manusia melalui kontak dengan
bahan infeksius, biasanya melalui air liur, gigitan atau cakaran.1,2
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup
banyak. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun
lebih dari 55000 orang meninggal karena rabies terutama di Asia dan Afrika.1,5,6
40% dari orang-orang yang digigit oleh hewan yang diduga rabies adalah anakanak dibawah 15 tahun.1
Sampai tahun 2005 daerah bebas Rabies di Indonesia hanya meliputi Jawa,
Bali, NTB dan Papua. Namun kemudian pada tahun 2005 sampai sekarang Jawa
Barat kemudian terjadi wabah sporadis di beberapa kota dan berdasarkan
KepMentan Nomor 1637.1, 1 Desember 2008 Bali dinyatakan terjangkit wabah
rabies dan KepMentan Nomor 1696, tanggal 12 Desember 2008 menetapkan
Propinsi Bali sebagai Kawasan Karantina Penyakit anjing gila/rabies. Diantara 33
propinsi di Indonesia hanya sembilan propinsi yang masih dinyatakan bebas yaitu
DKI Jakarta, Jateng, Jatim, DIY, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau dan Nusa Tengggara Barat.7
Gejala awal penyakit ini pada manusiakurang spesifik, antara lain demam,
sakit kepala, danlesu. Seiring dengan berkembangnya penyakit, makaakan tampak
gejala neurologis yang meliputiinsomnia, kegelisahan, kebingungan, paralisis
totalatau parsial, eksitasi, halusinasi, agitasi, hipersalivasi,kesulitan menelan, dan
hidrofobia (takut air).Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelahtimbul
gejala, sehingga penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan harus tepat.2,4
Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit rabies.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan prosedur profilaksis
paska-terpapar (P.E.P., post-exposure prophylaxis). Prosedur ini terdiri dari

pembersihan dan perawatan luka dan imunisasi aktif dengan vaksin anti rabies
(VAR) atau dengan serum anti rabies (SAR).8,9
Kejang demam menurut International League against Epilepsy (ILAE)
adalah kejang yang terjadi pada masa kanak-kanak setelah umur 1 bulan
berhubungan dengan demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf
pusat.10,11
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering dan terjadi pada
2% sampai 5% anak berumur 6 bulan sampai5 tahun10,12-14dan puncak insidensi
pada tahun kedua kehidupan.Beberapa literatur lain mengatakan istilah kejang
demam plus untuk individu dengan onset awal kejang demam lebih dari 6
tahun.15,16Di berbagai negara prevalensi dan insidensi kejang demam berbeda.
Kejang demam terjadi pada 3% sampai 5% dari anak-anak di Amerika Utara dan
Eropa dan sampai dengan 14% terjadi pada anak-anak asal Asia.17
Kejang demam terbagi menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kompleks.Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam,12-14Sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang lama yang
berlangsung lebih dari 15 menit, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam, merupakan kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.13,14Kejang demam memiliki prognosis yang sangat baik secara
seragam, namun kejang demam dapat menandakan penyakit infeksi akut serius
yang mendasari seperti sepsis atau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus
diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang
menyertai.18
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus Observasi Gigitan Anjing dengan
Kejang Demam pada Anak yang ditemukan di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou
Manado.

BAB II

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama

: F. M

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 139/12 tahun

Tanggal lahir

: 08 Februari 2001

Berat badan

: 37 kg

Berat badan lahir

: Tidak diketahui

Tinggi badan

: 152 cm

Suku/Bangsa

: Gorontalo

Agama

: Islam

Alamat

: Matongkad

Masuk Rumah Sakit : 16 Oktober 2014


Jam

: 19.45 WITA

Dikirim dari

:I RDA

Masuk Ruangan

: Irina E Bawah

Partus

: Spontan letak belakang kepala

Oleh

: Bidan Kampung

Family Tree

Penderita

ANAMNESIS
Anamnesis diberikan oleh Tante Penderita (Alloanamnesis)

Keluhan Utama

Demam naik-turun sejak 1 bulan SMRS + kuning sejak


Riwayat Penyakit Sekarang :
Penderita masuk rumah sakit dengan keluhan kejang sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Lama kejang 15 menit, frekuensi kejang 3 kali, sifat kejang tangan
dan kaki penderita tersentak-sentak, setelah kejang penderita sadar namun tampak
bingung-bingung. Penderita pun dibawa ke Rumah Sakit Cantia Tompasobaru, 1
jam sesudahnya penderita mengalami kejang 2 kali lagi dengan jenis dan lama
kejang yang sama. Setelah kejang penderita tidak sadar. Penderita juga mengalami
demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya demam sumer-sumer
namun berangsur-angsur menjadi tinggi pada perabaan. Demam turun oleh obat
penurun demam. Menggigil, perdarahan, nyeri perut, nyeri sendi disangkal
penderita. Penderita memiliki luka di paha kanan, tampak seperti ada empat titik.
Orang tua penderita tidak tahu mengenai luka tersebut dan baru melihat luka
tersebut untuk pertama kalinya, dicurigai riwayat gigitan anjing. Penderita sulit
ditanya karena kesadaran yang belum pulih sepenuhnya (bingung-bingung,
kadang menjawab, kadang tidak, jawabanpun tidak tepat sesuai pertanyaan).
Buang air besar belum pernah sejak 1 hari, buang air kecil biasa, kesan lancar.

Anamnesis Ante Natal

Selama hamil Ibu Penderita kontrol teratur sebanyak 9 kali di Puskesmas dan
mendapat suntikan tetanus sebanyak 2 kali. Selama hamil Ibu Penderita sehat.

Penyakit yang sudah pernah dialami


Morbili

:(-)

Varicella

: (-)

Pertusis

: (-)

Diare

: (-)

Cacingan

: (-)

Batuk/Pilek

: (+)

Lain-lain

: (-)

Kepandaian dan Kemajuan Bayi


Pertama kali membalik

: 2 bulan

Pertama kali tengkurap

: 3 bulan

Pertama kali duduk

: 4 bulan

Pertama kali merangkak

: 6 bulan

Pertama kali berdiri

: 7 bulan

Pertama kali berjalan

: 13 bulan

Pertama kali tertawa

: 4 bulan

Pertama kali berceloteh

: 4 bulan

Pertama kali memanggil papa

: 8 bulan

Pertama kali memanggil mama

: 8 bulan

Anamnesis Makanan Terperinci Sejak Bayi Sampai Sekarang


ASI

: 0-12bulan

PASI

: (-)

Bubur Susu

: 2-8 bulan

Bubur Saring

: 9-10 bulan

Bubur Halus

: 11-12 bulan

Nasi Lembek

: 13 bulan-sekarang

Imunisasi
BCG

: 1 kali (Dilihat dari scar pada deltoid kanan)

Imunisasi lainnya orang tua lupa, orang tua hanya mengingat sudah pernah
diimunisasi 3 kali, namun tidak tahu imunisasi jenis apa.

Riwayat Keluarga

Hanya Penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga.

Riwayat Sosial

Penderita dan keluarga tinggal di rumah beratap seng, berdinding papan, berlantai
tanah. Jumlah kamar 2 buah, dihuni oleh 3 orang, 2 orang dewasa dan 1 orang
anak. WC/KM di luar rumah. Sumber air minum adalah air sumur. Sumber
penerangan listrik adalah Perusahaan Listrik Negara. Penanganan sampah dibuang
dan dibakar.
Pemeriksaan Fisik

Status Present tanggal 19 Juni 2014


Umur

: 6 4/12 tahun

Berat Badan

: 22 kg

Tinggi Badan

: 115cm

Keadaan Umum

: Tampak sakit

Kualitas Kesadaran

:Delirium

GCS

: E3M5V2

Gizi

: Baik

Anemia

:(-)/(-)

Ikterus

:(-)/(-)

Kejang

: (+)

Tekanan Darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 110 kali/menit

Respirasi

: 28 kali/menit

Suhu

: 36,5C

Turgor

: Kembali cepat

Edema

: (-)

Kulit
Warna

: Sawo matang

Efloresensi

: Normal

Pigmentasi

: (-)

Jaringan Parut

: (-)

Lapisan Lemak

: Cukup

Bentuk

: Mesocephal

Rambut

: Hitam, tidak mudah dicabut

Ubun-ubun Besar

: Menutup

Kepala

Mata
Exophtalmus/Endophtalmus : (-)/(-)
Tekanan Bola Mata

: Normal pada perabaan

Conjungtiva

: Anemis (-)

Sklera

: Ikterik (-)

Refleks Kornea

: (+)/(+)

Pupil

: bulat, isokor, diameter 3 mm-3 mm

Telinga

: Sekret (-)

Hidung

: Sekret (-)

Mulut
Bibir

: Sianosis (-)

Lidah

: Beslag (-)

Gigi

: Carries (-)

Selaput Mulut

: Mukosa basah

Gusi

: Perdarahan (-)

Bau Pernapasan

: Foetor (-)

Tenggorokan

Tonsil

: T1-T1 hiperemis (-)

Pharynx

: Hiperemis (-)

Trakea

: Letak tengah

Kelenjar

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Kaku kuduk

: (-)

Leher

Thorax
Rachitic Rosary

: (-)

Xiphosternum

: (-)

Ruang Intercostal

: Normal

Horrisons Groove

: (-)

Precordial Bulging

: (-)

Pernapasan Paradoxal : (-)

Lain-lain

: (-)

Retraksi

Detak Jantung

: 110 kali/menit

Iktus Cordis

: Tidak tampak

Batas Kiri

: Linea midclavicularis sinistra

Batas Kanan

: Linea parasternal dextra

Batas Atas

: Intercostalis II-III

Batas Jantung Apex

: M1>M2

Batas Jantung Aorta

: A1 >A2

Batas Jantung Pulmo

: P1<P2

Bising

: (-)

Jantung

Paru-paru

: (-)

Inspeksi

: Simetris, retraksi (-)

Palpasi

: Stem fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor kiri = kanan

Auskultasi

: Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Bentuk

: Datar, lemas

Lain-lain

: BU (+) normal

Lien

: Tidak teraba

Hepar

: Tidak teraba

Abdomen

Genitalia

: Laki-laki, normal

Kelenjar

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Anggota Gerak

: Akral hangat, CRT 2 detik

Status lokalis

: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas


luka 0,1 x 0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema
(-), edema (-), cairan purulen (-)

Tulang Belulang

: Deformitas (-)

Otot-otot

: Atrofi (-)

Reflek-reflek

:Reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-,


spastik (-), klonus (-)

Status Neurologis

: TRM (-), reflek fisiologis +/+, reflek patologis/-, Nervus kranialis: kesan normal

Resume masuk

10

Seorang anak laki-laki umur 6 4/12 tahun, BB: 22 kg, TB: 115 cm, masuk rumah
sakit pada tanggal 19 Juni 2014 jam 05.20 WITA dengan keluhan kejang disertai
demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 3 kali, lama kejang 15
menit. Riwayat gigitan anjing pada paha kanan.
Keadaan umum

: Tampak sakit

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 110 kali/menit

Respirasi

: 28 kali/menit

Suhu

: 36,5C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3 mm-3mm, Reflek cahaya


(+)/(+), Conjungtiva anemis (-)/(-), Sklera ikteris (-)/(-),
PCH (-), trismus (-), fotofobia (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo : dalam batas normal

Abdomen

: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar/lien: tidak teraba

Extremitas

: Akral hangat, CRT 2 detik


Reflek fisiologis (+)/(+), reflek patologis (-)/(-), spastis(-),
klonus (-)

Status lokalis

: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x


0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)

Hasil laboratorium

Leukosit

: 9800 /mm3

Eritrosit

: 4,96 x 106 / mm3

Hemoglobin

:13,4 g/dL
11

Hematokrit

: 37,4 %

Trombosit

: 407 x103/L

Creatinin darah

: 0,6 mg/dL

Ureum darah

: 28 mg/dL

SGOT

: 30 U/L

SGPT

: 16 U/L

Natrium darah

: 139 mEq/L

Kalium darah

: 4,3 mEq/L

Chlorida darah

: 102 mEq/L

Diagnosa

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

Terapi

O2 1-2 l/m via nasal kanul

IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 1590 cc/24 jam = 21-22 gtt/m

Injeksi diazepam 8 mg iv

Paracetamol 3x250 mg pulv via NGT

Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Oral aff sementara

GDS/24 jam

Follow up

12

Perawatan Hari I: Jumat, 20 Juni 2014


S

: Demam (-), kejang (-), mual (+), muntah (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 100/70 mmHg

Nadi: 80x/m

Respirasi: 24x/m

Suhu: 36,1C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), Cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen

: Datar, lemas, BU (+) normal, Hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),


reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 21-22 gtt/m


Diazepam 3x5 mg pulv
Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Hasil laboratorium

Leukosit

: 8900 /mm3

Eritrosit

: 4,51 x 106 / mm3

Hemoglobin

: 12,2 g/dL

13

Hematokrit

: 34,6 %

Trombosit

: 310 x103/L

Perawatan Hari II: Sabtu, 21 Juni 2014


S

: Demam (-), menggigil (-), kejang (-), mual (-), muntah (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 100/60 mmHg

Nadi: 96x/m

Respirasi: 28x/m

Suhu: 36,8C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen

: Datar, lemas, BU (+) normal, Hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),


reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 21-22 gtt/m


Diazepam 3x5 mg pulv
Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Perawatan Hari III: Minggu, 22 Juni 2014


14

: Demam (-), menggigil (-), kejang (-), mual (-), muntah (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 100/60 mmHg

Nadi: 96x/m

Respirasi: 28x/m

Suhu: 36,8C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen

: Datar, lemas, BU (+) normal, Hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),


reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 21-22 gtt/m


Diazepam 3x5 mg pulv
Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Perawatan Hari IV: Senin, 23 Juni 2014


S

: Demam (-),kejang (-),muntah (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 100/60 mmHg

Nadi: 96x/m

Respirasi: 24x/m

Suhu: 36,0C
15

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen : Datar, lemas, BU (+) normal, hepar/lien: tidak teraba


Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),
reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: IVFD 0,45% NaCl in D5% (HS) 21-22 gtt/m


Diazepam 3x5 mg pulv
Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Hasil laboratorium

Leukosit

: 8800 /mm3

Eritrosit

: 5,04 x 106 / mm3

Hemoglobin

: 13,3 g/dL

Hematokrit

: 39,0 %

Trombosit

: 182 x103/L

MCH

: 26,4 pg

MCHC

: 34,1 g/dL

MCV

: 77,4 fl

16

Perawatan Hari V: Selasa, 24 Juni 2014


S

: Demam (-), intake (+) baik,kejang (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 90/60 mmHg

Nadi: 98x/m

Respirasi: 24x/m

Suhu: 36,0C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen : Datar, lemas, BU (+) normal, hepar/lien: tidak teraba


Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),
reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: Diazepam 3x5 mg pulv


Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Perawatan Hari VI: Rabu, 25 Juni 2014


S

: Demam (-), intake (+) baik,kejang (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 90/60 mmHg

Nadi: 90x/m

17

Respirasi: 28x/m
Kepala

Suhu: 36,5C

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen: Datar, lemas, BU (+) normal, hepar/lien: tidak teraba


Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),
reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: Diazepam 3x5 mg pulv


Paracetamol 3x250 mg pulv
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

Hasil laboratorium

Leukosit

: 7600 /mm3

Eritrosit

: 4,83 x 106 / mm3

Hemoglobin

: 13,2 g/dL

Hematokrit

: 36,3 %

Trombosit

: 356 x103/L

MCH

: 27,3 pg

MCHC

: 36,4 d/L

MCV

: 75,2 fl

18

Perawatan Hari VII: Kamis, 26 Juni 2014


S

: Demam (-), intake (+) baik,kejang (-)

: KU : tampak sakit

Kesadaran: Compos mentis

Tekanan Darah: 100/60 mmHg

Nadi: 96x/m

Respirasi: 24x/m

Suhu: 36,0C

Kepala

: Pupil bulat isokor, diameter 3mm-3mm, Conjungtiva


anemis (-), sklera ikterik (-), PCH (-)

Thorax

: Simetris, retraksi (-), cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen : Datar, lemas, BU (+) normal, hepar/lien: tidak teraba


Ekstremitas : Akral hangat, CRT 2 detik, Reflek fisiologis (+)/(+),
reflek patologis (-)/(-), spastis (-), klonus (-)
Status lokalis: Vulnus morsum regio femoralis dextra, luas luka 0,1 x
0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema (-), edema (-), cairan
purulen (-)
A

: Observasi gigitan anjing + kejang demam plus

: Diazepam 3x5 mg pulv


Paracetamol 3x250 mg pulv
Rawat jalan
Injeksi verorab H0, H3, H7, H14, H28

BAB III
19

PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosisrabiesdilakukan

berdasarkan pada

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan


adanya kecurigaan gigitan anjing pada paha kanan, orang tua penderita tidak tahu
mengenai luka tersebut dan baru melihat luka tersebut untuk pertama kalinya,
sehingga sukar untuk memperoleh data anamnesis lainnya mengenai luka gigitan
anjing tersebut. Pasien ini juga mengalami demam, keluhan lain tidak ditemukan.
Pada rabies ditemukan fase prodormal, berakhir 2-10 hari. Gejala
nonspesifik yang lazim adalah demam, malaise, nyeri kepala, anoreksia, dan
muntah. Gejala khas pada stadium ini adalah nyeri, gatal, atau parestesia pada
tempat luka.2,19Pada kasus ini tidak ditemukan adanya gejala khas tersebut. Fase
kedua yaitu fase neurologis akut, dari varietas mengamuk atau paralitik, yang
berakhir 2-10 hari.

Pada

yang pertama,

hidrofobia merupakan tanda

patognomonis,2 pada kasus ini juga tidak ditemukan gejala hidrofobia. Beberapa
penderita rabies juga mengalami meningismus atau opistotonus, namun tidak
ditemukan pada kasus ini.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka seperti empat titik pada
paha kanan, luas luka 0,1 x 0,1 cm, kedalaman 0,1 cm, eritema tidak ada,
edema tidak ada, cairan purulen tidak ada.Pemeriksaan fisik yang harus di
fokuskan pada rabies adalah: Luas dan dalamnya luka, lokasi luka pada tubuh
(tangan, wajah, proksimal terhadap sendi), waktu yang telah dilewati setelah luka,
tanda infeksi lokal (eritema, edema, cairan purulen), dan daerah di sekitar
luka.20Telah diketahui bahwa masa inkubasi akan lebih panjang apabila daerah
gigitan terletak pada daerah tungkai bawah, dibandingkan dengan gigitan pada
daerah muka. Hal ini disebabkan bukan oleh karena jarak saraf yang harus
ditempuh, ataupun bukan oleh karena penyebaran virus cukup cepat, melainkan
disebabkan luasnya persarafan yang berbeda-beda pada setiap bagian tubuh.19
Sampai saat ini belum ada metode yang dapat mengidentifikasi infeksi
virus rabies sebelum gejala klinis timbul, meskipun penampilan klinis penyakit ini
biasanya karakteristik dan diagnosis dapat segera dibuat dengan adanya riwayat
gigitan binatang. Apabila penderita mempunyai riwayat penyakit adanya gigitan

20

binatang, kesemutan pada daerah yang digigit serta hidrofobia maka diagnosis
klinis rabies tidak sukar untuk dibuat.2,19
Diagnostik laboratorik kini dapat dilakukan sebelum penderita meninggal.
Virus dapat ditemukan dengan uji antibodi fluoresens pada sediaan apus sel epitel
kornea atau sayatan kulit dari kulit pada batas rambut. Hasil uji positif disebabkan
oleh karena adanya virus yang bermigrasi ke bawah dari otak ke susunan saraf,
disebabkan kornea dan folikel rambut kaya akan persarafan.Pada pasien yang
tidak diberikan pengobatan pencegahan setelah digigit, akan tampak kenaikan
yang cepat titer virus neutralizing antibodyyang akan muncul 6-10 hari sesudah
awitan gejala. Antibodi semacam ini dapat dideteksi in vitro secara cepat dengan
menggunakan flouresens antibodi rapid fluorecent focus-inhibition test (RFIT)
atau plaque-reduction neutralization test (PRNT). Pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan laboratorium.19
Tindakan yang paling penting adalah pembersihan luka dari ludah yang
mengandung virus rabies. Luka harus dibersihkan dengan sabun dan air sedini
mungkin selama 5-10 menit, kemudian dikeringkan supaya bibit penyakitnya
mati. Luka yang sudah bersih dan kering diberi merkurokrom, alkohol 40-70%,
atau betadin. Kemudian penderita dirujuk/dikirim ke Puskesmas atau Rumah Sakit
terdekat untuk memperoleh pengobatan lanjutan.2,9,19 Pada pasien sudah dilakukan
pembersihan pada luka gigitan anjing.
Pada kasus ini ditemukan riwayat gigitan anjing sehingga harus dibuat
keputusan apakah profilaksis rabies diperlukan atau tidak. Gigitan binatang buas
yang tidak beralasan harus dianggap gila jika binatang termasuk spesies yang
diketahui merupakan hospes rabies, seperti sigung (semacam kera), serigala,
rakoon (binatang serupa kucing), kelelawar atau anjing hutan. Gigitan yang tidak
beralasan oleh kelelawar atau binatang buas lain hampir selalu memerlukan
vaksinasi. Jika binatang domestik seperti anjing atau kucing adalah penyerangnya,
pertimbangan harus diberikan pada pertanyaan provokasi, gambaran klinis
bintang jika dilihat, dan status vaksinasi rabies binatang tersebut. Kesukaran
dalam membuat keputusan muncul bila binatang penggigit telah lari sesudah
serangan yang agaknya tidak beralasan. Apakah binatang gila atau hanya
berwatak jelek sering tidak mungkin diputuskan. Bila binatang ada dalam

21

pengamatan, pengobatan rabies dapat ditunda sampai bintang bertindak secara


abnormal, pada saat ini ia harus dikorbankan dan diuji untuk rabies.2 Pada kasus
ini dipertimbangkan pemberian profilaksis rabies paska pemajanan karena sulit
untuk dilakukan pengamatan pada anjing yang menyerang penderita.
Diantara 33 propinsi di Indonesia hanya sembilan propinsi yang masih
dinyatakan bebas yaitu DKI Jakarta, Jateng, Jatim, DIY, Papua, Papua Barat,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau dan Nusa Tengggara Barat.7Berdasarkan data
diatas, Sulawesi Utara merupakan daerah yang endemis dengan rabies, sehingga
pada kasus ini dipertimbangkan pemberian profilaksis rabies paska pemajanan.
Rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk pemberian
profilaksis tegantung adanya kontak: Kategori 1 yaitu menyentuh, memberi
makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang intak karena terpapar, tidak perlu
profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya. Kategori 2 yaitu termasuk luka
yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet (erosi
ekskoriasi), luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki. Untuk luka risiko rendah
diberi vaksin antirabies (VAR) saja. Katergori 3 yaitu jilatan atau luka pada
mukosa, luka di atas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan atau
kaki, genitalia, luka yang lebar atau dalam dan luka yang banyak (multiple) atau
ada kontak dengan kelelawar maka digunakan vaksin antirabies (VAR) dan serum
antirabies (SAR).1,8,9Pada kasus ini termasuk dalam katergori 2 yaitu terdapat luka
kecil disekitar badan, sehingga diberikan VAR.
Terdapat dua macam protokol profilaksis paska pemajanan yang
direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), yaitu protokol Essen
dan Zagreb. Protokol Essen merupakan standar baku emas untuk imunisasi paska
pemajanan, terdiri dari limadosis yang diberikan secara intramuskuler 0,5 mlpada
otot deltoid atau anterolateral paha pada hari 0, 3, 7, 14, 282,20,21dan regimen
Zagrebyang

juga

merupakan

rekomendasi

Depkes

RI,

diberikansecara

intramuskuler 0,5 ml dengan pemberian 2-1-1 yang diberikan lebih dari 21 hari
dengan 2 dosis pada 2 tempat yang berbeda pada hari ke 0 pada deltoid kanan dan
kiri, yang dilanjutkan dengan dosis tunggal pada hari ketujuh dan hari keduapuluh
satupada otot deltoid atau anterolateral paha.21Regio deltoid ideal untuk vaksin
ini. Pada bayi dan anak yang lebih muda anterolateral paha merupakan tempat

22

penyuntikan yang lebih disukai.9Profilaksis paska pemajanan yang menggunakan


regimen Essen sudah sangat sukses dalam hal mengurangi jumlah kematian
manusia yang disebabkan oleh rabies. Regimen Zagreb juga memiliki kelebihan
karena dapat menghemat waktu dan uang dan akibatnya menghasilkan kepatuhan
pasien yang lebih baik terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Regimen Zagreb.21Pasien ini menggunakan protokol Essen yang merupakan
standar baku emas. Injeksi verorab pada kasus ini baru dilakukan pada H0, H3 dan
H7 selanjutnya diberi anjuran kepada keluarga untuk melanjutkannya di rumah
sakit pada H14 dan H28.
Pada pasien ini juga ditemukan adanya kejang dan demam. Penegakkan
diagnosiskejang demam dilakukan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan, penderita
mengalami kejang saat demam sebanyak 3 kali dalam waktu 24 jam, dengan lama
kejang 15 menit, sifat kejang tangan dan kaki penderita tersentak-sentak, setelah
kejang penderita sadar namun tampak bingung-bingung. Berdasarkan durasi
kejang, kasus ini termasuk dalam kriteria diagnosis kejang demam kompleks
dimana kejang demam kompleks adalah kejang lama yang berlangsung lebih dari
15 menit, kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam, merupakan kejang
fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.13,14,18
Dari anamnesis didapatkan umur penderita 6 4/12 tahun, berdasarkan
kepustakaan kejang demam biasa terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun,10,13,14
namun beberapa literatur lain mengatakan istilah kejang demam plus untuk
individu dengan onset awal kejang demam lebih dari 6 tahun,15,16sehingga pada
kasus ini didiagnosis dengan kejang demam plus.
Dari pemeriksaan fisiktidak didapatkan adanya tanda rangsang meningeal
dan reflek patologis. Hal ini menunjukkan penyebab kejang demam pada
penderita tidak disebabkan oleh proses intrakranial.23Pada kasus ini juga
ditemukan luka pada paha kanan penderita yang dicurigai merupakan gigitan
anjing, sehingga perlu diketahui manifestasi klinis pada rabies dalam
mendiagnosis penderita.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi, yang biasa dilakukan pada kejang demam yang tidak khas.

23

Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal.13,17
Penatalaksanaan kejang demam adalah pemberian antikonvulsan. Pada
kasus ini diberikan injeksi diazepam intravena. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
yaitu apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.13,17
Pada kasus ini diberikan diazepam oral pada hari selanjutnya. Diazepam
oral dianjurkan sebagai metoda yang efektif dan aman untuk mengurangi risiko
kejang demam berulang. Dosis diazepam yang diberikan adalah 0,3 mg/kg/8 jam
peroral (1 mg/kg/24 jam), diberikan selama sakit (biasanya 2-3 hari).13
Pada kasus ini juga diberikan antipiretik (paracetamol). Tidak ditemukan
bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam,
namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali
dan tidak boleh lebih dari 5 kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali.13,24
Pada kasus ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kejang demam
dengan riwayat gigitan anjing, karena setelah diobservasi beberapa hari tidak
ditemukan gejala-gejala lain pada pasien ini yang berkaitan dengan gejala-gejala
rabies.Kejang dapat terjadi pada rabies pada stadium lanjut, jika terdapat hipoksia
yang disertai dengan hiperventilasi.2
Walaupun penderita dapat dipertahankan hidup selama beberapa bulan
dengan perawatan intensif, hanya sedikit penderita yang bertahan hidup karena
rabies, dan prognosisnya suram.2 Penyakit ini pada umumnya dianggap 100%
fatal jika gejala-gejala rabies telah berkembang. Kelangsungan hidup pasien telah
dilaporkan hanya 5 pasien. Dari 5 pasien ini, mereka telah menerima vaksin rabies
sebelum onset dari penyakit. Hanya sedikit jumlah kasus rabies yang berhasil
pulih yang telah dilaporkan.22 Pada kasus ini prognosis baik karena hanya terdapat
luka kecil disekitar badan, tidak terdapat gejala-gejala rabies dan telah dilakukan
profilaksis paska pemajanan.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, UNICEF. Rabies. Geneva: World Health Organization. 2013.

25

2. Plotkin SA. Rabies. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM, editor. Ilmu kesehatan anak. Volume 2. Jakarta: EGC; 2012. h. 114549.
3. Nugroho DK, Pudjiatmoko, Diarmitha IK, Tum S, Schoonman L. Analisa
data surveilans rabies. OSIR. 2013;6(2):8-12.
4. Yuliani GA, Rahmani J, Suwarno. Deteksi Virus Rabies dalam Air Liur d
an Otak Menggunakan Antibodi Protein G sebagai Bahan Diagnostik
dengan Teknik Indirect Double Antibody Sandwich ELISA. Majalah
Kedokteran Hewan. 2007;23(2):192-6.
5. CDC. Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2011.
6. Yousaf MZ, Qasim M, Zia S, Khan MR, Ashfaq UA, Khan S. Rabies
molecular virology, diagnosis, prevention and treatment. Virology Journal.
2012;9:1-5.
7. Damayanti R, Rahmadani I, Fitria Y. Deteksi antigen virus rabies pada
preparat ulas otak dengan direct rapid immunohistochemistry test.
JITV;2013:19(1):52-8.
8. Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-journal widya
kesehatan dan lingkungan. 2014;1(1):61-7.
9. NCDC. National guidelines on rabies prophylaxis. New Delhi: National
Centre for Disease Control; 2013. h. 5-23.
10. Seinfeld S, Pellock JM. Recent reseacrh on febrile seizures: a review. J
Neurol Neurophysiol. 2013;4(4):1-6.
11. Siqueira LP. Febrile seizures: update on diagnosis and management. Rev
Assoc Med Bras. 2010;56:489-92.
12. Wolf P, Shinnar S. Febrile seizures. Current management in child
neurology, third edition. BC decker Inc; 2007. h. 83-8.
13. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael. Konsensus penatalaksanaan kejang
demam. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006. h. 1-2.
14. American Academics of Pediatrics. Clinical practice guidelinefebrile
seizures: guideline for the neurodiagnostic evaluation of the child with a
simple febrile seizure. Pediatrics. 2011;127(2):389-90.
26

15. Wheles JW, Clarke DF, Mcgregor AL, Pearl L, Ng Y. Epilepsy in children
and adoslescent. USA; 2013.
16. Kobayashi K,Ohtsuka Y, Ohmori I, Nishio Y, Fujiwara M,Ito M, dkk.
Clinical and electroencephalographic characteristics of children with
febrile seizures plus. Brain Dev; 2009;26(4):262-8.
17. Farell K, Goldmann RD. The management of febrile seizures. BCMJ.
2011;53(6):268-73.
18. Haslan RH. Sistem saraf. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R,
Arvin AM, editor. Ilmu kesehatan anak. Volume 3. Jakarta: EGC; 2012. h.
2059-60.
19. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis. Edisi II. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. h.
213-24.
20. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC; 2009. h. 133-35.
21. Rahimi P, Shirzadi MR, Farahtaj F, Fallahian V, Sharifian J, Howaizi N,
dkk. Efficacy of purified vero cell rabies vaccine (PVRV) under the zagreb
regimen in Iran. Vac Res. 2014;1(1):1-3.
22. Ehrlich AM. Rabies. Dalam: Williams L, Wilkins. The 5 minute clinical
consult. Edisi 22. USA: Aptara; 2014. h. 1036-7.
23. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 91.
24. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia. 2010. h. 150-53.

27

Anda mungkin juga menyukai