Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Amubiasis merupakan suatu infeksi Entamoeba histolytica pada manusia
dapat terjadi secara akut dan kronik . Manusia merupakan penjamu dari beberapa
spesies

amuba,

yaitu Entamoeba

histolytica,

E.

coli,

E.

ginggivalis,

Dientamoeba frigilis, Endolimax nana, Iodamoeba butclii. Diantara beberapa


spesies amuba, hanya satu spesies yaitu Entamoeba histolytica yang merupakan
parasit patogen pada manusia dan menyebabkan infeksi usus pada anak melalui
kontaminasi feses pada air atau makanan.
Entamoeba histolytica pertama kali ditemukan oleh Losh tahun 1875 dari
tinja seorang penderita di Leningrad, Rusia. Pada autopsi, Losh menemukan
Entamoeba histolytica bentuk trofozoit dalam usus besar, tetapi ia tidak
mengetahui hubungan kausal antara parasit ini dengan kelainan ulkus usus
tersebut.1,2
Amubiasis tersebar luas di berbagai negara di seluruh dunia. Pada berbagai
survei menunjukkan frekuensi diantara 0,2 50 % di Indonesia, amubiasis kolon
banyak dijumpai dalam keadaan endemi. Prevalensi Entamoeba histolytica di
berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10 18 % dan berhubungan langsung
dengan sanitasi lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai pada
daerah tropik dan subtropik yang sanitasinya jelek, dan banyak dijumpai juga
dirumah-rumah sosial, penjara, rumah sakit jiwa dan lain-lain.1,3,5
Pada manusia E. histolytica mengadakan invasi ke dalam mukosa usus dan
dapat menyebar ke dalam traktus intestinalis, misalnya ke dalam duodenum,

gaster, esofagus atau ekstraintestinalis, yaitu hepar (terutama), paru, perikardium,


peritonium, kulit dan otak. Infeksi protozoa usus menimbulkan variasi yang luas
dari sindroma klinis, berkisar dari status pengidap asimtomatik sampai penyakit
berat yang disertai dengan lesi patologis di saluran pencernaan atau organ lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Amubiasis adalah suatu keadaan terdapatnya Entamoeba histolytica dengan
atau tanpa manifestasi klinik, dan disebut sebagai penyakit bawaan makanan
(Food Borne Disease). Entamoeba histolytica juga dapat menyebabkan Disenteri
amoeba, penyebarannya kosmopolitan banyak dijumpai pada daerah tropis dan
subtropis terutama pada daerah yang sosio ekonomi lemah dan higiene sanitasinya
jelek.1,2
Klasifikasi amubiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan
simptomatik, yang termasuk amubiasis simptomatik yaitu amubiasis intestinal
yaitu dysentri, non-dysentri colitis, amoebic appendicitas ke orang lain oleh
pengandung kista entamoeba hitolytica yang mempunyai gejala klinik
(simptomatik) maupun yang tidak (asimptomatik).1,2
Amubiasis pada manusia dapat terjadi secara akut dan kronik. Amubiasis
memiliki gejala yang samar-samar, sehingga hampir tidak diketahui. Gejalanya
bisa berupa diare yang hilang-timbul dan sembelit, banyak buang gas (flatulensi)
dan kram perut. Bisa terjadi demam ringan. Diagnosis dilakukan berdasarkan
ditemukannya amuba pada sampel tinja penderita. Amuba penyebab amubiasis
tidak selalu ditemukan pada setiap sampel tinja, karena itu biasanya diperlukan
pemeriksaan tinja sebanyak 3-6 kali. Selain pemberian antiamuba, diperlukan juga
tindakan lain yang sifatnya menguntungkan penderita seperti diet rendah residu
dan karbohidrat serta protein yang mudah dicerna, pemberian obat yang bersifat

simtomatik dan kadang diperlukan antimikroba untuk mengendalikan infeksi yang


menyertai amubiasis. 1,3
Amubiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh protozoa anaerobik,
yaitu Entamoeba histolitica dengan atau tanpa gejala klinik.1,2,3,4 Penyakit infeksi
usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histolytica ini biasa
disebut juga disentri amoeba, enteritis amoeba, dan colitis amoeba.1,2,5
B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, amubiasis kolon banyak dijumpai dalam keadaan endemi.
Prevalensi Entamoeba histolytica di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara
10 18 %. Di China, Mesir, India dan negeri Belanda berkisar antara 10,1
11,5%, di Eropa Utara 5 20%, di Eropa Selatan 20 51% dan di Amerika
Serikat 20%. Frekuensi infeksi Entamoeba histolytica diukur dengan jumlah
pengandung kista.
Perbandingan berbagai macam amubiasis di Indonesia, amubiasis kolon
banyak ditemukan, amubiasis hati hanya kadang-kadang amubiasis otak lebih
jarang lagi dijumpai.1,3
Sumber infeksi terutama carrier yakni penderita amubiasis tanpa gejala
klinis yang dapat bertahan lama megeluarkan kista yang jumlahnya ratusan ribu
perhari. Bentuk kista tersebut dapat bertahan diluar tubuh dalam waktu yang lama.
Kista dapat menginfeksi manusia melalui makanan atau sayuran dan air yang
terkontaminasi dengan tinja yang mengandung kista.1,2,3,4
Infeksi dapat juga terjadi dengan atau melalui vektor serangga seperti lalat
dan kecoa (lipas) atau tangan orang yang menyajikan makanan (food handler)

yang menderita sebagai carrier, sayur-sayuran yang dipupuk dengan tinja


manusia dan selada buah yang ditata atau disusun dengan tangan manusia. Buktibukti tidak langsung tetapi jelas menunjukkan bahwa air merupakan perantara
penularan. Sumber air minum yang terkontaminasi pada tinja yang berisi kista
atau secara tidak sengaja terjadi kebocoran pipa air minum yang berhubungan
dengan tangki kotoran atau parit.1,3,5
Penularan diantara keluarga sering juga terjadi terutama pada ibu atau
pembantu rumah tangga yang merupakan carrier, dapat mengkontaminasi
makanan sewaktu menyediakan atau menyajikan makanan tersebut.1,5
Pada tingkat keadaan sosio ekonomi yang rendah sering terjadi infeksi
yang disebabkan berbagai masalah, antara lain :1,3,4,5
Penyediaan air bersih, sumber air sering tercemar. Tidak adanya jamban, defekasi
disembarang tempat, memungkinkan amoeba dapat dibawa oleh lalat atau kecoa.
Pembuangan sampah yang jelek merupakan tempat pembiakan lalat atau lipas
yang berperan sebagai vektor mekanik.
C. ETIOLOGI
E.histolytica

merupakan

protozoa

usus,

sering

hidup

sebagai

mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi


memungkinkan dapat berubah menjadi pathogen dengan cara membentuk koloni
di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup amoeba ada 2 macam bentuk. Yaitu bentuk trofozoit yang dapat
bergerak dan bentuk kista.1,2,3,5

D. PATOFISIOLOGI
Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu
tahap trofozoit dan kista. Pada tahap trofozoit, amuba tidak bisa bertahan hidup
mandiri, sedangkan pada tahap kista amuba bersifat sangat menular dan kuat,
hidup di Lingkungan yang ekstrim. Entamoeba histolytica ditularkan melalui rute
fecal-oral. Periode inkubasi terjadi mulai dari hitungan hari sampai tahun (durasi
rata-rata 2-4 minggu. 4,5
Mengandung kista yang jumlahnya besar dan penderita dalam keadaan
konvalesensi merupakan bahaya potensial yang merupakan sumber infeksi dan
harus diobati dengan sempurna karena keduanya merupakan masalah kesehatan
yang besar.1,3,4
Kista dapat hidup lama dalam air (10 14 hari). Dalam lingkungan yang
dingin dan lembab kista dapat hidup selama kurang lebih 12 hari, kista juga tahan
terhadap Khlor yang terdapat dalam air leding dan kista akan mati pada suhu 50o
C atau dalam keadaan kering. Entamoeba histolytica ini juga menyebabkan
Dysenteriae amoeba, abses hati dan Giardia lamblia yang banyak ditemukan pada
anak-anak. Infeksi juga ditularkan dalam bentuk kista, sehingga pengandung kista
adalah penting dalam penyebaran penyakit ini.1,2
Infeksi dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan minuman yang
terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan mengeluarkan trofozoit dalam usus besar
dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran 10-18 mm.
Kista yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 inti yang kecil.
Selama proses pematangan vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda

kromatoid menjadi makin kabur dan akhirnya menghilang. Kista sangat tahan
terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap hidup dan infektif dalam kondisi
lembab sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai 12 hari dan
dalam air selama 30 hari.6

Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica,
kista akan masuk melalui saluran pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi,
dinding kista robek dan keluar amoeba multinucleus metacystic yang langsung
7

membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda yang disebut amoebulae.


Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah diri
asexual.7
Trofozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic.
Bentuknya akan mengecil dan bebentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 mm.
Bentuk kista yang matang mengandung kromatoid untuk menyimpan unsur nutrisi
glycogen yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah bentuk inaktif
yang akan keluar melalui feses. Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran
darah menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati adalah organ yang paling sering
diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit memakan sel parenchym hati
sehingga menyebabkan kerusakan hati.7

Kista Entamoeba Histolitica

Trofozoit Entamoeba Histolotica

Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus


besar, dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan
ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini
masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh

pasien,sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai


peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kerentanan tubuh misalnya
kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan amoeba ditentukan oleh strainnya.
Beberapa faktor lingkungan yang diduga berpengaruh, misalnya suasana anaerob
dan asam (pH 0,6-6,5), adanya bakteri, virus dan diet tinggi kolesterol, tinggi
karbohidrat dan rendah protein. Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim
fosfoglukomutase dan lizosim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis
jaringan dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu dilapisan mukosa
berbentuk kecil tapi dilapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung).
Akibatnya terjadi ulkus dipermukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi
reaksi radang yang minimal. Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus,
tampak sel leukosit dalam jumlah banyak, tampak pula Kristal charcot leyden dan
kadang-kadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan
perdarahan dan apabila menembus lapisan muscular akan terjadi perforasi dan
peritonitis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reaksi terbentuknya massa jaringan
granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi didaerah sekum dan sigmoid.
Dari ulkus didalam dinding usus besar, amoeba dapat mengadakan metastasis ke
hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat
pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi keparu, otak, atau
limpa, dan menimbulkan abses disana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.3,5
E. KLASIFIKASI
1. Amubiasis intestinal

Amubiasis intestinal atau disebut juga sebagai amubiasis primer terjadi


pertama didaerah caecum, appendix, colon ascenden dan berkembang ke colon
lainnya. Bila sejumlah parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan ulkus
(borok), yang mempercepat kerusakan mukosa.3,5
Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi akan terhenti
didaerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi
lateral dan berkembang menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh
bila parasit tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi awal biasanya tidak terjadi
komplikasi dengan bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan diikuti infeksi
sekunder oleh bakteri dan dapat merusak muskularis mukosa, infiltrasi ke submukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan muskularis dan serosa.5
Amubiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri,
virulensi dari strain amuba, kondisi dari lumen usus atau dinding usus, yaitu
keadaan flora usus, intek/tidaknya dinding usus, kondisi makanan, apabila
makanan banyak mengandung karbohidrat, maka amoeba tersebut lebih pathogen.
Pada pemeriksaan barium enema, amoeba dapat berupa lesi polipoid, dapat
dikelirukan dengan karsinoma kolon. Adanya ulkus pada mukosa usus dapat
diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah satu
sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm
sampai 2-3 cm.2,5
Variasi tipe amubiasis primer terdiri atas (Peter, 2003):
a)

Amubiasis kolon akut. Bila gejalanya berlangsung kurang dari 1 bulan.

Amubiasis kolon akut atau disentri amoeba (dysentria amoebica) mempunyai

10

gejala yang jelas yaitu sindrom disentri yang merupakan kumpulan gejala terdiri
atas diare (berak-berak encer) dengan tinja yang berlendir dan berdarah serta
tenesmus anus (nyeri pada anus waktu buang air besar). Terdapat juga rasa tidak
enak di perut dan mules. Bila tinja segar diperiksa, bentuk histolitika dapat
ditemukan dengan mudah.
b)

Amubiasis kolon menahun, disebut juga sebagai inflammantory bowel

disease bila gejalanya berlangsung lebih dari 1 bulan atau bila terjadi gejala yang
ringan, diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Amubiasis kolon
menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat gejala sus
yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi dengan
obstipasi (sembelit).
2. Amubiasis Ekstra-Intestinal
Invasi amoeba selain dalam jaringan usus disebut amubiasis sekunder atau
ekstra intestinal. Terjadinya kasus trofozoit terbawa aliran darah dan limfe ke
lokasi lain dari tubuh, menyebabkan terjadinya lesi pada organ lain. Lesi sekunder
dijumpai lesi pada hati (sekitar 5% dari kasus amubiasis). Umumnya infestasi
amuba yang paling sering adalah amubiasis intraluminal asimptomatik. Perkiraan
prevalensi individu yang asimptomatik bervariasi antara 5-50% populasi.3
Amubiasis sekunder dapat terjadi penyebaran melalui beberapa cara, yaitu
melalui darah atau yang disebut hematogen, organ yang paling sering terserang
yaitu hepar yang akan menimbulkan amubiasis hepatitis dan selanjutnya absces
hepatikum dapat terjadi secara single atau multiple dan 85% pada lobus dextra..
Hal ini terjadi bila trofozoit masuk kedalam venula mesenterika dan bergerak ke

11

hati melalui sistem vena porta hepatis, kemudian masuk melalui kapiler darah
portal menuju sinusoid hati dan akhirnya membentuk absces.6 Besarnya absces
cukup bervariasi dari bentuk titik yang kemudian membesar sampai seperti buah
anggur. Ditengah absces akan terlihat adanya cairan nekrosis, ditengahnya ada sel
stroma hati dan bagian luarnya terlihat jaringan hati yang ditempeli oleh amoeba.
Bilamana absces pecah serpihan absces akan tersebar dan menginfeksi jaringan
lainnya. Selanjutnya dapat menyebar melalui otak.3,4,5
3. Carrier (Cyst Passer)
Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena amoeba yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan invasi
ke dinding usus.
F. GAMBARAN KLINIK
Gejala-gejala klinik dari amubiasis tergantung daripada lokalisasi dan
beratnya infeksi. Penyakit disentri yang ditimbulkannya hanya dijumpai pada
sebagian kecil penderita tanpa gejala dan tanpa disadari merupakan sumber
infeksi yang penting yang kita kenal sebagai "carrier", terutama didaerah dingin,
yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kista sehari. Penderita amubiasis intestinalis
sering dijumpai tanpa gejala atau adanya perasaan tidak enak diperut yang samarsamar, dengan adanya konstipasi, lemah dan neurastenia. Infeksi menahun dengan
gejala subklinis dan terkadang dengan eksaserbasi kadang-kadang menimbulkan
terjadinya kolon yang "irritable" sakit perut berupa kolik yang tidak teratur.1,2,5
Amubiasis yang akut mempunyai masa tunas 1-14 minggu. Dengan adanya
sindrom disentri berupa diare yang berdarah dengan mukus atau lendir yang

12

disertai dengan perasaan sakit perut dan tenesmus yang juga sering disertai
dengan adanya demam. Amubiasis yang menahun dengan serangan disentri
berulang terdapat nyeri tekan setempat pada abdomen dan terkadang disertai
pembesaran hati. Penyakit menahun yang melemahkan ini mengakibatkan
menurunnya berat badan.
Amubiasis ekstra intestinalis memberikan gejala sangat tergantung kepada
lokasi absesnya. Yang paling sering dijumpai adalah amubiasis hati disebabkan
metastasis dari mukosa usus melalui aliran sistem portal. Sering dijumpai pada
orang-orang dewasa muda dan lebih sering pada pria daripada wanita dengan
gejala berupa demam berulang, kadang-kadang disertai menggigil, icterus ringan,
bagian kanan diafragma sedikit meninggi, sering ada rasa sakit sekali pada bahu
kanan dan hepatomegali. Abses ini dapat meluas ke paru-paru disertai batuk dan
nyeri tekan intercostal, pleural effusion dengan demam disertai dengan menggigil.
Pada pemeriksaan darah dijumpai lekositosis kadang-kadang amubiasis hati
sudah lama diderita tanpa tanda-tanda dan gejalanya khas yang sukar didiagnosa.
Infeksi amoeba di otak menunjukkan berbagai tanda dan gejala seperti abses atau
tumor otak. Amubiasis ekstra intestinalis ini dapat juga dijumpai di penis, vulva,
perineum, kulit setentang hati atau kulit setentang colon atau di tempat lain
dengan tanda-tanda suatu ulkus dengan pinggirnya yang tegas, sangat sakit dan
mudah berdarah.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti penderita amubiasis adalah menemukan parasit didalam
tinja atau jaringan. Diagnosis laboratorium dapat dibuat dengan pemeriksaan

13

mikroskopis atau menemukan parasit dalam biakan tinja sering dijumpai


Entamoeba histolytica bersama-sama dengan kristal Charcot-Leyden. Diagnosis
tidak selalu mudah, maka perlu dilakukan pemeriksaan berulang khususnya pada
kasus menahun. Kegagalan dapat terjadi dengan teknik yang salah, mencari
parasit tidak cukup teliti atau sering dikacaukan dengan protozoa lain dan sel-sel
artefak.
Pemeriksaan tinja dengan sediaan langsung dengan memakai air garam
faal, atau lugol, dengan pengecatan trichrom, hematoksilin (sediaan permanen)
atau dengan metode konsentrasi. Pada umumnya pada tinja encer akan di jumpai
bentuk tropozoit disertai gejala klinik nyata, sedangkan pada tinja padat pada
penderita tanpa gejala terutama pada penderita menahun carrier akan dijumpai
terutama bentuk kista.
Bentuk tropozoit dapat dikenal karena gerakannya aktif, ektoplasma yang
berbatas jelas, nukleus dan adanya sel darah merah, cristal Charcot Leyden,
yang dicernakan dan kista- kista dapat dikenali dari bentuknya yang bulat dimana
jumlah inti 1 4 dan benda chromatidnya.
Pemeriksaan serologis, test haemaglutinasi, test presipitin, pemeriksaan
radiologis atau scalhing berperan pada penderita ekstra intestinal amubiasis.
Aspirasi abses dapat dilakukan dengan menemukan cairan warna coklat dan pada
akhir aspirasi akan ditemukan bentuk tropozoit.
Pada amubiasis kolon akut biasanya diagnosis klinis ditetapkan bila
terdapat sindrom disentri disertai sakit perut (mules). Biasanya gejala diare
berlangsung tidak lebih dari 10 kali sehari. Gejala tersebut dapat dibedakan dari

14

gejala penyakit disentri basilaris. Pada disentri basilaris terdapat sindrom disentri
dengan diare yang lebih sering, kadang-kadang sampai lebih dari 10 kali sehari,
terdapat juga demam dan lekositosis. Diagnosis laboratorium ditegakkan dengan
menemukan Entamoeba histolytica bentuk histolytica dalam tinja.
Amubiasis kolon menahun biasanya terdapat gejala diare yang ringan
diselingi dengan obstipasi. Dapat juga terjadi suatu eksaserbasi akut dengan
sindrom disentri. Diagnosis laboratorium ditegakkan dengan menemukan
Entamoeba histolytica bentuk histolytica dalam tinja.
Bila amoeba tidak ditemukan, pemeriksaan tinja perlu diulangi 3 hari
berturut-turut. Reaksi serologi perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis.
Proktoskop dapat digunakan untuk melihat luka yang terdapat di rektum dan
untuk melihat kelainan di sigmoid digunakan sigmoidoskop.
Sedangkan pada amubiasis hati secara klinis dapat dibuat diagnosis bila
terdapat gejala berat badan menurun, badan terasa lemah, demam, tidak nafsu
makan disertai pembesaran hati yang nyeri tekan. Pada pemeriksaan radiologi
biasanya didapatkan peninggian diafragma. Pemeriksaan darah menunjukkan
adanya leukositosis. Diagnosis laboratorium ditegakkan dengan menemukan
Entamoeba histolytica bentuk histolytica dalam biopsi dinding abses atau dalam
aspirasi nanah abses. Bila amoeba tidak ditemukan, dilakukan pemeriksaan
serologik, antara lain tes hemaglutinasi tidak langsung atau tes imunodifusi.
H. DIAGNOSIS BANDING 1,2,5
1. Disentri basiler
2. Schistosomiasis

15

3. Karsinoma Usus besar


4. Kolitits Ulserativa
5. Trichuriasis
6. Malaria
7. Kolitis sebagai akibat radiasi
I.

PENATALAKSANAAN

1. Supportive terapi (supportive therapy)


Terapi ini berhubungan dengan sifat virulensi amoeba. Biasanya dengan
menggunakan diet tinggi protein dan rendah karbohidrat, yakni :
- Tinggi protein, akan mempertinggi daya tahan host.
- Rendah karbohidrat, akan menurunkan virulensi infeksi.
2. Kausal terapi ( Causal therapy ) Ditujukan terhadap:
- Parasitnya.
- Bakteri yang associde.
- Kuman kuman yang menyebabkan sekunder infeksi.
Penatalaksanaan Umum
Isolasi, pemberian cairan yang adekuat, pengobatan penyulit, monitor
pemeriksaan feses 3 kali untuk memastikan apakah infeksi sudah dapat
dieradikasi.
Spesifik
Dua jenis obat digunakan untuk mengobati infeksi dengan E. histolytica.
Golongan

luminal

yang

dapat

membunuh

amuba,

seperti

iodoquinol,

paromomycin dan diloksanid furoat, secara primer efektif di dalam lumen usus.

16

Metronidazol atau nitroimidazol lainnya, klorokuin dan dihidroemetin efektif


dalam pengobatan dari amubiasis invasif. Semua individual dengan tropozoit atau
kista dari E. histolytica dalam tinjanya harus juga diobati.
1. Infeksi usus asimtomatik
Diloksanid furoat (furamid) 7-10Mg/kgBB/hari dalam tiga dosis, atau
iodokuinol (diiodohidroksi kuinin) 10 mg/kgBB/hari selama 3 dosis atau
paromomisin (humatin) 8 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis. Obat-obat tersebut
harus diberikan selama 7-10 hari.
2. Infeksi usus ringan sampai sedang
Metronidazol (flagyl) 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis, peroral atau
intravena, selama 10 hari, atau dehidroemetin 0,5-1 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis intramuskular selama 5 hari, maksimal 90 mg/hari. Dapat menimbulkan
aritmia jantung, nyeri dada dan selulitis pada tempat suntikan. Klorokuin fosfat
10 mg/kgBB/hari diberikan secara oral dalam 3 dosis untuk 21 hari, maksimum
600 mg/hari, efektif untuk abses hati amuba, tetapi tidak untuk amubiasis usus.
Dapat terjadi gatal, muntah, kerusakan kornea mata, tetapi efek samping yang
paling serius ialah kerusakan retina yang reversibel.
3. Infeksi usus berat dan abses amuba hati
Iodoquinol adalah obat lini pertama untuk mengobati karier kista
asimptomatik, besarnya regimen yang dianjurkan sebanyak 30-40 mg/kgBB/ 24
jam dibagi dalam 3 dosis (maksimum 650 mg/dosis) diberikan secara oral untuk
20 hari. Paromomycin, sebuah aminoglikosida yang tidak dapat larut, adalah
alternatif lainnya, regimen yang dianjurkan adalah 25-35 mg/kgBB/24 jam dibagi

17

menjadi 3 dosis, diberikan secara oral untuk 7 hari. Diloksanid furoat hanya
tersedia di beberapa pusat pengobatan yang besar saja. Toksisitasnya jarang
terjadi namun sebaiknya tidak digunakan untuk anak-anak dibawah usia 2 tahun.
Amubiasis invasif dari usus, hepar dan organ lainnya membutuhkan
metronidazole, sebuah obat antiamuba. Tinidazol dan ornidazol tersedia dan telah
banyak digunakan. Efek yang tidak diharapkan dari metronidazol termasuk mual,
rasa tidak nyaman pada abdomen, dan rasa logam pada lidah, gejala ini tidak
umum dan dapat hilang setelah terapi diselesaikan. Metronidazol juga termasuk
amubisid luminal namun efektivitasnya kecil untuk tujuan ini dan harus diikuti
dengan pemberikan golongan luminal. E. histolytica yang resisten metronidazol
tidak banyak dilaporkan. Namun demikian pada kasus-kasus fulminan, beberapa
ahli menyarankan untuk menambahkan dehidroemetin untuk beberapa hari
pertama, diberikan dapat secara subkutan atau intramuskular (tidak melalui
intravena) dalam dosis 1 mg/kgBB/24 jam. Pasien harus dirawat inap di rumah
sakit jika obat ini diberikan. Jika didapatkan takikardi, depresi gelombang T,
aritmia, atau berkembang menjadi proteinuria pemberian obat tersebut harus
dihentikan. Klorokuin, yang terkonsentrasi di dalam hepar, dapat sangat
bermanfaat untuk pengobatan abses hepar amubiasis. Aspirasi dari lesi yang besar
atau dari abses lobus hepar kiri dapat dilakukan jika terjadi ruptur atau pasien
hanya menunjukkan respon pengobatan yang minimal dalm 4-6 hari setelah
pemberian obat antiamuba tersebut.
Pemeriksaan tinja harus diulang setiap 2 minggu sampai hasilnya negatif setelah
selesai terapi antiamuba untuk mengkonfirmasikan kesembuhan.

18

J.

PROGNOSIS
Prognosis amubiasis usus baik bila tidak ada penyulit. Data statistik

menunjukkan bahwa kematian amubiasis usus tanpa abses hati hanya 1-2%.
Kematian ini biasanya akibat nekrosis atau perforasi usus, tindakan bedah sedini
mungkin dapat menurunkan angka kematian karena penyulit ini dari 100% sampai
28%. Abses amuba hati terjadi pada 1% kasus amubiasis usus dan case
fatality rate (CFR) nya sebesar 10-15%, bila terjadi ruptur ke dalam rongga pleura
maka angka kematian menjadi 120%. Pada kasus abses amuba hati dapat terjadi
penyulit perikarditis amuba (0,2-2,8% dengan CFR 40%). Amubiasis otak angka
kematian 96%.

K. KOMPLIKASI
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun
ringan. Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau
hanya menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala
penyulitnya (komplikasi). Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi
menjadi 2 yakni : 5

1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ameboma
d. Intususepsi
e. Penyempitan usus (Striktura)

19

2. Komplikasi Ekstra Intestinal


a. Amubiasis hati
b. Amubiasis pleuropulmonal
c. Abses otak, limpa, dan organ lain
d. Amubiasis kulit
L. PENCEGAHAN
Cara untuk mencegah agar tidak menderita gangguan yang disebabkan
oleh Entamoeba histolytica antara lain sebagai berikut:
1. Tidak makan makanan mentah (sayuran, daging babi, daging sapi, dan daging
ikan), dan untuk buah dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air.
2. Minum air yang telah dimasak mendidih baru aman.
3. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan
menjelang makan atau sesudah buang air besar.
4. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja
segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak
mencemari sumber air.
5. Di Taman Kanak- Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan
pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan
mengobatinya dengan obat cacing.
6. Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke
rumah sakit.
7. Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali,
tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan

20

secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin
tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.

21

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Amubiasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit. Penyakit
ini tersebar hampir diseluruh dunia terutama di daerah negara tropis yang
sedang berkembang. Umumnya disebabkan karena faktor kepadatan
penduduk, higiene individu dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi sosial
ekonomi dan kultural yang kurang menunjang perilaku kesehatan.
B. SARAN
Kasus amubiasis masih sering di jumpai, baik di pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) maupun dalam praktek kedokteran sehari-hari, tetapi
penanganannya

kadangkala

kurang

memadai,

sehingga

akan

terjadi

komplikasi (penyulit) yang lebih berbahaya. Maka ada baiknya diketahui


tentang kasus amubiasis agar bisa dilakukan penanganan dan pencegahan
yang tepat untuk menghidari terjadinya keparahan penyakit dan komplikasi
yang lebih serius.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasmaliah. 2003. Epidemiologi Amoebasis dan Upaya Pencegahannya.
diakses

pada

tanggal

12/08/2014.

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm.rasmaliah.pdf
2. Gandahusada, Srisasi.. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
3.

Int. J. Environ. Res. Public Health. 2010. Human Amubiasis: Breaking The
Paradigm. http://id.scribd.com/ Diakses pada tanggal 12 Agustus 2014.

4. Kaushik M, Mahajan S, Raina R, Babu S, Raghav S, Sood S, Guleria R.


Isolated Amoebic Abscess of Spleen. Online J Health Allied Scs. 2013.
Available at URL: http://www.ojhas.org/issue45/2013-1-5.html Diakses
pada tanggal 16 Agustus 2014.
5. Standar Pelayanan Medis kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.2013.
6. Sudoyo A.W, Eddy S, dkk. Amubiasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III edisi kelima. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.2009. Hal 2850-2856.
7. Zehgal, Devinder. 2010. Phatogenesis of Infection by Entamoeba
Hystolitica. http://id.scribd.com/ Diakses pada tanggal 16 Agustus 2014

23

Anda mungkin juga menyukai