Anda di halaman 1dari 7

Pertussis-like syndrome atau Pertussis: Diagnosis yang terlambat

Heda Melinda Nataprawira, Finia Cahayasari, Arifin Kashmir


Paediatrica Indonesiana. 2012; 52:28-31

Abstrak :
Latar Belakang. Laporan epidemiologi tentang pertussis yang terbaru di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan sangat terbatas, tetapi WHO memperkirakan bahwa daerah tersebut
memiliki kejadian pertussis yang tinggi. Kesulitan dalam memperkirakan prevalensi dari
pertussis karena kurang jelasnya metode diagnostic, misdiagnosis, kasus tak terlapor dan
perbedaan kriteria pelaopran pada tiap negara. Sindrom dengan karakteristik episode batuk
yang parah dan menyerupai batuk rejan (pertussis) juga diartikan sebagai pertussis-like
syndrome.
Tujuan. Untuk melaporkan sebelas kasus dari pertussis atau pertussis-like syndrome di
bangsal pediatric Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Metode. Menggunakan studi retrospektif dengan meninjau rekam medis dari tahun 2008
2010. Identitas dari 11 pasien pertussis-like syndrome dicatat termasuk umur, jenis
kelamin, riwayat imunisasi pertussis, manifestasi klinis, hasil laboratorium, diagnosis awal,
terapi dan respon klinis. Data tentang isolasi Bordetella pertussis menggunakan agar
Bordet-Gengou juga dicatat. Diagnosis pertussis dikelompokkan berdasar 2 klasifikasi :
suspek atau terkonfirmasi.
Hasil. Sebelas pasien didiagnosis dengan pertussis-like syndrome, terdiri dari 5 anak laki
laki dan 6 anak perempuan. Umur subjek umumnya dibawah 6 bulan. Hanya satu subjek
yang mendapatkan imunisasi pertussis. Gejala utama yang dikeluhkan pasien antara lain
dispneu, batuk tiba tiba, dan demam. Semua subjek didiagnosis awal dengan pneumonia
bacterial yang parah, dan kemudian diuabah menjadi suspek pertussis. Tiga subbjek
menunjukkan gejala muntah setelah batuk dan sianosis, tetapi tidak ada gejala apneu.
Seluruh isolasi Bordetella pertussis memiliki hasil negative. Terapi awal diberikan
mpisilin dan sefalosporin. Pasien yang diberikan Clarithromicin setelahnya memberikan
respon klinis yang baik.
Kesimpulan. Seluruh bayi dapat terkena pertussis, terlebih apabila tidak mendapatkan
imunisasi pertussis. Tetapi, isolasi B. pertussis tidak berhasil dilakukan dalam semua
kasus. Karena hal tersebut, diagnosis dapat tidak terkonfirmasi.
Kata Kunci : pertussis, pertussis-like syndrome, agar Bordet-Gengou, clarithromisin.

Pertusis, disebut juga batuk rejan, merupakan infeksi saluran nafas yang tingkat
penularannya tinggi, dimana per tahun ada 39 juta orang tertular pertussis dan
menyebabkan setidaknya 300.000 kematian per tahun pada anak. Walaupun laporan
epidemiologi pertussis pada Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang terbaru sangat
terbatas, WHO memperkirakan bahwa di daerah tersebut, termasuk Indonesia, mempunyai
insidensi yang tinggi1. Kesulitan perkiraan prevalensi pertussis disebabkan oleh kurang
jelasnya metode diagnostic, misdiagnosis, kasus tak terlapor dan kriteria pelaoran yang
berbeda dari tiap negara. Namun, kejadian munculnya kembali pertussis telah dilaporkan
pada negara dengan cakupan imunisasi yang tinggi dan dikaitkan dengan berbagai factor,
termasuk peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit, penegakkan diagnosis yang
membaik, cakupan imunisasi yang menurun, vaksin yang suboptimal, menurunnya
imunitas yang diinduksi vaksin dan adaptasi pathogen. Faktor factor relatif yang
berkontribusi ini akan berbeda di setiap negara dan merupakan perdebatan yang masih
berlangsung hingga sekarang2.
Bordetella pertussis, coccobasilus gram negative, dilaporkan menjadi agen penyebab
utama dari batuk berkepanjangan pada anak yang tidak divaksinasi1,3,4,5. Batuk rejan klasik
ditandai dengan tiga tahap pada penyakit, diawali dengan gejala non-spesifik, terkadang
menyerupai flu biasa atau infeksi virus selama 1 2 minggu. Setelah tahap catarrhal
(produktif) ini, batuk menjadi predominan, dengan dilanjutkan dengan tahap paroksismal,
dimana pasien akan menunjukkan tanda suara inspirasi yang keras dan dapat disertai
muntah. Tahap ini berlangsung 2 6 pekan. Tahap terakhir, tahap pemulihan akan terjadi
beberapa minggu dimana episode batuk yang berkurang. Batuk rejan sangat infeksius
selama 2 minggu tahap catarrhal melalui droplet. Sayangnya, diagnosis tidak dapat
ditegakkan sampai tahap paroksismal, dimana karakteristik batuk muncul1,4. Sampai
sekarang, sulit untuk mengkonfirmasi diagnosis pertussis, sehingga muncul diagnosis
terlambat dari pertussis atau pertussis-like syndrome. Dalam banyak kasus, diagnosis kerja
dibuat dengan gejala klinis yang kuat. Dalam rangka untuk menilai kecukupan data klinis
dan data yang diteliti dalam penegakkan diagnosis pertussis atau pertussis-like syndrome,
penulis melaporkan profil klinis dan respon terapi pada 11 subjek dengan pertussis atau
pertussis-like syndrome.

Metode
Subjek yang digunakan untuk penelitian ini adalah seluruh pasien anak di Rumah Sakit
Hasan Sadikin, Bandung yang didiagnosis dengan pertussis atau pertussis-like syndrome
dari Januari 2008 sampai Desember 2009. Data subjek didapat dari rekam medis rumah
sakit dan register pertussis atau pertussis-like syndrome yang dimiliki penulis.
Menurut Centers of Disease Control (CDC)6 tahun 1997 yang diperbarui tahun 2010,7
diagnosis dari pertussis didasarkan pada dua klasifikasi kasus: (1) suspek, yaitu kasus yang
sesuai dengan definisi klinis kasus (batuk lebih dari 2 minggu dengan salah satu gejala:
batuk tiba tiba, inspirasi yang keras, atau muntah pasca-batuk, tanpa sebab yang jelas
lainnya seperti yang dilaporkan oleh profesi kesehatan), tidak dikonfirmasi dengan data
laboratorium, dan tidak terkait epidemiologi dengan kasus yang dikonfirmasi dengan
laboratorium; dan (2) terkonfirmasi, yaitu kasus penyakit batuk akut dengan durasi selama
selama apapun, dengan isolasi B. pertussis dari specimen klinis, atau kasus yang sesuai
dengan definisi klinis kasus dan dikonfirmasi dengan kultur atau PCR6,7.
Catatan medis dibahas secara detail dengan membahas umur, jenis kelamin, riwayat
imunisasi pertussis, manifestasi klinis, temuan laboratorium, diagnosis awal, terapi dan
respon klinis terhadap terapi. Kultur dari isolasi B. pertusis menggunakan agar BordetGengou dilakukan di Laboratorium Bio Farma, Bandung.

Tabel 1. Karakteristik subjek


Karakteristik subjek
Jenis Kelamin, n
Laki laki
Perempuan
Umur, n
0 1 bulan
1 6 bulan
6 12 bulan
Gejala klinis
Batuk, n
Rata rata lamanya batuk, hari
Demam, n
Dispneu, n
Rata rata lamanya dispneu, hari
Sianosis, n
Muntah, n
Temuan laboratorium
Leukositosis, n
Limfositosis karena leukositosis, n
Kultur Bordet Gengou
Positif, n
Negatif, n
Klasifikasi kasus
Suspek, n
Terkonfirmasi, n
Riiwayat imunisasi DTP
Terapi Macrolida (clarithromycin)

n = 11
5
6
1
9
1
11
10,5
9
9
2
3
3
10
5
0
10
11
0
1
11

Hasil
Sebelas pasien anak didiagnosis pertussis atau pertussis-like syndrome pada rentang
waktu Januari 2008 sampai Desember 2009. Umur subjek antara 1 sampai 12 bulan dengan
subjek terbanyak pada kelompok umur 1 6 bulan. Rasio laki laki perempuan hamper
seimbang. Gejala utama yang muncul pada penelitian ini adalan dispneu dan batuk. Hanya
3 pasien menunjukkan gejala sianosis dan muntah. Tidak ada gejala apneu. Rata rata
durasi gejala sampai datang ke pelayanan kesehatan sekitar 10,5 hari dan rata rata waktu
penegakan diagnosis dan inisiasi terapi antibiotika makrolid di bangsal dari datangnya
subjek ke pelayanan kesehatan adalah 4 hari. Hanya satu anak yang sudah imunisasi
pertussis. Leukositosis dengan limfositosis absolut terdapat pada 5 subjek. Kultur agar
Bordet-Gengou dilakukan pada sampel 10 subjek, tetapi seluruh uji kultur hasilnya
negative. Berdasarkan klasifikasi pertussis (suspek dan terkonfirmasi), seluruh subjek
diduga dengan suspek pertussis. Seluruh pasien sebelumnya didagnosis awal dengan

pneumonia bacterial parah, tetapi kemudian didiagnosis dengan suspek pertussis. Oleh
karena itu, ampisilin atau sefalosporin diberikan untuk pneumonia bacterial parah, sebelum
diganti clarithromisin pada minggu kedua dari gejala awal, dan setelah didiagnosis suspek
pertussis atau pertussis-like syndrome8. Pasien menunjukkan respon klinis yang baik.

Pembahasan
Penulis hanya mendokumnetasi 11 pasien dengan pertussis-like syndrome dalam
rentang waktu penelitian di Rumah Sakit Hasan Sadikin, pusat rujukan kesehatan untuk
Propinsi Jawa Barat. Subjek umumnya masih bayi dengan kejadian terbanyak pada bayi
yang tidak diimunisasi DTP1. Walaupun pertussis tidak dapat terkonfirmasi, penulis
menganggap semua pasien adalah suspek pertussis. Dispneu, batuk paroksismal dan
demam muncul pada seluruh subjek. Umumnya, demam yang terjadi adalah demam yang
tidak tinggi sepanjang perjalanan penyakit4.
Hanya 3 bayi yang menunjukkan muntah pasca-batuk dan sianosis, tetapi tdak ada
gejala apneu pada seluruh subjek. Batuk rejan klasik ditandai dengan tiga tahap yang
berbeda dengan gejala awal yang tidak spesifik, seperti gejala flu atau infeksi viral lainnya,
dan berlangsung 1 2 minggu. Setelah tahap catarrhal (produktif) awal, batuk akan
semakin predominan. Berlanjut menuju tahap paroksismal, pasien menunujukkan suara
inspirasi yang keras, kadang disertai muntah. Tahap ini berlangsung 2 6 minggu. Tetapi,
bayi mungkin memberikan gejala suara keras yang jelas, parsial atau bahkan tidak ada
suara keras sama sekali yang menyulitkan penegakan diagnosis. Batuk merejan sangat
infeksius pada 2 minggu tahap catarrhal melalui droplet. Sayangnya, diagnosis tidak dapat
ditegakkan hingga masuk tahap paroksismal, dimana karakteristik batuk muncul1,4. Kita
harus mempertimbangkan pertusis jika laporan orangtua bayi dengan batuk dan sindrom
apneu, dimana apneu tidak terjadi dalam penelitian kami. Pada akhir dari fase catarrhal,
leukositosis dengan limfositosis sering terjadi, mencapai puncaknya pada tahap
paroksismal. Di fase ini, jumlah leukosit darah total dapat menyerupai gambaran leukemia
(100.000/ mL), dengan 60 - 80% limfosit9. Dari penelitian, didapatkan 5 subjek dengan
limfositosis absolut.
Fase pemulihan terjadi 1 3 minggu, dan ditandai dengan pengurangan frekuensi batuk
secara gradual sebelum pasien kembali normal. Tetapi, batuk tiba tiba sering muncul
dengan infeksi saluran nafas setelahnya untuk beberapa bulan setelah onset pertussis.
Situasi ini membingungkan orang tua.

Walaupun kultur B.pertusis adalah standar baku dari penegakkan diagnosis pertussis,
tetapi sensitivitasnya rendah, mungkin karena dilemahkan dengan antibiotic sebelumnya,
status imunisasi, jarak kultur dengan munculnya gejala klinis, durasi transport specimen
(lebih dari 3 hari), kualitas specimen yang buruk dan kurang ahli dalam melakukan kultur9.
Sehingga, Laboratorium Pertusis CDC merekomendasikan medium Regan-Lowe karena
kelebihannya daripada medium non-selektif Bordet-Gengou10. Di Rumah Sakit Hasan
Sadikin, specimen harus dikirim ke Laboratorium Bio Farma yang berlokasi dekat denga
rumah sakit, karena kultur tidak bisa dilakukan di rumah sakit. Spesimen diambil ketika
pasien batuk. Sensitivitas kulutr turun signifikan jika specimen diambil lebih dari 2 minggu
setelah onset batuk. Tiga minggu setelah onset batuk, sensitivitas kultur hanya 1 3%, dan
menurun lebih lanjut pada pasien dewasa dan remaja dimana akan memunculkan gejela
yang lambat4. Alasan ini yang menjelaskan mengapa hasil kultur pada subjek negative.
Diagnosis yang terlambat terjadi selama perawatan di rumah sakit selama tahap
paroksismal dimana pasien muncul dispneu, bukan batuk merejan. Lebih jauh, dari riwayat
pasien, gejala klasik yang lain dari pertussis, terutama pada fase catarrhal, tidak muncul
secara nyata dan dilaporkan oleh orang tua atau pengasuh. Karena itu, seluruh kasus
didiagnosis suspek pneumonia bacterial parah. Selanjutnya pasien baru didiagnosis suspek
pertussis berdasarkan definisi kasus yang sesuai, walaupun tidak ada yang dikonfirmasi
oleh temuan laboratorium., ataupun kasus yang dikonfirmasi laboratorium yang
berhubungan dengan epidemiologinya.
Batuk yang menyerupai pertussis juga diamati pada infeksi seperti adenovirus,
parapertussis virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus, sitomegalovrus,
Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia11. Banyak dari subjek yang belum
mendapatkan imunisasi pertussis, yang mendukung praduga diagnosis dari pertussis.
Dalam kasus ini, antibiotic seperti ampisilin atau sefalosporin dinerikan untuk diagnosis
pneumonia bacterial parah. Clarithromisin, drug of choice, diberikan pada minggu kedua
setelah gejala awal muncul pada anak. Clarithromisin memberikan respon klinis yang
bagus, terutama hari ketiga setelah pemberian awal.
Karena perawatan di rumah sakit yang terlambat, anamnesis yang bias dan kultur
bakteri negative akan menyebabkan keterlambatan diagnosis pertussis atau pertussis-like
syndrome. Pertama, banyak pasien yang terdiagnosis pneumonia berat karena keluhan
utama yaitu dispneu dan batuk, disebabkan pasien datang ke rumah sakit setelah fase
catarrhal sudah selesai. Lebih jauh, hospitalisasi yang terlambat juga menyebabkan kultur

bakteri negative, dimana isolasi B.pertussis membutuhkan waktu yang tepat untuk
mengambil sampel, selanjutnya akan menyulitkan penegakkan diagnosis dari pertussis.
Sehingga, seluruh bayi dianggap pertussis, meskipun hasil kultur negative, dimana banyak
yang tidak imunisasi pertusis

Anda mungkin juga menyukai