Sejarah Pemilu 1955
Sejarah Pemilu 1955
Sejarah Pemilu 1955
Dosen Pembimbing :
Prof. Drs. Alex A Koroh
Oleh :
M. Zaini (A1A112210)
Gusti Zulfani Al Haris (A1A112211)
Akhmad Ramadani Akbar (A1A112201)
Fajri Restu S (A1A112067)
Muhammad Zahidi (A1A112066)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara yang
merdeka, maka sejak itu pula ia mengatas namakan dirinya sebagai sebuah negara
demokrasi. Menurut beberapa para ahli politik mengatakan bahwa sebuah negara
demokrasi haruslah melaksanakan pemilihan umum yang bebas dan berkala, oleh
sebab itu pemerintah segera mengagendakan pemilihan umum.
Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tahun 1945, tepatnya
17 Agustus 1945. Pada saat itu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta secara langsung
menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
Setelah mereka terpilih, presiden dan wakil presiden rencananya akan menggelar
pemilihan umum pertama di Indonesia pada bulan Januari 1946. Namun karena
beberapa alasan sehingga pemilihan umum tersebut tidak jadi, diantaranya yang
pertama adalah belum siapnya payung hukum secara tertulis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah, rumusan yang dapt disimpulkan
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum ?
2. Apa itu Sistem Pemilihan Umum ?
3. Bagaiamana sejarah pemilu pertama di Indonesia (1955)?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Mengetahui pemilihan umum.
2. Mengetahui sistem pemilihan umum.
3. Mengetahui sejarah pemilu pertama Indonesia (1955).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemilu
Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata
Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan
orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam
pemilihan
umum,
biasanya
para
kandidat
akan
B.
dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip
pokok, yaitu:
1. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya
disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam
dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan
oleh jumlah distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak
dikatakan pemenang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon
lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih
kekalahannya.
a). Keuntungan Sistem Distrik
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh
komunitasnya, sehingga hubungan denga konstituen lebih erat. Dengan demikian
si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.
Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya
kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini
berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau
terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara
yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil
terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
Sistem distrik dian ggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural
karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan
anggapan bahwa kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis
mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan
minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena
itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada system ini.
b). Kelemahan
C.
Indonesia
merdeka,
ahirnya
pemilihan
umum
pertama
dilaksanakan 16 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1955. Dasar hukum yang
menjadi landasan utamanya adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1953. Produk
hukum ini telah mengalami masa yang sangat panjang, karena pada saat masa
perdana menteri Mohamad Natsir dan Sukiman Wirjosandjojo dari Partai
masyumi tidak berhasil merampungkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948
dan Undang-undang Nomor 12 tahun 1949 tentang pemilihan umum, maka pada
masa kabnet Wilopo yang menjabat sebagai Perdana Menteri dari Partai PNI yang
berhasil merampungkannya.
Pemilihan umum tahun 1955 dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu pada
tanggal 29 september 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.
Pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional. Sesuai amanat dari
Undang-undang nomor 7 tahun 1953, disebutkan bahwa sistem pemilihan umum
di Indonesia yang digunakan adalah sistem proporsional. Sistem proporsional
yang digunakan pada saat itu masih murni, artinya jumlah penduduk pada suatu
wilayah memengaruhi jumlah kursi yang ada didalam parlemen, semakin banyak
jumlah penduduk pada suatu daerah maka semakin banyak pula perwakilan yang
ada di parlemen. Pada saat itu jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 520
kursi, namun terdapat pengecualian untuk beberapa orang perwakilan yang khusus
dan pasti masuk. Diantaranya adalah 3 orang dari Irian Jaya, 6 orang dari
golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab dan 3 wakil golongan Eropa.
(http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/12/sejarah-pemilihan-umum-pertama1955-di-indonesia-572906.html).
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang
kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini,
anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman.
Pemilu
ini
bertujuan
untuk
memilih anggota-anggota
DPR
dan
Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini di
selenggarakan pada tanggal 29 september 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik
dan individu.
2.
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua)
hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat
UU Pemilu.
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama
gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa
dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No.
UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12
tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa
pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat
pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga
negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya
langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan
Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai
dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia
Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara
serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi.
Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS
1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum.
Partai/Nama Daftar
Suara
Kursi
1.
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
6.955.141
18,41
45
4.
6.179.914
16,36
39
1.091.160
2,89
6.
1.003.326
2,66
7.
Partai Katolik
770.740
2,04
8.
753.191
1,99
541.306
1,43
483.014
1,28
11.
242.125
0,64
12.
Partai Buruh
224.167
0,59
219.985
0,58
14.
206.161
0,55
15.
200.419
0,53
16.
Murba
199.588
0,53
17.
Baperki
178.887
0,47
178.481
0,47
154.792
0,41
149.287
0,40
9.
18.
19.
20.
Grinda
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia
(Permai)
21.
146.054
0,39
22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
23.
85.131
0,22
24.
AKUI
81.454
0,21
25.
77.919
0,21
72.523
0,19
26.
27.
64.514
0,17
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
37.785.299
100,00
57
Jumlah
Suara
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
6.989.333
18,47
91
6.232.512
16,47
80
1.059.922
2,80
16
988.810
2,61
6.
Kursi
7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10
8.
695.932
1,84
10
544.803
1,44
465.359
1,23
220.652
0,58
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Partai Buruh
Gerakan Pembela Panca Sila
(GPPS)
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
Persatuan Pegawai Polisi RI
(P3RI)
332.047
0,88
152.892
0,40
134.011
0,35
179.346
0,47
16.
Murba
248.633
0,66
17.
Baperki
160.456
0,42
162.420
0,43
157.976
0,42
164.386
0,43
18.
19.
20.
21.
169.222
0,45
22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
74.913
0,20
23.
24.
AKUI
84.862
0,22
25.
39.278
0,10
143.907
0,38
55.844
0,15
26.
27.
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
29.
35.035
0,09
30.
30.060
0,08
31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
39.874
0,11
32.
33.
PIR NTB
33.823
0,09
34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
lain-lain
426.856
1,13
Jumlah
37.837.105
514
kemauan
rakyat
tersalurkan
lewat
(http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz)
pemilihan
berkala.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kunci keberhasilan Pemilu 1955 sehingga berlangsung demokratis dan
relatif aman dan damai yaitu diwakilinya semua partai di dalam badan
penyelenggara. Memang, ada sejumlah usaha pemaksaan kehendak oleh pejabat
lokal, tetapi itu biasanya diimbangi oleh usaha partai-partai lain yang
melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau kepada wartawan. Praktek
intimidasi oleh pemuka partai tidak jarang terjadi, terutama di daerah-daerah di
mana satu desa atau dukuh menjadi monopoli satu partai. Tetapi, keberhasilan
partai-partai besar untuk mendirikan ranting di mana-mana menjadikan proses
saling mengawasi umumnya cukup efektif.
Tujuan utama pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang
legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud
jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden
dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga
perilaku pemilih juga tidak bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak
terjadinya hubungan yang signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil
presiden sehingga tidak terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.
Artinya, pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara
pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya
sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran riil
partai politik pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan wakil
presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik yang
berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon presiden
dan calon wakil presiden.Sehingga keluhan yang menyatakan presiden
terbelenggu menjadi tidak relevan, karena persoalannya bukanlah di UUD 1945,
tetapi lebih pada produk dari pemilihan umum yang belum secara signifikan
memposisikan dan menempatkan sistem multipartai pada proporsi yang
sebenarnya.
Adalah hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik
untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus
ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak hanya
sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi partai
politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi sarana dan
wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan.
Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai politik karena
sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai politik.
Inilah sistem multipartai yang kita bangun untuk diarahkan menuju
terbentuknya sebuah rezim pemerintahan presidensil yang efektif. Karena dalam
sistem presidensil itu tidak dikenal jumlah partai yang banyak. Selain itu, sebuah
keharusan bagi partai politik dan gabungan parpol di parlemen yang mengusung
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk masing-masing
menyamakan visi dan misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen negara yang
harus dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam .2008. Dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Casmana, Asep Rudi. Sejarah pemilihihan umum pertama di Indonesia. Diambil
pada tanggal 30 Oktober 2014 dari
http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/12/sejarah-pemilihan-umumpertama-1955-di-indonesia-572906.html
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sejarah Pemilu Pertama Indonesia
Tahun 1955. Diambil pada tanggal 25 September 2014 dari
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz
Prihatmoko, dkk. 2008. Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.