Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PEMILU PERTAMA (1955) INDONESIA

Untuk memenuhi tugas Sejarah Indonesia V

Dosen Pembimbing :
Prof. Drs. Alex A Koroh

Oleh :
M. Zaini (A1A112210)
Gusti Zulfani Al Haris (A1A112211)
Akhmad Ramadani Akbar (A1A112201)
Fajri Restu S (A1A112067)
Muhammad Zahidi (A1A112066)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Indonesia mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara yang
merdeka, maka sejak itu pula ia mengatas namakan dirinya sebagai sebuah negara
demokrasi. Menurut beberapa para ahli politik mengatakan bahwa sebuah negara
demokrasi haruslah melaksanakan pemilihan umum yang bebas dan berkala, oleh
sebab itu pemerintah segera mengagendakan pemilihan umum.
Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tahun 1945, tepatnya
17 Agustus 1945. Pada saat itu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta secara langsung
menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.
Setelah mereka terpilih, presiden dan wakil presiden rencananya akan menggelar
pemilihan umum pertama di Indonesia pada bulan Januari 1946. Namun karena
beberapa alasan sehingga pemilihan umum tersebut tidak jadi, diantaranya yang
pertama adalah belum siapnya payung hukum secara tertulis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah, rumusan yang dapt disimpulkan
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan pemilihan umum ?
2. Apa itu Sistem Pemilihan Umum ?
3. Bagaiamana sejarah pemilu pertama di Indonesia (1955)?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Mengetahui pemilihan umum.
2. Mengetahui sistem pemilihan umum.
3. Mengetahui sejarah pemilu pertama Indonesia (1955).

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pemilu
Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata

lain, Pemilu adalah pengejawantahan penting dari demokrasi prosedural.


Berkaitan dengan ini, Samuel P. Huntington dalam Sahid gatara (2008: 207)
menyebutkan bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin
secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu, Pemilu sangat
sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau demokrasi subtansial,
yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan
tertinggi.
Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative

government). Secara sederhana,

Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk menentukan
orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Dalam

pemilihan

umum,

biasanya

para

kandidat

akan

melakukan kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu


yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha
menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya
untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

B.

Sistem Pemilihan Umum


Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilihan Umum

dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya berkisar pada dua prinsip
pokok, yaitu:
1. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya
disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam

dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan
oleh jumlah distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak
dikatakan pemenang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon
lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih
kekalahannya.
a). Keuntungan Sistem Distrik

Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena


kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan
mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan
mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara
lain melalui stembus accord.

Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat


dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai
secara alami dan tanpa paksaan.

Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh
komunitasnya, sehingga hubungan denga konstituen lebih erat. Dengan demikian
si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.

Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui distortion


effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh
kedudukan mayoritas. Dengan demikian, sedikit banyak partai pemenang dapat
mengendalikan parlemen.

Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas


dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. hal ini
mendukung stabilitas nasional.

Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.


b). Kelemahan Sistem Distrik

System ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan


golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai
distrik.

Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya
kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini
berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau
terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara
yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil
terhadap partai dan golongan yang dirugikan.

Sistem distrik dian ggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural
karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan
anggapan bahwa kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis
mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.

Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan


kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.

2. Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem proporsional


Sistem ini dianut oleh Indonesia. Pemilu tidaklah langsung memilih calon
yang didukungnya, karena para calon ditentukan berdasarkan nomor urut caloncalon dari masing-masing parpol atau organisasi social politik (orsospol). Para
pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambing sustu orsospol. Perhitungan
suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-m,asing orsospol, ditentukan
melalui pejumlahan suara secara nasional atau penjumlahan pada suatu daerah
(provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkan jumlah penduduk
dan kepadatan penduduk di daerah yang bersagkutan.
Banyak atau sedikitnya kursi yang diraih adalah ditentukan oleh jumlah
suara yang diraih masing-masing parpol atau orsospol peserta pemilihan umum.
Calon terpilih untuk menjadi wakil rakyat duitenukan berdasarkan nomor urut
calon yang disusun guna mewakili orsospol pada masing-masing daerah. Inilah
yang disebut perhitungan suara secara proporsional, bukan menurut distrik
pemilihan (yang pada setiap distrik hanya aka nada satu calon yang terpilih).
a). Keuntungan sistem proporsional

Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara setiap


partai sesuai dengan persentase perolehan kursinya di parlemen. Tidak ada distorsi
antara perolehan suara dan perolehan kursi.

Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan
minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena
itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada system ini.
b). Kelemahan

Kurang mendorong partai-partai yang berintegrasi satu sama lain, malah


sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi diantara berbagai
golongan di masyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmenrasi
dan berdirinya partai baru yang pluralis.

Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih


erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih
menonjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya, system ini
member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di
parlemen melaluin Stelsel daftar (List System).

Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk


mencapai mayoritas di parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini
mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan
diri pada koalisi.

C.

Sejarah Pemilu Pertama Indonesia (1955)


Setelah

Indonesia

merdeka,

ahirnya

pemilihan

umum

pertama

dilaksanakan 16 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1955. Dasar hukum yang
menjadi landasan utamanya adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1953. Produk
hukum ini telah mengalami masa yang sangat panjang, karena pada saat masa
perdana menteri Mohamad Natsir dan Sukiman Wirjosandjojo dari Partai
masyumi tidak berhasil merampungkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948
dan Undang-undang Nomor 12 tahun 1949 tentang pemilihan umum, maka pada

masa kabnet Wilopo yang menjabat sebagai Perdana Menteri dari Partai PNI yang
berhasil merampungkannya.
Pemilihan umum tahun 1955 dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu pada
tanggal 29 september 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.
Pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional. Sesuai amanat dari
Undang-undang nomor 7 tahun 1953, disebutkan bahwa sistem pemilihan umum
di Indonesia yang digunakan adalah sistem proporsional. Sistem proporsional
yang digunakan pada saat itu masih murni, artinya jumlah penduduk pada suatu
wilayah memengaruhi jumlah kursi yang ada didalam parlemen, semakin banyak
jumlah penduduk pada suatu daerah maka semakin banyak pula perwakilan yang
ada di parlemen. Pada saat itu jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 520
kursi, namun terdapat pengecualian untuk beberapa orang perwakilan yang khusus
dan pasti masuk. Diantaranya adalah 3 orang dari Irian Jaya, 6 orang dari
golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab dan 3 wakil golongan Eropa.
(http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/12/sejarah-pemilihan-umum-pertama1955-di-indonesia-572906.html).
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang
kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini,
anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman.
Pemilu

ini

bertujuan

untuk

memilih anggota-anggota

DPR

dan

Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan


kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil
golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat

pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri


Burhanuddin Harahap.
UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung
hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah
dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak
langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut
berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk
dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan
lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Pemilu tahun 1955 ini di laksanakan saat keamanan negara tidak kondusif
dan beberapa daerah masih di landa kekacauan oleh DI/TII atau yang biasa
dikenal dengan nama Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia dalam pimpinan
Kartosuwirjo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi
juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat
pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Tujuan dari pemilu tahun 1955 ini adalah untuk memilih angota DPR dan
Konstituante. Adapun jumlah kursi yang di perlukan di anggota DPR tersebut
kurang lebih 260 kursi. Sedangkan kursi Konstituante adalah 520.
Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di
bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali
Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Pemilu tahun 1955, di bagi menjadi dua tahap, yaitu:
1.

Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini di

selenggarakan pada tanggal 29 september 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik
dan individu.
2.

Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini

diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Menurut KPU sejarah pemilu pertama 1955 sebagai berikut.


Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu
merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun
itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab
pertanyaan tersebut. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan
dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah
waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu
pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat
Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran
tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan,
Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan
Januari 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru
terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X,
Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk
memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan
bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota
DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada
kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor
luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah
menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundangundangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu maupun akibat rendahnya
stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari
dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran
(sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain
serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua)
hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat
UU Pemilu.
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama
gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain, para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa
dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No.
UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12
tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa
pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat
pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga
negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf. Sehingga kalau pemilihannya
langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari
Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan
Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai
dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia
Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara
serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi.
Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu karena pasal 57 UUDS
1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan


undang-undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh
parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka
lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung
hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah
dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak
langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut
berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk
dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan
lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi
secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana
menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan
fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring
pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu, sosok pejabat negara tidak
dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu
dengan segala cara. Karena Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu
memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya
pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No

Partai/Nama Daftar

Suara

Kursi

1.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

8.434.653

22,32

57

2.

Masyumi

7.903.886

20,92

57

3.

Nahdlatul Ulama (NU)

6.955.141

18,41

45

4.

Partai Komunis Indonesia (PKI)

6.179.914

16,36

39

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

1.091.160

2,89

6.

1.003.326

2,66

Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

7.

Partai Katolik

770.740

2,04

8.

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

753.191

1,99

541.306

1,43

10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)

483.014

1,28

11.

Partai Rakyat Nasional (PRN)

242.125

0,64

12.

Partai Buruh

224.167

0,59

13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)

219.985

0,58

14.

Partai Rakyat Indonesia (PRI)

206.161

0,55

15.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

200.419

0,53

16.

Murba

199.588

0,53

17.

Baperki

178.887

0,47

178.481

0,47

154.792

0,41

149.287

0,40

9.

18.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan


Indonesia (IPKI)

Persatuan Indoenesia Raya (PIR)


Wongsonegoro

19.
20.

Grinda
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia
(Permai)

21.

Persatuan Daya (PD)

146.054

0,39

22.

PIR Hazairin

114.644

0,30

23.

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

85.131

0,22

24.

AKUI

81.454

0,21

25.

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

77.919

0,21

72.523

0,19

26.

Partai Republik Indonesis Merdeka


(PRIM)

27.

Angkatan Comunis Muda (Acoma)

64.514

0,17

28.

R.Soedjono Prawirisoedarso

53.306

0,14

29.

Lain-lain

1.022.433

2,71

37.785.299

100,00

57

Jumlah

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15


Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di
Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang
dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan
bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski
tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibandingkan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan
anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No. Partai/Nama Daftar

Suara

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

9.070.218

23,97

119

2.

Masyumi

7.789.619

20,59

112

3.

Nahdlatul Ulama (NU)

6.989.333

18,47

91

6.232.512

16,47

80

1.059.922

2,80

16

988.810

2,61

4. Partai Komunis Indonesia (PKI)


5.

6.

Partai Syarikat Islam Indonesia


(PSII)
Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)

Kursi

7.

Partai Katolik

748.591

1,99

10

8.

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

695.932

1,84

10

544.803

1,44

465.359

1,23

220.652

0,58

9.

10.
11.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan


Indonesia (IPKI)
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)
Partai Rakyat Nasional (PRN)

12.
13.
14.
15.

Partai Buruh
Gerakan Pembela Panca Sila
(GPPS)
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
Persatuan Pegawai Polisi RI
(P3RI)

332.047

0,88

152.892

0,40

134.011

0,35

179.346

0,47

16.

Murba

248.633

0,66

17.

Baperki

160.456

0,42

162.420

0,43

157.976

0,42

164.386

0,43

18.

19.

20.

Persatuan Indoenesia Raya (PIR)


Wongsonegoro
Grinda
Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)

21.

Persatuan Daya (PD)

169.222

0,45

22.

PIR Hazairin

101.509

0,27

74.913

0,20

23.

Partai Politik Tarikat Islam


(PPTI)

24.

AKUI

84.862

0,22

25.

Persatuan Rakyat Desa (PRD)

39.278

0,10

143.907

0,38

55.844

0,15

26.

27.

Partai Republik Indonesis


Merdeka (PRIM)
Angkatan Comunis Muda
(Acoma)

28.

R.Soedjono Prawirisoedarso

38.356

0,10

29.

Gerakan Pilihan Sunda

35.035

0,09

30.

Partai Tani Indonesia

30.060

0,08

31.

Radja Keprabonan

33.660

0,09

39.874

0,11

32.

Gerakan Banteng Republik


Indonesis (GBRI)

33.

PIR NTB

33.823

0,09

34.

L.M.Idrus Effendi

31.988

0,08

lain-lain

426.856

1,13

Jumlah

37.837.105

514

Pada masa periode demokrasi terpimpin, sangat disayangkan, kisah sukses


Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas
sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia
Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk
membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat
angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian
mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di
Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan
negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by
decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada
4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan
legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno

secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong


Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya
diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan,
memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat
klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi
pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden.
Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang
Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya
krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin
luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak
pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang
anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai
presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang
mengabaikan

kemauan

rakyat

tersalurkan

lewat

(http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz)

pemilihan

berkala.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Kunci keberhasilan Pemilu 1955 sehingga berlangsung demokratis dan

relatif aman dan damai yaitu diwakilinya semua partai di dalam badan
penyelenggara. Memang, ada sejumlah usaha pemaksaan kehendak oleh pejabat
lokal, tetapi itu biasanya diimbangi oleh usaha partai-partai lain yang
melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau kepada wartawan. Praktek
intimidasi oleh pemuka partai tidak jarang terjadi, terutama di daerah-daerah di
mana satu desa atau dukuh menjadi monopoli satu partai. Tetapi, keberhasilan
partai-partai besar untuk mendirikan ranting di mana-mana menjadikan proses
saling mengawasi umumnya cukup efektif.
Tujuan utama pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang
legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud
jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden
dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga
perilaku pemilih juga tidak bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak
terjadinya hubungan yang signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil
presiden sehingga tidak terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.
Artinya, pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara
pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya
sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran riil
partai politik pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan wakil
presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik yang
berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon presiden
dan calon wakil presiden.Sehingga keluhan yang menyatakan presiden
terbelenggu menjadi tidak relevan, karena persoalannya bukanlah di UUD 1945,
tetapi lebih pada produk dari pemilihan umum yang belum secara signifikan
memposisikan dan menempatkan sistem multipartai pada proporsi yang
sebenarnya.

Adalah hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik
untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus
ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak hanya
sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi partai
politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi sarana dan
wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan.
Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai politik karena
sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai politik.
Inilah sistem multipartai yang kita bangun untuk diarahkan menuju
terbentuknya sebuah rezim pemerintahan presidensil yang efektif. Karena dalam
sistem presidensil itu tidak dikenal jumlah partai yang banyak. Selain itu, sebuah
keharusan bagi partai politik dan gabungan parpol di parlemen yang mengusung
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk masing-masing
menyamakan visi dan misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen negara yang
harus dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam .2008. Dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi). Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Casmana, Asep Rudi. Sejarah pemilihihan umum pertama di Indonesia. Diambil
pada tanggal 30 Oktober 2014 dari
http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/12/sejarah-pemilihan-umumpertama-1955-di-indonesia-572906.html
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sejarah Pemilu Pertama Indonesia
Tahun 1955. Diambil pada tanggal 25 September 2014 dari
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/MzQz
Prihatmoko, dkk. 2008. Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai